LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Sabtu, 20 Desember 2008

CATATAN KELIMA

NETRALISASI PSIKOLOGIS


“ ... Semar, kau adalah samar. Hanya penderitaanlah yang dapat membuat dirimu samar. Begitu kaugugat penderitaanmu, Semar, hilanglah kesamaranmu. Kau menginginkan kejelasan dan kepastian. Penderitaan tak pernah memberimu kepatian dan kejelasan. Namun penderitaan memberimu harapan. Harapan itulah yang memungkinkan kamu hidup dalam samar. Kau berani hidup, walau semuanya tidak jelas. Bukanlah kehidupan lagi ya Semar, jika ia menjauhi samar. Dan jika hidup ini adalah satu-satunya kebahagiaanmu, maka kau berani bertahan dalam samar. Dan hanya jika kamu berani menanggung penderitaan, Semar, maka kamu dapat hidup dalam samar, yang membahagiakan”, kata Sang Hyang Tunggal.
Tertegun sejenak diriku setelah membaca kalimat demi kalimat. Kata demi kata. Rangkaian aksara seperti yang tertulis di dalam bagian Buku “Semar Mencari raga” buah karya Rm. Sindhunata. Buku kiriman Pendeta Subrata yang tengah aku baca. “Karel ... apa kabar? Ini aku kirimkan sebuah buku yang mungkin dapat menjadi bahan perenungan dalam mengahadapi dan belajar mencintai kehidupan. Karena mencintai kehidupan berarti tetap berpengharapan dalam apapun keadaan kita ... Tuhan memberkati!” Begitulah pesan singkat yang ditulis dengan tangan di bagian depan buku ini. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung melahap lembar demi lembar buku kiriman Pendeta Subrata.
Ada yang menyentuh hatiku. Kalimat-kalimat yang ada seperti menggugah bahwa sebaiknya aku tidak tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa?’. Atau bahkan menggugat ‘keberadaanku yang terkena AIDS’.

“Ya Bapa ... penuh kasih! Terima kasih ... bahwa Engkau tetap mengasihi diriku ini melalui orang-orang yang sabar dan setia menemani. Melalui rangkaian aksara-aksara nan meneduhkan ... terima kasih, Bapa!” Aku merasakan hawa ketenangan makin lama makin melingkupi hatiku. Ya, sudah saatnya pertanyaan-pertanyaan gugatan, protes, dan sejenisnya pergi dari benakku. Ketenggelamanku dalam sedih dan tak mau menerima realita selama ini, justru semakin membuatku tanpa daya. Aku harus BANGKIT!

Dikau Yang Baik
Ya, YESUS!
Jadikan kami untuk senantiasa berpegang
Bahwa apapun yang terjadi hari demi hari
Dibalik kesesakan
Kesulitan
Kelelahan
Menapaki kehidupan ini
Pasti akan mendatangkan
Kebaikan
Bagi kami
Karena Dikau turut bekerja
Bagi kebaikan kami
Karena Dikau ALLAH yang baik
Maka ...
“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Roma 8 : 28
Dan ......
Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.
Amin.

“Hai ... kakakku yang ganteng! ... Lagi ngapain nih ... ? Kayaknya lagi nulis puisi ya ... boleh lihat Kak Karel ... “ Riska, sang adik tersayang tiba-tiba sudah ada di belakangku dan bergelayut manja di pundakku.
“Kok tau sih ... ngintip ya! Kak Karel terkesan sama buku yang dikirim Pendeta Subrata tempo hari ... nah ujung-ujungnya jadi terinspirasi buat bikin puisi ...” Aku menyerahkan lembar-lembar kertas yang aku gunakan untuk merangkai kata merupa syair. Riska ini memang paling getol menunggu dan menjadi pembaca pertama puisi-puisi terbaruku.
“Eh ... Ris ...! Kakak beruntung banget deh ... punya adik seperti kamu ... punya Bunda ... punya Albert ... Bono ... dokter Herman ... Pendeta Subrata ... dan orang-orang yang selalu sabar dan mencoba mengerti akan kondisi Kakak sekarang ...” Aku membuka percakapan di sela-sela Riska yang tengah membaca hasil karya-karyaku.
“Apalagi kamu ... kamu tuh sabar banget ya ngadepin hinaan-hinaan dan tekanan-tekanan dari luar ... hinaan punya Kakak yang AIDS ... hinaan kamu berasal dari keluarga yang kena kutukan ... hinaan yang macem-macem ...”
“Ah ... Kak Karel! Jangan begitu Kak ...! Jujur ... Riska itu justru belajar banyak dari Kak Karel ... Kakak begitu kuat dan tabah ngadepin semua ini ... kalau hal ini terjadi pada Riska ... wah gak tau deh apa Riska bisa ngelaluinnya ...” Riska tersenyum padaku dan merangkul diriku penuh kasih sayang. Kasih sayang yang tulus dari seorang adik.
“Riska ... ini Kakak kasih liat Catatan Harian Kakak ... tapi di bagian ini aja ya ...” Aku mengambil bundel Catatan Harian-ku yang aku sendiri pun tidak tahu berapa jumlah halamannya. Sebuah bundel yang lembaran-lembaran kertasnya terdiri dari beraneka ragam jenis kertas dan ukuran.


30032006
15.59 WIB
Bapa,
Aku sedang kehabisan kata untuk menulis Catatan Harian ini ...
Tapi mungkin ini dapat menjadi wakil akan apa yang ada di dalam hatiku






Tak Melampaui Kekuatanku
Bapa,
Di tengah terpaan
Masalah-masalah yang kami
Hadapi saat ini!
Kami percaya ...
Bahwa semua ini
Adalah proses penempaan hidup
Agar kami
Dapat ENGKAU bentuk
Sebagai bejana-bejana indah
Seturut kehendakMU
Dan ...
Seperti fajar di pagi hari
Yang selalu terbit tepat pada waktunya
Kami mau percaya TUHAN
Bahwa pertolonganMU bagi kami
Akan selalu sampai tepat pada waktunya
Sekali pun kami belum
Melihat apapun hari ini
Kami mau tetap percaya padaMU
Percaya pada janji-janjiMU
(hehehe .... Bang Franky gak apa-apa ya kalimat Abang di Lagu “JanjiMu S’perti Fajar” aku sadur”

“Gimana ... udah selesai Ris ... bacanya ...?”
“Kak Karel ... dalam banget dan menyentuh isinya ... sungguh!”
“Yah begitulah Riska ... memang Kakak kadang-kadang masih suka bertanya-tanya ... atau protes bahkan terhadap kondisi penyakit AIDS Kakak ... tapi kalau Kakak ingat sama tulisan Kakak tadi ... Kakak menjadi dikuatkan kembali ...”
“Kak Karel ... Riska bangga deh punya Kakak seperti Kak Karel ... Kakak yang tegar dan tabah! ... Kak Karel jangan pernah nyerah ya ...” Kembali Riska merangkulku dan kali ini rangkulannya lebih kuat dari sebelumnya. Rangkulan kuat sebagai tanda bahwa dirinya tak pernah mau kehilangan Kakak satu-satunya ini.
“Kak Karel ... Riska mau kuliah dulu ya ...”
“Oke hati-hati ya ...eh gak sama pangeranmu ...?”
“Ah nggak, Kak! Sony sedang UTS! See you ... Kak Karel tersayang!” Senyum jahilnya mulai mengembang. Keceriaan terpancar di sana. Keceriaan yang khas milik seorang Anindya Riska Dewayanti.

# # #

“Seorang anak berpakaian permai, kalung permata d ilehernya, tak senang lagi dalam bermain. Pakaiannya menghalangi dia dalam tiap-tiap langkahnya. Takutkan koyak dan kotor, ia tidak berani bersama yang lain; sedang bergerak pun ia tak berani.
Bunda! Rantai hiasmu tidak kami sukai, jika rantai hias itu memisahkan kami dari bumi yang sehat, jika ia mengambil hak kami untuk masuk ke peralatan hidup manusia yang besar ini.”
- dari “Gitanyali” karya Rabindranath Tagore -
Menjadi seorang mahasiswa teologi di dalam kehidupan sehari-hari tentu saja memiliki pergumulan tersendiri. Pergumulan yang terutama adalah pergumulan spiritualitas di mana tidak saja dihadapi dalam lingkungan kampus, namun lebih dari itu juga di dalam kehidupan masyarakat secara umum.
Menurut pemahaman pribadi, menjadi mahasiswa teologi ibarat menempa diri di dalam ‘Kawah Candradimuka’ dalam hal olah spiritualitas serta keimanan untuk pada akhirnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat, tidak hanya masyarakat gereja namun juga masyarakat secara umum. Sebuah pergumulan dan perjuangan yang tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan, diperlukan komitmen dan fokus yang kuat dalam proses penempaan di atas.
Komitmen pribadi dalam usaha mempergumulkan panggilan Tuhan tercakup dalam 3 segi yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pertama; menjadikan masa studi selama menjadi mahasiswa teologi sebagai ajang mengembangkan diri, baik dalam kehidupan keimanan (penghayatan terhadap ajaran dan nilai Kristiani, kehidupan doa, dan lain-lain) maupun dalam kehidupan berteologi secara ilmiah (penghayatan akan teologi kontekstual, teologi praktika, dan lain-lain). Kedua; menjadikan lingkungan kampus sebagai wahana interaksi dan sosialisasi, berolah rasa, pemikiran, dan pengalaman akan spiritualitas beserta praksisnya. Hal tersebut dirasa penting karena Sekolah Teologi adalah komunitas khusus sebagai wadah penggemblengan memenuhi panggilan Tuhan di dalam dunia pelayanan.
Ketiga; merupakan buah dari kedua hal tersebut di atas, yaitu bahwa sebagai individu, mahasiswa teologi begitu berada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat tentu saja memiliki konsekwensi logis sebagai hasil penempaan segi pertama dan kedua. Konsekwensi logis untuk mengejawantahkan proses penempaan di lapangan praksis.
Proses pergumulan dan perjuangan dalam usaha membangun spiritualitas persekutuan akan mendapatkan implementasinya dalam kehidupan bermasyarakat, baik kehidupan bergereja maupun kehidupan bermasyarakat secara umum. Di sinilah apa yang diistilahkan dengan teologi kontekstual berada dalam level praksis. Jadi tidak seperti syair di awal tulisan ini, menjadi mahasiswa teologi bukan untuk membuat seseorang laksana berpakaian indah berkalungkan mutiara sehingga sehingga hanya menjadi pajangan untuk ditonton dan dikagumi. Menjadi mahasiswa teologi bukanlah menjadi tokoh paling atas penuh kilau kemewahan yang takut untuk berkotor-kotor dan berdebu.

Membangun spiritualitas persekutuan adalah juga berarti mampu dan mau untuk berkotor-kotor bermandikan debu kehidupan di tengah-tengah pergulatan dan pergumulan umat atau masyarakat secara umum. Di sini membangun spiritualitas persekutuan berarti tidak hanya berkiprah di dalam lingkungan kampus, namun lebih dari itu adalah bagaimana cerminan spiritualitas Kristiani dapat terpancar dalam setiap pribadi mahasiswa teologi ketika ia terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat, sebuah panggung kehidupan yang lebih nyata.
Sebagai komunitas yang dapat diistilahkan ‘Kampus Gumul dan Juang’, pembangunan spiritualitas persekutuan yang Kristiani bukanlah laku ‘instan’ yang langsung jadi. Pergumulan dan perjuangan dalam rangka pembangunan spiritualitas persekutuan merupakan sebuah proses panjang yang berkesinambungan, yang sudah pasti juga melelahkan. Ibarat ladang yang terbentang beserta benih-benihnya yang harus ditanam dan digarap sampai pada masanya menuai. Sebuah proses penuh liku-liku yang harus dijalani.
Menjadi mahasiswa teologi dalam rangka membangun spiritualitas persekutuan juga bukan menjadi pribadi yang senantiasa membentengi diri dengan masyarakat pada umumnya. Arogansi pribadi dengan menganggap diri yang paling benar atau paling tinggi tinggi spiritualitasnya perlu untuk dihilangkan, sehingga tidak terjebak dalam laku pembenaran diri sendiri bertopengkan iman. Menjadi mahasiswa bukan anak manja yang eksklusif di dalam sangkar emas bernama teologi.

Tulisan yang adalah pemahaman pribadiku mengenai spiritualitas Kristiani saat memasuki dunia Sekolah Teologi seperti menjadi teguran bagiku. “Karel ... selama ini dirimu terkungkung oleh ambisimu untuk menjadi seorang pendeta! Kenyataan bahwa dirimu mengidap AIDS dan akhirnya membuatmu tidak dapat menerima kenyataan ... adalah buah dari ambisimu! Ambisi yang secara tidak sadar engkau tutupi dengan topeng ‘panggilan Tuhan’ ... sadarlah Karel! Sadarlah dan terimalah semua yang terjadi dalam kehidupanmu ..”
“Bapa ... ampuni anakMu ini! Bahwa ternyata kelekatan akan ambisi pribadi ternyata masih bersemayam di hati ini ... bahwa apa yang selama ini aku kira adalah ‘panggilanMu’ ternyata masih terbungkus oleh kelekatan ego sentris ... ampuni Bapa!”

# # #

“Bunda ... setelah Karel mencoba untuk menggumulkan hal ini ... Karel sampai pada keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatan Karel sebagai Vikaris di gereja ... bagaimana menurut pendapat Bunda?”
“Karel ... Bunda percaya apa yang kamu putuskan tentunya demi kebaikan bersama ... dan kalau boleh Bunda tahu, apa yang mendorong kamu untuk mundur ...?”
“Dengan kondisi Karel yang menderita AIDS ini ... Karel pikir jika Karel tetap menjalani posisi sebagai Vikaris untuk kemudian ditahbiskan sebagai Pendeta ... itu akan menjadi konflik yang dapat meresahkan Jemaat ...” Aku berhenti sejenak dari perkataanku.
“Adalah tidak bijaksana jika Karel tetap memaksakan diri dan kehendak ... keberadaan Karel yang AIDS sangat mungkin dapat menjadi batu sandungan dalam proses pembinaan iman di Jemaat ... toh Karel masih dapat berkarya dan berpelayanan di tempat lain bukan sebagai Vikaris atau Pendeta ... masih banyak ladang yang lebih sesuai dengan kondisi Karel ini ...”
“Bunda senang dengan pemikiranmu itu, Karel! ... Keputusan kamu untuk mundur bukan didasarkan pada emosi sesaat ... Bunda pasti mendukung kamu ...” Bunda tersenyum kepadaku. Ada dukungan penuh atas apa yang telah aku putuskan.
“Riska ... menurut kamu bagaimana ...?”
“Riska ... as usually ...! Ngedukung penuh apa yang Kak Karel putuskan ...”
“Terima kasih Bun ... Riska ... atas pengertian dan dukungan buat Karel ... oh iya ... satu lagi ... Karel pikir inilah saatnya sermua orang tahu keberadaan Karel yang sebenarnya ... bahwa Karel kena AIDS ... Karel pikir biarlah apa yang selama ini jadi bahan pergunjingan orang, diungkap secara langsung oleh Karel sendiri!” Aku diam sejenak untuk melihat reaksi dari Bunda dan Riska.
“Tapi ... itupun kalau Bunda dan Riska setuju ... karena dengan Karel membuka diri ... pasti imbasnya akan dirasakan oleh Bunda dan Riska ...”
“Karel ... Bunda dan Riska sudah sepakat untuk menerima apapun yang orang katakan dan perlakukan jika pada saatnya nanti mereka tahu kalau kamu kena AIDS ... biarlah orang lain bersikap menurut mereka ... namun Bunda dan Riska akan selalu berada di samping kamu ... iya kan Riska ...?”
“Yap betul sekali kata Bunda ... kami semua tidak akan pernah peduli dengan orang lain ... karena kita kan satu keluarga yang saling mendukung satu sama lain ...”
Aku sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Dukungan penuh yang diberikan oleh Bunda dan Riska sudah sangat berarti buatku untuk meneruskan langkah-langkah selanjutnya di dalam kancah kehidupan ini. Selanjutnya kami bersekutu dalam doa bersama untuk memohon petunjuk dan kekuatan dari Sang Agung pemilik kehidupan ini.


SURAT PENGUNDURAN DIRI

Kepada,
Yth. Bapak dan Ibu Majelis
Di Jakarta

Salam dalam Kasih Yesus Kristus,
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : KARELIUS IRGHI BRAMANTYO
TTL : Jakarta, 12 Juni 1975
Jabatan : Vikaris
Alamat : Jl. Damai Utara IX No. 214
Jakarta Selatan
Mengajukan Pengunduran Diri saya sebagai Vikaris atau Calon Pendeta di gereja Bapak dan Ibu.
Adapun dasar pemikiran saya mengundurkan diri lebih bersifat pribadi, yaitu terhitung sejak tanggal 22 Oktober 2005 saya dinyatakan Positif mengidap HIV atau Positif AIDS oleh pihak rumah sakit (Surat Keterangan dari Rumah Sakit terlampir). Sehubungan dengan kondisi saya tersebut, saya berpandangan bahwa akan terjadi benturan-benturan bagi saya dan gereja dengan jemaat pada umumnya jika saya tetap melanjutkan posisi sebagai Vikaris di sini.
Maka, demi kebaikan bersama dan dengan dengan penuh rasa tanggung jawab saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Selanjutnya semua proses baik yang bersifat administratif dan pastoral akan disepakati bersama.
Demikian Surat Permohonan saya, atas perhatian dan persetujuan Bapak dan Ibu Majelis, saya ucapkan terima kasih. Tuhan memberkati.

Jakarta, 1 April 2006
Hormat Saya


Karelius Irghi Bramantyo


Begitulah yang terjadi dengan diri saya Pak Sumartono ... dan keputusan saya mengundurkan diri sebagai Vikaris saya pikir adalah demi kebaikan kita semua.” Aku menyerahkan Surat Pengunduran Diri-ku kepada Bapak Paulus Sumartono, Ketua Majelis di gereja yang menjadikan diriku sebagai Vikaris.
“Saya mengerti Nak Karel! Namun berdasarkan pemikiran saya ... pasti akan ada jalan yang bisa kita tempuh agar Jemaat dapat mengerti kondisi Nak Karel. Apalagi penyebab penyakit AIDS yang diderita Nak Karel adalah karena kecelakaan ... pasti akan ada jalan!” Pak Sumartono mencoba untuk meyakinkan diriku agar membatalkan niat untuk mengundurkan diri.
“Apapun kondisi Nak Karel sekarang ... tenaga dan jiwa pelayanan Nak Karel masih sangat dibutuhkan oleh gereja kita ... apalagi saya bersama majelis yang lain telah berkonsultasi dengan dokter Herman mengenai cara perawatan penyakit AIDS ini.”
“Pak Sumartono ... saya sangat menghargai pengertian dan kesungguhan para majelis untuk mempertahankan saya. Namun, ada baiknya kita juga memikirkan dampak-dampak yang akan terjadi di tengah Jemaat jika saya tetap bertahan ...” Aku menarik napas sebentar sebelum menyelesaikan penjelasanku.
“Saya tidak mau memaksakan diri ... dan kalau memang saya masih dibutuhkan, saya siap membantu gereja kita ... pengunduran diri saya hanya sebagai Vikaris bukan diikuti pengunduran diri saya sebagai anggota Jemaat gereja. Semoga Pak Sumartono dan majelis yang lain dapat memahami hal ini ...”
“Baiklah Nak Karel ... saya dan majelis yang lain bisa memahami. Walau jujur secara pribadi saya merasa sangat kehilangan ...”
“Satu lagi permintaan saya Pak Sumartono ... saya ingin agar sebab pengunduran diri saya tidak ditutup-tutupi dengan hal lain ... biarkan saja semua Jemaat mengetahui bahwa saya mengidap AIDS dan biarlah mereka menilai apakah saya masih layak berada di tengah-tengah Jemaat dengan kondisi saya yang sekarang ini!”


29042006
22.18 WIB
Bapa,
Semoga apa yang telah aku pilih ini seturut dengan kehendakMU saja
Semoga pilihanku ini merupakan yang terbaik
Aku pikir sudah tiba saatnya semua dibuka
Sudah saatnya diriku ini menerima apapun ...
Apapun penilaian orang lain
Tanpa ada gugatan lagi
Tanpa ada rasa tersakiti lagi
Bapa,
Pada akhirnya memang hidup seringkali menampilkan pilihan
Pilihan-pilihan berat bahkan
Pilihan yang sama-sama tidak enak
Pilihan bagai buah simalakama
Dimakan ibu mati
Tidak dimakan ayah yang mati
Namun pilihan tetap harus diambil
Karena memang harus diambil
Seringkali kita justru memilih untuk tidak mengambil pilihan
Membiarkan semuanya ‘menggantung’ begitu saja
Dan berharap waktu akan melibasnya
Dan jika hal itu kita lakukan
Justru kita akan semakin terjerembab
Ke dalam lubang permasalahan
Begitulah ...
Betapa pahitnya pilihan yang harus diambil
Akan lebih baik untuk tetap mengambilnya
Daripada berlari dengan memilih untuk tidak mengambil pilihan
Karena hidup bukanlah PEMILU
Yang bisa saja memilih untuk tidak memilih alias GOLPUT
Namun hidup adalah bagaimana mengambil pilihan dan tetap menjalaninya sepahit dan seberat apapun
Dan hidup harus tetap berjalan!

Tidak ada komentar: