tag:blogger.com,1999:blog-17824705446246489242024-03-05T05:25:45.287-08:00PARKIRPARKIR adalah dunia kecil dimana buah karya anak manusia dalam bidang olah pikir dan olah ide terwadah di sini...mari warnai dunia dengan kreasi tanpa batas!PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.comBlogger40125tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-39457065525597092592009-03-12T11:54:00.000-07:002009-03-12T11:55:58.342-07:00GEREJA DAN HIV/AIDSHIV/AIDS. Sebuah kata yang terdengar ‘angker’ di telinga. Sebuah penyakit mematikan yang adalah ‘kutukan’. Begitulah definisi HIV/AIDS yang mengendap di otak.<br />Sebuah stigma yang melekat di dalam hampir seluruh sendi-sendi kehidupan sosial bangsa ini. Termasuk juga di dalam kehidupan bergereja. Kehidupan bergereja dalam hal kehidupan berjemaat atau bersekutu. HIV/AIDS cenderung untuk dipinggirkan dalam diskusi, sharing, materi khotbah, dan segala sesuatu yang berbau kegiatan jemaat. Bahkan yang lebih ekstrim lagi HIV/AIDS tidak ada di dalam kamus berjemaat.<br />Mengapa?<br />Karena HIV/AIDS adalah penyakit kotor. Penyakit yang ada karena perbuatan amoral dan penuh dosa. Thus, orang yang mengidap AIDS adalah pendosa. Pendosa yang harus menanggung sendiri akibat dari perbuatannya. HIV/AIDS ada karena murka TUHAN terhadap umatNya yang tidak takut akan laranganNya.<br />Memang gereja tidak pernah menyatakan secara langsung dan tegas bahwa HIV/AIDS adalah sesat. Penderita AIDS adalah orang tidak beriman. Tidak seperti misalnya, Peraturan Daerah mengenai AIDS yang dikeluarkan oleh salah satu propinsi di negara kita tercinta menyatakan bahwa cara mencegah HIV adalah ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’, yang berarti bahwa orang yang tertular HIV atau penderita AIDS adalah orang yang tidak beriman dan bertaqwa. Gereja nampaknya lebih memilih untuk bersikap ‘halus’ untuk memarjinalkan kaum positif AIDS. Gereja tidak memandang HIV/AIDS sebagai salah satu bentuk keprihatinan. Sebagai salah satu pergumulan gereja dalam melaksanakan tugas dan panggilannya. Sehingga porsi prioritasnya setidaknya sama dengan pemiskinan, kehamilan di luar pernikahan, pelestarian alam, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain.<br />Gereja cenderung menghindar untuk bergumul dan bergelut dalam upaya penanggulangan AIDS. Untuk tidak mengatakan bahwa gereja sama sekali tidak peduli dengan HIV/AIDS, memang ada beberapa gereja yang mencoba mempergumulkan HIV/AIDS. Namun, itu hanya sebatas materi-materi diskusi atau seminar tentatif atau temporal. Dan, tanpa mengurangi rasa hormat, memang ada segelintir pendeta yang aktif dalam kepedulian pencegahan HIV/AIDS. Namun, hal tersebut masih bersifat sporadis.<br />Penderita AIDS atau kaum positif AIDS, terlepas dari latar belakang sang penderita terjangkit, adalah juga manusia yang sama posisinya dengan kaum negatif. Sama di sini dalam artian, gereja memiliki tanggung jawab untuk secara sungguh-sungguh melakukan pemeliharaan iman. Tidak menjadikan sang manusia ‘positif’ sekadar sebagai objek yang hanya perlu dikasihani, didoakan, diberikan rasa prihatin. Namun lebih dari itu, sama dengan kaum ‘negatif’ lainnya mendapat porsi sama dan seimbang dalam kehidupan bergereja. Menjadi subjek yang juga diberi kesempatan dalam berpelayanan.<br />Gereja perlu berpikir ulang dalam menjangkau ladang-ladang pendampingannya. Mungkin ada terlintas di kalangan fungsionaris sebuah gereja, “ah...gereja kita ini gereja kecil! Jemaatnya juga tidak pernah melaporkan ada yang menderita AIDS!...Semuanya baik-baik saja!” Namun, dapatkah kita menjamin 100% bahwa jika tidak ada laporan berarti terbebas dari HIV/AIDS. Atau jika, katakanlah, memang terbebas berarti upaya pencegahan HIV/AIDS tidak perlu dilakukan?<br />Di sini, tentu saja bukan berarti gereja menjadi ‘menganakemaskan’ isu HIV/AIDS dan pendampingan bagi penderitanya. SAMA SEKALI TIDAK. Gereja juga harus proporsional dalam memenuhi tugas dan panggilannya. Namun, gereja sudah saatnya memulai sekarang, kalau tidak mau dikatakan terlambat, untuk secara berkesinambungan menempatkan isu HIV/AIDS dan upaya pendampingan serta pencegahannya di dalam sendi-sendi kehidupan bergereja.PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-54080298877230324672009-02-12T21:17:00.000-08:002009-02-12T21:18:14.026-08:00KUMPULAN PUISI JUMAT AGUNG & PASKAHV I A D O L O R O S A<br /><br />Satu : Mengucur darah dan airmata yang adalah kasih<br />Dua : Menguak terurai sebagai luka tubuh demi penyataan Cinta Abadi<br />Tiga : Merasuk kalbu segala cercaan makian namun hati tiada berpaling<br />Empat : Maut menjemput mengajak mengarungi kedalamannya<br />Lima : Sampai akhirnya bangkit sebagai kebenaran hakiki<br />Enam : Sebagai Pawarta Agung<br />Tujuh : Bahwa kematianNya adalah demi penebusan<br />Delapan : Segala cela nista dosa umat manusia<br />Sembilan : Melebur dalam pasarah sumarah sepi ing pamrih<br />Sepuluh : Sebagai media murni kehidupan<br />Sebelas : Untuk Lahir Baru!<br />Dua belas : Menjadikan Sang Putera sebagai Teladan Sejati<br /><br /><br /> 23 Mei ‘03<br /><br />T E L A D A N<br /><br />Lihat kayu itu dipanggul<br />Rasakan Tubuh itu disesah<br />Bayangkan Kepala itu dimahkotai duri<br />… Namun piala tetap diminumNya<br /><br />Lihat Tangan dan Kaki itu direjam<br />Rasakan Tubuh itu terpaku di salib<br />Bayangkan Badan itu dihujam tombak<br />… Namun lakon terus berlanjut<br /><br />Lihat deraan lahir menusuk jiwa<br />Rasakan cercaan menerpa batin<br />Semua begitu memilukan<br />Semua begitu menyayat<br />Semua begitu mengiris<br />Terurai dalam<br />Ketulusan<br />Kepasrahan<br />Kelembutan<br />Ketegaran<br />Melampaui segala bentuk keakuan<br />Citra Teladan menyemat<br />Dalam wujud Junjungan Manusia<br />Gusti Pangeran ingkang Kuasa<br />Yesus Kristus<br /><br /><br /><br /> 4 September 2001<br /><br /><br /><br /><br />LIHAT ITU SALIB<br /><br />Lihat itu Salib<br /> Dipikul<br /> Dipanggul<br /> Dibopong<br />Lihat itu langkah terseret<br /> Dicambuk<br /> Dipecut<br /> Berdarah<br /> Ahhh … !<br />Lihat itu tubuh<br />Dipaku<br /> Direjam<br /> Ditombak<br /> Itu dikenang<br /> Itu diresapi<br /> Itu direnungi<br /> Itu bahan kontemplasi<br /> Itu materi diskusi<br /> Itu dulu … !<br />Sang Anak Manusia Mengejawantah<br />Sekarang<br /> Kini<br /> Hari ini …<br />Lihat itu Salib<br />Kosong<br /> Melompong<br /> Hampa<br />Terpajang indah penuh estetika<br />Terpasang penuh nuansa<br />Terbentang penuh romansa<br /> Tapi …<br /> Adakah dilingkupi makna<br /><br /><br /><br /><br /> Adakah diliputi selaksa doa<br /> Atau …<br /> Hanya simbol<br /> Perlambang<br /> Aksesoris<br /> Hiasan<br /> Benarkah ?<br /><br /><br /><br />Salib itu kehilangan spirit<br />Tertutup kelekatan<br /> Keakuan<br /> Absolutisme semu<br /> Sekat-sekat pranata<br /> Ciptaan ketakutan diri<br /> Benarkah ?<br />Belum<br />Not yet … !<br />Lihat itu Salib<br />Rindu dendam menanti<br />Penuh kepasrahan<br />Ditempatkan pada kesejatian eksistensi<br /><br /> <br /> 16 Januari 2001<br /><br /><br /><br />SEBUAH REFLEKSI<br /><br />Pada sebuah keheningan<br />Aku melihat ...<br />Sorot mata penuh penyerahan diri nan sempurna.<br />Ada juga kulihat sekilas berganti dengan sorot mata ketakutan yang sangat akan siksa yang menjemput di depan. Namun, hanya sekilas sorot ketakutan itu nampak. Selebihnya hanya penyerahan meraja.<br />Kemudian aku saksikan ...<br />Jerit kesakitan yang menyengat ketika cambuk mendarat di kult. Dan kembali jeritan-jeritan yang terlontar mengandung penyerahan yang mendalam.<br />Lantas aku lihat ...<br />Tetes demi tetes darah mulai mengalir. Di satu tempat ... dua tempat ... tiga tempat ... dan akhirnya di sekujur tubuh. Tetesan darah yang yang memilukan. Dan lagi-lagi, penyerahan utuh mewarnai merahnya darah.<br />Berikutnya aku dengar ...<br />Erangan bergema dari atas kayu salib sebagai tanda dari derita tak terkira. Penderitaan yang harus dipikul oleh Tubuh yang terpaku demi menanggung apa yang tidak dilakukanNya. Tapi derita dilalui juga dengan penyerahan sejati.<br />Kembali aku mendengar ...<br />Teriakan akhir, “BapaKu ... BapaKu ... mengapa Engkau meninggalkan Aku?” mengiringi kematianNya. Kematian sebagai karya yang penuh kesakitan tak terhingga. Namun teriakan itu diikuti oleh penyerahan tak tercela.<br />Begitulah ...<br /> PENYERAHAN TOTAL<br /> Sebagai buah kasih sejati<br /> Menjadi landasan<br /> Akan pengorbanan Sang Putera<br /> Demi misi<br /> Karya penyelamatan<br />Lalu ...<br /> Mengapa hati masih mengeras<br /> Kepala menengadah arogan<br /> Jiwa mencari pembenaran<br /> Pikiran memburu pembelaan<br /> Mengapa ...?<br /><br /> 28032007<br /><br /><br /><br />THE BLOODY HEAD<br /><br /><br /><br /><br />Hanyut diri pada suasana alam<br />Sunyi meraja<br />Sepi mencekam<br />Menghantarkan aura kontemplasi<br />Sambil bertelut khusuk<br />Jiwa tertunduk<br />Terampu dalam alunan<br /> “ Kepala yang berdarah<br /> Tertunduk sedih<br /> Penuh dengan sengsara<br /> Dan luka yang pedih “<br />Duh Gusti Kawula !<br />Duh Yesus !<br />Duh Sang Anak Manusia !<br />Tiada henti Dikau menyentuh membelai<br />Meminggirkan pamrih<br />Menepikan balas jasa<br /> “ Meski mahkota duri<br /> Menghina harkatMu<br /> Kau patut kukagumi<br /> Terima hormatku “<br />Terimalah !<br />Karena itu yang hanya diri mampu<br /><br /><br /><br /> Sumber : KJ no. 170<br /> <br /> 22 Maret 2004<br /><br /><br /><br />JALAN SALIB<br /><br /><br /><br /><br />Menjelang tengah malam,<br />Konspirasi tercipta !<br />Sang Anak Manusia ditukar 30 keping logam perak<br />Begitulah .......<br /><br />Dini hari mencekam<br />Menghantarkan kegalauan<br />Bermuara kepasrahan<br />Penuh utuh<br />Bahwa piala tak mungkin lalu kecuali harus diminumNya<br /><br />Waktu terus merambat,<br />Proses rekayasa semakin sempurna<br />Sampai .......<br />Tiba saatNya dicambuk<br />Tiba saatNya didera<br />Tiba saatNya memanggul salib<br />Tiba saatNya dipaku<br />Tiba saatNya disalibkan<br /> Dan ........<br /> Tiba saatNya meregang nyawa<br /><br />Demikianlah<br />Kulminasi kasih setia telah ternyatakan<br />Bagi penebusan dosa<br />Umat manusia<br /><br /><br /><br /> 08 April 2004<br /><br /><br /><br /><br />SYAIR TIGA BABAK<br /><br /><br /><br />PERTAMA : TAMAN GETSEMANI<br />Lalu pergilah Yesus bersama-sama murid-muridNya keluar kota menuju Bukit Zaitun, di mana terdapat Taman Getsemani, tempat yang sering dikunjungi Yesus.<br />Sesampainya di Taman Getsemani, Ia berkata pada murid-muridNYa :“Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa.<br />Suasana sepi mencekam mengiringi kegentaran Sang Anak Manusia. Bulir-bulir keringat menetes layaknya tetesan darah menyertai doaNya,“Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripadaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Tiga kali Ia berdoa yang sama, doa yang menggambarkan ketakutan meraja.<br />KemanusiaanNya semakin nyata, namun dengan kepasrahan mendalam Sang Anak Manusia tetap menghadapi kenyataan yang akan terjadi di depan mata demi karya penyelamatan umat manusia.<br />Tibalah saatNya ...........<br />Babak awal menuju kematian dimulai,<br />Melalui tanda ciuman Yudas Iskariot, sang murid, Yesus<br /> ditangkap<br /> diikat<br /> digiring<br />Demi 30 keping uang perak Yudas menyerahkan Sang Guru untuk dihakimi.<br /><br />KEDUA : PENGADILAN<br />Yesus digelandang dihadapkan pada Mahkamah Agama, proses rekayasa mencapai babak selanjutnya !<br />Sementara ................<br />Murid-muridNya tercerai-berai meninggalkan diriNya sendirian di tengah-tengah kerumunan nafsu melenyapkan diriNya.<br />Sementara ............<br />Petrus hanya berani mengendap-ngendap menyaksikan Sang Guru,<br />Bahkan ..................<br />Petrus sampai 3x menyangkal keberadaan Yesus sebagai Gurunya, seperti telah digariskan melalui perkataanNya,<br />“Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”<br />Pada akhirnya ...........<br />Proses rekayasa terus berlanjut,<br />Saksi-saksi dusta mencuat keluar demi tujuan tunggal<br />KEMATIAN YESUS<br />Sewaktu Yesus digiring menuju Pontius Pilatus, Wali Negeri Romawi,Sang Pengkhianat menyesali perbuatannya. Dilemparnya keping uang alat pertukaran tubuh Sang Anak Manusia tanda penyesalan mendalam,<br />Dan puncaknya ........<br />Nyawa Yudas berakhir di tali gantungan.<br />Begitulah ...............<br /><br />KETIGA : PENGADILAN PILATUS DAN JALAN SALIB<br />Sebenarnya .......<br />Sang wali negeri tidak melihat sesuatu pun kesalahan pada diri Yesus. Namun, pada akhirnya ia lebih memilih untuk mengorbankan nyawa Sang Anak Manusia demi kepentingan orang banyak. Dan pembasuhan tangan di dalam air, menyimbolkan sikap sang waLi negeri untuk lepas tangan dalam proses kematian Yesus<br />Tiba saatNya disiksa<br />Tiba saatNya dipecut<br />Tiba saatNya tetesan darah bercucuran<br />Tiba saatNya mahkota duri disematkan<br />Tiba saatNya dihinakan<br />Tiba saatNya digelandang menuju Bukit Tengkorak<br />Tiba saatNya memanggul salib<br /> Ooooohhhhhhhhhhh ............<br /> TubuhNya roboh tersungkur<br /> terjerembab<br /> Menahan perih dan luka menyayat<br /> Namun lakon terus berlanjut<br /> Untuk Kedua kalinya ..........<br /> Raga itu kembali terjatuh<br /> Limbung .......... ambruk ke tanah<br /> Masih ditambah<br /> Cambuk terus mendera<br /> Ejekan terus terdengar<br /> Namun meski terseok langkah tetap ditapaki<br /> Dan .............<br /> Kembali tubuh penuh kepasrahan itu tersungkur<br /> Menanggung derita tiada tertahan<br /> Menusuk relung kalbu<br />Akhirnya,<br />Langkah tertatih milik Sang Anak Manusia<br />Tiba di puncak bukit<br />Dibantu Simon, seorang hamba setia dari Kirene<br />Lihat ...............<br />Penderitaan belumlah berakhir<br /> Tubuh lunglai itu direbahkan<br /> Aaaaaaahhhhhhhhh ............<br /> Paku-paku direjamkan<br /> Tangan .................<br /> Kaki .................<br /> Merah ......... darah mencuat keluar<br /> Menyesakkan hati<br /> Yesus disalibkan !<br /> Disandingkan dengan dua orang pesakitan<br /> Disematkan Tulisan “Raja Orang Yahudi”<br /> Dijadikan bahan olok-olok<br />Namun, kemurahan hati tetap meliputi hatiNya<br />Demikianlah proses penderaan berlangsung<br />Sampai ........................<br />Tiba saatNya meregang nyawa !!!!<br />Tuntas sudah piala diminumNya<br />I A W A F A T<br /><br /><br /> 30 Maret 2005<br /><br /><br /><br /><br />SALIBKAN DIA ! SALIBKAN DIA !<br />(Sebuah Drama Prosesi Penyaliban Yesus)<br /><br /><br />• Ilustrasi musik pujian “Kepala yang Berdarah” (KJ no. 170)<br />PROLOG<br />Narator : Pengorbanan Yang tulus<br /> Sebagai pencerminan kasih setia<br />Itulah,<br />Keteladanan sejati<br />Yang dinyatakan oleh<br />Yesus Kristus<br />Sang Anak Manusia<br />Junjungan Abadi umat manusia<br />• Ilustrasi musik berhenti<br />BABAK I<br />Setting : Kediaman Kayafas<br />(Imam-imam berembug untuk melakukan tipu muslihat membunuh Yesus)<br />Imam I : Kita harus membunuh orang itu, karena rakyat sudah semakin percaya pada dirinya<br />Imam II : Tapi harus dengan cara yang tepat, kawan ! Tidak dengan sembarangan.<br />Imam III : Kita hasut saja Yudas, supaya ia menyerahkan gurunya.<br />Imam II : Hm ..... boleh juga idenya ! Ayo segera kita laksanakan !<br />Imam I : Tapi ingat ! jangan pada perayaan, supaya jangan timbul keributan di antara rakyat.<br />Semua : Baik !<br />Yudas dan Kayafas naik panggung<br />Kayafas : Hai Yudas saudaraku ! Mari masuk !<br />Yudas : Baik, aku sudah tahu maksud kalian. Tapi tentu saja tidak ada yang gratis.<br />Kayafas : Tentu ... tentu !<br />Yudas : Terus, kalian mau memberi aku apa, kalau aku serahkan Dia pada kalian semua he ?<br />Kayafas : He... he...he...., 30 keping uang perak cukup kan ?<br />Yudas : Baik, aku setuju.<br />Narator : Begitulah,<br /> Sebuah muslihat telah disepakati.<br /> Muslihat yang menghantarkan pada penyaliban Yesus. Seperti yang telah diberitakan sebelumnya,<br /> “Setelah selesai dengan segala pengajaran-Nya itu, berkatalah Ia kepada murid-Nya : “Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan.” (Matius 26 : 1-2)<br /><br />BABAK II<br />Setting : Taman Getsemani dan Mahkamah Agama<br />Yesus : (sedang berdoa, bersimpuh di sebuah batu)<br /> “Ya, Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin biaralah cawan ini alu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26 : 39)<br /> (selesai berdoa, berjalan menghampiri Petrus)<br />Petrus : Baiklah, Guru !<br />Yesus : (kembali bersimpuh memanjatkan doa)<br /> “Ya, Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu !” (Matius 26 : 42b).<br /> (kembali Ia menghampiri murid-muridNya)<br /> Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat.<br />Saat Yesus sedang berbicara, Yudas datang beserta para tukang pukul)<br />Yudas : tunggu tanda dariku! Begitu kalian lihat aku mencium salah seorang dari mereka, tangkaplah orang itu! Kalian paham?<br />Prajurit-2 : Paham!<br />Yudas : Baik, ayo jalan!<br />(Yudas menghampiri Yesus dan murid-muridNya dan memberi salam lalu menciumNya)<br />Imam I : Itu Dia! Ayo tangkap!<br />Imam II : Pukul saja sampai remuk!<br />Imam I : Habisi Dia! Jangan kasih ampun!<br />Prajurit I : Lihat! Lihat! Lari semua anak buah-Nya! Dasar pengecut!<br />Prajurit II : Ayo ikut! Biar disidang di Mahkamah Agama!<br /> (sambil menyeret Yesus yang sudah terikat)<br /><br />(Suasana Sidang Mahkamah Agama)<br />Kayafas : Baik, para hadirin Sidang Mahkamah Agama dimulai! Dengan terdakwa kali ini adalah Yesus dari Nazareth, dengan tuduhan menghujat Allah.<br /> Silakan saksi memberikan penjelasan!<br />Saksi : Ya, orang itu! Ia yang pernah berkata, “Aku dapat merubuhkan Bait Allah dan dapat membangunnya kembali dalam tiga hari”.<br />Kayafas : Hey! Mengapa Kau diam saja! Jawablah! Sangkallah kesaksian tadi.<br /> Hey! Masih juga diam!<br /> Baik, sekarang Kau jawab! Benarkah Kau Mesias, Anak Allah?<br />Yesus : Engkau telah mengatakannya.<br /> Akan tetapi Aku berkata padamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang maha Kuasa dan datang di atas awan-awan di langit. (Matius 26 : 64)<br />Kayafas : Dengar! Ia telah menghujat Allah!<br /> Cukup!<br /> Tidak perlu pakai saksi lagi, semua sudah jelas, Ia bersalah!<br />Orang-2 : Ia harus dihukum mati! Mati! Mati! Mati!<br />(Para prajurit menganiaya Yesus)<br />Orang I : Hey! Bukankah kamu yang juga selalu bersama Orang Galilea itu?<br /> Ayo mengaku!<br />Petrus : Jangan memfitnah! Aku tidak mengerti maksud perkataanmu tadi!<br /> (kemudian beranjak pergi)<br />Orang II : Orang itu! Ia bersama-sama dengan Yesus dari Nazareth! Ya, aku yakin pernah melihatnya!<br />Petrus : Sembarangan! Aku tidak pernah kenal Dia!<br />Orang III : Benar!<br /> Aku juga pernah melihatnya, dan lagi gaya bahasanya sama dengan Yesus itu.<br />Petrus : Sungguh! Aku tidak mengenal Dia!<br /> (lalu pergi menjauh)<br />Narator : Maka teringatlah Petrus akan apa yang dikatakan Yesus kepadanya,<br /> “Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” (Matius 26 : 15)<br /> Lalu ia pergi keluar ruang sidang dan menangis dengan sedihnya.<br />Kayafas : Baik, keputusan telah diambil! Yesus dari Nazareth dinyatakan BERSALAH!<br /> Dan dijatuhi HUKUMAN MATI.<br /> Selanjutnya akan diserahkan pada Tuan Pontius Pilatus.<br /> Sidang ditutup! (Mengetuk palu 3 kali)<br />(panggung sepi, kemudian masuk Yudas)<br />• Iringan musik instrumentalia<br />Yudas : Oh .......! Apa yang telah kulakukan!<br />Narator : Penyesalan selalu datang belakangan<br /> Demikianlah juga yang terjadi pada diri Yudas Iskariot<br /> Yang telah menyerahkan Gurunya, Yesus Kristus<br /> Ke dalam penderaan dan penderitaan<br /> Penyesalan yang berujung pada kematian sang pengkhianat<br /> Di tali gantungan<br /> Demikianlah<br /><br />BABAK III<br />Setting : Kediaman Pontius Pilatus – Bukit Golgota<br />• Iringan musik instrumentalia<br />(Para pemain memasuki panggiung)<br />Pilatus : Jadi, Engkaukah Raja Orang yahudi itu?<br />Yesus : Engkau sendiri mengatakannya!<br />Pilatus : Hmm ......., dengarlah!<br /> Tuduhan menghujat Allah adalah tuduhan berat!<br /> Apa pembelaanMu?<br />(Yesus tidak menjawab pertanyaan Pilatus)<br />Pilatus : Engkau tidak mau menjawabnya? Baiklah, terserah padaMu!<br /> Nah rakyatku, sesuai kebiasaan pada hari raya<br /> Aku akan membebaskan seorang tahanan.<br /> Sekarang pilihlah, Barabas atau Yesus yang disebut Kristus ini?<br />Orang-2 : Bebaskan Barabas 3x!<br />Pilatus : Baik! Barabas akan kubebaskan<br /> Lantas, terhadap Yesus ini, mau diapakan?<br />Orang-2 : Salibkan Dia! Salibkan Dia!<br />Pilatus : Tapi ..........aku tidak melihat satu kesalahan padaNya!<br />Orang-2 : Salibkan Dia! Salibkan Dia!<br />Pilatus : Baik! Baik!<br /> Itu permintaan kalian, aku tidak menanggung akibat dari permintaan kalian ini!<br /> Kalian sendiri yang menaggung akibatnya!<br />(Pilatus membasuh tangannya sebagai tanda ia tidak bertanggung jawab atas penyaliban Yesus)<br />• Iringan musik instrumentalia<br />(Yesus digelandang untuk dicambuk)<br />Narator : Kembali penderaan ditimpakan pada diri Sang Anak Manusia<br /> Deraan fisik yang menyakitkan<br /> Namun, dengan tabah piala tetap diminumNya<br /> Lecutan demi lecutan diterimaNya dengan hanya berserah<br />(Para prajurit mengenakan jubah ungu pada tubuh Yesus, kemudian mereka juga mengenakan mahkota duri di kepala Yesus)<br />Prajurit-2 : Salam, hai Raja Orang Yahudi!<br /> (berlutut sambil tertawa mengolok-ngolok Yesus)<br />(Perjalanan Yesus memanggul salib menuju Bukit Golgota)<br />Narator : Bukan semata deraan fisik,<br /> Namun lebih dari itu deraan batin juga ditimpakan pada PuteraNya Yang Tunggal<br /> Begitu menyayat<br /> Begitu mengiris<br /> Begitu memilukan<br />(Yesus jatuh yang pertama kali dalam Jalan Salib)<br /> Namun lakon terus berlanjut<br /> Langkah demi langkah dilalui dengan tabah<br /> Beban berat dipikul dengan pasrah<br /> Cercaan dan makian diterima dengan sabar<br />(Yesus jatuh yang kedua kalinya)<br /> Semua memang harus berlaku<br /> Seperti yang telah digariskan,<br /> "Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan.” (Matius 26 : 2)<br />(Yesus jatuh untuk ketiga kalinya)<br />Prajurit I : Hey, kau kemari!<br /> Ayo pikul salibNya! Ia sudah tidak berdaya<br />Simon : Baik, Tuan!<br />(Yesus dengan dibantu Simon dari Kirene tiba di Bukit Golgota<br /> Lalu jubah dan pakaianNya ditanggalkan<br /> Kemudian tubuhNya dipakukan di kayu salib)<br />Prajurit I : Ayo kita undi, siapa yang berhak mendapatkan pakaian Raja Orang yahudi itu (tertawa mengejek)<br />Prajurit II : Baik, siapa takut!<br /> (mengeluarkan kepingan uang logam)<br /> Kau pilih mana, sisi ini atau yang sebelahnya?<br />Prajurit I : Aku pilih ini!<br />Prajurit II : Baik! Hup! (melempar kepingan uang)<br /> Hahaha .....! Aku menang! Aku menang!<br /> Kemarikan pakaianNya itu biar aku buat alas duduk!<br />(Sementara itu, ada serombongan orang menghampiri Yesus di kayu salib)<br />Orang I : Hai, Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci!<br />Orang II : Selamatkanlah diriMu, jikalau Engkau memang anak Allah<br /> Ayo turun dari salib itu! Ayo cepat lakukan!<br />Orang III : Dasar penipu! Pembohong!<br />Orang I : Orang lain Ia selamatkan, tetapi diriNya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!<br />Orang II : Inikah raja Orang Israel? Ayo turun dari salib itu!<br /> Jika benar Engkau bisa turun, maka kami akan percaya<br />Orang III : Ah ....... mana buktinya?<br /> Dasar Pembohong ......... cuiiiihhhh!<br />• Musik instrumentalia mengalun<br />Narator : Sore menjelang, matahari mulai condong ke barat<br /> Saatnya maut menjemput<br /> Sang Putera<br /> Demi karya agung<br /> Penebusan dosa umat manusia<br />Yesus : Eloi! Eloi! Lama Sabakhtani!<br />Narator : Sang Anak manusia Wafat!<br /> Menghembuskan nafasNya penghabisan<br /> Disertai seruan,<br /> “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?<br /> Seruan terakhir<br /> Sebagai puncak kepasrahan menghadapi hinaan dan deraan<br /> Demi karya penyelamatan umat manusiaPARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com12tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-89315489602152515712009-02-09T08:52:00.000-08:002009-02-09T08:53:20.928-08:00KEMANAKAH, WAHAI KAUM LAKI-LAKI?Dunia Pendidikan Sekolah Minggu :<br />KEMANAKAH, WAHAI KAUM LAKI-LAKI?<br />Oleh : age<br /><br />“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya,<br />maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada<br />jalan itu.”<br /> Amsal 22 : 6 <br /><br />SEKOLAH MINGGU. Di dalam kehidupan bergereja tentunya bukanlah nama atau istilah yang asing terdengar di telinga. Secara umum, Sekolah Minggu adalah wadah bagi anak balita sampai masa usia pra-remaja untuk dididik dan diajar oleh para pengasuh atau guru Sekolah Minggu mengenai Firman Allah. Melalui Sekolah Minggu anak-anak dididik dan diajar untuk sedini mungkin mengenal Firman Allah. Dengan kata lain, Sekolah Minggu merupakan wadah pendidikan dan pengajaran iman Kristiani bagi anak-anak.<br />Dalam organisasi gereja, kehadiran Sekolah Minggu tentu saja bukan hanya sekadar pelengkap yang memang harus ada namun ya hanya sebatas ada. Sekolah Minggu merupakan bagian penting dalam gereja yang memiliki potensi dalam proses pembentukan anak untuk dapat tumbuh dan berkembang tidak hanya secara fisik dan intelektual semata, tetapi juga secara emosi, moral, dan spiritual.<br />Berkaitan dengan betapa pentingnya bidang pelayanan anak di gereja, sama pentingnya dengan bidang-bidang pelayanan yang lain baik kategorial maupun fungsional. Ada hal yang sedikit menggelitik penulis mengenai dunia pelayanan anak, dalam hal ini implementasinya di dunia pendidikan dan pengajaran Sekolah Minggu, khususnya dengan realita yang ada di dalam orang-orang yang terpanggil untuk menjadi pelayan anak. Hal yang menggelitik tersebut adalah pertanyaan, “Mengapa sedikit sekali kaum laki-laki yang terpanggil untuk menjadi pelayan anak?” Pertanyaan yang seolah diperkuat ketika belum lama ini penulis mengikuti Temu Nasional dan Workshop pelayan anak di Istora Senayan, Jakarta. Dari ribuan peserta yang hadir di acara tersebut, menurut pengamatan penulis persentase kaum laki-laki yang menjadi peserta sangatlah sedikit.<br />Mungkin pertanyaan di atas adalah sebuah pertanyaan yang biasa-biasa saja, atau bahkan terlalu mengada-ada! Namun, walaupun mungkin baru dapat dikatakan asumsi karena tidak ditopang oleh riset atau penelitian ilmiah, minimnya jumlah pelayan anak dari kaum laki-laki menyiratkan bahwa budaya patriarkal masih sangat kental dalam kehidupan bergereja!<br />Benarkah pendidikan dan pengajaran anak, dalam hal ini pendidikan dan pengajaran moral dan spiritual di Sekolah Minggu, terutama adalah porsi bagi kaum perempuan? Benarkah bahwa kodrat kaum laki-laki adalah bekerja keras untuk mencari nafkah bagi penghidupan keluarga, sehingga porsi untuk mendidik anak menjadi boleh lebih sedikit dibandingkan kaum perempuan? Dan benarkah bahwa di gereja, kaum laki-laki telah sedemikian sibuk mengurusi hal-hal yang sangat penting dan vital bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja, sehingga bidang pelayanan anak sudah selayaknya diserahkan pada kaum perempuan? Sungguh alangkah perlakuan yang diskriminatif jika pertanyaan-pertanyaan di atas adalah benar adanya!<br />Jika kita mau bercermin pada apa yang dikatakan Salomo di AMSAL 22 ayat 6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu.” Salomo tidak memberikan spesifikasi berdasarkan jenis kelamin kepada siapa perintah ini ditujukan, misalnya perintah ini khusus bagi kaum ibu atau kaum perempuan. Tidak, sama sekali tidak! Salomo mengarahkan perintah untuk mendidik orang muda atau anak-anak bagi semua orang baik kaum perempuan maupun kaum laki-laki tanpa terkecuali.<br />Memang jika berbicara secara kodrati, kaum perempuan adalah ibu atau calon ibu yang melahirkan anak-anak. Sudah sewajarnyalah bagi kaum perempuan untuk mencurahkan kasih sayang dan perhatian mereka demi memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak, sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan ini. Namun apakah tugas untuk memberikan pendidikan dan pengajaran anak hanyalah tugas kaum perempuan semata? Tidak, bukan! Salomo pun sebagai seorang laki-laki tidak menyatakan demikian.<br />Bahkan ketika Allah memerintahkan kepada anak-anak untuk menghormati ayah dan ibu mereka, sekali lagi ayah dan ibu! Bukan hanya menghormati ibu. Perintah yang tentu saja mengandung konsekwensi bahwa jika anak-anak mempunyai tugas untuk menghormati ayah dan ibu mereka, maka ayah dan ibu mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak mereka. Sebuah kemestian bahwa tugas memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak bukanlah hanya tugas ibu atau kaum perempuan semata, tetapi adalah juga tugas ayah atau kaum laki-laki.<br />Ada kesan kuat yang dirasakan penulis bahwa di dalam kehidupan bergereja terdapat paradigma, mudah-mudahan hanya sekadar asumsi, yang menyatakan Sekolah Minggu adalah dunia yang penuh dengan permainan dan hal-hal yang serba sukacita. Dunia yang melulu tanpa beban, tanpa perlu pemikiran-pemikiran yang berat. Dunia yang ringan-ringan saja. Sehingga urusan Sekolah Minggu hanyalah urusan wajib bagi kaum perempuan, sementara bagi kaum laki-laki boleh saja ikut ambil bagian kalau ada waktu. Bagi kaum laki-laki berkiprah atau berpelayanan di Sekolah Minggu bukanlah suatu kemestian. Mau ikut berperan boleh! Tidak mau ambil pusing ya silakan!<br />Sungguh suatu paradigma yang sangat memprihatinkan, dan tentu saja harus ditiadakan dalam kehidupan bergereja! Sekolah Minggu memang dunia penuh sukacita dan penuh permainan. Namun, berkiprah di dalam pelayanan Sekolah Minggu bukanlah untuk main-main! Sekolah Minggu adalah wadah bagi tumbuh dan berkembangnya moral dan spiritual tunas-tunas muda Kristiani yang perlu dipikirkan dan digeluti secara serius. Dan menjadi tanggung jawab bersama baik bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki untuk senantiasa bergelut dan bergumul mencari format dan metode pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak melalui Sekolah Minggu.<br />Sudah saatnyalah sekarang, kalau tidak mau dikatakan terlambat, gereja membuang habis akar-akar warisan budaya patriarkal di dalam seluruh sendi kehidupannya. Warisan budaya yang hanya akan melahirkan kesenjangan dan diskriminasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Warisan budaya yang hanya akan menghambat pertumbuhan gereja Tuhan di dunia ini. Warisan budaya yang sama sekali tidak adil! Karena manusia adalah kaum laki-laki dan kaum perempuan, bukan hanya kaum laki-laki atau kaum perempuan saja. Karena dalam banyak sisi tidak mungkin laki-laki hidup tanpa perempuan, begitu pun sebaliknya.<br />Akan lebih indah jika laki-laki dan perempuan dapat bekerja bersama-sama bahu-membahu dalam bergelut dan bergumul di dunia pelayanan anak. Maka tidak akan timbul lagi pertanyaan, “Kemanakah, wahai kaum laki-laki?” Yang ada hanyalah satu tekad, “Inilah kami, laki-laki dan perempuan, yang saling bergandengan tangan berdaya upaya agar anak-anak dapat mewujudkan masa depan mereka yang penuh harapan di dalam KRISTUS! Dan segala kemuliaan hanyalah bagi TUHAN!”<br />Ladang pelayanan anak masihlah sangat luas untuk bersama-sama kita garap! Tuhan memberkati.<br /><br /><br />Depok, 15 September 2006PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-57497879159436693802009-02-09T08:50:00.000-08:002009-02-09T08:52:19.519-08:00TUHAN BARU ITU BERNAMA : UANG!TUHAN BARU ITU BERNAMA : UANG!<br />Sebuah Tinjauan Kritis bagi Agama Berdasarkan Pemikiran Karl Marx<br /><br />Karl Marx. Sebuah nama dari seorang pemikir –dan ateis! Berkebangsaan Jerman, yang dapat dipastikan bukanlah nama yang asing di dalam dunia universitas atau dunia akademis. Khusus di Indonesia, Karl Marx telah terlanjur lekat dengan stigma ‘orang kiri’, ateis, komunis, dan sosialis-revolusioner yang notabene merupakan hal-hal tabu di masa Orde Baru. Sesuatu yang jangankan untuk dianut, diwacanakan saja dapat dianggap subversif, bahkan dapat dijebloskan ke dalam penjara.<br />Kisah Hidup Singkat Seorang Karl Marx<br />Karl Marx lahir di Tier, Jerman pada tahun 1818 dari keturunan rabi Yahudi. Ayahnya adalah seorang pengacara yang dipaksa untuk berpindah agama menjadi Protestan demi karier dan agar tidak diusir dari tempat tinggalnya. Demikian juga dengan Marx kecil yang bersama dengan ke tujuh orang saudaranya dibaptis dan menjadi penganut agama Protestan. <br />Teologi Evangelis merupakan pemahaman keagamaan pertama yang digeluti oleh Marx, yang didapat semenjak dirinya bersekolah di Sekolah Rakyat (Voklsschule) Protestan. Setelah itu, Marx melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk kemudian pindah ke Universitas Berlin. Di Universitas Berlin inilah perhatian Marx terhadap filsafat mulai menemukan bentuknya, di mana Hegel merupakan inspirator utama dari pemikiran-pemikiran Marx.<br />Seiring perjalanan waktu, Marx semakin lekat dengan pemikiran Hegel yang mengantarkannya pada sebutan ‘Sayap Kiri Hegel’. Setelah meninggalkan bangku kuliah, Marx bekerja sebagai wartawan dan kemudian pindah ke Paris, Perancis tempat ia bertemu dengan Friedrikht Engels (1820–1895). Karena pertolongan Engelslah Marx dapat meneruskan menciptakan karya-karya ilmiahnya. Ketika Marx diusir dari Perancis, ia pindah ke Brussell, Belgia. Dan pada waktu meletus revolusi yang gagal di Jerman pada tahun 1848, Marx pindah ke Koln, Jerman namun kemudian diusir dari sana. Ia pindah lagi ke Perancis dan akhirnya berdiam di London, Inggris, di mana ia melakukan penelitian dan menulis sebagai koresponden di New York Tribunes. Marx meninggal di London pada tahun 1883.<br />Awal tulisan-tulisannya, Marx kerap melakukan kritik implikasi terhadap religiositas dan politik konservatif berdasarkan pada Filsafat Hegel, yang menyatakan bahwa penerimaan terhadap hubungan kepemilikan pribadi dan alienasi yang dilakukan oleh mereka. Karya pokok Marx adalah ‘Das Kapital’ atau “Kapital”, yang bagian pertamanya ditulis pada tahun 1867. Kedua bagian lain dari ‘Das Kapital’ tidak dapat diselesaikan, karena kesibukan-kesibukan organisasi dan kondisi kesehatannya. Kedua bagian ini kemudian diterbitkan oleh Engels pada tahun 1885 dan tahun 1894. <br />Uang : Sang Penguasa Baru<br />Dalam dunia Kapitalisme, uang hadir sebagai sesuatu yang sangat penting. Menurut Marx, kapitalisme telah menampilkan uang (kapital) sebagai alat penukar yang menentukan nilai bagi suatu materi dan juga sebagai mediasi bagi hubungan antar manusia dan juga manusia dengan alam. Uang mengemuka sedemikian rupa sebagai tolok ukur bagi semua sendi kehidupan manusia yang berkaitan dengan proses produksi dan sistem ekonomi. <br />Manusia menjadi tereksternalisasikan dari uang, manusia menjadi berada di luar uang. Lalu pertanyaan yang muncul adalah mengapa uang dapat menjadi kuasa di atas manusia? Karena manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berusaha untuk melakukan pertukaran materi demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Proses pertukaran di atas, pada akhirnya berujung pada nilai yang mau tidak mau ditentukan oleh uang.<br />Berdasarkan fakta di atas, Marx mengemukakan pemikiran bahwa uang tidaklah berbeda dengan tuhan. Dengan kata lain uang adalah tuhan bagi manusia. Karena uang merupakan penentu bagi kehidupan manusia, atau menurut istilah Marx uang sebagai Sang Sutradara Umum yang mengatur kehidupan manusia. Uang telah muncul sebagi fetis (sesembahan) bagi umat manusia, sebagai kekuatan yang menentukan arah perjalanan hidup manusia. <br />Uang dalam kaitannya dengan dunia perbankan pada akhirnya melahirkan suatu sistem ekonomi yang disebut dengan sistem kredit. Di sini, Marx melontarkan kritiknya terhadap sistem kredit yang dianggapnya telah menyebabkan dehumanisasi dan alienasi eksistensi manusia. Manusia menjadi kehilangan eksistensi ketika diperhadapkan dengan kredit, karena dengan sistem kredit nilai sebagai manusia telah dipertukarkan dengan uang sebagai materi.<br />Kredit telah menjadikan manusia sebagai komoditas yang dipertukarkan dengan, lagi-lagi, uang. Nilai manusia dalam sistem kredit ini otomatis menjadi lebih rendah dari uang, karena manusia sebagai individu yang pada hakekatnya independen dari materi apapun telah telah berubah. Dalam hal ini, manusia telah menjadi media pertukaran. Eksistensi manusia telah terpinggirkan demi sebuah nilai yang ditentukan oleh uang.<br />Peran Agama dalam Dunia Materialisme<br />Relevansinya dengan hal-hal di atas, peran agama sebagai sebuah ajaran yang dapat memberikan pemahaman etika dan moral menjadi sangat penting. Agama di sini dapat berperan dalam mengembalikan eksistensi manusia yang terpinggirkan dan menjadikan uang hanya sebagai salah satu media penunjang bagi keberlangsungan hidup manusia. Agama dapat berperan mengembalikan uang sebagai alat bagi manusia dalam bersosialisasi, dan bukan justru manusia diperalat oleh uang. Dengan kata lain, dalam kehidupan manusia uang penting bagi penentuan akan nilai yang berwujud materi, tetapi uang bukanlah yang terpenting atau bahkan terutama.<br />Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah, benarkah agama telah melakukan perannya bagi pengembalian eksistensi manusia yang terpinggirkan oleh uang? Dan sejauh mana peran agama bagi hal di atas dalam kehidupan serba materi sekarang ini?<br />Di sinilah oto-kritik dan sikap terbuka yang secara berkesinambungan terhadap agama perlu terus dilakukan. Tidak jarang kita temui bahwa agama justru ikut terseret arus materialisme. Begitu juga hal ini terjadi pada agama Kristen. Khotbah-khotbah yang disampaikan bukan tidak ada terlalu asyik dan gencar mengulas mengenai persembahan materi. Bahwa persembahan materi seakan telah menjelma menjadi kemestian dominan dalam kehidupan beragama. Bahwa gereja akan merasa khawatir jika isi kantong persembahan semakin lama semakin berkurang. <br />Bahkan muncul pemahaman teologis, yang biasa disebut dengan Teologi Kemakmuran, yang memandang bahwa kemiskinan itu adalah akibat dosa yang dibuat manusia. Menjadi miskin itu adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri, sehingga akhirnya stereotipe yang berkembang adalah bahwa menjadi kaya adalah karena beriman. Kemiskinan yang terjadi karena orang miskin memiliki iman rendah. Di sini kemiskinan karena pemiskinan atau faktor eksternal yang membuat manusia menjadi miskin menjadi dikesampingkan.<br />Sebuah realita yang sangat ironis memang. Agama yang semestinya dapat menjadi media bagi perjuangan menempatkan manusia pada eksistensinya. Perjuangan bagi pengentasan kondisi peminggiran dan dehumanisasi manusia. Perjuangan bagi menempatkan manusia setara dan sederajat satu sama lain.<br />Berkaca dari pandangan Marx di atas mengenai uang yang hadir sebagai tuhan, dalam kacamata penulis dapat menjadi bahan perenungan untuk tidak membuat agama tidak terjebak menjadi materialisme gaya baru. Bahwa agama dapat menjadi media perjuangan untuk menempatkan uang sebagai ciptaan manusia yang tidak lebih hanya merupakan alat pertukaran dan penentuan nilai materi atau barang. Bahwa uang hadir hanya sebagai alat penunjang yang dikuasai oleh manusia, bukan sebaliknya manusia dikuasai oleh uang.<br />Agama semestinya mampu, dan memang sangat mampu, untuk melibas alat yang bernama uang menjadi tuhan baru bagi manusia. Karena memang uang bukan Tuhan! <br /><br />Daftar Pustaka<br />Audi, Robert (General Ed.). 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.<br />Raines, John (Ed.). 2003. Marx tentang Agama. Jakarta: TERAJU.PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-49997785740191624412009-02-08T10:41:00.000-08:002009-02-08T10:42:32.025-08:00AKU MEMILIH MAKA AKU ADALEMBARAN XI<br /><br />TITIK TERANG BENTENG PORTUGIS<br /><br /><br />“Mas BimBim! Mas BimBim! Sini ..... Mas! Ke sini!”<br />“Cah Ayu .....! Eh .....!”<br />“Astaga .....! Mimpi itu datang lagi menghampiri ....!” BimBim terjaga dari tidur yang belum lengkap, tubuhnya segera bangkit sambil mengusap wajah dengan kedua tangan yang terikat oleh gelang-gelang logam berwarna hitam pekat.<br />“Cah Ayu ..... bagaimana keadaan Cah Ayu sekarang? Apa yang terjadi di Ambarawa sana setelah pastinya Cah Ayu menunggu berjam-jam dan pada akhirnya tidak mendapatkan diriku? Oh ..... Tuhan! Tolong kuatkan Cah Ayu dan ‘si kecil’nya? Beri ketegaran dan kesabaran Cah Ayu dalam badai antara ini, Ya Yesus! Juga kepada hambaMu ini, beri kekuatan dan keselamatan! Amin.”<br />“Braaak! ..... Braaaak!”<br />“Bangun! Bangun! .... Ini sarapanmu!” Permenungan BimBim dikejutkan oleh teriakan nyaring disertai gedoran pintu dari luar ruangan tempatnya hari-hari belakangan ini mendekam.<br />“Sarapan! Berarti hari ini, adalah hari ke-18 sejak aku ‘diangkut’ dari Kopeng tempo hari! Aku tidak habis pikir apa mau mereka ,embawa, diriku. Apakah ini bagian dari akibat yang timbul soal demo Binsar dan kawan-kawan tempo hari?” BimBim beranjak dari tempatnya tidur lipatnya, yang berangka besi dan beralas terpal berwarna cokelat, untuk mengambil jatah sarapan paginya. Ya ..... karena ruangan sempit sekitar 3x3 meterini tidak terdapat jendela sama sekali, penerangan yang ada hanyalah bola lampu 10 watt di tengah ruangan. Bola lampu yang terus-menerus menyala sehingga tidak dapat diketahui waktu siang dan malam. BimBim dapat menghitung perjalanan hari hanya berdasarkan datangnya sarapan pagi sebagai tanda telah terjadinya pergantian hari.<br />“dan apa tujuan mereka sebenarnya melakukan hal ini? Sampai saat ini, mereka sama sekali tidak mengorek keterangan apa pun dariku! Lagi pula hanya sesekali merka masuk ke dalam sini, itu pun sama sekali tidak berbicara padaku!” BimBim terus berpikir mencari titik temu sambil menikmati hidangan.<br />“Aneh ....! Secara teratur mereka memberikan jatah makanan, bahkan ketika hari pertama tidak aku sentuh sama sekali. Mereka malah menghajarku untuk memaksa supaya aku makan! Jelas sekali mereka menginginkan aku untuk tetap hidup!”<br />“Tanpa paksaan itu pun, aku pasti aku pasti bertahan untuk hidup! Untuk dapat bertemu Cah Ayu lagi! Hehehe .... justru aku tidak mau makan karena takut makanan itu diberi yang ‘macam-macam’!”<br />“Apa aku diculik untuk diminta tebusan? Hehehe .... memangnya siapa aku ini! Anak pejabat! ..... Anak konglomerat! ....Wah SALAH ALAMAT dan SALAH BESAR itu namanya ..... hahaha! Dan memang sepertinya bukan untuk alasan itulah mereka menculikku ..... mereka adalah orang-orang profesional! Cara kerja dan koordinasi mereka begitu rapi. Aparatkah ....? Alat kekuasaankah ....?”<br />“Terus, kalau memang ini adalah rentetan dari peristiwa demo Binsar dan FATS-nya, kenapa Binsar dan yang lain-lainnya tidak ada? Atau mereka ditempatkan di ruangan yang terpisah?”<br />“Ugghhh ..... misteri yang rumit! Dan yang jelas hari ini ‘akting’ apalagi yang mesti aku peragakan agar pimpinan mereka mau bertemu denganku? Dari mulai teriak-teriak histeris, berlagak gila, berpura-pura sakit, sampai semaput alias pingsan segala, juga merayu-rayu serta menyembah-nyembah! Hehehe .... pokoknya segala jurus teater yang diajarkan Djuniarto dulu itu, aku praktekkan .... memang orang kalau terdesak bisa menjadi sangat kreatif sekali ya! Cuma .... hasilnya NOL BESAR!”<br />“Terus ..... ada di mana aku ini sekarang? Masih di Pulau Jawakah? Yang aku yakin ..... sepertinya aku ada di tepi pantai! Dan bukan pantai selatan Jawa! Ya, gemuruh ombak yang tidak sebesar ombak pantai selatan dan lalu lalang suara burung camar meyakinkan aku bahwa tempat ini ada di tepi pantai! Oh .... Tuhan ! Beri petunjukMu dan jalanMu! Agar aku segera keluar dari tempat jahanam ini dan bertemu kembali dengan Cah Ayuku seorang ...! Tolong .... kabulkanlah doaku ya Yesus!”<br />“Brak ....!”<br />“Heh .... ada apa ini?” BimBim menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar. Dilihatnya 3 orang berbadan besar masuk .... dan yang seorang paling besar badannya langsung mencengkeram dirinya.<br />“Mau apa kalian ....? Kalian sudah bosan bermain petak umpet rupanya!” BimBim mencoba memancing mereka agar menjadi lengah.<br />“Diam ....!” Salah seorang yang lain kemudian mengenakan tutup kepala hitam, dan menyeret BimBim keluar ruangan.<br />“Bapa .....! Inikah akhirnya? Tolong selamatkan diri ini, Ya Yesus! Cah Ayu ....!”<br /><br /># # #<br /><br />BimBim didudukkan di sebuah bangku berkaki 4 terbuat dari besi, seperti model kursi lipat sewaan bagi orang-orang yang punya gawe, namun bangku ini terbuat dari besi yang lebih berat lagi dan bukan kursi lipat. Kedua tangan BimBim terikat ke belakang dengan gelang-gelang besi hitam seperti biasanya, ditambah sekarang kedua kakinya juga terikat gelang-gelang besi hitam yang sama. Tutup kepala yang tadi menutupi wajahnya sudah dilepas, mata BimBim berkedip-kedip kesilauan karena tubuhnya dihadapkan pada sinar matahari yang masuk dari jendela kaca milik ruangan berukuran lebih besar dari tempatnya disekap selama beberapa hari ini.<br />“Hmmmm .... terasa hangat dan nikmat sekali sinar matahari kali ini! Ternyata beginilah rasanya terkurung dan terisolasi! Pantas saja seorang Kusni Kasdut atau Johny Indo nekat melarikan diri dari Nusa Kambangan, hanya demi mendapatkan kembali KEBEBASAN ... yang direnggut!”<br />“Tapi justru aku jadi khawatir sekarang! Dengan kondisi tang dan kaki terikat! Duduk dibangku seperti ini! Di sampingku ada meja! Pokoknya posisiku semakin tidak berdaya saja! Apakah ini sesi interograsiku? Apakah ini sesi proses ¬verbal-ku? Dan, ah ....! Apakah ini sesi penyiksaan buatku? Entahlah! Bapa .... lindungi aku!”<br />“Ganda .... hadapkan BimBim ke meja!”<br />“Siap .... Pak! Ayo .... Leman! Hardi!”<br />“Siap ...!” Dan orang-orang yang dipanggil Leman serta Hardi segera mengangkat bagku tempat BimBim duduk, untuk dihadapkan ke arah meja membelakangi jendela kaca.<br />“Bagaimana BimBim ..... segar bukan sinar mataharinya! Kau mau menikmatinya lagi, bukan?” Salah seorang yang lain lagi dan merupakan pimpinan mereka berkata. Orang yang masih samar-samar dilihat oleh BimBim karena terkena sinar matahari. Namun dari suaranya, sepertinya BimBim pernah mendengarnya .... dan ya, ternyatalah dialah orang yang mengancamnya dengan pistol saat hari penculikan itu! Ya ... BimBim masih ingat suara itu! Hmmm .... aku sudah berhadapan dengan pimpinan mereka rupanya, batin BimBim dalam hati.<br />“Sudahlah! Jangan basa-basi Apa mau kalian?” BimBim menatap tajam pada wajah dihadapannya yang lambat laun mulai terlihat jelas, karena retina matanya sudah mulai terbiasa menerima cahaya matahari yang jauh lebh terang daripada lampu 10 watt. Cahaya konstan yang selalu diterimanya sepanjang hari selama 18 hari disekap!<br />“Hahaha ....! Sabar BimBim! Baik .... baik! Kamu sudah bebas sekarang! Kamu dengar itu! Kamu sudah BEBAS!”<br />“Heh .....! jangan coba main-main ya! Aku sudah muak dengan permainan ini, tahu!” BimBim heran juga mendengar kata BEBAS! Apa benar aku akan dibebaskan? Begitu saja ....?<br />“Baik .... aku juga sudah muak! Muak dengan tugas ini! Muak dengan semua ini! Sekarang .... dengarkan baik-baik!” Laki-laki di hadapan BimBim itu tiba-tiba berubah menjadi garang dan kaku, sorot matanya menjadi setajam pisau yang siap menikam siapa saja. Agak terperangah juga BimBim melihat perubahan itu! ‘Bim jangan kalah ....! Kamu harus terus berani untuk tetap kelihatan memberikan perlawanan, tidak takluk tunduk begitu saja! Bisa ditelannya kau nanti ... kalau kalah!<br />“BimBim! Namaku LUKAS! Aku Kepala Tim di sini! Misis kami adalah ‘mengangkut’ kamu, BimBim, Binsar, Prihandoko, Djuniarto, Yosef Ginting, Supardan, Achmadi, dan James ke tempat ini!”<br />Benar sekali! Batin BimBim, ternyata ini adalah rentetan dari demo Binsar dan FATS-nya tempo hari! Hei .... tapi kenapa ada nama Achmadi juga? Kenapa si Buya Sufis itu ‘diangkut’ juga? Dia kan bukan Anak Wisma seperti yang lain! Dia hanya simpatisan dari kalangan yang disebutnya religius-liberal yang memang senang bergandengan tangan dengan kami, golongan sosialis-humanis! Hehehe .... ada-ada saja istilah yang mereka buat itu!<br />“Aktivitas kalian .... terutama demonstrasi terakhir yang mengatasnamakan FATS alias Forum Anak Terang Semarang sangat berbahaya untuk didiamkan!”<br />“Tapi .... ada 2 orang dari yang kalian ‘angkut’ justru tidak ikut demo hari itu! Kalian salah ambil rupanya!” BimBim tersenyum mengejek, mencoba memancing sejauh mana penguasaan mereka terhadap aktivitas pergerakan dirinya dan Binsar serta yang lainnya.<br />“Tiga .... tepatnya! Pintar sekali pancinganmu itu! Tiga orang yang memang tidak ada dalam demonstrasi saat itu! Tapi mereka juga punya andil yang besar dalam pergerakan! Pertama Yohanes Haryo Bimo Wicaksono alias BimBim, karena dia pulang ke Kopeng untuk berkasih-kasihan dengan Sekar Ayu Paramitha di Ambarawa namun ‘dijemput’ pagi harinya. Kedua, Prihandoko alias Pri yang memang tidak sepakat dengan membentuk wadah baru FATS, dan ‘dijemput’ saat makan nasi kucing di dekat BPLP. Dan terakhir, Achmadi atau Buya Sufis, yang memang bukan dari golongan kalian tapi sekali tiga uang dalam pemikiran! Dia ‘dijemput’ ketika akan bersembahyang di dekat tempat kosnya.<br />“Terus .... apa motif kalian?” BimBim berusaha memberi kesan biasa saja. Padahal dalam hatinya kaget bukan kepalang! Ternyata mereka benar-benar tidak bisa dianggap remeh.<br />“Begini ... sebaiknya jangan kau potong sampai aku selesai, menegrti!” Lukas mulai melunak nada bicaranya.<br />“Baik ...”<br />“Begini .... kami adalah kelompok rahasia yang didirikan oleh para pemegang dana! Kau tidak perlu tahu dari kalangan mana mereka! Para penggagas itu hanya berfungsi sebagai penyandang dan saja, tidak lebih! Sedangkan pelaksana di lapangan adalah orang-orang seperti kami yang terbagi-bagi dalam banyak Tim!”<br />“Misi kami .... adalah meneyelamatkan para aktivis seperti kalian! Aktivis yang telah disusupi oleh pihak-pihak luar demi apa yang dinamakan metode Politik Divide et Impera modern, mengerti!”<br />“Kau tahu BimBim! Demo atas nama FATS itu telah disusupi orang-orang yang memang ingin menghancurkan kalian! Kau pasti bisa menangkap isi selebaran yang sama sekali bukan gaya Binsar. Selebaran yang serampangan memancing emosi golongan lain, iya bukan?”<br />Memang .... selebaran itu ngawur sekali! Tapi aku masih belum jelas dengan misi penyelamatan Tim-mu itu Lukas! Penyelamatan dari siapa dan bagaimana?”<br />“Hehehe ....! Kau masih ingin mengorek lebih jauh rupanya, kawan! Baik .... berkaca dari keprihatinan akan seringnya potensi-potensi anak-anak bangsa yang kritis dan selalu mencoba melandaskan diri pada kebenaran justru paling sering dihancurkan dari dalam, maka oleh para pemegang dana dibentuklah Tim seperti kami, orang-orang terlatih dalam segala hal! Pola kerja kami adalah mendampingi aktivitas kelompok-kelompok seperti Anak-Anak Wisma-mu itu dan mengambil tindakan yang dianggap perlu bagai keselamatan kalian, apa pun itu!”<br />“Nah .... dalam kasusu demo FATS! Kami terpaksa membuat kesan bahwa kalian telah diculik oleh sekelompok orang tidak dikenal .... ya, kami mendahului aksi sekelompok fundamental-radikal yang terpancing dengan provokasi selebaran itu dan tengah bersiap membabat habis kalian! Penyusup dari luar .... berhasil melakukan misinya untuk membenturkan kalian dengan kelompok lain!<br />“Maaf .... menyela boleh?”<br />Lukas menganggukkan kepala, sorot mata dan sikap tubuhnya sudah tidak lagi garang seperti tadi.<br />“Kamu katakan ‘mendampingi’ kami! Berarti kamu juga punya ‘orang dalam’ di sekitar kami Lukas?”<br />“Tepat sekali! Sebentar ...! Ganda! Panggil si dobel kemari dan yang lainnya!”<br />“Siap ... Pak!”<br />Tidak lama kemudian muncullah kembali Ganda bersama orang yang membuat BimBim terheran-heran!<br />“Djuniarto ....?”<br />“Hai .... BimBim! Maafkan aku! Selama ini aku dalam penyamaran!”<br />“Sebenarnya lebih tepat bereperan ganda, Djuniarto itu, Bim! Dia memang anggota kami, tapi dia juga total dalam pergerakan kalian! Dan informasi mengenai aktivitas kalian baru akan kami minta dari Djuniarto jika kami membaca gelagat pergerakan kalian telah disusupi! Jika tidak, Djuniarto akan tetap mendukung kalian sampai ada misi lain. Begitu pola kerja kami! Dan ada banyak Djuniarto-Djuniarto yang tersebar di masing-masing kelompok pergerakan yang lain.”<br />“Kamu masih ingat Komunitas Palawija-nya Benjamin dan kawan-kawan di Purwokerto, yang terpaksa kami obrak-abrik markasnya setelah kami selamatkan berkas-berkas milik mereka. Itulah bentuk lain dari misi penyelamatan kami. 6 orang sengaja dikesankan ‘diamankan’ petugas demi mengalihkan mereka dari kaki tangan-kaki tangan para pengusaha yang gerah dengan aktivitas mereka memobilisasi buruh tani di sana. Siapakah ‘si dobel’ di kelompok Benjamin ....? Tidak lain Benjamin sendirilah orangnya! Benji ....! Masuklah!”<br />“hai ... BimBim, apa kabar ...?”<br />“Tunggu ..... ! Tapi kenapa dengan cara isolasi seperti ini yang kalian lakukan terhadapku? Kalian juga tidak memikirkan para keluarga teman-teman yang yang lain, yang pasti akan mengalami trauma psikologis yang tidak ringan ...?”<br />“BimBim ...! Cara ini adalah cara yang paling kami BENCI! Tapi harus kami lakukan sebagai langkah terakhir, yang artinya memang sudah tidak ada kemungkinan lain! Resiko pihak keluarga atau bahkan aktivis itu sendiri yang mengalami trauma psikologis, itu memang bagian dari konsekwensi yang ada! Seperti tadi aku katakan, MUAK! Kami MUAK dengan kepura-puraan ini! Tapi tugas adalah tugas! Kami harus selalu membuat kalian tetap hidup! Walaupun kadang-kadang jatuh korban, tapi itu tidak semua tersikat habis!”<br />“Baik ....! Tapi, di mana teman-temanku yang lain ....? Djun ... anak-anak ada di mana sekarang? Dan kenapa kamu ceritakan semua ini padaku?”<br />“Djuniarto telah 4 hari di Semarang, dan kondisi di sana sudah reda. Cuma Wisma akan dikosongkan dan hanya Djuniarto bersama Supardan saja yang akan merintis pergerakan dari awal. Prihandoko akan tinggal di Jakarta, membantu Albertus di pergerakan buruh, eyang putrinya akan ikut diboyong ke sana. James ikut familinya di Poso dan akan merintis Tim di sana. Achmadi telah ada di Aceh untuk menjadi relawan dalam proses rekonstruksi pasca Badai Tsunami. Sedangkan Yosef Ginting telah terbang ke New York tadi pagi, keahlian ekonominya diperlukan oleh para pemegang dana untuk memutar uang di luar negeri.”<br />“Lalu .... Binsar ....dan aku ..... mau kalian apakan?”<br />“Wah .... jangan sinis begitu, kawan! Semuanya bukan kami yang atur! Mereka punya kemauan sendiri ....dan Binsar ...! Bin ...! Bin ...!”<br />“Hai ... Biang Kampret! Apa Kabar ...?<br />“Elo .....?”<br />“Ya .... Gue memilih untuk gabung dalam Tim secara langsung, sebagai tenaga operasional! Begitu ‘Bim ....!”<br />“Baik .... aku mulai sedikit percaya sekarang ....! Satu lagi .... beri aku petunjuk jalan apa yang harus aku pilih ....!”<br />“BimBim .... kamu bebas untuk memulai kembali hidupmu! Untuk menjadi apa saja!”<br />“’Bim ..... kalau elo mau tahu tugas pertama gue di Tim ..... Gue harus antar BimBim dengan selamat tanpa kurang suatu apapun ke tempat Mitha alias Cah Ayu-nya di Jakarta!” Binsar tersenyum lebar.<br />“Cah Ayu .... Cah Ayu ada di Jakarta! Cah Ayu tidak apa-apa kan ‘Bin?”<br />“100% sehat juga ‘si kecil’ di dalam kandungannya! Mitha justru tumbuh menjadi seorang yang sangat tegar dan kuat ...!”<br />“Ganda ...! Buka borgolnya!”<br />“Siap ... Pak!”<br />“BimBim .... kamu berangkat sekarang! Nanti di jalan Binsar akan bercerita apa yang terjadi pada Mitha selama kamu ‘diculik’. Kamu bersihkan tubuhmu dulu ...!<br /><br /># # #<br /><br />BimBim mematung di salah satu lubang jendela yang tanpa kaca dan langsung menghadap laut. Dirinya baru melihat secara utuh keseluruhan bangunan tempatnya selama ini disekap. Sebuah bangunan besar bekas benteng pertahanan peninggalan kaum imperialis Portugis. Benteng yang terletak di sebuah pulau kecil tak berpenghuni dan terletak tidak jauh dari sisi pantai utara wilayah Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bangunan yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Benteng Portugis. Bangunan yang memang menjadi Base Camp Lukas dan Tim-nya, dalam rangka operasi ‘pengangkutan’ BimBim dan kawan-kawan. Bangunan yang terpencil jauh dari hiruk-pikuk dan lalu lalang manusia.<br />“Tuhan ....! MisteriMu memang tak terjangkau oleh umat manusia yang serba terbatas! Lukas. Anak buahnya. Tim-tim yang lain. Para pemegang dana. Mereka semua adalah orang-orang peduli, dengan cara yang ‘tidak biasa’! Mereka telah memilih jalan mereka!”<br />“Bapa .... semoga badai antara ini semakin membuat diri ini. Cah Ayu. Keluarga di Kopeng. Kami semua menjadi lebih dekat dan senantiasa bergantung padaMu. Hanya padaMu. Membuat kami MENJADI SADAR.”<br />“Cah Ayu .... Masmu ini kembali ....!”<br /><br /># # #<br /><br />“Non .... Mitha! Ada tamu di luar, cari Non Mitha .... dua orang .... laki-laki, Non!”<br />“Siapa ya .... Bi?”<br />“Bibi .... tidak tahu, Non! Baru sekali ini ke sini mereka .... Bibi baru lihat sekarang ...! Tapi orangnya sopan-sopan, Non!”<br />“Ya sudah, Bi .... suruh masuk dan duduk dulu aja! Saya ganti baju dulu ... jangan lupa buat minum ya, Bi!”<br />“Baik ... Non!”<br /><br />Kira-kira 5 menit kemudian .....<br />“Binsar ....!”<br />“Mas .... Mas BimBim!”<br />“Cah Ayu .....! Apa kabar ....?”<br />“Mas BimBim .....! Benar ini Mas BimBim ...?”<br />“Iya ... ini aku .... Cah Ayu!” BimBim menghampiri Cah Ayunya dan menjabat tangan Mitha yang masih belum hilang kagetnya ....<br />“Mas BimBim ..... ganteng juga ya .... kalau rambutnya pendek dan rapi! Hihihi ....” Mitha tersenyum manis dan bahagia. Keyakinannya selama ini bahwa suatu saat Mas BimBim akan kembali di sampingnya terjawab sudah.<br />“Wah .... sejak kapan .... Cah Ayu jadi suka ngeledek orang! ‘Bin .... kemajuan nih anak manja satu ini ....! Hahaha ....”<br />“Bukannya elo yang ngajarin jadi gila ‘Bim ....? Hahaha ....”<br /> Maka terkuak dan terbukalah misteri-misteri ada kehidupan. Misteri yang bermetamorforfosis menjadi titik terang. Maka berbahagialah wahai anak-anak kehidupan!<br /><br /><br />LEMBARAN XII<br /><br />MEREKAHNYA FAJAR NIRWANA TERPENDAM<br /><br /><br />SEJUMPUT ASA<br /><br />Memandang<br />Menatap<br />Rekahan senyum itu<br />Binaran netra nan bening<br />Meranggas lara<br />Menepi samsara<br />Memuncak kegirangan<br />Amboi<br />Teruslah begitu adanya<br /><br /> Cah Ayu terima kasih<br /> - dari Nirwana Terpendam Kota Atlas -<br /><br />“Nih .... Cah Ayu, aku sudah selesai! Aku duluan kan yang selesai nulisnya ....! Aku menang!”<br />“Ih .... kok cepet sekali sih! Coba sini Mitha liat kayak apa puisinya Mas BimBim!” Mitha segera bangkit dari duduknya dan dengan penasaran menghampiri BimBim yang masih tersenyum penuh kemenangan.<br />“Ini Cah Ayu ...!” BimBim merebahkan dengkul kanannya di atas tanah, kepalanya menunduk, dan tangannya diangkat ke atas memegang lembaran kertas putih tempatnya menulis puisi. Sikap tubuh layaknya seorang hamba kepada tuannya dalam menghaturkan sesembahan. Sikap khas BimBim untuk menggoda sang pujaan hati.<br />“Ih .... pake ngegodain segala ....! Coba Mitha baca dulu ....!”<br />“Lho kok .... pendek begini! Mas BimBim curang ....! Pantesan menang lha wong puisinya singkat begini! Gak sah .... curang!” Mitha merajuk manja, dengan ungkapan hati yang bukan karena marah melainkan bahagia.<br />“Hahaha ....! Kan gak ada aturan kalo gak boleh pendek puisinya ....!” BimBim tertawa lepas sekali.<br />“Betul juga sih ....lagipula bagus juga pusinya! Singkat tapi dalam maknanya ....! Wah berbakat juga nih Mas BimBim jadi penyair kelas ....amatiran! Hihihi ....”<br />“Cah Ayu, aku memang gak bakalan bisa menulis puisi sebanyak dan sebagus Cah Ayu! Makanya ini khusus untuk Cah Ayu!”<br />“Terima kasih Mas BimBim!”<br />“Cah Ayu, kenangan akan senyum manis, sorot mata bening yang berbinar teduh, wajah ayu ini!” BimBim membelai rambut Cah Ayu kesayangannya penuh ungkapan rasa, “... yang jujur selalu membuat aku punya semangat baru, bahkan disaat serba tidak menentu pada peristiwa ‘penculikan’ Lukas dan teman-temannya tempo hari!”<br />“Sungguh .... pada satu titik tertentu. Satu titik nadir. Satu titik yang aku rasa menjadi persimpangan antara hidup dan mati, ketika diri ini diangkut dibawah ancaman senjata, wajah ditutup, digiring ke suatu tempat yang entah ada dimana. Ingatan akan senyum manis, binar mata, dan wajah ayu ini g membuat aku mencoba sekuat tenaga untuk bertahan!”<br />“Mas BimBim ....!” Ada rasa haru keluar dari ucapan Mitha yang tertahan barusan.<br />“Sudahlah .... mending tidak usah diingat-ingat lagi peristiwa yang sudah lalu! Pada akhirnya aku sudah ada di samping Cah Ayu lagi sekarang ... iya kan ...?” BimBim tersenyum menepiskan semua kenangan pahit.<br />Mitha mengangguk dan tersenyum, “Mas BimBim .... Mitha selesaiin dulu ya puisi Mitha ...?”<br />“Oke ...!”<br /><br />###<br /><br />F I L O S O F I C I N T A<br /><br />I<br />Cinta bukan untuk dipertanyakan dan dipikirkan, melainkan untuk diresapi kemudian diwujudkan pada tempatnya tanpa perlu khawatir akan kehilangan diri<br />II<br />Cinta tiada buta tidak juga terang benderang menyilaukan mata batin. “The Truly Love” ada setelah moksanya pencarian dan tanya tak berkesudahan akan kesejatian pengejawantahan diri. Cinta tampil dalam samar sebagai samudera raya hasrat untuk memberi dengan meminggirkan balasan<br />III<br />Cinta sehati dengan devosi utuh nurani akan Kuasa Tinggi Empu Semua Ada<br />IV<br />Di mana pengorbanan terasa kecil dan sekejap terlupakan di situ bersemayam C.I.N.T.A.S.E.J.A.T.I.<br /><br /> - Puisi ini untuk Mas BimBim -<br /><br />Mas BimBim,<br />Setelah waktu bergulir dan terus bergulir. Peristiwa demi peristiwa datang silih berganti. Pergulatan dan pergolakan mendera relung hati. Ternyatalah ....<br />Bahwa Mas BimBim mampu menunjukkan hidup dengan mencinta. Tak terbayangkan bagaimana Mas BimBim bisa bertahan dalam penyangkalan diri dan pemendaman rasa. Tak terbayangkan bagaimana Mas BimBim bisa melepaskan idealisme duniawi demi sebuah nama, bernama CINTA.<br />Terima kasih Mas BimBim!<br />Terima kasih untuk semuanya ....<br /><br />“Mas BimBim! Kalau boleh Mitha tahu, apa sih yang membuat Mas BimBim bisa bertahan untuk tetap sayang sama Mitha, bahkan dalam keadaan yang gak ngenakin sekalipun?” Suara Mitha memecah keheningan yang telah berlangsung beberapa saat.<br />“Waduh .... jujur aja ya Cah Ayu, aku tidak punya jawaban tepat untuk pertanyaan barusan! Rasa dibakar api cemburu pasti ada! Rasa berontak untuk tidak terus-menerus memendam rasa juga sering muncul!”<br />“Belum lagi pertanyaan, kenapa orang lain begitu bebas untuk mengungkap rasa? Sedang aku! Aku harus membungkusnya sedemikian rupa agar tidak tercium orang lain. Dan juga kenapa-kenapa lain yang silih berganti hadir ...”<br />“Iya .... Mas BimBim, pelan-pelan aja! Mitha akan sabar kok dengerinnya!” Mitha tersenyum mencoba menetralisir suasana ketika dilihatnya laki-laki disampingnya ini terlempar kembali ke masa-masa pergolakan batin yang terus mendera.<br />“Cah Ayu, seringkali aku hampir tidak kuasa menahan diri! Tapi ... syukur kepada Yesus, beberapa kali Ia mengingatkanku, dengan cara-caraNya yang ajaib, untuk tidak bertindak gegabah. Untuk tidak berlaku ceroboh!”<br />“Hanya satu Cah Ayu .... ya, hanya satu yang selalu terngiang ketika aku disiksa oleh rasa! BimBim .... sayang adalah melepaskan! Berikan dengan sadar apa yang bisa kau berikan tanpa merisaukan pantulan yang kau terima!” BimBim tersenyum kepada Cah Ayunya, endapan-endapan rasa masa silam perlahan mulai dapat ia tumpahkan.<br />“Mas BimBim .... sini!” Mitha menggamit tangan BimBim dan mengenggamnya erat-erat. Ada kehangatan kasih sayang mengalir dari sana.<br />“Terus terang ... walaupun aku bisa bertahan .... namun tetap saja Cah Ayu, aku adalah manusia biasa yang juga punya angan-keinginan-harapan! Yah ... catatan harianku itu sasarannya dan juga tempat ini! Tempat yang jadi saksi abadi teriakan-teriakanku. Keluh kesahku. Bahkan juga tetes air mataku!”<br />“Oh ... ya Cah Ayu, aku masih punya puisi yang selalu kubawa .... puisi yang jadi pengingat kala hati ini lagi gak karu-karuan .... sebentar ya!” BimBim mengambil secarik kertas dari dalam dompetnya ....<br /><br />ADA MISTERI<br /><br />Memandang lepas pada sebening raut<br />Memendar binar netra bersemayam pesona<br />Getaran semakin menyata<br /> Tiada bisa<br /> Tiada mampu<br /> Tiada sanggup<br /> Menepis<br /> Menolak<br /> Melawan<br /> Apalagi berpaling<br />Terbentuk<br />Imaji kesukaan milik sang melati<br />Menggugah kembali kebekuan inspirasi<br />Namun ....................<br />Imaji hanyalah imaji<br /> Tanpa nyata<br /> Tiada realita<br /> Bukan fakta<br /> Bincang-bincang imajiner<br /> Sambung rasa imajiner<br /> Bedah jiwa majiner<br /> Berbagi hati yang juga imajiner<br /> Sampai pada mewujud angan pun imajiner<br /><br />Misteri yang tetap misteri<br />Kesejatian berperan<br />Atau kesementaraan meraja<br />Akankah terbitnya asa sebagai awal terbenamnya eksistensi<br />Duhai Maha Misteri<br />Maukah Kau putar balikkan<br />Samar bermetamorfosa naskah hidup<br />Bernafaskan Kidung Agung Swargaloka<br />Atau<br />Misteri tetaplah misteri<br /><br /> Kepada melati,<br /> Yang membangunkan rasa<br /> Setelah sekian lama “tertidur”<br /><br />Mitha tersenyum haru begitu selesai membaca lembaran salah satu prasasti akan rasa seseorang yang begitu menyayanginya itu. Seseorang yang selalu mencoba untuk memberi dan hanya memberi. Seseorang yang membuat dirinya mengerti makna terdalam dari apa yang dinamakan CINTA. Seseorang yang juga ia sayangi. Seseorang yang adalah Mas BimBim.<br />BimBim juga tersenyum. Senyuman bahagia bahwa pada akhirnya misteri terbuka dalam lembaran ada kehidupan yang mempertautkan angan dan kenyataan. Bahwa pada akhirnya sang kekasih hati bersanding di sisinya.<br />BimBim menggenggam tangan Cah Ayunya seorang, dan pasangan jiwa nan berbunga itu menimati berpadunya rasa tanpa. Tanpa tutur. Namun kaya makna!<br /><br /><br />AKHIRAN<br /><br />Beberapa bulan kemudian .....<br />Udara pagi dataran tinggi Dieng terasa sejuk hari ini, setelah tadi malam rintik-rintik hujan mengguyur tanpa henti semalaman. Hembusan angin dingin yang walaupun menusuk tulang terasa menyegarkan mata batin, sementara sang surya memancarkan cahaya eloknya menambah kehangatan suasana pagi ini. Fenomena fajar pagi yang menyejukkan seakan menyambut fajar harapan baru dalam membuka lembaran demi lembaran ada kehidupan. Ya .... fajar hati nan merekah milik sepasang insan anak panah kehidupan yang akan terus melesat untuk selanjutnya berganti menjadi busur yang bakal melesatkan anak panah penerus ada kehidupan. Sampai nanti .... ya ..... sampai nanti.<br />“Cah Ayu, waduh kayaknya pulas sekali tidur Cah Ayu tadi malam! Nah begitu dong biar bangun tidur tetap tersenyum, jadi tambah manis!”<br />“Mulai deh, Mas BimBim! Pagi-pagi udah ngegombal!”<br />BimBim tersenyum lepas dan menggamit tangan Mitha, Cah Ayunya seorang, “Cah Ayu, selamat ulang tahun ya! Aku punya kado kecil petikan syair lagunya Katon Bagaskara, aku bacain!”<br />TAMBAH USIA<br /><br />Bertambah satu usiamu<br />O .... semoga penuh warna<br />Semakin indah hatimu<br />Berikan cinta ‘tuk semua<br /><br />Kau telah tercipa<br />Sebagai insan istimewa<br />Tumbuh dalam jiwa<br />Terus bahagia dan rauh cita<br /><br />Syukur ‘tuk Yang Kuasa<br />Atas beragam anugrah<br />Ku sertakan doa<br />Panjang umur kasih berlimpah<br /><br />Ikuti hidup yang mengalir<br />Dan reguklah hingga akhir<br />Karena dunia terus berubah<br />Jangan kau terlena dan goyah<br /><br />Bertambah satu usiamu<br />O .... semoga penuh warna<br />Semakin indah hatimu<br />Berikan cinta ‘tuk semua<br /><br /> 8 Iyar 5767 – 19 April 2006<br /> Kepada Cah Ayu<br /> Teruslah mengepakkan sayap-sayap kecilmu<br /><br />Maka lembaran demi lembaran belumlah titik ................PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-53593616385079341142009-02-07T17:09:00.000-08:002009-02-07T17:12:14.434-08:00AKU MEMILIH MAKA AKU ADALEMBARAN IX<br /><br />RAWA PENING SANG TONGGAK<br /><br /><br />JIKA TIDAK ADA TANYA<br /><br />Tanya tak berkesudahan<br /> Menyeruak tak putus-putusnya<br /> Mengemuka tiada perhentian<br /> Mengejawantah laksana lautan tak bertepi<br /> Mau kemana?<br /> Quo Vadis?<br /> Aliran yang bernama kehidupan ini<br /> Menapak<br /> Menyusur<br /> Mengembara<br />Sekat-sekat begitu tipis<br /> Kelekatan - melepaskan<br /> Keakuan - humanisme<br /> Lara - suka<br /> Kognitif - afektif<br /> Bla .... bla .... bla .....<br />Sekali lagi tanya masih belum habis<br /> Bertambaha banyak malah<br />Seandeainya tidak ada kata bernama “T-A-N-Y-A”<br />Seyogyanya tidak ada kalimat “P-E-R-T-A-N-Y-A-A-N”<br />Jika tidak ada tanda baca “?”<br />Sebentuk apakah kahuripan itu<br />Sewujud apakah “T-H-E L-I-F-E”<br /> Nisbi belaka<br /> Relatif adanya<br /> Abu-abu hadirnya<br /> Ah ..... kembali tanya menyeruak<br /><br /> - ada sejuta tanya di Ambarawa -<br /><br />13.42 WIB<br />Mas BimBim,<br />Ada apa ini? Mitha tahu banget Mas BimBIm orangnya memang ngaretan .... tapi gak pernah sepanjang dan selama ini membuat Mitha nunggu, sampai berjam-jam begini!<br />4 jam 42 menit! Rekor terlama Mas bimBim ngaret dan pasti akan bertambah panjang lagi rekor itu! Sampai detik ini pun tidak ada tanda-tanda kedatangan Mas BimBim.<br />Oh .... Tuhan!<br />Ada apa lagi ini? Mungkinkah Mas BimBim lupa kalau kita janjian hari ini?<br />Mungkinkah Mas BimBim ada urusan yang sangat penting dan mendadak sehingga terlambat?<br />Atau .... mungkinkah penantian ini sama seperti peristiwa Hananto?<br />Ah .... jangan Tuhan!<br />Aku mohon jangan terulang kembali peristiwa itu .... di saat aku sedang mencoba menyusun asa baru, pengharapan baru.<br />Jangan biarkan ya Tuhan!<br />Aku pasti tidak sanggup!<br /><br />?<br /><br />Terbentur hati pada tanya<br />Penguasa Segala<br />Guratan apakah hendak Kau torehkan<br />Suratan apakah hendak Kau sematkan<br />Hingga sebegini<br />Coba diri untuk hanya sumarah<br />Tak urung ragu mencuat<br />Laku sebagaimana adanya<br />Atau pembenaran yang bersemayam<br />Biarkan terus mengalir<br />Atau surut ke belakang<br />Dikau Yang Maha Punya Rencana<br />Turunkan sinyal<br />Sebagai pijakan menentukan hidup<br />Selaras panggilan alam<br /><br /> - di Ambarawa yang meresahkan -<br /><br />Mas BimBim,<br />Cah Ayumu ini bingung, sangat bingung!<br />Sudah 14.04 WIB! Mas BimBim gak kunjung ada di sini! Mitha takut sendirian di sini, di tempat asing begini! Apalagi orang-orang sudah banyak yang ngeliatin! Mas BimBim cepat datang ....!<br />Untung saja tadi Pak Handoko memberi sangu Mitha 2 buah jagung rebus, so ..... lumayan buat pengganjal sementara perut ini.<br />Mas BimBim,<br />Kalo Mas BimBim tahu sekarang ini Mitha Cuma pegang uang seribu rupiah!<br />Sungguh .... Mas BimBim datanglah!<br />Tuhan ....!<br />Apakah memang aku masih harus menerima hukumanMu? Apakah aku harus melewati dulu semua ini? Apakah dengan Mas BimBim gak kunjung datang ini adalah salah satu dari ujian yang harus aku tempuh?<br />Mas BimBim,Mitha sampai gak bisa lagi mengungkapkan perasaan Mitha sejelas-jelasnya, setumpah-tumpahnya!<br />Paling dengan puisi-puisi yang terlintas dalam benak Mitha yang mungkin bisa sedikit jadi pelampiasan rasa.<br />Mas BimBim,<br />Ada satu yang sedikit memberikan penghiburan bagi Mitha .... ya, secarik kertas berisi tulisan tangan Mas BimBim, yang jelek itu lho ... hihihi!, yang dikasih ke Mitha saat memberitahu kabar duka dan mencoba menenangkan Mitha pada peristiwa Hananto dulu.<br />Mitha salin lagi ya ... tulisan Mas BimBim itu, tulisan yang kata Mas BimBim dikutip dari SANG NABI-nya Kahlil Gibran :<br />Kalian memiliki takdir kepastian untuk merasakan derita dan kepedihan. Jika hati kalian masih tergetar oleh rasa takjub menyaksikan keajaiban yang terjadi dalam kehidupan, maka pedihnya penderitaan tidak kalah menakjubkan daripada kesenangan.<br /><br />Banyak di anatar yang kalian derita adalah pilihan kalian sendiri –obat pahit kehidupan agar sembuh dari luka hati dan penyakit jiwa. Percayalah tabib kehidupan dan reguk habis ramuan pahit itu dengan cekatan dan tanpa bicara.<br /><br />Sebab meskipun tangannya keras dan berat terasa tapi ia membawa bimbingan lembut yang tidak kasat mata. Dan meskipun ramuannya demikian pahit mengigit bibir, tapi ia telah diracik dalam tetesan airmata-Nya yang keramat.<br /><br />Awalnya saat Mitha membaca pertama kali, Mitha malah berkomentar kalo itu hanya penghiburan bombastis yang Mitha bahkan gak ngerti maksudnya. Komentar Mitha kala itu, “Mas BimBim, Mitha gak bisa menangkap maksud tulisan ini! Dan yang jelas perasaan Mitha saat ini gak mungkin bisa Mas BimBim rasakan! Mas BimBim gak ngalamin sendiri sih!”<br />Sebuah komentar yang keluar dari hati remuk redam dan tidak dapat berpikir jernih lagi!<br />Dan respon Mas BimBim saat itu, justru dengan sabar sama sekali tidak menunjukkan rasa tersinggung maksud baiknya malah Mitha anggap gombal, bombastis, omong kosong. Kesabaran yang baru Mitha sadari sekarang, kesabaran yang menyejukkan.<br />Mitha pasti akan ingat terus perkataan Mas BimBim saat itu,<br />“Mitha, aku tahu Mitha pasti merasa sangat menderita saat ini. Dan aku juga tahu kalau empatiku ini pasti tidak akan dapat merasakan kepedihan yang sama seperti kepedihan yang Mitha rasa sekarang. Aku juga sama sekali tidak bermaksud memberikan penghiburan yang kosong belaka.<br />Aku Cuma ingin membagi rasa! Itu saja. Tidak lebih.<br />Bahwa pedih yang Mitha rasa sekarang pasti bisa Mitha lalui. Pasti ... karena pahit kehidupan pada dasarnya adalah OBAT untuk lebih kuat dalam menjalani hidup.<br />OBAT yang hanya daripadaNya, yakinlah itu Mitha!<br />Mitha adalah orang yang tegar .... aku percaya itu!<br />Mitha pasti bisa bangkit!<br />Jujur .... aku juga belum tahu jalan keluar yang pasti sekarng ini, tapi yang pasti In God We Trust, Life will Find the Way!<br />Ya .... kan Mitha!”<br />Thanks God!<br />Engkau hadirkan sosok Mas BimBim sebagai orang yang selalu memberi penguatan pada diri lemah ini di saat-saat yang paling terpuruk sekali pun. Kesabaran dan kelembutan yang tak pernah kenal lelah.<br /><br />Mas BimBim,<br />Mitha sudah bulat sekarang! Kalau Mas BimBim jam 3 tepat tidak datang juga, akan Mitha coba untuk menyusul ke Kopeng! Barangkali Mas bimBim sakit ... atau mungkin juga keluarga Mas bimBim menentang habis-habisan rencana Mas BimBim untuk menikahi Mitha. Seperti yang Mas BimBim utarakan bahwa kemungkinan ada lubang yang harus dilalui di Kopeng, yaitu persetujuan dari keluarga Mas BimBim tidak akan diberikan.<br />Mitha pasrah Mas BimBim .... kalaupun Mas BimBim mengurungkan niat Mas BimBim itu!<br />Mitha tidak akan menyalahkan Mas BimBim atau juga keluarga Mas BimBim .... jujur tidak akan! Karena Mas BimBim berhak untuk mendapatkan kebahagiaan lebih daripada sekadar mendampingi Mitha yang penuh dosa ini!<br />Cuma ijinkanlah Mitha bertemu Mas BimBim paling tidak untuk meminta maaf!<br />Mitha benar-benar pasrah Mas BimBim .... karena hanya itu yang Mitha bisa ....<br />Seperti rangkaian syair milik Argentum :<br />P A S R A H<br />Menggelora diri dalam penat<br />Bergemuruh hati dalam takut<br />Sesal berkepanjangan tiada henti<br />Pada apa laku diri di waktu lalu<br />Lembaran demi lembaran<br />Menyembul laksana gambar<br />Menorehkan pedih dalam titian kalbu<br />Hanya pasrah mengemuka<br />Sambil hati, jiwa, diri bersimpuh<br />Bertelut lutut<br />Luruh <br />Pada Sang Maha Ada<br />Selaras alunan Macapat Agung :<br /> He para wong kang kasayahan lan kamomotan<br /> Pada mareka kabeh marang Aku,<br /> Musti Aku gawé ayemmu<br />Akhirnya satu asa mencuat<br />Duh Gusti bimbing ‘tuk bangkit<br /> <br /> Bahan diambil dari Matius 11 : 28<br /><br /><br />Pendeta Mahatma menutup lembar terakhir yang telah ditulisi curahan rasa dari seorang gadis pemilik organizer kecil berwarna biru tua yang masih lelap tertidur dihadapannya. Pendeta Mahatma merasa agak lega sekarang karena masa kritis sang gadis telah lewat, setelah 2 hari lamanya tak sadarkan diri.<br />“Mas BimBim ....! Mas BimBim ....!” Itulah kata yang pertama kali terucap dari mulut Mitha saat siuman dari tidur panjangnya selama 2 hari. Hal yang membuat Pendeta Mahatma mengambil kesimpulan betapa pentingnya arti seorang Mas bimbim bagi gadis muda penuh penderitaan batin ini. Seorang gadis yang ditemukan oleh Pendeta Mahtma tergeltak tak berdaya di tepi Rawa ening saat pulang dari memimpin Kebaktian Sore.<br />“Mitha! Jangan banyak bergerak dulu! Mitha sudah 2 hari pingsan tak sadarkan diri, pasti badan Mitha sekarang masih lemah!” Pendeta Mahtma mencoba menahan Mitha yang mencoba bangkit dari tidurnya.<br />“Sa .. ya.... a ... da .... di mana ... ini?”<br />Mitha .... ada di klinik “KASIH” sekaligus rumah saya! Oh ... ya perkenalkan saya Mahtma!”<br />“Oh .... aduh, kepala ini masih pening! Nnggg .... saya Mitha. Kenapa saya bisa sampai begini dan kenapa saya bisa ada di sini, dok?” Mitha memandangi sekujur tubuhnya, selang infus yang ada di tangankirinya, perban di utut kanannya.<br />“Sebaiknya ... Mitha istirahat dulu sekarang, nanti saya ceritakan! Dan Puji Tuhan Mitha sudah melewati masa kritis Mitha!”<br />“Oh .... tapi .... tapi ..... bagaimana dengan kandungan saya, dok?” Mitha tiba-tiba teringat sang calon ada kehidupan di kandungannya. Ia begitu khawatir akan kondisi si kecil.<br />“Tenanglah Mitha .... kondisi bayi Mitha baik-baik saja! Dan saya sebenarnya bukan dokter. Selama ini Mitha dirawat oleh dokter Sus, yang ekarang sedang ke Salatiga mengambil obat untuk persediaan klinik ini.” Ada senyum kelegaan di bibir Pendeta Mahatma, kelegaan bahwa sang gadis ini telah siuman dan tak mengalami hilang ingatan.<br />“Sekarang Mitha istirahat dulu ya ...”<br />“Baik ... Pak Pendeta Mahatma, terima kasih atas semuanya, walaupun saya masih bingung akan apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya .... sekali lagi terima kasih!” Mitha akhirnya menyadari bahwa laki-laki dihadapannya ini adalah seorang gembala umat, setelah dirinya melihat segaris kain putih di tengah-tengah kerah kemeja hitam yang dikenakan Pendeta Mahatma.<br />“Jangan dirisaukan! Saya hanya kebetulan mendapati Mitha tergeletak pingsan di tepi Rawa Pening. Oh ya ... bisa panggil saya Atma, begitu saya biasa dipanggil. Saya tinggal ke belakang sebentar ya, ambil air hangat untuk Mitha.”<br />“Terima kasih Pendeta ...! Pendeta Atma .... boleh saya minta tolong? Pendeta mau kan baca catatan harian saya, supaya Pendeta mengetahui apa yang tengah saya hadapi? Ada beberapa pertanyaan ingin saya ajukan ke Pendeta. Sebelumnya maaf ya saya merepotkan Pendeta terus ...” Mitha menyerahkan organizer kesayangannya pada pendeta Atma.<br />“Baik ... Mitha! Tenang saja ... sama sekali tidak merepotkan!”<br />Maka terbukalah lembaran-lembaran pergulatan sang gadis dihadapan Pendeta Atma, pergulatan hidup yang mengantarkan Mitha pada kondisi seperti sekarang. Begitulah.<br /><br />###<br /><br />“Sore .... Mitha! Bagaimana sudah segar sekarang ....?”<br />“Pendeta Atma ...! Boleh kita mengobrol di depan sambil meniati pemandangan sore? Itu kalau tidak merepotkan lho ...”<br />“Bagaimana dokter? Pasien cantik kita ini sudah tidak betah berdiam diri di kamar saja rupanya, boleh ...?” Pendeta melirik pada dokter Susi yang tengah mengecek infus dan denyut nadi Mitha.<br />“Tidak apa-apa Pendeta, memang sudah waktunya Mitha menghirup udara luar! Silakan kalau mau duduk-duduk di depan!”<br />“Bagus ...! Ayo Mitha .... kamu basuh dulu tubuhmu dan dandan yang cantik! Kita lihat Rawa Pening di sore hari, belum pernah kan?”<br />“Wah ... terima kasih dokter Susi! Terima kasih Pendeta Atma! Aku senang sekali!” Ada senyum ceria di bibir Mitha. Senyum yang selama ini seperti lenyap ditelan prahara.<br />“Kalau begitu .... saya tunggu di luar ya ...” Pendeta Atma keluar ruangan tempat selama ini Mitha dirawat dengan antusias. Antusiasme yang merupakan cerminan kelegaan melihat Mitha menemukan kembali semangat hidup.<br />###<br /><br />“Pendeta Atma ....! Pendeta sudah membaca catatan harian saya?”<br />“Sudah Mitha .... sampai habis! Untuk gadis muda seusiamu, sungguh berat dan berliku jalan hidup yang harus dijalani, sungguh!”<br />“Begitulah Pendeta! Boleh saya bertanya sesuatu, Pendeta?”<br />“Silakan .... apa saja!”<br />“Apakah Tuhan sudah tidak memberikan ampunan lagi bagi dosa-dosa yang saya buat? Sehingga mungkin untuk kesekian kalinya saya akan menghadapi semuanya ini sendirian?”<br />“Mitha ...! Selama kita mau sadar akan segala kelemahan dan dosa-dosa yang kita perbuat, untuk kemudian kita serahkan semua permohonan ampun serta seluruh hidup kita selanjutnya, percayalah! Tiada yang tak terampunkan!”<br />“Sekalipun doa yang yang kita lakukan adalah dosa terbesar, Pendeta ...?”<br />“Untuk dosa apapun, Mitha! Tak ada yang tak terampunkan!”<br />“Mitha tahu kan, bahwa Dia datang untuk yang sakit, bukan yang sehat! Karena yang sehat tidak perlu disembuhkan.”<br />“Dia selalu dekat dan menghampiri pada yang sakit, yang terjatuh, yang berada dalam kesesakan! Hanya seringkali justru kitalah yang menjauh! Percayalah, Dia, Yesus junjungan kita, tidak pernah meninggalkan kita apapun dan bagaimanapun kondisi kita, bahkan ketika terperosok ke dalam lubang tergelap dan terdalam sekalipun ....!” Pendeta Atma terdiam sebentar.<br />“Yang perlu kita lakukan Mitha ... adalah kita hanya perlu membuka kesadaran bahwa kita tidak pernah sendiri, itu saja ....!”<br />“Mitha .... dengarkan lagu Franky Sihombing ini! Lagu ini bisa jadi bahan perenungan kita akan apa yang barusan saya gambarkan ... dengarkan ya Franky ar Rawa Pening ...hahaha ...!”<br />Dan terlantunkan gita permenungan yang menyejukkan jiwa,<br />BAPA YANG KEKAL<br /><br />Kasih yang sempurna telah<br />Ku t’rima dariMu<br />Bukan kar’na kebaikanku<br />Oleh kasih karuniaMu<br />Kau pulihkan aku<br />Layakkanku ‘tuk dapat memanggilMu<br />Bapa .....<br />Kau b’ri yang kupinta<br />Saat kumencari kumendapatkan<br />Kuketuk pintuMu dan Kau bukakan<br />S’bab Kau Bapaku Bapa yang kekal<br />Tak kan Kau biarkan<br />Aku melangkah hanya sendirian<br />Kau selalu ada bagiku<br />S’bab Kau Bapaku Bapa yang kekal<br /><br />“Pendeta Atma ... terima kasih!” Tetesan air bening mengalir dari ke dua mata Mitha, tersentuh oleh tembang yang baru saja terlantun. Tersentuh oleh dalamnya makna syair-syair yang mengalir. Tersentuh oleh kesadaran bahwa kasih kekal Allah Bapa yang tidak pernah meninggalkan dirinya.<br />“Mitha ... untuk selanjutnya, apa yang akan Mitha lakukan?” Pendeta Atma mencoba menggugah suasana agar Mitha tak terhanyut dalam dekapan lara.<br />“Pendeta Atma ...” Mitha menarik napas sebentar, “Saya serahkan semua yang akan terjadi biarlah terjadi. Termasuk Mas BimBim, jika pada akhirnya dia membatalkan rencana untuk menikahi saya.”<br />“Jujur ... Pendeta, saya tidak akan mempersalahkan Mas BimBim, karena Mas BimBim berhak .... ya, sepenuhnya berhak untuk menentukan jalan hidupnya, Mas BimBim berhak untuk bahagia! Dan saya akan tetap menghormati Mas BimBim sebagaimana adanya Mas BimBim, sebagai orang yang selama ini setia mendampingi dan membimbing saya menjalani hidup.”<br />“Terus .... bagaimana dengan si kecil dalam kandunganmu, Mitha ...?”<br />“Tentu saya akan menjaga calon kehidupan ini, Pendeta! Apapun resikonya si kecil ini ...” Mitha memegangi perutnya dengan lembut, “akan saya lahirkan, saya rawat sebaik-baiknya! Karena dia tidak berdosa sama sekali dan juga ciptaan Allah yang harus saya tumbuhkembangkan sebagai wujud tanggung jawab atas dosa yang saya perbuat!”<br />“Walaupun untuk itu pada akhirnya saya harus melakukannya tanpa pendamping! Ya, walaupun saya harus sendiri ...!”<br />“Mitha ... saya kagum akan ketegaranmu! Kamu pasti jadi ibu yang baik, ibu yang kuat, seorang ibu yang ditempa langsung oleh kehidupan! Saya bangga kepadamu, Mitha!” Pendeta Atma memegang bahu Mitha.<br />“Semoga Allah Bapa memberkati kita semua ...”<br />“Amin ...”<br /><br />###<br /><br />PENYERAHAN<br />Mengalir alunan pujian sejati,<br />“Berserah kepada Yesus<br />Tubuh, roh, dan jiwaku ....”<br />Terpatri kepasrahan<br />Yang adalah penyerahan nurani<br />Akan tautan agung<br />Penguasa Tunggal segala ada<br />Mengejawantah dalam pribadi<br />‘Yang Diurapi – Juru Selamat’<br />Bersandar berharap<br />Agar senantiasa diperbaharui<br />Disempurnakan<br />Sebagai pribadi penuh utuh<br />Menuntaskan pada hidup memanggil<br />Berkalung mutiara keselamatan<br />DaripadaMu<br />Junjungan bumi dan langit<br />Selaras tekad nurani<br />Laksana untaian kidung pujian,<br />“Kukasihi, kupercaya<br />Kuikuti Dia t’rus ...”<br /><br /> Sumber : Kidung Jemaat no. 364<br /><br />Yesus Kristus,<br />Terima kasih atas penyertaanMu<br /> Atas pengampunanMu yang tiada berkesudahan<br /> Atas kasih setiaMu<br />Engkau sungguh tiada sedetik pun meninggalkan hambaMu yang penuh noda-cela-nista ini!<br />Bahkan Kau pertemukan aku dengan orang-orang baik<br /> Dengan orang-orang peduli<br /> Dengan orang-orang tulus<br />Dokter Susi,<br />Terima kasih! Dokter begitu sabar dan tiada kenal lelah merawat aku dan ‘si mungil’ ini. Entah bagaiman jadinya kalau aku tidak dirawat di sini, bisa-bisa aku sia-siakan ‘si mungil atau bahkan aku akan mem ....<br />Ah ....<br />Jangan ya Yesus! Membayangkannya saja aku tidak sanggup.<br />Apapun yang terjadi ....<br />‘Si mungil’ harus hadir ke dunia ini dengan sehat!<br />Segala daya akan aku kerahkan untuk itu!<br />Ya, itulah wujud permohonan ampunku<br /> padaMu<br /> hanya padaMu, ya Yesus!<br />Pendeta Atma ....!<br />Ah .... kata-kata apa lgi yang bisa aku ucapkan atas kemurahan hati Beliau.<br />Tidak ada!<br />Sungguh tidak ada kata yang bisa mengungkapkannya!<br />Kehangatan Pendeta dan orang-orang di sini membuat aku tergugah,<br />Bahwa .... sejatuh-jatuhnya, seterpuruk-puruknya ....<br />Pasti masih ada harapan<br /> Sekecil apapun asa itu!<br />Mas BimBim,<br />Di mana pun Mas BimBim berada sekarang, percayalah Mitha baik-baik saja sekarang, dan semoga juga begitu Mas BimBim adanya.<br />Syukur pada Yesus!<br />Aku dipertemukan dengan orang seperti Mas BimBim<br />Yang banyak mengajarkan aku<br /> ‘tuk menjalani hidup dengan sadar<br /> ‘tuk menjalani hidup dengan berserah total<br />Jujur!<br />Sampai sekarang Mitha, Cah Ayumu ini, tidak punya prasangka apa-apa pada Mas BimBim.<br />Mitha hanya merasa pasti ada apa-apa dengan Mas BimBim. Mitha percaya benar kalau Mas BimBim mengurungkan niat untuk menikhai Mitha, mas BimBim pasti akan bicara langsung pada Mitha.<br />Mitha percaya Mas BimBim bukan orang yang dengan gampang begitu saja dari suatu permasalahan<br />Mas BimBim yang Mitha kenal jauh dari hal itu!<br />Mas BimBim,<br />Baik-baik saja di sana ya ...<br />Doa Mitha dan ‘si mungil’ selalu menyertai Mas BimBim!<br />Mas Aji dan Mbak Agni,<br />Tiba-tiba saja Mitha kangen sama Mas dan Mbak berdua!<br />Mitha .... entah kenapa ... merasa Mas dan Mbak begitu dekat sekali ....<br />Mitha kangen kepengen ketemu dan ngobrol-ngobrol!<br /><br />“Mitha ....!”<br />“Ya .... Pendeta! Masuk saja, tidak dikunci kok!”<br />“Maaf .... Mitha! Saya mengganggu ya ...?”<br />“Oh .... tidak, sama sekali tidak, Pendeta! Saya hanya sedang menulis catatan harian!”<br />“Mitha .... saya punya tamu istimewa untuk Mitha di luar!”<br />“Tamu ...? Untuk saya .... ? Siapa ya pendeta? Saya tidak pernah memberitahu siapapun kalau saya ada di sini!” Jantung Mitha berdegup, bertanya-tanya siapa gerangan tamu untuknya itu, apalagi ‘istimewa’ seperti kata Pendeta Atma.<br />“Pokoknya tamu istimewa!” Pendeta Atma tersenyum penuh arti.<br />“Saya persilakan ke sini saja ya! Tunggu sebentar!”<br />“Siapa ya ....? Jangan-jangan Mas A ....”<br />“Selamat pagi Mitha! Genduk Ragilku!”<br />“Mas Aji .... Mbak Agni ....!”<br />Ketiga saudara kembar tersebut berangkulan penuh haru. Kehangatan segera menyebar memenuhi ruangan. Kehangatan berkumpulnya keluarga. Kehangatan bersatunya ikatan batin. Kehangatan kasih sayang. Kehangatan anak-anak milik Sang Empu Hidup.<br />“Aduh ...! Aduh ...! Kok aku dijewer sih Mas?”<br />“Kamu ini! Buat orang sibuk aja! Menghilang begitu saja tanpa kabar, tanpa berita, pantas kalau dijewer!”<br />“Maaf ... maafkan Mitha, Mas Aji! Mbak Agni!”<br />“Eh ... Mitha! Kamu pake ilmu menghilang apa sih? Seakan-akan orang satu Nusantara ini gak tahu keberadaanmu! Seharusnya para koruptor buron itu belajar dari kamu ... hahaha!” Aji mengusap-usap rambut adik bungsunya itu. Ada aliran kasih sayang tercurah di sana.<br />“Ehm ... ehm ...! Mitha! Aji! Agni! Maaf mengganggu ...!”<br />“Eh .... eh ...! Kami justru yang minta maaf Pendeta! Kami jadi terhanyut begini, jadi tidak mempedulikan Pendeta!” Agni cengar-cengir menahan malu dan tersenyum pada kedua saudara kembarnya.<br />“Ah ... tidak apa-apa, saya maklum sekali! Begini ... saya pikir sebaiknya saya ceritakan sekarang saja apa yang sebenarnya terjadi pada BimBim sekarang! Kalian siap kan?”<br />“Mas BimBim ....? Ada apa dengan Mas BimBim, Pendeta ....?”<br />“Baiklah .... sekarang saya akan ceritakan ....”<br /><br />###<br /><br />“Begitulah ... Mitha! Aji! Agni!”<br />“Mitha, maafkan saya! Saya lancang membuka catatan harian kamu! Sebenarnya waktu kamu tak sadarkan diri beberapa hari yang lalu, Mas Aji dan Mbak Agni sudah saya hubungi dan sampai ke sini. Cuma memang saya yang meminta mereka supaya sabar, menunggu setelah kamu sadar dan dapat menetralisir kondisi mental kamu seperti sekarang ini ...”<br />“Jadi ....”<br />“Benar Mitha! Mbak dan Mas Aji selama ini menginap di rumah Pak Karto, ketua Majelis gereja di sini!”<br />“Nah ... mengenai Mas BimBim! Kebetulan saya adalah ‘alumnus’ Wisma, alumnus dengan tanda petik, saya sebenarnya dibuang secara halus oleh institusi ke tempat ini. Karena aktivitas berbau politik saya di Wisma dianggap membahayakan lembaga..”<br />“Makanya saya dapat dengan mudah menelusuri apa yang terjadi dengan Mas BimBimmu itu!”<br />“Jadi Mas BimBim ... hilang tak ada kabar beritanya bersama tujuh orang teman-teman pergerakannya?”<br />“Benar ...! Menurut dugaan kuat kami, para ‘alumnus’ Wisma yang coba menelusuri, kemungkinan Mas BimBim dan tujuh orang anak Wisma lainnya, termasuk Binsar diculik oleh pihak yang tidak senang atas aktivitas mereka. Terlebih lagi setelah aksi demonstrasi terakhir mereka, coba lihatlah selebaran ini!” Pendeta mengambil lembaran selebaran dari saku kemejanya dan menyerahkan kepada Aji.<br />“Ah .... shit! Berani dan gegabah sekali mereka! Ini sih sama saja membakar namanya!” Aji gusar sekali setelah membaca selebaran serba provokatif itu.<br />“Wah ... wah ...! Aku gak percaya BimBim yang cerdas dan humanis, jadi fanatisme fundamental kayak gini!” Agni geleng-geleng kepala setelah bergantian membaca selebaran itu.<br />“Tapi ... tidak mungkin Mas BimBim terlibat dalam demo itu! Hari di mana demo dilakukan adalah hari keberangkatan kami berdua! Pagi-pagi sekali saya dan Mas BimBim berangkat ke Bukit Doa di Ungaran! Sampai sore hari kami di sana untuk kemudian berpisah di Bawen, saya ke Ambarawa dan Mas BimBim pulang ke Kopeng. Saya yakin sekali!” Mitha melihat ada yang janggal dari peristiwa menghilangnya BimBim.<br />“Benar! Mitha benar sekali! Binsar dan yang lainnya memang ‘diangkut’ di Semarang, malam hari setelah demo berlangsung. Hanya BimBim yang ‘dijemput’ keesokan harinya di Kopeng! Kami sudah memastikan hal itu lewat keluarga BimBim di sana.<br />“Dan itu yang kami herankan! Kelompok penculik itu tahu betul latar belakang BimBim, Binsar, dan yang lainnya. Mereka sangat profesional!”<br />“Terus .... bagaimana keadaan mereka sekarang, Pendeta?” Mitha tersendat-sendat, ada guratan khawatir dari nada suaranya.<br />“Jujur .... kami belum mendapatkan petunjuk berarti! Kami hanya mendapatkan perkiraan saja, ada 5-6 lokasi dari mana kelompok tersebut berasal. Tapi kami akan terus berosaha melakukan penelusuran sampai ada titik terang, berdoalah terus Mitha!”<br />“Mas BimBim ....”<br />“Satu hal Mitha! Mas BimBim tidak pernah berniat meninggalkanmu! Surat terakhir pada keluarganya di Kopeng sebelum dia ‘dijemput’ menegaskan hal itu! BimBim hilang saat akan pergi untuk menemuimu di Museum Kereta Api Ambarawa, itu yang bisa saya pastikan!”<br />“Mas BimBim ...! Mas BimBim memang orang yang selalu menyayangi Mitha! Bagaimana keadaan Mas BimBim sekarang?”<br />“Saran saya .... sebaiknya kita coba bahu-membahu mencari tahu keberadaan BimBim dan kawan-kawan! Agni ...! Sebaiknya Agni ke Jakarta, saya kira Agni punya banyak channel di sana, bukan begitu?”<br />“Benar ... Pendeta! Sepertinya saya punya beberapa kenalan yang mungkin bisa memeberi petunjuk berarti, saya akan berangkat siang ini juga ke Jakarta! Mitha sebaiknya ikut Mbak saja, oke?”<br />“Tapi .... bagaimana dengan Papa, Mbak? Mitha takut sekali bertemu Papa!”<br />“Papa .... itu biar urusan Pakde Wismoyo, kamu tenang saja!” Aji mencoba menenangkan adik bungsunya yang sedang berkecamuk itu.<br />“Terus .... Aji! Sebaiknya kamu pulang ke Jogja, di sana kamu akan saya perkenalkan dengan teman-teman yang lain! Bagaimana ...?”<br />“Baik .... Pendeta! Saya pikir memang begitu, karena saya akan lebih mudah berhubungan dengan Pendeta Atma dan teman-teman BimBim di Semarang.”<br />“Kalau begitu .... ada baiknya kita berdoa agar BimBim dan yang lainnya, termasuk kita semuanya selalu berada dalam naungan perlindungan kasih Yesus .... mari ....!”<br /><br /><br />LEMBARAN X<br /><br />PENELUSURAN DI JANTUNG METROPOLITAN<br /><br /><br />Jakarta padat sekali siang ini. Seperti biasa kota metropolitan ini, yang segera diubah menjadi MEGAPOLITAN demikian sang penguasa kota punya ambisi, menghabiskan waktu siangnya dengan keramaian lalu lintas. Lalu lintas padat jam makan siang. Lalu lintas kendaraan bermotor. Lalu lintas manusia. Lalu lintas aktivitas. Lalu lintas kehidupan.<br />Agni menerawang jauh ke bawah melihat hamparan keramaian dari balik kaca gedung tempatnya duduk. Dia sengaja memilih tempat dekat kaca di dalam kafetaria sebuah gedung bertingkat ini, agar dapat leluasa melihat pemandangan jalan dan gedung-gedung di sekitarnya, begitu batinnya berkata kala memilih tempat.<br />“Agni ...kamu sudah bulat dengan keputusanmu itu? Cobalah kamu pikir-pikir lagi, kamu tampak muram sekali saat ini!” Perkataan Pak Joni yang tanpa disadari sudah duduk di depannya, membuat Agni sedikit terhenyak dari lamunannya.<br />“Eh .... i .... ya .... Pak! Saya sudah bulat!”<br />“Maaf, mengagetkan kamu! Ini pesananmu, ayo diminum dulu biar agak tenangan sedikit!”<br />“Baiklah ... kalau begitu! Sebenarnya sayang sekali kalau kamu Resign sekarang! Jujur .... tidak banyak kru yang bisa aku andalkan seperti kamu di tempat kita! Tapi .... aku tidak akan memaksa!”<br />“Pak Joni! Sebenarnya saya undang Bapak untuk ngobrol di sini adalah untuk menceritakan alasan sebenarnya pengunduran diri saya dari kantor ...” Agni mulai memberanikan diri membuka cerita, dia tahu persis bahwa dibalik kekakuan dan kedisiplinan bosnya ini, Pak Joni adalah orang yang sangat care pada siapapun.<br />“Ya ... teruskan Agni!”<br />“Begini .... Pak! Bapak masih ingat Mitha kan? Adik kembar saya yang paling sering Bapak ajak main tebak-tebak itu? ....” Begitulah, akhirnya mengalir kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Mengalir secara detil dari mulut Agni apa yang tengah dihadapinya kepada sang bos yang sebentar lagi akan menjadi mantan bosnya.<br />“Bos ....! Kalau tidak salah Bos banyak kenal aktivis dan mantan aktivis di sini. Boleh aku minta tolong?” Agni menyudahi cerita panjangnya.<br />“Hmmmhhh ....! Kamu benar Agni! Aku memang punya banyak kenalan orang-orang model BimBim, cuma .... jujur! Perkara ini kompleks sekali!”<br />“Seberapa kompleks atau peliknya Pak Joni, kalau boleh saya tahu?”<br />“Begini .... yang pasti aku akan membantu kamu semampu yang aku bisa! Tapi ... sebaiknya aku kasih gambaran dulu .... apa yang ada dibalik kasus BimBim ini ...”<br />“Agni .... apa yang disebut Teori Konspirasi itu sebenarnya bukan isapan jempol! Dia akan selalu ada seiring dengan terus adanya konsep negara dan kekuasaan!”<br />“Nah ... model-model penghilangan atau penculikan orang-orang yang disebut aktivis sebagai bagian dari Politik Konspirasi, tidak jarang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu oleh pergerakan atau aktivitas para aktivis itu. Dan ini sebenarnya bukan barang baru di sini. Di negeri kita kita ini!”<br />“Kamu masih ingat .... masa Rejim Orde yang lalu, di mana pihak kekuasaan dengan apa yang terkenal disebut Tim Mawar-nya, yang entah memang aktor pelaksana utama atau hanya sekadar tumal, melakukan aksi penculikan besar-besaran terhadap para aktivis kala itu. Sebuah aksi yang sampai sekarang pun masih menyisakan tanya akibat banyak korbannya yang tidak jelas keberadaannya.”<br />“Iya .... Bos! Saya banyak tahu dari membaca file di PUSDOK kantor kita .... terus apa ada kaitannya dengan kasus BimBim ini, .... Bos?”<br />“Seperti yang kukatakan, ini masalah yang pelik seperti benang kusut! Jujur .... aku tidak tahu apakah kasus BimBim berkaitan atau tidak! Sama seperti aku tidak tahu apa yang benar-benar terjadi dibalik hilangnya para aktivis kala itu ...!”<br />“Kamu akan memasuki wilayah serba abu-abu, Agni!”<br />“Untuk itu ... aku akan coba membantu kamu, menghubungkan dengan beberapa orang yang bisa aku percaya! Cobalah gali informasi dari mereka, karena 5-6 tahun belakangan aku banyak meninggalkan jaringan. Sehingga validitas informasi yang aku punya patut untuk diragukan, gimana ...?”<br />“Wah ... terima kasih sekali, Bos!”<br />“Oke .... kamu tunggu kabar dari aku, secepat mungkin aku akan pertemukan kamu dengan teman-temanku satu persatu!”<br />“Sip ...! Aku tahu Bos-ku satu ini pasti bisa diandalkan! Dan terima kasih atas kerjasamanya selama ini di kantor, maaf .... kalau aku sering bikin sebel Bos .... hihihi!” Agni menjabat tangan Pak Joni sebagai tanda perpisahan dari relasinya di tempat kerja, namun tentu saja tidak sebagai relasi persahabatan.<br />“sama-sama! Urusan administrasi, kamu gak usah khawatir, nanti terima beres saja! Dan kalau permasalahanmu sudah selesai, datang saja ke kantor! Siapa tahu ada posisi yang bisa aku usahakan untuk kamu, oke!”<br />“Oke .... deh, Bos! See you!”<br />“See you, Agni and take care!”<br /><br /># # #<br /><br />“Mbak Agni ...! Ada telpon tuh .... dari Pak Joni!” Suara Mitha terdengar dari depan pintu kamar Agni yang tertutup.<br />“Oke ... oke ....! Sebentar ya Tha!” Agni segera memberi jawaban dan setengah berlari membuka pintu kamar serta menghampiri tempat alat telekomunikasi jarak jauh itu tergeletak.<br />“Halo .... Bos! Gimana .... ada info apa?”<br />“Hahaha .... Agni! Agni! Sabar dulu Non! Sampai ngos-ngosan begitu! Atur dulu napasmu ....”<br />“Maaf ....! Maaf ....! Bos! Aku udah gak sabaran lagi ..... hihihi!” Agni tersipu malu menyadari tingkahnya yang serba tidak sabar itu.<br />“Agni ...! Nanti sore kita ketemuan di kafe biasa ya! Aku mau kenalin kamu sama Albertus! Kita bisa dapat info banyak dari dia! Jam 6, oke ...?”<br />“Siap .... Bos! Aku ajak Mitha sekalian gak apa-apa kan Bos? Biar dia juga bisa tahu ....”<br />”No problem! Ajak saja Mitha, bilang sama Mitha kalau aku punya tebakan yang pasti gak akan bisa dia jawab! Oke ..... gitu aja, sampai ketemu nanti sore!”<br />“Makasih banyak Bos! I know I always can count on you! Bye ....!”<br /><br /># # #<br /><br />“Agni! Mitha! Model penghilangan aktivis dengan cara ‘diambil’ memang tidak lagi jadi ‘tren’ seperti masa Tim Mawar dulu!” Albertus membuka keterangan yang akan disampaikannya .... sembari tangan kanannya yang kekar dipenuhi bulu-bulu memainkan sedotan Orange Punch yang dipesannya.<br />“Saya kebetulan tahu Kasus Semarang itu! Karena salah satu korban, Prihandoko! Sama-sama aktif di pergerakan kaum buruh!”<br />“Oh ... ya, Pri! Bagaimana dengan eyang putrinya, Kak Albertus? Dia kan sudah yatim piatu dan tinggal dengan eyang putri satu-satunya ...” Mitha masih ingat Pri, panggilan Prihandoko, salah seorang Anak Wisma yang beberapa kali pernah diajak Mas BimBim ke tempat kosnya.<br />“Sampai sekarang kami belum memberitahu yang sebenarnya kepada Eyang! Kami hanya katakan kalau Pri sedang keluar kota untuk urusan kampus. Tapi jika dalam seminggu ini tidak ada kejelasan, terpaksa kami akan buka semuanya ... walaupun sampai sekarang kami belum tahu bagaimana cara menyampaikannya ....”<br />“Agni! Mitha! Saya dapat pastikan kalau kecil kemungkinannya aksi penculikan BimBim dan kawan-kawan dilakukan oleh aparat atau yang berhubungan dengan kekuasaan!”<br />“Faktanya adalah bahwa FATS, Forum Anak Terang Semarang, merupakan organisasi spontan dan bersifat sporadis yang tidak terorganisir rapi dan sistematis, ini jelas bukan target para alat kekuasaan! Kedua, adalah bahwa walaupun demo tempo hari ditujukan untuk mengkritisi pihak kekuasaan, namun justru beraroma SARA yang sangat kental, ada nuansa sektarian yang kuat di sana, hal yang sengaja atau tidak memang dibiarkan oleh alat kekuasaan untuk meredam daya kritis rakyat. Dan yang fakta ketiga, adalah bahwa alat kekuasaan sekarang ini cenderung untuk tidak mempergunakan model-model atau metode-metode ‘lama’ dalam Politik Konspirasinya .....” Albertus berhenti sebentar untuk menyeruput minumannya.<br />“Nah .... hipotesa saya dan teman-teman untuk sementara ini adalah penculikan BimBim dan kawan-kawan dilakukan oleh kelompok yang tidak senang dengan aktivitas mereka, dalam kaitannya dengan isu SARA! Ada juga sebenarnya hipotesa bahwa pihak kekuasaanlah yang ‘bermain’ dengan menyusupi kegiatan BimBim dan kawan-kawan dan mencari momentum untuk menyingkirkan mereka dengan isu ampuh, SARA! Tapi hipotesa terakhir ini belumlah mendapat bukti yang kuat, sehingga hipotesa pertamalah yang menjadi prioritas kami sekarang.”<br />“Albertus ....! Sebaiknya menurut kamu, apa yang mesti dilakukan oleh Agni dan Mitha dalam menelusuri keberadaan BimBim ...?” Pak Joni mencoba langsung pada pokok pembicaraan.<br />“Sebaiknya kalian mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya apapun itu yang berkaitan dengan kasus ini! Oh ... ya dalam 2 tahun ini sudah ada 3 kasus serupa, pertama di Purwokerto, kedua di Makasar, dan terakhir di Semarang yaitu yang terjadi pada BimBim dan kawan-kawan!”<br />“Agni .... coba hubungi Mas Aji dan Pendeta Atma untuk kontak dengan teman-teman mantan korban penculikan di Purwokerto, data-datanya nanti akan saya berikan!”<br />“Baik ... terima kasih Kak Albertus!”<br />“Saran saya .... teruslah melakukan penelusuran dan persiapkan diri dan hati akan segala kemungkinan! Karena apapun dapat saja terjadi ...!”<br />“Maaf! Saya bukannya berpikiran jelek ... tapi apapun dapat terjadi, bukan ...?”<br />“Benar Kak Albertus! Saya juga sudah pasrah akan apapun yang akan terjadi! Saya Cuma bertekad bahwa Mas BimBim harus ditemukan bagaimanapun kondisinya!” Mitha berkata perlahan, namun terasa getaran ketegaran dari perkataannya itu.<br />“Bagus! Saya salut pada kalian! Satu lagi saran saya, jangan serampangan dalam menggali informasi! Si Joni ini bisa kalian andalkan, saya tahu persis kebengalannya dari dulu! Hehehe ...!”<br />“Ah ... sama-sama anak bengal! Jangan saling menjatuhkan dong! Hahaha ...!” Pak Joni ikut tertawa mencoba mencairkan suasana yang semakin terlihat tegang.<br /><br /># # #<br /><br />“Semar, kaulah pohon Mandira itu. Pohon Mandira itu adalah pohon petang dan terang, pohon itu tidak memisahkan matahari dan bulan, siang dan malam. Maka kau adalah samar, ya Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat terang dalam kegelapan, kebaikan dalam kejahatan. Hanya dengan hatimu yang samar pula, kau dapat melihat kegelapan dalam terang, kejahatan dalam kebaikan. Semar, banyak orang tertipu oleh kejahatan yang tersembunyi di dalam kebaikan. Mereka menjadi sombong karena kebaikan. Jika matamu benar-benar samar, ya Semar, maka kau takkan terpukau oleh apa pun, juga oleh kebaikan, yang sering bersembunyi dalam kejahatan.”<br /> Dari SEMAR MENCARI RAGA<br /> kar. Rm. Sindhunata<br /><br />Mas BimBim,<br />Sudah 2 minggu semenjak peristiwa Mas BimBim diculik.<br />Dan sampai sekarang masih samar!<br />Ya .... seperti petikan yang diambil dari Buku SEMAR MENCARI RAGA yang dipinjemin Mbak Agni, semua serba samar. Semua serba simpang siur. Semua serba abu-abu.<br />Mitha kasihan sebenarnya dengan Mbak Agni, yang sampai rela keluar dari kerjanya demi membantu Mitha menelusuri jejak Mas BimBim. Tapi juga bangga dengan Mbak Agni! Benar-benar wanita perkasa!<br />Coba kalau Mbak Agni tahu, Mitha nulis kayak gini. Kalau Mitha masih ngungkit soal Mbak Agni yang keluar dari tempat kerjanya .... wah! Bisa marah besar dia! Bisa menjelma seperti DEWI MEDUSA Mbak Agni itu .... hihihi!<br />Tapi .... sungguh Mitha bangga sekali!<br />Punya kakak seperti Mbak Agni, juga Mas Aji!<br />Mereka semua rela mengesampingkan rasa kesal, rasa marah akan kesalahan Mitha selama ini!<br />Mereka justru bahu-membahu memerikan segala daya upaya demi menemukan Mas BimBim!<br />Mitha tahu ....<br />Upaya Mas Aji dan Mbak Agni sekuat tenaga untuk dapat titik terang di mana keberadaan Mas BimBim adalah terutama demi Mitha!<br />Adik bungsu mereka ini!<br />Terima kasih Yesus!<br />Atas segala karuniaMu, untuk Kau hadirkan orang-orang yang begitu menyayangi diri hambaMu ini.<br />Mas BimBim,<br />Bertahanlah .... di mana pun Mas BimBim berada!<br />Doa dan kasih sayang Cah Ayumu ini akan selalu menyertai perjuangan Mas BimBim.<br />Entah ... Mitha yakin sekali Mas BimBim masih hidup dan akan kembali di samping Mitha suatu saat nanti ...!<br />Bukannya Mitha tidak mau berserah ....!<br />Sungguh, seperti yang selalu diajarkan Mas bimBim untuk menyerahkan segala sesuatu sama Yang Maha Pemilik Semua, Yesus Kristus!<br />Maka ..... Mitha coba untuk senantiasa berserah ....<br />Tapi entah darimana asalnya .... keyakinan kalau Mas BimBim akan kembali selalu ada!<br />Walaupun ....<br />Jujur! Di tengah-tengah informasi dan keterangan yang silih berganti berdatangan ....<br />Dari banyaknya versi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terhadap Mas BimBim dan kawan-kawan ...<br />Dari hipotesa satu yang hampir mencapai titik kejelasan sampai akhirnya datang hipotesa lain yang justru malah mementahkan kembali hipotesa pertama ...<br />Wah ...<br />Pokoknya serba simpang siur deh Mas BimBim!<br />Seakan simpang siurnya lalu lintas jalan Sudirman-Thamrin kala jam sibuk masih tidak seberapa dibandingkan semrawutnya arus berita-informasi-keterangan mengenai keberadaan Mas bimBim.<br />Memang ...<br />4 hari lalu hampir saja ada satu titik terang, yaitu ketika Kak Albertus mendapatkan informasi bahwa ada 1 kelompok fundamentalis radikal di daerah Demak dan Purwodadi berencana ‘menggulung’ kelompok FATS. Namun .... info itu menjadi mentah ketika pada akhirnya didapat kenyataan bahwa kelompok tersebut gerakannya lebih terbuka, tidak dengan aksi terselubung lewat aksi culik-menculik! Ditambah lagi melalui info orang dalam, bahwa mereka sebenarnya kalah cepat dalam bergerak. Sebelum mereka melancarkan aksi, Mas BimBim, Binsar, Prihandoko, dan lainnya sudah keburu ‘menghilang’ diambil kelompok lain yang mereka sendiri tidak tahu dari kelompok mana.<br />Benar-benar ..... tambah tidak karuan kan?<br />Eh .... ada telpon masuk ... nanti diterusin lagi ya!<br /><br /># # #<br /><br />Agni membuka pintu bertangkai besi itu, dan dengan sekuat tenaga mendorongnya keluar. Akhirnya ... pintu di lantai paling atas sebuah gedung bertingkat di jantung metropolitan itu terbuka .... dan Agni segera merentangkan kedua tangannya menentang terpaan angin keras di puncak bangunan yang tanpa atap itu.<br />Sang gadis perkasa dengan masih merentangkan tangan terus berjalan menuju sebuah lingkaran besar berwarna merah yang terdapat huruf H besar berwarna merah pula di tengahnya. Dirinya berhenti tepat di tengah-tengah huruf H tadi dan seperti melakukan ritual tertentu, tubuhnya berputar ke arah 4 penjuru mata angin dan berhenti kembali di tempatnya semula menghadap.<br />“Hey .... what’s up bro! Sudah hampir setahun ini aku tidak kemari! Masih seperti dulu saja, tetap sunyi. Tetap asyik untuk menyendiri. Tetap tak terawat .... hihihi!”<br />“Aaaaaaaa .....!” Agni berteriak sekeras-kerasnya. Sebuah teriakan panjang seakan ingin ia tumpahkan seluruh emosi dan perasaan tertahan dalam teriakan itu ....<br />Hei .... Yesus! Di tempat tinggi ini! Aku coba menghadap padaMu! Setelah apa yang Kau torehkan pada Mitha, adikku yang sableng sekaligus aku kasihi ....!” Tubuh Agni ambruk ke lantai beton, seakan semua keperkasaannya luruh saat itu.<br />“Yesus ....! Tolong Kau kabulkan pintaku ini! Jangan Kau ambil BimBim dari Mitha! Seberat apapun aku harus menemukannya, akan aku tempuh! Sekali, tolong ... jangan Kau ambil BimBim!”<br /><br /># # #<br /><br />“Agni ....! Aku benci menyampai kabar buruk! Tapi harus aku sampaikan .... dengar!” Pak Joni berkata pelan sambil menatap Agni tajam.<br />“Sepertinya .... yang bisa kita lakukan sekarang adalah BERDOA! Ya .... Cuma itu! Informasi yang ada sekarang semakin tidak jelas saja ....”<br />“Sudahlah .... Bos! Aku paham sekali .... dan aku bisa menangkap arah pembicaraan ini!” Agni memang sudah sejak di-SMS untuk datang ke kafe biasa mereka bertemu, telah menagngkap hal buruk akan terjadi.<br />“Aku ..... atas nama Mitha dan Mas Aji mengucapkan terima ksih buat bantuan Bos, Kak Albertus, dan teman-teman lainnya selama ini! Sungguh ini bukan basa-basi ... penghiburan! Tapi memang adakalanya kita hanya bisa menunggu dan menunggu sampai tabir misteri terkuak dengan sendirinya ... ya kan Bos!” Agni tersenyum getir, menyadari bahwa beginilah pada akhirnya manusia adanya. Ada batas-batas yang mau tidak mau. Suka tidak suka. Tidak dapat dilampaui manusia.<br />“Kamu benar, Agni! Pada akhirnya keterbatasan manusia akan menjadi jawaban dari suatu misteri kehidupan! Bahwa kita tidak bisa melampaui batas-batas itu! Hanya bisa menunggu dan menunggu!”<br />“Cuma .... Pak Joni! Kalau boleh ... ijinkan Agni ini menelusuri beberapa tempat, agar tidak penasaran ...”<br />“Kalau tidak boleh ....?”<br />“Ya ... tetap akan aku telusuri ....hihihi!”<br />“Kamu tetap Agni yang aku kenal! Kepala batu! Susah diatur! Baiklah ... kamu minta tolong saja sama teman-temanku di ‘list’ yang aku berikan! Nanti sebelum kamu berangkat aku kontak mereka! Kapan kamu berang ...?”<br />“Sekarang, Bos!”<br />“Sudah aku duga! Dasar gilamu itu gak sembuh-sembuh dari dulu!”<br />“Bos ... kalau merepotkan .... it’s oke aku telusuri sendiri saja!”<br />“Hei .... kamu boleh saja gila! Tapi bukan berarti bisa ngatur orang sembarangan! Sudah sana pergi ... aku muak lihat muka orang keras kepala seperti kamu!”<br />“Baik ... baik, Bos! Makasih ya!” Agni segera beranjak dari duduknya. Dia tahu sekali kalau dibalik Pak Joni itu cuma kulit luarnya saja, si Bos pasti akan membantunya sekuat tenaga.<br /><br /># # #<br /><br />BENTARA KAHURIPAN<br /><br />Terdampar di tengah panggung<br />Bentara abadi milik Sang Ada Hidup<br />Lakon telah terpatrikan<br />Tiada dapat mengelak<br />Tiada daya menampik<br />Tiada kuasa menolak<br />Pada apa yang telah dihidangkan<br />Untuk dikecap<br />Sampai mendapat saripati<br />Berbekal penyerahan penuh<br />Meresap sebagai gita abadi<br />Te Invocamus <br />Te Laudamus <br />Te Asoramus <br />O Beata Trinitas <br />Tri Tunggal Sejati Kuasa Tinggi<br />Sang Sutradara Agung<br /><br /><br />Pada akhirnya ....<br />Cuma berserah dan berdoa!<br />Ya, cuma berserah<br /> Bertelut lutut<br /> Pada Skenario Agung<br /> Milik Sang Sutradara<br /> Yesus Kristus!<br />Mas BimBim,<br />Telah Mitha tetapkan kalo cuma berserah<br /> Dan berdoa saja yang kini tinggal<br /> Mitha lakukan!<br />Mitha pasrahkan semuanya<br />Ya .... semuanya<br />Pada kehendak Sang Khalik ini ...<br />Mas BimBim bertahan ya ...<br />Karena sampai sekarang pun Mitha masih yakin kalau Mas bimBim akan kembali pada Mitha, Cah Ayumu seorang ....<br />Yesus ....!<br />Sertai dan bimbing Mbak Agni!<br />Mitha gak bisa dan memang gak boleh mencegah kemauan Mbak yang satu ini .... untuk mengunjungi beberapa tempat yang kemungkinan dapat memberi petunjuk keberadaan Mas bimBim!<br />Mbak Agni ... memang begitu! Kalau rasa penasarannya ditahan atau dilarang, justru akan mengecewakan diri Mbak Agni.<br />Bimbing dan jaga keselamatannya, ya Yesus!<br />Dan ....<br />Bapa kami yang di sorga,<br />Dikuduskanlah namaMu,<br />Datanglah KerajaanMu,<br />Jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga.<br />Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya<br />Dan ampunilah kami akan kesalahan kami,<br />Seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;<br />Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,<br />tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.<br />Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan<br />Dan kuasa<br />Dan kemuliaan<br />sampai selama-lamanya.<br />Amin.PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-21763211028835981262009-02-04T14:22:00.000-08:002009-02-04T14:23:12.348-08:00AKU MEMILIH MAKA AKU ADALEMBARAN VII<br /><br />STUPA MAHAKARYA ABADI<br /><br /><br />Selantun nada keluar dari benda mungil nan canggih di dalam saku celana panjang Aji, yang segera mengeluarkan benda sumber nada tersebut, memencet tombol yes, serta membaca Short Message System yang baru saja diterimanya.<br />“Hmmm ... SMS dari Agni! Bawa kabar apa dia dari Bandungan? Mudah-mudahan sudah ada titik terang ....”, maka terlihatlah deretan berita dalam layar monitor si mungil alat komunikasi multi fungsi buatan manusia modern yang digenggam Aji:<br />From : 1st Twin Sister<br />Mz Aji, Mitha ga ad d Bndungan! Aq mo ke Ambarwa dl sbl k Kopng skg, dpt info klo ade qta suka ke mba Yos dsn. Mz ttp cr jg ya n keep in touch see ya!<br />Aji menekan beberapa tombol dan meletakkan kembali ‘si pembawa pesan’ ke tempatnya semula. Tangannya ganti merogoh saku bagian atas jaket parasut yang dikenakannya dan mengambil sebatang sigaret dari kotaknya, dibakar, dan dihisapnya dalam-dalam.<br />“Hmmmhh ....! Mitha, adikku, di mana gerangan kamu sekarang? Semakin carut marut saja misteri ini!”<br />“Engkau seperti hilang lenyap ditelan mayapada dan seakan tidak seorang pun tahu keberadaanmu, genduk ragil satu ini, perempuan bungsu nan malang, shit! Permainan apa lagi yang Kau rencanakan Sang Maha Misteri?” Ada sikap protes keluar dari benak Aji, sikap protes yang sebenarnya bermuara dari rasa keprihatinan mendalam atas apa yang tengah menimpa Mitha, adik kembar bungsunya itu.<br />Ya .... beberapa tempat yang dimungkinkan didatangi oleh Mitha telah coba ditelusuri, namun sejauh ini masih nihil! Jangankan untuk menemukan Mitha, untuk mendapatkan informasi di mana keberadaan Mitha sama sekali tidak ada titik terang.<br />Aji sepakat, demi efektivitas, berbagi dengan Agni, sang adik kembar pertamanya untuk mendatangi tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh Mitha. Sejauh ini Aji telah ke Klaten tempat Om Pranoto, adik laki-laki satu-satunya dari mendiang Mama mereka bertiga, hasilnya Mitha tidak pernah ke sana dalam beberapa bulan ini. Om Pranoto bahkan kaget bukan kepalang setelah Aji menceritakan apa yang terjadi pada Mitha, dan langsung berangkat ke Surabaya menemui Pakde Wismoyo, kakak Papa sang kembar tiga untuk langsung meluncur ke Jakarta menemui Papa Harisman.<br />Aji kena semprot habis-habisan karena tidak merundingkan dengan para orang tua mengenai kondisi Mitha dan hanya mengandalkan cara-cara penyelesaian model anak muda serba tak berpikir panjang, walaupun pada akhirnya Om Pranoto memahami sikap Aji dan Agni, serta Bulik Wahyu, istri Om Edi di Ungaran yang adalah juga adik kembar Papa Harisman untuk mencoba menemukan Mitha terlebih dahulu baru kemudian diadakan rembug keluarga. Om Pranoto sadar akan sikap keras Mas Haris yang hanya dapat dinetralisir oleh Mas Wis di Surabaya sana, dan mengambil inisiatif untuk menjadi pembawa kabar bagi para orang tua sedangkan Aji dan Agni meneruskan pencarian Mitha.<br />Setelah dari Klaten, Aji meneruskan pencarian ke Jogjakarta, tempat Monika teman karib Mitha di SMU dulu dan sekarang menimba ilmu di Kota Pelajar itu, hasilnya sama saja! Kemudian ke Magelang tempat Om Liem Wijaya, paman Hananto almarhum, yang juga cukup dekat dengan Mitha, hasilnya idem!<br />Belum lagi adiknya, Agni, yang menelusuri ke Bandungan, tepatnya ke ‘Graha Pendoa’ asuhan Kak Cornelia tempat si genduk ragil kerap berkunjung ke sana dan hasilnya nihil seperti SMS yang baru saja diterimanya!<br />“Oh God! Belum cukupkah tanjakan-tanjakan terjal yang harus dilalui Mitha, adikku tersayang, dalam menapaki hidupnya? Apalagi dia sedang berbadan dua sekarang, ada apa ini Tuhan?” Aji menerawang jauh sejurus deretan perbukitan Menoreh, perbukitan yang konon adalah wujud Sang Maestro Gunadharma dalam tidur abadinya di sisi mahakarya abadi nan megah yang diarsitekinya. Sebuah mahakarya berupa bangunan batu menutupi sebuah bukit sebagai wahana peziarahan menuju tercapainya moksa, kelepasan keakuan demi menyatunya diri pada Sang Khalik. Sebuah mahakarya anak-anak bangsa Nusantara pada masa wangsa-wangsa bertahta di tanah, tepatnya pada masa Wangsa Syailendra Wardhana di sekitar abad 7-9 M. Sebuah mahakarya hasil usaha keras dan cerdas yang memakan waktu 50-70 tahun untuk mewujudkannya, tidak hanya sekadar sebagai wujud keperkasaan dan kehebatan eksistensi manusia namun lebih dari itu merupakan implementasi ungkapan rasa syukur pada Sang Maha Ada, yang membuat kehidupan menjadi ada. Sebuah mahakarya bernama BOROBUDUR.<br />Bangunan candi yang boleh dikatakan merepresentasikan masa-masa puncak kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa dan masa puncak penghayatan akan ungkapan religiositas pada ajaran agama. Kerajaan baik bercorak Hindu dengan Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Gedongsongo, dan lain-lain. Atau juga kerajaan bercorak Budha, khususnya dari aliran Mahayana, dengan Candi Borobudur, Candi mendut, Candi Pawon, dan lain-lain. Bangunan-bangunan yang banyak bertebaran terutama di bagian tengah pulau kaya padi dan gunung berapi ini, yang merupakan simbol betapa makmur-tentram-relatif aman tata tentrem kerta raharja pada masa itu. Mengingat bahwa pembangunan sebuah candi tentunya akan menghabiskan dana yang tidak sedikit dan juga membutuhkan kondisi yang jauh dari adanya gejolak-gejolak pergolakan penuh carut marut intrik-intrik huru-hara atau perang berkepanjangan.<br />Sang anak muda setengah putus asa ini menyandarkan tubuhnya pada sebuah stupa besar di antara 72 buah stupa yang ada di seluruh bangunan candi, “Oh .... Tuhan! Aku memang jarang memohon padaMu, bahkan hampir selalu sinis menghadapi keberadaanMu. Namun kali ini, ijinkanlah aku, Aji sang penggerutu, memohon padaMu, ya hanya padaMu, untuk Kau berikan petunjuk di mana keberadaan Mitha, adik kami!”<br />“Kalau pun Kau mau ambil adik kami, seperti juga Kau ambil Mama dari kami di saat melahirkan kami bertiga, jangan Kau biarkan kami terlambat dan tidak berada di sisi Mitha di saat-saat terakhir, please God! Dengarkanlah kami!”<br />“Tuhan ...! Mungkin selama ini aku sama sekali tidak pernah membuang keakuanku setiap menghadap padaMu, dan tempat ini konon dibangun sebagai media perjalanan menuju kedekatan padaMu, maka biarlah aku mencapainya!” Ya .... Borobudur memang dibangun berdasarkan pemahaman religius bahwa manusia harus melepaskan segala keinginan diri demi mencapai nirwana. Sebuah tempat sebagai sarana ritual perjalanan menuju kelepasan samsara , ritual yang ditapaki dari bawah menuju ke puncak candi dengan melalui beberapa tingkatan atau tahap kualitas kehidupan. Proses perjalanan spiritual demi terbebas dari karma yang tentu saja tidak semudah mengedipkan mata.<br />“Karma! Benarkah itu ada, ya Tuhan?”<br />“Selama ini aku tidak pernah percaya akan konsep karma dan reinkarnasi, di samping aku juga dididik dalam ajaran agama yang tidak mengenal konsep-konsep itu. Namun, jujur ya Tuhan .... setelah apa yang terjadi pada Mitha, aku jadi bertanya-tanya, benarkah karma itu ada? Oh Tuhan ....!” Aji tertunduk lemah, hampir seluruh daya hidupnya musnah saat ini mengahadapi realita yang menyakitkan menganga di depannya.<br />“Hei .... Yang Maha Punya Hidup! Sungguh aku menyesal atas segala kemaksiatan diriku ini, atas dosa-noda-cela yang telah kutorehkan pada Anita di Temanggung sana! Tapi mengapa Kau timpakan balasannya pada Mitha? Kenapa tidak padaku, ya Tuhan?” Tersedu-sedu Aji mempertanyakan sekaligus menyesali segala perbuatannya di masa lalu, akan sebentuk ‘permainan rasa bahkan permainan api hasrat’ terhadap Anita, seorang gadis lugu yang dengan kesungguhan dan ketulusan hati menyayangi dirinya, namun justru hanya dijadikan boneka mainan oleh Aji.<br />“Baiklah .... seperti tujuan sejak semula datang ke sini! Aku akan wujudkan permohonanku dalam bentuk berziarah, ber-pradaksina di tempat agung ini! Ya, akan aku coba menapaki Borobudur ini dari bawah sampai atas sebagai laku atas permohonan pada Sang Maha Ada!” Aji bangkit dan mulai mempersiapkan diri, hati, serta pikirannya menuju pada satu titik fokus.<br />“Memang aku bukan penganut agama Budha. Bukan umat yang memegang ajaran dharma selaku jalan menuju pencapaian moksa meninggalkan samsara, tapi aku yakin Tuhan ada di mana saja dan selalu mendengar permohonan dengan kesungguhan hati seluruh umatNya apa pun cara yang dilakukannya!”<br />“Sang Maha Segala! Bimbing aku dan dengarkanlah permohonanku ...”<br /><br /># # #<br /><br />Sosok tubuh muda Aji telah berpradaksina memasuki undak-undakan ke-5 atau undakan terakhir dari badan candi, sebenarnya lebih tepat disebut stupa daripada candi, Borobudur, yang disebut Rupadhatu dalam bahasa Sansekerta dan berarti Dunia Rupa. Bagian stupa Rupadhatu ini merupakan simbol tingkat dunia manusia sempurna “Bhuwarloka”, tingkat ke-2 dari 3 tingkatan yang ada pada stupa peninggalan Raja Smaratungga ini. 3 tingkatan yang disusun berdasarkan dunia alam semesta menurut ajaran Sang Budha; dunia manusia biasa “bhurloka”, “bhuwarloka”, dan dunia kedewaan “swarloka” atau “swargaloka”.<br />Bhurloka diwakili oleh kaki-kaki stupa “kamadhatu” atau dunia hasrat, dengan relief-relief melulu menggambarkan perbuatan manusia yang selalu mengedepankan hasrat semata, dari hasrat memiliki, menguasai, mencelakakan, sampai hasrat seksual digambarkan secara apa adanya menurut penggambaran kala itu. Sehingga ada anggapan bahwa bagian “kamadhatu” yang sampai sekarang ditutup sejak pemugaran besar-besaran selama kurun waktu tahun 1973-1983, adalah karena relief-relief tersebut sebaiknya tidak diperlihatkan kepada khalayak umum. Relief-relief dalam “kamadhatu” dianggap terlalu vulgar untuk dipertontonkan.<br />Mungkin saja anggapan tersebut benar adanya, namun yang lebih tepat penutupan relief-relief tersebut adalah karena faktor keamanan, penutupan lebih ditujukan untuk menambah penopang bangunan stupa agar tidak longsor karena bangunan stupa Borobudur tidak memiliki pondasi ke dalam.<br />Aji berhenti sejenak, “O .... Jagad Dewa Batara! Gusti Pangeran! Sang Empu Segala Jagad! Sebentar lagi aku memasuki dunia tanpa rupa “Arupadhatu”, dunia tempat persemayaman para dewa! Bimbing aku ya Tuhan .... agar aku masuk ke kediamanMu tanpa membawa keakuan, tanpa kelekatan ego!” Aji memejamkan mata mencoba memusatkan darana menuju pratyahara , mencoba lepas dari segala keinginan dan hasrat diri sendiri.<br />Setelah beberapa lama, perlahan Aji membuka mata dan meneruskan perjalanan memasuki tingkat terakhir “Arupadhatu”. Sebuah bagian yang terdiri dari batur bundar dengan stupa induk di tengahnya, bagian sebagai puncak Stupa Borobudur. Sebuah mahakarya stupa raksasa yang dipenuhi stupa-stupa lebih kecil di seluruh bagiannnya, tidak kurang dari 1.472 buah stupa ada dalam Borobudur.<br /><br /># # #<br /><br />Aji telah menyelesaikan pradaksina-nya. Kemudian dirinya duduk mengambil sikap Dhyani Budha, sikap meditasi memusatkan hati dan pikiran seperti yang dilakukan Sang Budha gautama. Setelah berkonsentrasi dan mengatur pernapasan sebentar, Aji kemudian mengambil sikap Abhya-mudra, yaitu sikap tangan menenangkan batin. Mudra atau sikap tangan seperti tergambar pada arca Dhyani Budah Amoghasidda di bagian utara Stupa Borobudur.<br />Angin kencang berhembus pada senja pukul tujuhan malam ini, menerpa tubuh Aji, mengibaskan rambut panjang terurai miliknya. Namun tak mampu menggoyahkan darana sang anak muda penuh gelora dan penyesalan mendalam yang tengah mencoba untuk bangkit, untuk mencapai tingkat kesadaran dan kepasrahan yang hanya berpusat pada Sang Khalik.<br />Sementara Stupa Agung Borobudur menjadi saksi pergolakan batin sang anak muda, usaha olah batin yang melintasi lebih dari sekadar ritual keagamaan atau keyakinan tertentu. Usaha olah jiwa yang melampaui batas, merobek sekat-sekat aturan buatan manusia.<br />Sang mahakarya agung menjadi saksi.<br /><br /><br />LEMBARAN VIII<br /><br />SAMARNYA HALIMUN KOPENG<br /><br /><br />Saudara-saudara Terkasih,<br />Putera-Putera Yesus Sang Maha Adil!<br /><br />Ketika gaung Reformasi digemakan<br />Ketika slogan kebebasan dan keterbukaan diteriakkan<br />Ketika jargon demokratisasi deras diluncurkan<br />Ada secercah harapan tampil di dalam sanubari seluruh anak bangsa negeri ini yang mencoba berpijak pada kebenaran dan keadilan. Termasuk kami, yang walaupun kecil, mencoba untuk peduli dan bersuara. Suara keadilan. Suara kebenaran.<br />Apalagi realita yang kami dapati ternyatalah bahwa kebebasan, keterbukaan, keadilan, kesetaraan hanya omong belaka! Dikemas dalam bahasa-bahasa manis! Bahasa penguasa!<br />Saat ini dan entah sampai kapan,<br />Harga-harga kebutuhan kian melambung<br />Koruptor-koruptor psikopat masih bebas berkeliaran<br />Rakyat kecil masih akrab dengan penindasan<br />Presi kaum kuasa masih kerap dipakai<br />Ditambah .....<br />Muka-muka baru kaum kuasa justru mewarisi pendahulunya, hanya senang menumpuk harta!<br />Konglomerasi sama saja masih bertebaran di sana-sini<br />Manipulasi, suap-menyuap dan rekan sejawatnya malah jadi agenda harian para kuasa!<br /><br />Untuk itu, kami ajak semua yang masih punya nurani bersih untuk BERSIKAP,<br />Menggemakan suara kenabian sejalan dengan yang ditulis CANAAN BANANA :<br />PENGAKUAN IMAN RAKYAT<br />Aku percaya kepada ALLAH yang tidak buta warna<br />Aku percaya kepada YESUS KRISTUS<br />Lahir dari seorang perempuan biasa<br />Yang diejek, dicederai, dan diadili<br />Yang bangkit pada hari yang ketiga dan memukul kembali<br />IA menyerbu sidang-sidang dewan pertimbangan agung<br />Tempat IA menggulingkan pemerintahan yang dengan tangan besi mempertahankan ketidakadilan<br />Mulai sekarang IA akan melanjutkan peradilan<br />Terhadap kebencian dan keangkuhan orang<br />Aku percaya kepada ROH pendamaian<br />TUBUH yang mempersatukan orang-orang miskin<br />Kuasa yang mengalahkan kebengisan yang ada dlam diri manusia<br />Kebangkitan dari perikemanusiaan, keadilan, serta persamaan<br />Dan kemenangan terakhir persaudaraan<br /> Pdt. CANAAN BANANA<br /> Teolog dari Zimbabwe<br /><br />Maka agar selebaran ini tidak ikut-ikutan hanya menjadi selembar kertas penuh retorika bombastis!<br />Perlu dilanjutkan dengan AKSI !!!!<br />Ya .... AKSI yang menyuarakan suara KENABIAN<br /><br />DAN ....<br />Atas nama HATI NURANI BERSIH, kami undang siapa saja yang masih punya PEDULI untuk hadir dalam<br />AKSI KEPRIHATINAN DAN UNJUK SOLIDARITAS<br />Jumat, 25 Nopember<br />14.00 WIB<br />Di Bundaran Air Mancur<br />DATANG !!!!<br />Dan jadilah MANUSIA berhati nurani, PEDULI SESAMA !!!!!!<br /><br /> F A T S<br /> FRONT ANAK TERANG SEMARANG<br /><br />Tersenyum BimBim setelah selesai membaca selebaran dihadapannya, “Binsar ....! Binsar ....! Kamu tidak pernah berubah! Selalu bergelora, apalagi jika nyangkut masalah mengkritisi kesewenang-wenangan di depan mata!”<br />“Seperti apa ya Demo siang tadi? Jujur aku agak khawatir dengan selebaran ini!” Geleng-geleng kepala BimBim mencoba menyimak lebih teliti lagi deretan huruf-huruf dalam selebaran itu.<br />“Gila! Kamu nekat sekali Binsar! Tulisanmu ini sangat sangat provokatif dan terlebih lagi kental sekali warna sektariannya!” Tiba-tiba BimBim merasa sangat gelisah, menyadari bakal terjadi sesuatu terhadap Binsar dan teman-teman aktivis lainnya.<br />“Jujur, ini bukan gaya kamu yang biasa! Memang mana ada aktivis yang gak kenal Binsar, SANG HARIMAU AKSI! Tapi selain garang kamu juga tidak ceroboh!” BimBim masih keheranan akan sesuatu yang menurutnya ganjil dan bisa berakibat fatal bagi Binsar ini. Terbayang bagaiman Binsar, anak Medan sahabat karib Hananto almarhum, adalah motor penggerak penuh gelora sekaligus juga penuh perhitungan cermat dalam setiap aksi turun ke jalan yang dilakukan.<br />Binsar adalah aktivis mahasiswa yang tidak berprinsip ‘pokoknya demo’, dia selalu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, mulai dari banyak membaca, mendengar, dan melihat seputar isu-isu yang akan diangkat. Kemudian juga mempersiapkan skenario-skenario aksi di lapangan, skenario yang tidak hanya tunggal namun juga dipersiapkan ‘plan B’, bahkan sampai ‘plan C’ untuk keadaan darurat atau tak terduga. Binsar juga mempersiapkan bahan argumen untuk ‘lobby’ dengan pihak berwenang atau aparat. Singkat kata semua coba dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, termasuk juga dengan menghindari pemakaian kata-kata atau slogan-slogan, baik dalam orasi atau juga selebaran, yang menjurus pada provokasi asal-asalan dan berbau anarkis dan memojokkan pihak-pihak tertentu.<br />Tapi ini ...<br />“Pasti ada ‘sesuatu’ dalam aksi kali ini, dan Binsar nampaknya agak lengah! Mungkin ia masih terbawa emosi akibat berita rumah kontrakan Benjamin dan kawan-kawan di Purwokerto diobrak-abrik sekelompok massa tak dikenal beberapa hari lalu.”<br />“Bapa! Tolong temanku satu itu! Biarpun untuk urusan demo, aku dan Binsar sepakat untuk tidak pernah sepakat dalam hal cara dan model yang dipakai, namun Binsar adalah seorang pejuang tangguh dan orang paling konsisten dalam memegang prinsip yang aku kenal, sekaligus juga teman diskusi yang agresif dan menghibur! Please .... lindungi dia ya Bapa!” BimBim merasa prihatin membaca gelagat tidak baik yang akan menimpa Binsar. Intuisi dan logikanya berkata dalam satu benang merah, bahwa aksi demo kemarin siang kemungkinan besar akan bermasalah!<br />SELEBARAN yang bukan hanya kental nuansa provokasi sektarianisme! Lebih dari itu juga masuk terlalu jauh ke dalam wilayah ‘rawan’, wilayah FUNDAMENTALISME yang disodorkan secara serampangan! Asal tembak!<br />Binsar dalam BAHAYA besar!<br />Anak-anak Wisma dalam INCARAN!<br />Pergerakan telah memasuki areal yang bukan semestinya!<br />Dan BimBim percaya akan penangkapan mata batinnya. Mata batin yang seringkali tajam melihat yang tidak kasat mata. Mata batin yang kuat dalam panggraita deneng sasmita. Mata batin yang mungkin memang dianugerahi oleh Yang Maha Kuasa untuk cepat melihat gelagat tidak baik dari hal-hal yang tidak terlihat.<br />BimBim beranjak dari tempatnya duduk, di sebuah anak tangga bagian depan rumah panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu jati dan beratap genteng merah. Pikirannya gelisah emikirkan apa yang bakal terjadi dengan teman-temannya nun berjarak puluhan kilometer dari tempatnya berada sekarang. Ia beringsut pindah ke sbuah kursi panjang di teras depan rumah panggung itu, rumah di mana dirinya hadir pertama kali ke dunia ini, rumah masa kanak-kanaknya sampai saatnya menjadi ‘anak rantau’ di Semarang begitu memasuki masa pendidikan menengah atas, rumah milik kedua orangtuanya tercinta<br />Setelah menyeruput kopi hitam yang sudah lama menjadi dingin, BimBim berniat mengambil kotak sigaret yang tergeletak tidak jauh dari gelas kopi yang baru saja diminumnya. Namun tiba-tiba diurungkan niatnya itu, ia teringat janjijnya pada Cah Ayu untuk mencoba berhenti menghisap sumber nikotin dan tar itu dengan terlebih dahulu menguranginya sedikit demi sedikit.<br />“Sebaiknya aku berangkat ke Ambarawa sekarang untuk menemui Cah Ayu! Terlebih dahulu aku mampir ke Wartel-nya Mbak Santi di Pasar Sapi, ngecek kondisi Binsar dan kawan-kawan di Semarang!” Batin BimBim mempercepat dua jam lebih awal dari rencana semula kepergiannya dari rumah hari ini.<br /><br /># # #<br /><br />Dibaca ulang dua lembar surat yang telah dipersiapkan BimBim sejak tadi malam,<br /> Kopeng, 26 Nopember 2005<br />Salam dalam kasih Yesus Kristus juru selamat kita semua,<br />Bapak,<br />Pertama kali BimBim mohon maaf karena memberikan keputusan tidak secara langsung melainkan melalui lembaran-lembaran kertas ini. Kemudian, permohonan maaf BimBim yang kedua yang menjadi initi dari surat ini adalah karena pada akhirnya anak Bapak ini tidak menaati permintaan atau kemauan Bapak.<br />Pak, BimBim telah putuskan bahwa BimBim tetap akan melanjutkan rencana untuk menikah dengan Mitha! BimBim sangat paham betapa akan kecewanya Bapak mendapatkan kenyataan bahwa anak laki-laki satu-satunya di keluarga Nitidisastro, yang notabene Bapak gadhang-gadhang sedari kecil malah tidak memtuhi keinginan Bapak.<br />Lebih dari itu, BimBim bangga memiliki orang tua seperti Bapak, yang secara terbuka menyatakan ketidaksetujuan akan rencana BimBim namun tetap menjunjung tinggi demokrasi dalam keluarga. Di balik ketidaksetujuan Bapak mengenai rencana BimBim, karena pasti akan dipertanyakan banyak orang dan terlebih lagi bakal jadi bahan omongan, Bapak tetap menghormati sikap BimBim dan akan memberikan restu karena pada dasarnya Bapak tahu BimBim berniat baik.<br />Satu hal yang menjadi dasar utama Bapak keberatan jika BimBim tetap pada rencana, adalah bahwa terdapat kemungkinan yang tidak kecil pada akhirnya BimBim akan bercerai dengan Mitha karena memang jika Mitha tidak mencintai BimBim pernikahan ini hanya akan menyelamatkan si kecil calon kehidupan baru dari lahir tanpa ayah. PERCERAIAN, kecuali karena kematian, adalah hal yang tidak dapat Bapak tolerir. Untuk itu, tidak akan ada restu jika BimBim bercerai dan juga tidak akan ada restu kedua jika BimBim menikah lagi. BimBim sangat menghargai sikap Bapak tersebut! Dan BimBim akan menerima konsekwensi apapun itu yang akan BimBim terima.<br />Terima kasih atas semuanya.<br />Bapak,<br />Untuk selanjutnya BimBim akan menuruti saran Bapak agar melangsungkan pernikahan di tempat Paklik Budi yang pendeta di Wonosobo. Waktu pastinya akan BimBim kabari nanti, BimBim minta dukungan doa dari Bapak dan keluarga di sini.<br /><br />Ibu,<br />Ibu adalah orang berhati tulus yang pernah BimBim miliki! Syukur pada Yesus bahwa BimBim memiliki Ibu! Ibulah yang tiada pernah lelah memberikan pemahaman kepada Bapak akan kekuatan yang bernama CINTA.<br />Bapak yang teguh memegang prinsip bahwa nama baik keluarga adalah yang terutama. Bapak yang keras pendiriannya. Dan Bimbim, anakmu ini, yang khas gaya anak muda sok pahlawan, mencoba untuk bersikap dan berlaku seturut yang dianggapnya benar. Dua buah kutub sama-sama keras kepala mampu Ibu jembatani dengan baik.<br />Terima kasih Ibu.<br /><br />Mbak Santi,<br />Terima kasih atas pengertiannya untuk BimBim ‘langkahi’, walaupun Mbak Santi tahu betul konsekwensinya, apalagi dalam kehidupan masyarakat penuh mitos dan kepercayaan peninggalan nenek moyang ini. Mbak Santi pasti jadi bahan gunjingan, gosip, selentingan, dan lain-lain akibat pernikahan BimBim yang lebih dulu dari Mbak Santi. Namun, Mbak Santi meremehkan semua itu demi niat adikmu ini.<br />Sekali lagi terima kasih Mbak Santi.<br /><br />Maka ..... Bapak, Ibu, Mbak Santi,<br />Maafkan BimBim yang egois ini dan BimBim mohon selalu sertai dengan doa agar BimBim senantiasa melangkah dengan benar.<br />Semoga Tuhan kita Yesus Kristus selalu menaungi kita semua dengan limpahan kasih karuniaNya. Amin.<br /><br /> Salam hormat dan kasih<br /> Yohanes Haryo Bimo Wicaksono<br />BimBim melipat lembaran kertas yang sarat dengan rangkaian aksara itu perlahan-lahan, kemudian sejenak memejamkan mata dan menarik napas panjang, ia memasukkan lembaran sang pembawa pesan ke dalam amplop dan meletakkannya di atas meja belajar di kamarnya. Setelah berdiri mematung sejenak memandang kayu salib dinding dari bambu buatannya sendiri, BimBim melangkah keluar kamar dan terus berjalan menuju pintu keluar utama griya bersahaja yang ia yakin akan selalu dirindukannya nanti.<br />Maka .... melesatlah anak panah dari busurnya!<br /><br /># # #<br /><br />Kabut masih menyelimuti kaki-kaki Gunung Merbabu pagi ini. Sementara sang surya di ufuk timur nampaknya masih malu-malu memncarkan sinarnya ke wilayah dataran tinggi bernama Kopeng ini, padahal jarum jam sudah menunjukkan posisi tegak lurus antara jarum panjang dan jarum pendeknya.<br />Sementara, tapak-tapak kaki laki-laki muda usia ini melangkah lambat-lambat menyusuri jalan setapak yang di sisi kiri dan kanannya melulu dipenuhi himpunan tanaman wortel dan tomat. Tak lama berselang, setelah tiba di saung kecil di tengah-tengah hamparan perkebunan itu, BimBim sang pemilik tapak kaki berhenti, mengambil sigaret, menyalakannya, dan kemudian menghisapnya dalam-dalam.<br />“Cah Ayu, maafkan ....! Aku kepengin banget merokok sekarang! Ada perasaan tidak enak seperti akan ada badai menghampiri! Cah Ayu, aku gelisah sekali saat ini!”<br />“Ah .... mungkin ini hanya perasaan jelekku saja! Perasaan-perasaan yang timbul akibat pikiran berkecamuk dengan macam-macam hal! Tuhan ... tolong tenagkan aku! Aku harus menemui Cah Ayu di Ambarawa sekarang! Itu prioritas utama saat ini!” BimBim mencoba menenangkan gejolak yang bergelora di ruang hatinya. Beberapa kali sang sigaret dihembusnya dalam-dalam sebagai ekspresi kegundahan yang sangat.<br />Tanpa disadari BimBim, empat orang laki-laki telah berada didekatnya. Empat orang laki-laki dengan aura tak bersahabat!<br />“Kalau dirimu mau selamat! Ikut kami sekarang!” Salah seorang yang mengenakan jaket kulit hitam mendekat menghampiri BimBim.<br />“Eh .... ada apa ini? Hehehe .... aku ini orang bebas, kawan! Aku akan melangkah kemana aku mau tanpa paksaan! Dengar itu! Sudahlah aku tidak punya uang dan tidak ada waktu buat preman-preman kunyuk seperti kalian! Jangan memulai!” BimBim yang di masa lalunya akrab dengan hal yang menjurus maut, tidak kaget lagi menghadapi ancaman di depan matnya. Ia justru kaget bahwa keempat orang itu sudah ada dihadapannya tanpa diketahui, “Dasar ceroboh! Pikiran macam-macam membuat diriku lengah!” Batin BimBim memaki dirinya sendiri.<br />“Anak muda! Kami tidak main-main! Dan bukan Cuma kamu, keluargamu akan HABIS! Kalau kau bertindak bodoh! Paham!” Tampaknya sang pengancam tidak mau membuang waktu lebih lama lagi, ia segera mengeluarkan benda andalan tempat keluarnya apa yang dinamakan ‘timah panas’ dalam berita-berita kriminalitas di layar kaca. Begitu pula dengan ketiga orang rekannya.<br />“Kalian bukan sekadar preman rupanya! Baik ... baik! Aku menyerah! Kalian tahu kelemahanku rupanya ... jangan libatkan keluargaku, mengerti!” BimBim meyerah dan seketika itu juga ia menangkap gelagat bahwa hal yang tengah dialaminya ini adalah rentetan reaksi dari aksi Binsar dan teman-temannya di Semarang sana. Bahaya yang dirasakannya terbukti sudah.<br />“Ikut kami!” Sang laki-laki berambut pendek dua sentian dan berperawakan tegap itu tersenyum puas korbannya tidak berdaya, dan segera mencengkram tangan BimBim, mengikatnya dengan borgol, dan menyeret Bimbim meninggalkan tempat yang sudah mulai agak terang akibat kabut yang berkurang.<br />Tak lama kemudian, mereka tiba di penghujung jalan setapak yang langsung berlintasan dengan jalan raya Kopeng, sang laki-laki yang rupanya adalah pemimpin dari ketiga orang lainnya lagi memerintahkan untuk berhenti, “Stop! Pakai ini, cepat!” Dia mengenakan penutup kepala berwarna hitam pada BimBim.<br />“Ganda! Siapkan mobil! Yang lain tetap siaga!”<br />“Siap ...!” Ketiga orang bawahan yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suara dan melaksanakan tugas yang diperintahkan pada diri mereka masing-masing.<br />Sesaat kemudian Ganda telah kembali, “Mobil siap Pak! Tinggal menunggu perintah selanjutnya!”<br />“Baik! Berangkat sekarang!”<br />“Siap Pak!”<br /> <br /># # #<br /><br />BimBim tertunduk lemas menyadari apa yang terjadi, “Cah Ayu, bagaimana ini? Aku toh harus menuruti mereka agar dapat tetap hidup untuk akhirnya menyingkap tabir ini! Dan terutama untuk dapat mendampingi Cah Ayu menapaki perjalanan panjang kehidupan!”<br />“Cah Ayu .... maafkan masmu ini terpaksa ingkar janji! Ada badai antara yang harus dilalui terlebih dahulu ternyata! Tabahlah Cah Ayu! Tuhan, bimbing kami berdua!” Prihatin BimBim memikirkan kekasih hatinya akan menghadapi ujian untuk kesekian kalinya, sedangkan dirinya tiada daya merobek singkap di depannya.<br />Malka ada halimun samar nan pekat di Kopeng pagi ini.PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-21034198077466552722009-02-03T04:01:00.000-08:002009-02-03T04:02:43.951-08:00AKU MEMILIH MAKA AKU ADALEMBARAN V<br /><br />SEMARANG KOTA ATLAS<br /><br /><br />Dua minggu sebelumnya .........<br /><br />Gerimis kecil mengguyur pinggiran Ibukota Propinsi Jawa Tengah, gerimis yang sedari siang tadi seakan enggan berkompromi dengan terus-menerus datang dan pergi meneteskan titik-titik air di atas permukaan bumi pinggiran kota –yang dinamakan Banyumanik. Sementara arus jalan raya dari dan ke arah Kota Semarang seakan tak terpengaruh dengan kondisi alam sore ini, berbagai jenis kendaraan bermotor silih berganti melintasi jalan aspal hitam pekat bergelombang.<br />Seorang anak muda tampak sedang berteduh di sebuah warung kecil yang sedang tutup. Kedua tangannya bersedekap di dada memeluk erat sebuah kantong plastik hitam.<br />“Mimit! Sabar dulu ya, Masmu ini tidak bisa cepat-cepat memberikan kelengkeng permintaanmu.” Gumam pemuda tadi sambil tatapan matanya menerawang ke atas.<br />“Kondisi rem belakang ‘Si Kancil’ tidak memungkinkan jalan dalam cuaca hujan begini!” Tatapan matanya segera beralih pada sepeda motor yang diparkir di sampingnya.<br />“Hai Kancil! Sori ya, juraganmu ini belum bisa bawa kamu ke salon langgananmu alias bengkelnya Si Toni.” Laki-laki tampan dengan tinggi 174 cm ini menarik napas panjang.<br />“Sabar dulu ya Bro! Sebentar lagi kamu bakalan punya juragan kecil ..... so, anggaran ke salon dikurangi dulu oke!” Tangan kirinya memegangi sisi atas jok motor berwarna hitam milik ‘Si Kancil’.<br />“Kancil .... Kancil! Kamu memang tunggangan yang setia! Hampir-hampir gak pernah protes sama juraganmu ini ....”<br />“Ya ... 3 tahun lebih kamu nemenin Hananto Adi Wibowo, si juragan Cinamu hehehe! Dari mulai malam-malam panjang di jalanan .....” Pikiran sang juragan bercengkrama dengan tunggangannya melayang ke masa silam.<br />“Waktu itu .... kamu juga yang bikin nama Hanan tenar seantero anak-anak motor jalanan Semarang! Urusan tancap gas di jalanan serahkan aja sama Hanan dan Kancil-nya dijamin gak bakalan ada yang nandingin!” Tangan kirinya berpindah mengibaskan rambut pendek lurus yang basah terkena tetesan air hujan.<br />“Ya .... dengan style kepala plontos, kuping tindikan, jaket kulit hitam, apalagi ditambah congyang ..... soal ngebut habis perkara! Siapa aja aku ladeni!” Senyum tersungging di bibir tipisnya, setipis garis mata layaknya orang-orang berdarah ‘keturunan’.<br />“Hmmmhh .... aksi gila-gilan demi mendapatkan eksistensi diri, demi pengakuan biar lebih dianggap! Hahaha .... Hanan ..... Hanan! Untung gak mati konyol lu orang hanya demi pengakuan semu!”<br />“Yah ..... sampai masa pencerahan itu datang! The Enlightmen Era has Come! Ketika aku ‘ditemuin’ sama BimBim, Si Biang Kampret itu! Juga akhirnya ketemu Mimit! Kedua orang itulah yang membuat mataku ‘melek’ en bangun dari tidur indahku selama ini.” Diletakkan kantong plastik, berisi dua kilogram kelengkeng yang sedari tadi dipeluknya, di atas jok ‘Si Kancil’ dan segera tangan kanannya bergerak memegang sebuah bandul kalung berbentuk crufix terbuat dari platina murni di lehernya.<br />“Thanks Jesus! Engkau memang penuh dengan cara-cara ajaib dalam menuntun insan-insan liar serba salah jalan, seperti aku ini! Gak akan pernah aku lupakan bagaimana Engkau selamatkan aku lewat Si Biang Kampret itu, Biang Kampret yang berhati mulia .....” Tangannya kini menggenggam erat Salib kecil yang selalu menghiasi leher jenjangnya itu, dan menciumnya erat-erat.<br />“Ya .... hampir saja aku ‘habis’ dimassa alias diamuk orang-orang satu Simpang Lima gara-gara adu kebut dan nyerempet seorang ibu penjual nasi liwet di sana. Dan BimBim-lah yang menenangkan emosi massa serta membawaku keluar dari kemelut yang bisa berakibat fatal bagi diriku ... hmmmhh!”<br />“Ini! Minum tehnya dulu biar agak tenangan sedikit! Eh .... kalo gak salah kamu anak Ekonomi kan?” Tanya BimBim kala itu setelah mengajakku ke tempat ibu asuhnya berjualan di salah satu sudut tempat paling terkenal di Semarang. Ya, Semarang memang identik dengan Simpang Lima, sebuah tanah lapang yang sebenarnya bernama Lapangan Pancasila yang dikelilingi oleh lima buah ruas jalan serta pusat-pusat pertokoan dan sebuah Masjid besar.<br />“Iya benar! Aku memang kuliah di Fakultas Ekonomi, kok kamu tahu? Dan makasih ya .... buat bantuan dan teh angetnya!”<br />“Never mind guys! Gak usah dipikirin! Aku BimBim! Anak Sastra! Motormu itu lho yang buat aku tahu kalo kamu anak Ekonomi!”<br />“Oh ..... begitu, aku Hanan. Wah ternyata ‘Si Kancil’ ini terkenal juga sampai ke Sastra ya?” Aku terkesan sama keramahannya yang tulus.<br />“Gimana gak terkenal! Wong kalo lewat depan Sastra motor serba hitam polos ini pasti ngebut ¬edan-edanan! Hahaha .....”<br />“Aduh .... jadi gak enak body ...... terkenal gara-gara ugal-ugalan!”<br />“Jujur ..... sempat keki juga sih! Waktu acara MOMB tempo hari, motor kamu itu nyaris nyenggol barisan MABA yang lagi antri di gerbang, masih ingat buddy?” Ada senyum penuh arti terlihat dari bibir BimBim.<br />“Maaf .... maaf! Yah aku ingat banget! Kejadian konyol yang bikin aku diteriakin orang banyak!” Entah mengapa ada penyesalan begitu mendalam ketika aku sadari bahwa ulahku selama ini membuat kesal dan merugikan banyak orang.<br />Semenjak kejadian di Simpang Lima itu aku semakin dekat dengan BimBim, dan berkat dia pula aku mulai meninggalkan dunia kebut maut jalanan. Aku mulai masuk ke dunia yang sebelumnya sama sekali asing buat seorang Hanan, ya .... dunia kegiatan kerohanian! Sedikit demi sedikit aku mulai akrab dengan yang namanya Persekutuan, ‘Jumatan’, sharing, panitia Natal atau Paskah, Retreat, Bible Camp, Live In, dan lain-lain. Dunia yang ternyata membuat hidup ini menjadi lebih berarti dan dunia di mana aktualisasi serta eksistensi murni aku dapatkan setelah sekian lama aku cari di tempat yang salah.<br />BimBim pula yang mengenalkan aku dengan Si Mimit, kekasih sejatiku, yang juga dengan sabar dan setia mendampingi proses penyadaranku. Walaupun ternyata sisa-sisa keliaranku masih ada, sehingga aku menyeret Mimit bergelut dalam permasalahan sekarang ini.<br />Ya, kedekatanku dengan Mimit membawa kami terjebak ke dalam kenikmatan sesaat yang menjebloskan kami ke dalam lubang gelap dan sempit. Kemesraan kasih sayang antara Si Hanan ini dengan Mimit pada akhirnya melampaui batas-batas semestinya ... dan hasilnya sebentar lagi akan hadir juragan kecil yang tercipta di luar ikatan resmi. Badai yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dihadapi sampai ke kedalamannya.<br />Lamunan Hanan terhenti ketika dirinya tersadar bahwa kekasih hatinya tengah menunggu kelengkeng Ambarawa di tempat kos-nya, ia mengeluhkan rintik-rintik hujan yang belum juga mau menghentikan aktivitasnya bermain-main meluncur turun dari langit menuju bumi bagian selatan Kota Atlas ini.<br />“Mimit sayang! Aku yakin kamu pasti sabar menunggu kedatanganku! Karena kamu adalah orang yang paling sabar sedunia!”<br />Tersenyum Hanan saat lamunannya terlempar pada masa-masa indah kebersamaan antara dirinya dengan Mimit, sang kekasih. Saat-saat menyusuri Kota Atlas ditemani oleh ‘Si Kancil’ yang setia, saat terendam dan terjebak banjir di Bundaran Jalan cendrawasih sampai-sampai ‘Si Kancil’ menyerah tidak bisa jalan, saat kongkow di Papandayan atau di Taman Tabanas tepat di tengah Tanjakan Gombel hanya untuk melihat indahnya pemandangan gemerlap Kota Atlas di malam hari dari atas.<br />“Ah..... sayang! Di depan Taman Tabanas sekarang udah jadi restoran! Yah .... memang para investor adalah orang paling jeli melihat peluang mengeruk keuntungan!” Kembali Hanan bercakap-cakap dengan dirinya sendiri.<br />“So ..... sekarang kalo mau melihat pemandangan di sana otomatis harus mengeluarkan uang sekadar membeli hidangan yang disediakan! Sebentuk eksploitasi terhadap fenomena alam yang kalau kata Mimit serupa dengan di daerah Puncak, Bogor sana!”<br />Hanan kembali mengurai kenangan-kenangan masa lalu dalam lamunannya, yang kalau lamunan seseorang dapat digambarkan secara visual, maka akan terlihat jelas sisi-sisi Kota Atlas dalam benak Hanan. Mulai dari bagaimana dua sejoli penuh kemesraan dengan berteman kendaraan roda dua serba hitam pekat itu menyusuri Jalan Hayam Wuruk yang terkenal dengan deretan kafe-kafe mini kelas mahasiswanya, kemudian melewati Imam Bardjo, berbelok ke kanan masuk ke Pahlawan Boulevard, begitu BimBim biasa menyebut, yang penuh dengan warung-warung tenda dari mulai Bundaran Air Mancur UNDIP sampai ke Simpang Lima, baik di sisi kanan maupun sisi kiri jalan protokol itu.<br />Pasangan muda itu masih terus bergerak, setelah masuk Simpang Lima berbelok ke kiri ke Jalan Pandanaran terus ke barat melewati Tugu Muda dengan Lawang Sewu dan Gereja Katedral-nya, kemudian melintasi Jembatan Banjir Kanal Barat. Mereka berhenti sejenak karena terkena lampu merah setelah melewati Pasar Karang Ayu, dan perjalanan berlanjut dengan berbelok ke kanan terus memasuki kawasan Perumahan Puri Anjasmoro, salah satu perumahan elit di Kota Atlas ini, dan akhirnya ‘Si Kancil’ berhenti di parkiran Puri Maerokoco alias Taman Mini Indonesia Indah versi Jawa Tengah. Puri Maerokoco adalah sebuah obyek wisata di Kota Atlas yang mencoba mengabadikan kekhasan seluruh Kabupaten dan Kota Madya di Propinsi Jawa Tengah yang masing-masing diwakili oleh bentuk-bentuk rumah khas daerahnya. Terlepas dari kesan yang kuat akan plagiat dari TMII, usaha Pemerintah Daerah yang patut dihargai karena paling tidak ada tindakan riil untuk melestarikan warisan-warisan sosial budaya masing-masing daerah yang ada di Jawa Tengah. Sebuah langkah yang sepertinya perlu diikuti oleh propinsi-propinsi lain di negeri Nusantara ini, tentunya dengan kreativitas masing-masing.<br />Kehangatan seakan tak pernah lepas dari diri Hanan dan Mimit dalam acara tur imajiner mengelilingi Jawa Tengah itu. Sampai saatnya turun hujan deras secara mendadak sehingga acara tur terhenti dan mereka terpaksa berteduh, kemudian terpaksa hujan-hujanan melangkah keluar karena Sang Miniatur sudah saatnya beristirahat, dan akhirnya terpaksa bermalam di tempat kerabat Hanan di Puri Anjasmoro karena hujan deras masih saja mengguyur dan banjir mulai menggenang, rentetan kejadian yang pada puncaknya membuat mereka mereguk kenikmatan duniawi terlalu cepat pada saat yang semestinya belum waktunya. Maka terjadilah apa yang telah terjadi!<br /><br /># # #<br />“Han..... ! Sudah dua bulan ini siklusku tidak pernah datang ..... aku .... aku takut jangan-jangan ...... ! Ah, semoga saja gak benar! Iya kan Han?” Kepanikan yang sangat mengiringi perkataan lirih Mitha.<br />“Baik ..... baik! Mimit tenang dulu .... kita ke dokter aja ya untuk lebih memastikan! Cuma, kamu minum dulu ya!”<br />“Iya ...Han! Maafin aku ya, abis aku panik banget ... takut kalau aku .... ah ..... !” Derai isak tangis melanjutkan kekalutan yang tak tuntas terkatakan.<br />“Aku ngerti sayang! .... Tapi sekarang jangan mikir macam-macam dulu ya ... kamu minum dulu, setelah itu kita berangkat ke dokter!” Hanan mencoba menenangkan kekasihnya dan menyodorkan gelas berisi air putih yang disuguhkan Mitha untuknya.<br />“Makasih ya Han!”<br /><br /># # #<br /><br />“Selamat! Bapak! Ibu! Sebentar lagi akan hadir buah hati Anda berdua! Sekarang usianya baru sekitar satu setengah bulan. Mulai dari sekarang dijaga kondisinya ya Bu!” Dokter menyalami Hanan dan Mitha yang masih terhenyak kaget bukan kepalang mendengar ucapan selamat itu. Ucapan selamat yang lebih merupakan petir di siang bolong bagi mereka berdua.<br />“Ba... ik! Baik! Terima kasih Dok! Cuma apa memang sudah benar-benar positif Dok?” Hanan seakan belum percaya akan kenyataan yang dialaminya untuk menjadi seorang calon ayah.<br />“Absolutely right! Hasil Lab menunjukkan Positif!”<br />“Kalau .... begitu kami pamit dulu Dok! Terima kasih atas bantuannya!”<br />“Silakan! Jangan lupa untuk tetap menjaga kondisi ya Bu! Dan Bapak juga harus ikut membantu Ibu untuk menjaga si kecil ya!”<br />Hanan segera mengangguk dan menggandeng Mitha yang tidak bisa menahan tangis untuk melangkah keluar ruang pemeriksaan.<br /><br /># # #<br /><br />“Huh ...!” Hanan meninju papan warung tempatnya berteduh, ada emosi dan penyesalan mendalam coba disalurkan keluar melalui kepalan Hanan.<br />“Aku tahu penyesalan gak ada gunanya, namun setiap aku teringat kembali masa-masa badai itu .... selalu sesal berkepanjangan hadir dalam batin ini!”<br />“Oh .... God! Engkau ternyata memang tidak pernah meninggalkan anak-anakMu! Hanya seringkali manusia saja yang tidak menyadarinya! Aku ingat persis bagaimana masa-masa kegelapan setelah ‘kejadian’ itu justru nyaris berakibat lebih buruk lagi.<br />Aku yang gak bisa menerima kenyataan malah menjadi gelap mata mencari pembenaran dan pelampiasan, kembali ke duniaku yang lama hanya sekadar untuk berlari. Dan kembali Si Biang Kampret itu jadi penyelamatku, the savior yang gak pernah lelah mengangkatku dari lubang kehancuran!<br />Hahaha .... aku pasti gak akan pernah lupa! Biang Kampret itu bahkan gak segan-segan menghajarku yang ternyata setelah aku sadari sikapnya yang begitu adalah demi kebaikanku sendiri dan Mimit ‘adiknya’ tentu saja. Dia memang kenal betul watakku yang gak akan ‘masuk’ dengan kata-kata penghiburan dan lemah lembut namun hanya sekadar kata-kata. Dia tahu persis akan lebih mengena untuk menyadarkanku dengan kata-kata pedas penuh tantangan, dan bila perlu dengan hantaman tangan-tendangan kaki demi untuk memancing supaya emosiku keluar yang pada akhirnya akan membuat pikiran dan hatiku menjadi terbuka.”<br />“Yah ... sikap keras BimBim yang tadinya aku kira karena dia benci dan gak akan mau memaafkan ulahku, justru bertolak dari niatnya untuk memaafkan dan mengangkatku dari kemelut yang mendera. Dia memang kecewa, dan itu pasti!<br />Niat tulus yang jelas tergambar dari tidak pernah lelahnya Si Biang kampret itu ngedampingi sampai-sampai dirinya rela meninggalkan sebagian besar kegiatan organisasinya hanya demi menyadarkanku.”<br />“Tuhan! Aku baru sadari sekarang bahwa Engkau memang selalu menciptakan orang seperti Si Biang Kampret yang selalu hadir demi orang lain, terima kasih Tuhan!” Hanan memejamkan matanya demi menahan tetesan air bening yang bukan air hujan keluar dari sepasang netra miliknya sebagai wujud keharuan mendalam.<br />“Ah .... aku sudah terlalu lama di sini! Kasihan Mimit nunggu dari tadi” Hanan bersiap-siap meneruskan perjalanan ke tempat kos belahan hatinya.<br />“Ya ... aku harus jalan sekarang! Kancil! Kita pelan-pelan aja ya, come on let’s go babe!”<br /><br /># # #<br /><br />“Halo .... selamat malam! BimBim ada?”<br />“Iya ... saya sendiri! Ini Binsar? Eh .... tumben lo Batak Betawi hahaha ...! Ngapain Bin ....?”<br />“Bim .... bad news my friend ...! Si ....”<br />“Apaan ...? Oh .... Demo minggu depan kecium aparat? Tenang ... gak usah ...”<br />“Eh ... Kampret! Denger dulu .... en jangan motong-motong omongan orang!” Nada di seberang terdengar meninggi, dan BimBim tahu ada nada serius di sana, dia memilih diam!”<br />“Sekarang dengerin baik-baik! Teman kita Hananto kecelakaan! Si ‘Kancil’ disikat mobil di Jatingaleh ... en ....” Pembicaraan terputus.<br />BimBim memilih untuk tetap diam, “Han tabrakan! Binsar yang jadi cepat naik darah! Bad news ...! Alamat gak beres nih!” Firasat buruk segera terlintas di benak BimBim ....<br />“Bim! Han kita, Si Sembalap! Udah pergi, Bim! Pergi .... buat selamanya! Elo ngerti Bim?”<br />BimBim masih terdiam .... “Bim! Elo baek-baek kan? Han sekarang disemayamkan di Elizabeth, Rumah Duka, gue udah di sana sekarang sama temen-temen GMKI ...!”<br />Kediaman masih merajai BimBim, “Bim ... tapi Mitha belom ...”<br />“Baik ... baik! Mitha belum dikasih kabar kan? Aku bisa ngerti kawan! Hanya kita berdua yang tahu apa yang sedang dihadapi Han, your roomy, dan Mitha!”<br />“He-eh Bim!”<br />“Mitha biar aku yang urus, oke! Cuma tolong kamu hubungi anak-anak PMKRI, kayaknya disemayamin di Wisma aja deh, di rumah sakit biayanya besar! Terus ... Om Liem yang di Magelang gimana sudah tahu belum?”<br />“Beres kawan! Gue sama yang lain juga berpikiran begitu en Om Liem juga udah dikasih kabar, sekarang lagi dalam perjalanan kemari!”<br />”Bim! Gue serahin Mitha ke elo! Cuma elo yang tahu gimana cara nyampein kabar bangsat ini ke dia!”<br />“Eh ... Bin! Tenang .... kalem, teman! Kita semua prihatin .... Cuma harus tetap dingin! Oke ... kamu bisa janji untuk tetap dingin?”<br />“Maaf Bim, gue kebawa emosi! Aku janji! Thanks!”<br />“Sama-sama!”<br />“Klik ...!”<br /><br /><br />LEMBARAN VI<br /><br />DATARAN TINGGI TEMBALANG<br /><br /><br />1. 31 Juli ‘04<br />02.15 WIB<br />Di kampus setelah hari pertama MOMB,<br />Sebelumnya aku jarang sekali nulis-nulis kayak begini, bisa dihitung dengan jarilah.<br />Cuma mulai sekarang aku yakin bakal sering nulis apa ya .... diary ... kali ya .... hehehe! Tidak terbayangkan seorang BimBim jadi sentimentil kayak sekarang.<br />Eh .... apa iya menulis apa yang dirasakan dalam batin itu sentimentil? Mungkin ini apologi, tapi stigma cowok yang nulis diary atau sejenisnya adalah sentimentil, melankolis, atau bahkan cengeng itu ....<br />SALAH BESAR!<br />YA .... S.A.L.A.H . B.E.S.A.R.!<br />Coba saja, kalau label itu benar ... bagaimana dengan Kierkegaard atau Soe Hok Gie? Mereka adalah orang-orang garang dalam mengkritisi ketidakadilan disekitarnya dan selalu mencoba melandaskan diri melulu pada kebenaran, tapi mereka juga adalah manusia-manusia yang paling rajin untuk menulis catatan harian.<br />Huh ... stigma yang hadir sebagai bentuk gengsi, prestise, keakuan kaum laki-laki demi bisa mengangkangi perempuan! Dasar ...!<br />Eh .... eh .... BimBim! BimBim!<br />Mau nulis yang ROMANTIS masih saja terbawa IDEALIS!<br />Tapi asik juga istilah ROMANTISME yang IDEALIS!<br />Rasa berpadu dengan nalar<br />Hati bergandengan tangan dengan logika ....<br />Oke .... back to the point!<br />Hari ini, tepatnya kemarin siang<br />Ada getar menjalar<br />Ada rasa menjelajah<br />Seluruh tubuh<br /> jiwa<br /> aliran darah<br /> detak jantung<br />semua yang bermuara<br />dari HATI .... !<br />Entah disebut apa namanya<br />Hanya yang pasti<br />Tubuh ini serasa terkena magnet<br /> Daya tarik yang begitu kuat<br /> Ketika ada sosok ....<br /> apa ya kata yang tepat menyebutnya ?<br /> Nngg ....<br /> Ya .... A Y U<br /> S O S O K A Y U<br /> milik .... hmmm ....<br />C A H A Y U !<br />That’s right!<br />Hari ini magnet C A H A Y U<br />Menarikku ke dalam nirwana smarandana<br />Tuhan .... ! Terima kasih!<br />Ternyata aku masih bisa punya rasa SAYANG!<br /><br />2. 31 Agustus ‘04<br />19.30 WIB<br />Cah Ayu,<br />Terima kasih buat kiriman SMS-nya!<br />Jujur .... !<br />SMS paling berkesan yang pernah aku dapatkan!<br />Gimana nggak!<br />SMS ucapan selamat on my birthday beserta sebentuk doa dari Cah Ayu .... ya dari Cah Ayu .......... wow!<br />310804 07.02<br />dari Cah Ayu<br />I pray to God to<br />o +<br /> ,L.<br />,.J ll<br /><br />BLESS<br />You<br /><br />GUIDE<br />You<br /><br />SAVE<br />You<br /><br />Give you<br /><br />PEACE<br />JOY<br /><br />and<br /><br />happines. Zhu Ni<br />ShengRe KuaiLe<br />Sempet bingung juga sama gambar dan baris terakhir yang pakai bahasa negeri-nya Jacky Chan.<br /><br />17. 23 Pebruari ‘05<br />12.50 WIB<br />Cah Ayu,<br />Matek Aku! Seorang Hananto barusan curhat sama aku kalau dia sayang sama Cah Ayu!<br />Petir di siang bolong<br />Badai Tsunami<br />Rasanya tak mampu menandingi<br />Gemuruh rasa ini!<br />Hananto, adik pendampinganku, seperti juga Cah Ayu<br />Adalah sekaligus rivalku!<br />Heh ..... aku gak boleh begini!<br /> Maafkan aku ya Bapa!<br /> Ampuni aku ya Yesus!<br /> Aku gak boleh mengacaukan<br /> Aku gak boleh mencampur aduk<br /> Tanggung jawab pendampingan<br /> Tanggung jawab pelayanan<br /> Pelayanan is pelayanan<br />Apalagi, aku tahu persis, Han, arek Magelang sebatang kara itu, adalah orang baik hati.<br />Soal back ground-nya di masa lalu yang suka ugal-ugalan di jalan sama ‘Si Kancil’ kesayangannya tidak masalah .... karena aku ....<br /> Aku bahkan lebih bajingan daripada sekadar kebut-kebutan!<br />Cah Ayu,<br />Cinta adalah melepaskan!<br />Bapa, bimbing aku!<br /> Supaya selalu bisa tempatkan<br /> Rasa dan pelayanan<br /> Pada tempatnya<br /> Pada yang semestinya<br /><br /># # #<br /><br />“Jadi .... Mas BimBim! Selama ini Mas BimBim .....”<br />“Mitha ....! Tadi Mitha sudah janji kan, boleh kasih comment kalau sudah selesai baca semua, iya kan?”<br />“Iya .... Mas, maaf aku ketelepasan! Aku terusin bacanya ya Mas BimBim?”<br />“Oke .... aku juga masih senang melihat pemandangan dari sini, Cuma anginnya kencang banget. So .... kalau Mitha kedinginan kita turun aja yuk!”<br />“Jangan Mas BimBim .... aku gak papa kok! Kan ada jaket Mas BimBim! Lagian ini tempat favorit Mas BimBim yang dari dulu Mas BimBim pengen ajak aku kesini dan baru kesampaian sekarang!”<br />Terpaan angin kencang terus menerpa keberadaan dua orang anak muda itu, seakan menderu-derunya angin adalah ungkapam protes alam supaya mereka lalu dari tempat ini. Sepertinya alam berteriak, “Jangan-jangan kalian seperti yang lain! Hanya menodai tempat ini dengan tulisan-tulisan di batu dan batang-batang pohon atau membuang sampah seenaknya!”<br />Alam salah satu titik di puncak deretan perbukitan Tembalang ini memang pantas ‘berdemo’ menentang ulah tangan-tangan jahil yang merusak keaslian dan keindahannya. Ya ... tempat favorit sang aktivis kampus itu, memang bisa dikatakan Grand Canyon-nya Semarang. Sebuah tempat berupa bibir jurang yang kalau kita menghadap dan melayangkan pandang ke depan hanya akan didapati melulu deretan bukit-bukit nan elok dan eksotis.<br />Kali pertama BimBim menemukan tempat indah buatan alam ini, dirinya tak habis-habis terkagum-kagum, “Hei ... ternyata ada juga tempat begini bagus nan alami di Semarang! Kontras dengan hiruk pikuk Ibukota Jawa Tengah di ‘bawah’ sana!” Pikirannya menerjang menikmati fenomena alam yang baru saja didapatinya, laksana seorang anak kecil yang mendapat mainan baru yang sangat didambakannya. Dan waktu 4 jam dihabiskan anak muda gondrong eksentrik itu untuk menikmati apa yang disebutnya ‘Nirwana Terpendam Kota Atlas’.<br />Sejak saat itu, BimBim menemukan tempat menyendiri untuk sekadar mendapatkan suasana hening dan menepi sejenak dari aktivitas sehari-hari di kota. Sebuah lokasi yang cocok untuk menyendiri memang, karena letaknya yang terpencil dan bahkan mungkin tidak semua orang ‘Semarang Bawah’ tahu tempat ini. Tempat yang kalau dari arah kampus UNDIP Tembalang terus menuju ke daerah Sendang Mulyo dengan medan yang juga agak sulit, namun sebenarnya di sini terhampar alam yang kalau kita resapi keindahannya niscaya akan semakin menyadarkan kita betapa Maha Kuasanya Sang Seniman Agung.<br /><br /># # #<br /><br />20. 23 Oktober ‘05<br />01.35 WIB<br />Lagi nge-camp di Nirwana Terpendam Kota Atlas<br />Cah Ayu,<br />Udah lama gak nulis-nulis lagi ....<br />Dan<br />Sebuah pertanyaan bertengger<br />GILAKAH AKU INI?<br />Punya rasa SAYANG hanya untuk Cah Ayu?<br />Ingat ‘Bim, Cah Ayu sudah ada yang punya!<br />Eling ‘Bim, Cah Ayu sudah milik orang lain!<br />Sadar ‘Bim. orang lain itu gak lain Hananto, adik pendampinganmu!<br />Tahu diri ‘Bim, kamu bertepuk sebelah tangan!<br />Tuhan ....<br />Apakah aku ini Bagai Pungguk Merindukan Bulan?<br />Apakah aku ini kurang pasrah berserah?<br />Apakah aku ini gak bisa menerima kenyataan?<br />Apakah aku ini egois?<br />Sungguh Tuhan,<br />Rasa ini gak main-main<br />Rasa ini masih dan akan terus ada<br />Apakah harus aku pupus?<br />Apakah harus aku buang?<br />Apakah harus aku kubur?<br />Apakah harus aku pendam?<br />Bersama HARAPAN-HARAPAN<br /> ANGAN-ANGAN<br /> MIMPI-MIMPI<br /> Haruskah begitu?<br />Cah Ayu,<br />Mas BimBim-mu ini gak tahan lagi berbohong<br />Berbohong kalau aku ini cuma sebagai kakak pendamping<br />Berbohong kalau kedekatan ini hanya sekadar kakak-adik<br />Berbohong kalau aku ini gak punya rasa sayang<br />Bagaimana ini Tuhan?<br />Haruskah aku lepaskan rasa ini pada seseorang?<br />Haruskah rahasia ini aku buka?<br /> Rahasia ini aku ungkap?<br />Bapa,<br />Dada ini sesak sekali!<br />Jiwa ini letih sekali!<br />Bagaimana ini Yesus?<br />Cah Ayu begitu dekat namun tak terjangkau<br />Sebuah paradoks tercipta<br />ADA namun TIADA teraih<br />Cah Ayu,<br />Maafkan Mas BimBim-mu ini!<br />Kalau pada akhirnya<br />Sama sekali gak bisa membunuh<br />RASA SAYANG ini<br />Percayalah,<br />Mas BimBim-mu ini cuma mencoba untuk jujur<br /><br />27. 13 Nopember ‘05<br />01.30 WIB<br />Cah Ayu,<br />Seperti kata Kierkegaard, “Aku memilih maka aku ada”<br />Ya .... OPTO ERGO SUM<br />Telah kutetapkan akan aku katakan<br /> Akan aku buka<br /> Akan aku ungkapkan<br /> Semua rasa ini<br /> Ya .... RASA SAYANG INI<br /> pada Cah Ayu<br /> yang adalah MITHA<br />Sekaligus akan aku pinta<br />Cah Ayu untuk jadi Sigaran Nyawa-ku<br />Alias GARWA<br />Alias ISTRI<br />Jujur ....!<br />Apakah Cah Ayu memiliki rasa yang sama<br />Apakah gayung bersambut<br /> Sama sekali bukan yang utama<br />Lebih dari itu,<br />Sang benih mungil calon ada kehidupan di dalam rahim Cah Ayu harus memiliki seorang ayah .....<br />Hananto ....<br />Sungguh! Aku sama sekali tidak bermaksud mengambil kesempatan dalam kesedihan Cah Ayu<br />Cuma,<br />Semoga inilah yang terbaik yang bisa aku lakukan dan berikan buat kalian berdua, dan tanpa ada embel-embel lain yang mengiringinya<br />Yesus ....<br />Bimbing aku!<br />Semoga pilihan ini adalah yang terbaik yang aku punya<br />Fiat voluntas Tua!<br />Jadilah kehendakMu!<br />Amin.<br /><br /># # #<br /><br />“Mas BimBim ...” Mitha tidak dapat lagi meneruskan perkataannya, lembaran-lembaran yang baru saja selesai dibacanya sudah cukup menjelaskan.<br />“Ya ...Mitha! Itulah adanya aku, maafkan aku! Tapi kalau Mitha tidak mau, minimal terimalah aku sampai ‘si mungil’ hadir ke dunia, setelah itu Mitha bisa tinggalkan aku!”<br />“Sungguh ...! Aku tidak berpikiran apa-apa selain mungkin inilah yang terbaik yang bisa aku berikan ....”<br />“Semuanya aku serahkan sama Mitha! Sama sekali tidak paksaan dalam kejujuranku ini ....”<br />“Mas BimBim ..... Mitha sangat percaya dengan ketulusan Mas BimBim! Cuma ...” Airmata haru berlinang seiring perkataan yang tertahan, “Apa Mitha pantas menerimanya? Mitha yang penuh dosa ini?”<br />“Cah Ayu, kita semua adalah orang yang gak akan luput dari dosa ... dan semua bukan masalah pantas tidak pantas ....”<br />“Terima kasih Mas BimBim! Mas BimBim bantu Mitha belajar menyayangi Mas BimBim seperti Mas BimBim menyayangi Mitha ya ....”<br />“I’ll do my best Cah Ayu! Nah, sekarang jangan sedih lagi ya! Kita hadapi semua dengan senyuman!”<br />“Cah Ayu, ini barulah koma yang akan disusul dengan koma-koma lain. Ini belumlah titik! Yuk .... kita bertelut lutut bersama .....!”PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-75551726400491073722009-02-02T15:31:00.000-08:002009-02-02T15:32:12.613-08:00AKU MEMILIH MAKA AKU ADALEMBARAN II<br /><br />NIRWANA PULAU DEWATA<br /><br />Langit pinggiran Pantai Kuta mulai merambatkan cahaya, perlahan tapi pasti bulatan besar di ufuk timur mulai bangun dari tidur siap melaksanakan rutinitas menyinari bumi. Suasana ‘Sun Rise’ pagi ini nampak begitu elok setelah subuh tadi bumi kawasan Kuta tersiram percikan kecil bulir-bulir air dari langit. Butiran pasir tampak berkilau tertimpa cahaya surya fajar menimbulkan nuansa eksotis tersendiri yang dapat membangkitkan gairah penyair untuk menggoreskan penanya. Rona-rona berwarna jingga setia mengiringi pergantian waktu seperti hari-hari sebelumnya. Gulungan ombak silih berganti menerpa hamparan pasir yang masih menyisakan basah, sementara angin seakan malas untuk berbaur dalam fenomena alam melenakan.<br />Suasana begitu lengang, hanya ada beberapa orang bermain-main di sepanjang garis pantai. Sebagian besar dari mereka tampak sedang menikmati nuansa indah pergantian hari, ada lima orang turis asal Afrika sedang berkejaran beradu dengan ombak Kuta. Dan jika pandangan dialihkan pada Jalan Raya Kuta, tampak lengang pula di sana. Hanya sesekali kendaraan bermotor melintasi jalan satu arah itu, sementara tiga orang perempuan berusia kira-kira 40 tahunan sedang menyapu jalan sambil sebentar-sebentar berbincang riang hati. Tampak pula empat orang turis Jepang atau Korea tengah asyik mengambil pose di depan monumen papan selancar berukuran besar di sisi kanan Hard Rock Cafe Bali yang seakan mati. Kontras sekali dengan suasana enam jam sebelumnya di mana musik hingar bingar mewarnai lalu lalang orang disekitarnya. Di udara, Koloni-koloni kecil burung gereja beterbangan ke sana kemari meramaikan pagi.<br />Pada salah satu sisi kaki penyangga pos penjaga pantai, duduk seorang perempuan muda berpenampilan santai dengan celana jins robek di bagian dengkulnya dan berkaos oblong putih. Konsentrasinya terpusat pada lembaran kertas di pangkuannya tanpa mempedulikan sekitar. Seakan suasana pagi ini merupakan godaan bagi sang dewi pertapa muda yang harus diacuhkan kehadirannya. Sesekali balpoin di tangan kanan digunakan untuk menggaruk rambut hitam ala ‘Demi Moore’ miliknya yang sebenarnya tidak gatal, melainkan garukan cerminan dari ekspresi sedang berpikir.<br />“Huh, dasar Joni edan! Pagi-pagi begini bisa saja ngerjain orang, mending kalau dianggap lembur dapat kompensasi!” Gerutu gadis muda tadi sambil terus membolak-balik kertas dihadapannya.<br />“Ini lagi hasil report begini banyak susunannya nggak jelas! Ini sih sama saja kerja dari awal, mana nanti jam 10 sudah harus dikirim ke Jakarta lagi. Joni ... Joni! Sukses deh kamu bikin repot orang!” Tak berhenti gerutuan keluar dari mulut sang gadis cantik berperawakan gagah itu.<br />“Excuse me Miss, can you help me please? Bii ... sa ...... miii...nta .... tooo....loonng?” Seorang turis Amerika memotong gerutuan sang gadis.<br />“Oh .... do you wanna take a picture Sir? Okay, I will take it for you!” Ia segera bangkit,lalu mengebutkan tangannya pada bagian belakang celana jins-nya dan mengambil kamera digital yang telah disodorkan padanya.<br />“There! I wanna take a picture right there! With the sun shine for the back ground, okay?” Turis tadi menunjuk sebatang kayu besar yang tergeletak dimain-mainkan ombak tak jauh dari pos penjaga pantai.<br />“Okay! No problem Sir! Let’s go there!” Balas sang dara yang langsung berjalan ke tempat dimaksud sang turis tadi.<br />“Sir, can I take you twice for back up?” Tanyanya ketika mulai memfokuskan kamera.<br />“Okay! It’s up to you.” Turis tersebut segera berpose dengan kaki kirinya ditumpangkan pada batang pohon dan kedua tangannya dilipat di dada.<br />“Wow! What a good camera!” Puji sang gadis sambil mencari fokus yang tepat, “Okay Sir, are you ready? One .... two ... Once again, one .... two .....!”<br />“Okay! It’s done! Here’s your camera Sir!”<br />“Thanks a lot Miss .... Oh! You’re a journalist! Prajna Agni Mahardika! What a beautiful name you have ... very .... very classic!” Puji sang turis saat membaca nama sang gadis ‘pemotret dadakan’ lewat name tag yang dikenakannya, “What kind of information that you’ve report Miss Prajna?” Sambungnya lagi.<br />“I am in art and culture section Sir! And you can call me Agni!” Rana menjulurkan tangannya.<br />“Oh ... sorry! I am Clementine Robinson and you can call me Robby! Art and culture .... it’s very interesting field especially in a world that all thing works mechanically and digitally right now! It looks like ‘another world’.”<br />“Okay Agni! You look busy right now. Once again thanks a lot for your time and nice to meet you!” Robby mengeluarkan kartu nama dari dompetnya, “Here’s for you! You can call me anytime if you need any reference about your report!” Sambungnya sambil menyerahkan kartu nama tadi pada Agni.<br />“See you Agni!” Robby melangkah meninggalkan Agni sambil melambaikan tangannya.<br />”See you Robby!” Agni membalas lambaian tangan Robby.<br />Kembali Agni sendiri, ia tidak langsung kembali ke bawah pos penjaga pantai tempatnya tadi menyibukkan diri dalam lembar-lembar laporan kerja yang harus diselesaikannya. Dipandangnya kartu nama pemberian Robby tadi, “Hmmm .... Environment and Wildlife Care Fund! Ternyata orang NGO dia, simpatik juga sih ...boleh juga buat teman diskusi!” Gumam Agni pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian pandangan matanya beralih melihat sekeliling garis pantai. Tangannya dikembangkannya lebar-lebar menyambut segarnya desir angin yang mulai menampakkan diri walau masih agak bermalas-malasan. Hatinya segera larut menikmati fenomena salah satu tempat wisata unggulan pulau tetangga sebelah timur Pulau Jawa ini, tempat yang seakan menjadi ‘trade mark’ bagi Pulau Dewata. Belum lengkap rasanya kalau ke Bali jika belum singgah ke Kuta ini.<br />“Ah .... memang cocok sebutan Pulau Dewata disematkan pada pulau ini, alam dan suasananya wow! Bagai dilemparkan ke dalam dongeng-dongeng masa kecil, dan ....” Tersenyum Agni melihat sepasang bule tengah asyik memadu kasih tanpa menghiraukan sekitar, benar-benar dunia milik berdua!, “Disinilah tempatnya untuk bebas mengekspresikan diri menurutkan kata hati asal tidak mengganggu orang lain!” Diteruskan gumamnya sambil menundukkan tunbuhnya mengambil batu karang kecil di depan kakinya dan kemudian dilemparkannya jauh-jauh ke arah laut.<br />“Di sini memang unik sekali, orang-orang bule yang berdatangan silih berganti dengan berbagai macam latar belakang budaya dan kebiasaan berbaur tanpa mempengaruhi budaya dan pola hidup masyarakat lokal.” Agni berbalik dan kembali ke tempatnya meninggalkan berkas-berkas kerja.<br />“Sungguh fenomena yang menarik atau cuma karena aku begitu takjub melihat pola kehidupan yang berbeda, setelah selama perjalanan hidup lahir dan dibesarkan di tengah-tengah budaya Jawa? May be ....bisa jadi, aku toh baru satu bulan tugas di sini so ... belum seluruhnya dapat menghayati secara mendalam kehidupan masyarakat Bali.” Kembali Agni bercakap-cakap dengan dirinya.<br />“Dan lagi kehidupan di Jawa terkadang membuat hati ini muak dengan budaya patriarkalnya, bahwa laki-laki adalah sang kepala segala sementara kaum perempuan hanya kanca wingking swarga nunut neraka katut, teman yang hanya mengikut di belakang -mau ke surga ya ikut, ke neraka ya menurut, pasrah mau dibawa kemana oleh kaum laki-laki tanpa bisa mengambil sikap atau mengeluarkan pendapat, It’s bull shit! Belum lagi tata krama yang kuat mengikat, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, harus ini, harus itu. Pokoknya di luar yang telah digariskan adalah salah, adalah aib, noda, cela, huh!”<br />“Hihihi! Kok jadi sewot sendiri! Nanti malah dikira orang gila lagi! Ah .... mendingan menikmati pagi sembari menyusun report sialan ini! Biar nyusahin toh sumber mata pencaharian yang mau bilang apa.” Agni mengakhiri gerutuan dalam hatinya.<br />Kembali sang gadis bergelut dengan tumpukan data yang harus dirangkumnya menjadi sebuah narasi untuk ditampilkan pada program kebudayaan di stasiun televisi swasta terkemuka negeri ini tempatnya bekerja. Sesekali terlihat senyum tersungging dibibirnya terkenang akan kejadian-kejadian menarik selama proses pengumpulan data, namun kadang terlihat dahinya berkerut dangan tatapan mata terus terpaku pada deretan huruf-huruf dipangkuannya.<br />“Apa-apan nih? Kok terputus-putus begini! Coba dibaca ulang.”<br />“Tarian ini disebut Tari Baris .... ada sejenis Tari Baris yang dinamakan Tari Baris Gede dan ditampilkan pada Upacara Adat Piodalan di pura-pura .... Tarian ini diiringi oleh gamelan khas Bali .... sedangkan Upacara Adat Piodalan adalah upacara peringatan berdirinya pura yang diselenggarakan selama 6 bulan sekali menurut perhitungan orang Bali (1 bulan = 35 hari, jadi Piodalan diadakan setiap 210 hari) .... Ada lagi jenis Tari Baris yang dinamakan Tari Wali .... Tari Baris dilakukan oleh ....”<br />“Ah ... kok begini banget sih hasil investigasi Si Wawan Sableng itu! Bagaimana mau dibuat alur cerita kalau datanya putus-putus begini!” Setengah memaki Agni cemberut menghadapi pekerjaannya.<br />“Daripada buntu sendiri, mendingan dengar suara Katon dengan KLa Project-nya!” Ia mengeluarkan Disc Man berwarna hitam dari saku jaketnya dan menekan tombol play lalu dimasukkan kembali ke dalam saku jaket. Sesaat kemudian sang gadis memasangkan ear phone yang sedari tadi tergantung di leher ke telinganya dan kepalanya bergoyang mengikuti irama yang mengalun.<br />“....Sekian lama ‘tuk mengerti ....dirimu jadi misteri .... yang kian terselami ...” Suara riang keluar dari bibir mungilnya mengikuti alunan sepotong tembang “Tentang Kita”, sebuah lagu lawas milik KLa Project. Namun sesaat kemudian, dendang sang gadis terhenti ketika matanya tertuju pada kalimat di antara data-data yang sedang dirangkum.<br />“Eh ....eh .... kok langsung putus begini nggak ada kelanjutannya! Wah nggak benar nih Si Wawan buat outline interview-nya! Dasar!” Dengan kesal diletakkan tumpukan kertas dipangkuannya.<br />“Bilangnya saja sudah lengkap, Agni! Sudah lengkap ...kap!” Gerutuannya masih terus berlanjut, kemudian Agni mengambil bungkus sigaret dari tas kecil dipinggangnya, kemudian di ambil satu batang isinya, dinyalakan, dan dihisapnya.<br />“Ah .... What the hell dengan report! Salah sendiri Si Wawan ngasih data setengah-setengah, tidak lengkap!” Lalu dikeluarkannya Hand Phone kecil dari saku sebelah kanan celana jins lusuh seperti berhari-hari belum kena air plus deterjen. Beberapa saat kemudian Agni mulai berbicara lewat HP-nya itu.<br />“Hallo .... Pak Joni, ini Agni! Wah outline dari Wawan tidak lengkap Pak ...di-pending dulu saja ya Pak.”<br />“Iya Pak! Saya juga tidak bisa nambah-nambahin soalnya Cuma Wawan yang ngeliput. Bapak yang memutuskan ya, bagaimana baiknya.” Agni bercakap-cakap dengan Manajer Produksi Liputan, bosnya Agni, dari benda mungil multi fungsi itu.<br />“Saran saya Pak? ... Begini saja Pak ... mungkin sebaiknya edisi minggu ini biar timnya Rudi yang di Baduy maju saja, kan memang tim mereka minta dimajukan hasil liputannya karena mereka sudah ditarik ke Jakarta, bagaiman Pak?”<br />“Oke deh ......! Baik .... baik ....Pak! Minggu depan selesai, baik saya serahkan ke Wawan ... iya Pak pasti!” Agni masih terus bertelepon ria.<br />“Oh ya ....Pak Joni! Untuk selanjutnya liputan Kultur biar saya saja yang handle ya, Si Wawan biar di Nuansa Lain .... dia kan senang sama yang dugem-dugem begitu. Oke Pak Re-schedule biar saya yang atur ... Baik! Thanks Pak Joni! Bye!” Agni segera membereskan pekerjaannya setelah mematikan rokok putih –sebutan rokok yang dihisapnya untuk membedakan dengan rokok filter yang kadar nikotin dan tar-nya lebih tinggi- ditangannya.<br />“Wah ... lama-lama dingin juga anginnya! Aneh biasanya jam segini sudah mulai panas?” Sang dara memandangi arloji di tangan kirinya.<br />“Aha ....! Sarapan roti telur plus kopi pahit sepertinya enak juga! Ah ....mendingan pulang ke kos saja.” Sambil merapikan barang-barang bawaannya, ia bangkit dan melangkah menuju pelataran parkir. Sesampainya di dekat kendaraan bermotor roda dua 4 tak buatan negerinya Kaisar Akihito fasilitas dari kantornya, Agni bergegas merogoh saku celananya mengambil kunci kontak, kemudian bersiap menaiki motor bebek-nya itu. Tiba-tiba saat kaki akan mengayuh tuas starter, pikiran Agni seperti tersentak! Ada yang mengagetkan hatinya.<br />“Hey ...What’s wrong? Mendadak aku jadi kepikiran Si Mitha. Ada perasaan tidak enak menjalar di hatiku, pasti terjadi apa-apa sama Si Sableng itu.” Raut wajahnya mendadak berubah seperti orang yang dilanda kecemasan.<br />“Aahh ...! Perasaan ini semakin kuat saja, gawat! Aku harus ke Semarang sekarang juga! Eh ..... Mas Aji juga terasa tidak ya? Coba aku hubungi Mas Aji.” Cepat-cepat ia mengambil HP mungilnya.<br />“Uuuhhh ....! Kok tidak diang ...Halo Mas Aji! Di mana ini Mas? Apa masih di Pacitan?” Nada suaranya terdengar tidak beraturan.<br />“Ya.... ya..... Agni! Aku sedang di bis tujuan Semarang buat ketemu Mitha edan itu. Kamu lebih baik ke Semarang juga sekarang, aku punya firasat tidak enak about Mitha adik kita, oke?” Terdengar balasan dari seberang sana.<br />“Oke ...oke Mas Aji! Aku juga punya firasat yang sama. Aku langsung berangkat hari ini juga, nanti kita ketemu di tempat Oom Edi di Ungaran.”<br />“Oke! Hati-hati ya di jalan en jangan lupa bawa Brem Bali!” Suara dari seberang.<br />“Beres Mas! Nanti aku bawa, Mas juga hati-hati ya, bye!” Setelah mematikan HP-nya, Agni langsung menyalakan starter dan sesaat kemudian dirinya telah melaju di jalan raya.<br />“Aduh ....aduh .... Mitha! Kenapa tidak memberi kabar, ada apa dengan dirimu? Dasar dari dulu sableng-nya tidak hilang-hilang!” Gumamnya ketika sudah sampai di Jalan Legian. Pagi itu ruas jalan yang terkenal dengan pub dan cafe-nya masih sangat lengang, berbeda sekali pada malam hari terutama di akhir pekan saat keadaannya tak ubah seperti di Pasar Baru Jakarta kala menjelang Hari Raya. Setelah menyusuri jalan raya sekitar 20 menit lamanya, tibalah Agni di Jalan Imam Bonjol –salah satu jalan protokol di Denpasar- dan kemudian berbelok ke kanan memasuki jalan kecil buntu di mana tempat kos-nya berada, tempat kos dari awal ia bertugas di Pulau Dewata ini.<br />Agni masuk ke sebuah komplek bangunan bergaya khas Hindu dengan pagar dari tumpukan batu bata merah, memarkir motornya di tempat parkir, dan dilihatnya keluarga Wayan, keluarga induk semangnya baru saja selesai beribadah pagi di pura kecil di halaman samping komplek bangunan tempat kos-nya.<br />“Pagi Pak Wayan! Bu Wayan! Hai ... Cokorda, tidak kuliah hari ini?” Sapanya sekadar bertata krama.<br />“Nanti siang Mbak Agni! Dari mana saja pagi-pagi sudah keluar Mbak? Ada tugas liputan mendadak ya?” Tanya Cokorda, putera semata wayang Bapak dan Ibu Wayan, induk semangnya.<br />“Ah ...tidak, aku dari Kuta, jalan-jalan pagi sambil menyelesaikan tugas dari pusat.”<br />“Nak Agni ....maaf ya hari ini sarapannya disiapkan sendiri, Ibu ada pementasan di Balai Gubernuran pagi ini jadi tidak bisa menyiapkan sarapan.” Kata Bu Wayan yang memang merupakan seorang instruktur tari anak-anak.<br />“Oh ... tidak apa-apa Ibu! Biar nanti saya siapkan sendiri sarapan saya. Oh ... iya, Bapak! Ibu! Sekalian saya mau pamit ke Semarang untuk beberapa hari, ada keperluan keluarga di sana, nanti siang saya berangkat.”<br />“Baik ... baik Nak Agni! Hati-hati di jalan ya dan salam untuk keluarga di Semarang.” Sambung Pak Wayan.<br />“Nak Agni ... semuanya sudah Ibu siapkan di meja makan, tinggal meracik sendiri sarapan rotinya.”<br />“Terima kasih Bu! Saya permisi masuk ke dalam dulu, mari Pak! Ibu! Cokorda!”<br /><br /><br />LEMBARAN III<br /><br />KOTA PALAGAN<br /><br />“Terminal! Terminal! Ambarawa! Ambarawa! Habis! Habis!” Teriak seorang laki-laki muda dengan ikat kepala dari handuk kecil memberitahukan para penumpang kalau mini bus-nya sudah sampai tujuan terakhir. Para penumpang yang hanya tinggal belasan orang itu berduyun-duyun turun menuju tujuan masing-masing. Salah seorang diantaranya adalah seorang gadis muda dengan menyandang ransel besar di punggungnya, ia tampak agak kebingungan ketika kakinya melangkah turun dari mini bus tadi.<br />Setelah beberapa saat lamanya menoleh ke sana kemari, dirinya kemudian berjalan menuju deretan warung-warung sederhana masih di dalam areal terminal Ambarawa yang tidak terlalu besar-kalau tidak mau dikatakan kecil. Sorot matanya yang bening mengamati sejenak tulisan-tulisan di depan warung-warung tersebut sambil bergumam,<br />“Ah .... sepertinya makan soto ayam cocok sekali, biar badan jadi agak hangat.” Langkah kakinya beranjak menuju warung yang berada di bagian kiri.<br />“Kulonuwun, permisi! Ibu pesan soto ayam sama teh manis hangatnya satu ya!”<br />“Oh .... Inggih, baik Nak! Tasnya taruh saja di sini biar ndak repot. Man! Tolong buatkan teh manis hangat siji!” seorang ibu berusia 60-an menyambut sang gadis dengan keramahan khas Jawa.<br />“Anak ini sepertinya datang dari jauh ya? Mau kemana Nak?”<br />“Oh .... tidak Ibu! Saya dari dekat saja kok, dari Semarang! Saya mau ke temapt teman di daerah Kauman, ya hitung-hitung liburan di sini.” Jawab sang gadis sembari tanganya mengambil pisang goreng yang disediakan di piring.<br />“Sudah sering ke Ambarawa ini Nak? Ini silakan sotonya, nasinya banyak tidak?”<br />“Sudah Ibu cukup, jangan terlalu banyak! Nggg .... saya baru dua kali ini ke Ambarawa, jadinya masih agak bingung”, tangannya segera menerima mangkuk soto yang disodorkan si ibu dan kemudian diletakkannya di meja.<br />“Wuih ...! Masih panas betul sotonya! Cocok sekali buat udara sore ini! Mari Ibu, saya makan dulu!”<br />“Monggo Nak! Mari! Mari! Jangan sungkan-sungkan!” Ibu tadi kemudian masuk ke dalam, dan tak lama berselang keluar lagi sambil membawa segelas teh yang masih mengepulkan asap.<br />“Nah ... ini Nak teh manis hangatnya, silakan! Kalau boleh Ibu tahu Anak berasal dari mana?”<br />“Matur nuwun! Saya lahir di Jakarta Bu, di Semarang saya kuliah.”<br />“Oh ... begtu! Pantas logat Anak ndak seperti orang kelahiran Jawa asli. Ibu tinggal ke dalam ya!”<br />“Baik ... Ibu, silakan!”<br /><br /># # #<br /><br />Langit Ambarawa pukul lima sore hari ini nampak sedikit mendung, udara dingin mulai merasuki seluruh penjuru, kabut tipis-tipis mulai merayap menyelimuti sebagian atap-atap bangunan di sekitar terminal yang tidak terlalu besar itu. Sementara suasana terminal perlahan mulai menyepi. Para pedagang seperti ada memerintah, serentak mengemasi barang dagangan masing-masing dan melangkah meninggalkan terminal. Warung-warung kecil di sana pun mulai menutup diri, tinggal sedikit di antara mereka yang masih enggan mengakhiri perjuangan mencari ‘hidup’ untuk hari ini.<br />Tak lama kemudian, bulir-bulir air perlahan tertumpah dari langit, lambat mereka bergulir menuju tanah seakan enggan meninggalkan mega tempat mereka berkumpul bermain laksana anak-anak yang malas disuruh pulang meninggalkan tanah lapang arena bermain bersama teman-teman penuh kesukaan. Seiring gerimis yang turun, orang-orang di dalam terminal segera bereaksi, ada yang mencari tempat berteduh, ada juga yang bergegas beranjak meninggalkan terminal.<br />Sementara itu, di seberang jalan tepat di muka terminal tampak berdiri mematung seorang gadis dengan tas ransel besar bertengger di punggungnya. Tangan kanannya meremas-remas kertas putih –sebagai bukti nominal yang harus dibayarkan atas penggunaan jasa telepon- dari Warung Telekomunikasi di dalam terminal, wajah mungilnya dinaungi semburat kelabu pertanda kemuraman bersemayam di sana. Tubuh sang gadis berdiri membelakangi Jalan raya Ambarawa dengan aspal hitam bergelombangnya akibat berhari-hari menahan beban makhluk-makhluk bermesin tiada henti tanpa memandang ukuran. Mata bulatnya menerawang sayu pada benda berbentuk garis melintang vertikal dan horisontal yang bertengger di puncak sebuah bangunan besar peninggalan masa kolonial dulu; bangunan sebagai tempat ‘Persekutuan Orang Percaya’.<br />Titik-titik hujan yang jatuh dari langit tidak dihiraukannya membasahi raga dan rambut hitam berkilat sebatas bahu yang kini semakin berkilat karena bilur-bilur air bersarang di sana.<br />“Ya Tuhan ....! Cobaan apa lagi ini? Mengapa Mbak Yos tidak ada di tempat kost-nya hari ini? Mengapa Mbak Yos menginap di tempat familinya di Jogja hari ini? Oh .... Gusti! Mesti bermalam di mana aku sekarang?” Resah sang gadis memandang salib di puncak bangunan gereja nun di depannya yang perlahan mulai ditutupi kegelapan senjakala.<br />“Ah .... dingin juga udaranya!” Kemudian ia melepaskan ransel dan diletakkan di atas sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri, diambilnya sebuah jaket parasut tebal berwarna biru tua dari dalam ranselnya. Ia juga mengambil sebuah organizer kecil yang juga berwarna biru tua dan mulai membuka halaman demi halaman. Beberapa saat berselang wajahnya menengadah ke atas, semburat putus asa terpancar di sana, sementara sinar mata bening yang memancarkan keteduhan milik sang gadis perlahan-lahan meredup seiring suasana hati yang bergemuruh tak kalah dengan gemuruhnya pertempuran legendaris masa Revolusi Fisik tahun 1945-1949 di tempat ini. Pertempuran hebat sepanjang 12 hari yang diabadikan dalam bentuk Palagan Ambarawa.<br />Sesaat sang gadis menghela napas panjang sembari bergumam, “Oalah .... Gusti! Aku tidak punya kenalan lain selain Mbak Yos di sini! Aduh mesti bagaimana aku sekarang? Oh .... Yesus Junjungan hidupku! Berilah petunjukMu! Atau memang inilah hukuman terhadap piala lemah ini atas apa yang yang telah aku perbuat di hari-hari yang lalu. Tuhan .... bimbinglah aku, hambaMu yang penuh dosa dan cela. Beri jalan ya Tuhan! Karena bukan hanya diri hamba saja yang saat ini hamba bawa namun juga bersemayam pula dalam tubuh ini benih kehidupan baru, kuncup awal kehidupan yang tulus tiada nista.” Wajahnya tertunduk seiring terbentuknya sepasang garis bening di sudut mata beningnya. Garis aliran air yang bukan tetesan hujan membasahi pipi mewakili kepasrahan dan penyesalan. Diremasnya organizer bertuliskan Property of Sekar Ayu Paramitha a.k.a. Mitha di sudut kanan bawahnya.<br />“Ayo Mitha .... jangan menyerah! Yang maha Agung Di Atas segalanya pasti memberi jalan .... ya ...ya ..... pasti!”<br />“Angger! Anakku! Yang tabah ya Sayang! Masih di dalam kandungan saja Engkau sudah menerima cobaan yang berat. Ibu yakin kelak Kau akan menjadi seorang berhati sabar dan tabah senantiasa dari semua terpaan hidup. Tolong ya Tuhan! Berikanlah petunjuk!” Penghiburan berwujud doa keluar dari dalam hati Mitha ketika membelai perutnya yang belumlah kelihatan berdiamnya cikal bakal sebentuk pribadi di dalam sana.<br />“Ya Tuhan! Yesus Kristus Sang Pemimpin umat manusia! Pimpin aku! Aku harus tetap berada di kota ini sampai besok, sampai bisa bertemu dengan Mas BimBim terkasih. Berilah petunjukMu Gusti Yesus!” Mitha menyandarkan tubuh mungilnya pada batang pohon angsana besar di samping batu tempatnya meletakkan ranselnya, pancaran lelah tergambar di mata beningnya, lelah dalam mengarungi liku-liku perjalanan hidup.<br />Tiba-tiba, sebuah lembaran kertas terjatuh dari dalam organizer yang masih dipegangnya. Diambilnya kertas tadi, yang rupanya merupakan pembatas buku dan dibacanya tulisan yang terdapat di atasnya,<br />AJA PADHA SUMELANG<br /><br />Aja padha sumelang ing bab apa waé.<br /> Apa sing kokkarepaké aturna marang Gusti Allah sajroning pandonga,<br />suwunen kanthi saos panuwun. <br /><br /><br /> Filipi 4 : 6 versi Bahasa Jawa<br /> Gua Maria KEREB<br /> Ambarawa<br /><br />“Oh ....ya! Terima kasih Yesus! Akhirnya Kau jawab doaku! Aku tahu sekarang tempat di mana aku bisa bermalam! Ya .... Gua Maria Kereb! Dulu, Marcel, anak NTT itu pernah mengajakku menginap di sana untuk mengikuti Prosesi Jalan Salib, karena aku kepengin mengetahui bagaimana umat Katolik menjalani Ibadah Prosesi Jalan Salib.<br />Oh .... Thanks God! Akhirnya Kau tunjukkan jalan bagi hambaMu ini!” Sinar mata bening yang tadi mulai meredup kembali merona memancarkan cahaya pengharapan laksana fajar pagi menerangi bumi. Cahaya semangat akan merekahnya kembali asa hati.<br />Bergegas Mitha merapikan ranselnya dan segera meninggalkan tempatnya berdiri. Tubuh mungilnya terus melangkahkan kaki ke arah gereja yang sedari tadi dipandanginya, terus melewati deretan pagar gereja dan akhirnya berbelok memmasuki jalan kecil di sebelah pagar terakhir milik gereja. Mitha terus berjalan menyusuri jalan kecil yang menanjak itu, sementara sayup-sayup terdengar lonceng gereja berdentang tujuh kali seakan mengiringi langkah-langkah lambatnya. Langkah sang gadis melewati komplek perumahan di kanan kiri jalan, kemudian berganti melintasi kebun-kebun. Hujan telah berhenti, bunyi gemericik air tumpahan dari langit telah berganti dengan alunan paduan suara jangkerik susl-menyusul membentuk nuansa melodi khas kehidupan.<br />Selang lima puluh menit kemudian, Mitha telah tiba di depan gerbang komplek Gua Maria Kereb yang memang 24 jam selalu terbuka untuk dikunjungi oleh siapapun yang ingin berdialog dengan Sang Empu Alam Junjungan Sejati umat manusia secara pribadi ataupun berkelompok. Mitha menghentikan langkahnya dan duduk di samping pintu gerbang di atas batu beton persegi empat yang memang dibuat untuk tempat duduk.<br />“Terima kasih Yesus! Akhirnya aku bisa menghabiskan malam tanpa kebingungan untuk berteduh. Aku harus bertemu petugas di sini untuk meminta ijin bermalam!” Bara semangat terpancar dalam diri Mitha, yang segera bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam komplek peziarahan tersebut.<br /><br /># # #<br /><br />Bumi Palagan belum lagi terang, warna merah masih mendominasi hamparan langit di atasnya. Kokok ayam mulai bersahut-sahutan mengajak para penghuni tanah Palagan ini untuk kembali memulai aktivitas masing-masing mengisi kehidupan.<br />Mitha terbangun dari tidurnya yang belum lengkap, bola matanya terlihat tidak dapat membuka penuh tanda kantuk masih menghinggapi dirinya. Perlahan diraihnya botol air mineral di sisi kanan tempatnya tidur yang adalah sudut sebuah pendopo berukuran 10x8 m di dalam komplek peziarahan umat Katolik, khususnya yang berada di daerah Semarang, Ambarawa, Salatiga, dan sekitarnya.<br />“Hmmmhh ....! Aduh, badanku masih pegal-pegal!” Dilawannya kantuk yang masih menyengat dan perlahan-lahan dilipatnya selimut yang dipakai sebagai alas tidur.<br />“Pagi Nak Mitha! Bagaimana, nyenyak tidurnya semalam?” Seorang bapak menyapa Mitha dengan ramah.<br />“Selamat pagi Pak Handoko! Yah lumayan Pak bisa beristirahat sebentar.”<br />“Nampaknya Nak Mitha berasal dari luar kota ya?”<br />“Iya Pak! Saya dari Semarang! Bapak sudah lama bekerja di sini?”<br />“Wah .... kalau bekerja di sini, saya sudah puluhan tahun Nak Mitha!” Pak Handoko ikut duduk tidak jauh dari Mitha.<br />“Nak Mitha! Saya sedang memasak air, saya buatkan minum ya! Mau teh atau kopi?”<br />“Aduh ... Pak Handoko! Ndak usah repot-repot! Saya jadi merasa tidak enak!”<br />”Ndak repot kok Nak Mitha, sungguh! Ya ... hitung-hitung buat menghangatkan badan.”<br />“Matur nuwun lho Pak handoko! Kalau boleh saya nge-teh saja Pak!”<br />“Baik ... baik! Nak Mitha saya tinggal sebentar ya! Saya buatkan dulu! Silakan kalau mau meneruskan beres-beres lagi, saya tinggal dulu!” Pak Handoko segera beranjak dari duduknya dan pergi ke arah belakang pendopo.<br />“Terima kasih Tuhan! Ternyata Engkau masih memperhatikan diri ini lewat orang seperti Pak Handoko!” Mata bening milik gadis manis itu tampak berkaca-kaca terharu akan apa yang dialaminya. Sejenak ia terdiam, lalu dilipatnya selimut dipangkuannya dan dimasukkan ke dalam ransel. Setelah itu, Mitha mengeluarkan organizer kesayangannya. Dibacanya sejenak tulisan terakhir dan mulailah Mitha menulis ......<br />F.L.A.S.H. B.A.C.K.<br /><br />Bergetar ada sadarku<br />Tersentuh fenomena lam<br />Menggentarkan rasa menyalib jiwa<br />Sakit .....<br /> Gerimis seakan berjalan terus<br /> Dingin menggelontorkan airnya<br /> Merasuk pada sukma kelabu<br /> Perih .....<br /> Luka !<br /> Kembali menganga<br /> Merah melampaui segala duka<br /> Meraja nostalgi lalu<br /> Mengenang batin samsara<br /> <br />Hening .....<br /> Berkepanjangan disertai tanya<br /> Mengapa aku<br /> Mengapa tak henti<br /> Badai menghampiri<br /> Ataukah tak akan berakhir<br /> Tak akan pernah<br />Diam .....<br />Dibalik diam gejolak meraja<br />Rasa ingin memutar balik<br />Perbaiki kesalahan diri<br />Menata kehidupan<br />Lewati segala coba<br />Seperti hari ini<br />Menuai asa baru<br />Menghiasi sisi hidup<br />Sampai nanti<br />Ya .... sampai nanti<br /><br />Note : Segala sesuatu memiliki makna dikedalaman sarinya<br /> Kuatlah Mitha!<br /> Perjalanan masih sangat panjang dan berliku<br /><br />Tanpa disadari butiran air bening menetes dari sudut mata Mitha yang telah selesai menulis.<br />“Nah ....! Ini wedang teh-nya! Silakan Nak Mitha diminum jangan sungkan-sungkan!” Kehadiran Pak Handoko menghentikan lamunan dan tangis Mitha.<br />“Iya .... Pak! Terima kasih banyak Pak Handoko, jadi merepotkan Bapak!”<br />“Ndak ...ndak ....! Tidak merepotkan kok, ya Cuma teh orang pelosok mungkin tidak seenak teh di kota.”<br />“Ah .... Bapak! Terlalu merendah, enak kok Pak, sungguh! Apalagi wangi melatinya terasa sekali, jadi membuat segar!”<br />“Syukurlah! Kalau begitu Bapak tinggal keliling dulu ya nak Mitha! Diminum sampai habis teh-nya! Dan nanti kalau Nak Mitha ingin mandi, di kamar mandi kantoran saja! Di sana lebih bersih! Nak mitha tahu kan letaknya?”<br />“Iya, Pak! Saya tahu! Terima kasih atas kebaikan Bapak! Silakan kalau Pak Handoko mau keliling.”<br />“Mari Nak Mitha! Saya tinggal dulu!”<br />“Silakan, Pak Handoko!”<br />Pak Handoko berlalu meninggalkan Mitha yang masih menyeruput teh melati hangat buatan Pak Handoko. Mitha tersenyum teringat teh poci Simpang Lima Semarang yang selalu menemani malam-malam kebersamaannya dengan Mas BimBim terkasih.<br />“Mas BimBim! Aku tidak sabar untuk segera bertemu! Aku kangen Mas BimBim!”PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-51695618803026003362009-02-01T18:46:00.000-08:002009-02-01T18:47:50.620-08:00AKU MEMILIH MAKA AKU ADAAWALAN<br />Dibaca ulang apa yang baru saja selesai ia tulis ........<br />PERJALANAN<br />Hujan menghempaskan setitik air<br />Jatuh ke dalam pelukan sehelai daun<br />Sejenak diam di pangkuan sang bunga<br />Ditimang selaraskan kidung alam<br />Kemudian turun menyatu merahnya tanah<br />Berkumpul dalam mata air kehidupan<br />Mengalir terus mengalir dibawa hidup<br />Kadang meronta tidak seiring<br />Kadang merintih terbentur karang<br />Kadang terhanyut riang segala<br />Kadang tercenung dalam diam<br />Mengalir terus mengalir<br />Pada apa mau alam menggiring<br />Sesaat lepas melesat seirama sang aku<br />Sesaat pasrah akan suratan Empu Alam<br />Mengalir terus mengalir<br />Sampai tiba masa memanggil<br />Bernaung dalam lautan makna tak terkira<br />n.b. : Thanks a lot Mas BimBim! Yang selalu sabar menemaniku membuka lembar- lembar sang ada kehidupan<br /><br />Maka terbukalah lembaran demi lembaran,<br /><br /><br /><br /><br /><br />LEMBARAN I<br /><br />SITUS PACITAN<br /><br />Semilir angin pukul tiga pagi bulan Nopember merambat perlahan mengitari sekumpulan tenda di atas lembah berbatu. Dua puluh tujuh buah tenda berukuran besar dan kecil itu hanya diterangi lampu temaram 5 watt atau nyala api malu-malu dari dalam semprong milik lampu kecil yang biasa disebut ‘lampu teplok’ atau lampu tempel. Suasana sepi menyelimuti kawanan tenda tersebut, hanya gemuruh generator yang menjadikan kontras suasana, menggelora tanpa menghiraukan makian alam dini hari, ia tetap setia menunaikan tugasnya sebagai sumber penerang pengganti sang surya yang pergi ke belahan lain planet biru ini.<br />Sementara, di dalam tenda-tenda, tarikan-tarikan napas perlahan namun teratur tak bergeming pada raungan mesin berbahan bakar diesel itu. Mereka tenggelam dalam kenikmatan masa reses fisik dan jiwa dari kesibukan aktivitas sehari-hari. Masing-masing terbuai oleh hembusan angin melenakan mimpi seirama waktu yang seakan merayap membiarkan insan-insan tersebut memuaskan kebutuhan rutin mereka.<br />Namun di antara keheningan meraja, tepat di tengah-tengah kumpulan ‘rumah darurat’ tersebut, pada sebuah yang berukuran paling besar dari lain-lainnya tampak sinar lampu petromak masih menerangi seluruh ruangan. Seorang laki-laki muda dengan sebatang sigaret terselip dibibirnya tengah berdiri menghadap meja kayu jati tua berwarna cokelat. Dirinya tercenung dalam hamparan buku-buku beraroma khas dengan berat masing-masing rata-rata 2 kg. Sesaat kemudian, dilepasnya sigaret itu setelah sebelumnya dihembus dalam-dalam. Setelah itu tanpa melihat jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya yang mengapit sang benda mungil berasap penghasil nikotin dan tar tersebut diulurkan untuk mencari tempat persinggahan.<br />Ternyata sang sigaret jatuh ke tempat yang tidak diinginkannya, yaitu tepat di atas tumpukan kertas bertuliskan “Laporan Penelitian Mengenai Manusia Indonesia Mula-Mula”, “Wedus!” Segera ia melempar sigaret tersebut ke lantai tanah bercampur batu kerikil dan membersihkan abu yang berceceran di atas kertas laporan tadi.<br />“Ayolah wahai petromak, jangan kau mati dulu sebelum matahari menggantikan tugasmu! Sabarlah dan setia menemani!” Ia beranjak dari tempatnya berdiri menghampiri lampu petromak yang tergantung pada sebuah besi kecil tepat di tengah ruangan, setelah sebelumnya menyeruput kopi yang tidak panas lagi. Tangannya menyibak rambut hitam panjang melebihi bahu miliknya.<br />Ia kemudian mengambil lampu itu dan meletakkannya di bawah, dan sambil berjongkok, mulailah ia memompa tuas berkepala merah bergambar kupu-kupu berwarna putih yang ada di bagian bawah lampu.<br />“Come on baby! Jangan kau rusak mood yang ada dalam kepalaku. Bisa bangkit Pithecanthropus Erectus dan teman-temannya mendengar kemarahan Mr. Suryadi, dosen tercinta, jika laporanku tak kuselesaikan sekarang.”<br />“Okay honey, let’s continue our job!” Gumamnya sambil terus memompa.<br />“Good! Well Done! Akhirnya mau kompromi juga kau! Ternyata manja juga kau ya minta dirayu segala! Oh .... thanks God! Okay, now back to the report!” Ujarnya lega sambil mengangkat sang sumber penerang itu dan digantungkan ke tempatnya semula.<br />Kemudian tubuh bertinggi rata-rata lelaki nusantara itu berbalik menuju ke tempat kerjanya. Sesampainya di tepi meja, ia mengambil sebatang sigaret, disulutnya, dan dalam sekejap mulutnya sudah mengepulkan asap pekat. Tubuhnya sedikit mengigil diterpa angin Pacitan dini hari yang menusuk tulang, lalu dimainkan rambut gondrongnya ke kiri dan ke kanan sebagai gerakan spontan pengusir dingin.<br />“Ah ..... kenapa mesti orang luar yang pertama kali menemukan fosil-fosil nenek moyang ini? So, beginilah dokumen yang ada ditulis dalam bahasa mereka, huh!”, sambil menggerutu, tangannya membolak-balik Kamus Bahasa Belanda-Indonesia mencari kata yang menyulitkannya.<br />“Sungguh sebuah ironi! Ketika orang-orang macam Dubois dan Van Stein Callenfels sampai sekarang terobsesi untuk mengungkap tabir asal-usul Manusia Indonesia, justru sang anak bangsa sendiri asyik tenggelam dengan modernisasi penghasil manusia konsumtif sejati penuh gengsi serta kaum hedonis anti sosial! Eh ..... anggapan yang terlalu berlebihankah?” Tersenyum sang peneliti muda di tengah diskusi dengan alam pikirannya sendiri.<br />“Ataukah hanya sebuah apologi, pembelaan diri dari seorang mahasiswa Arkeologi yang frustasi serba iri, jurusannya kadung ditempeli label ‘ora kemedol’ alias tidak layak jual, tidak menjanjikan dalam kancah lapangan kerja? Ah ..... entahlah.” Pekerjaannya sementara terlupakan oleh pergulatan batin yang tengah dialaminya.<br />“Tapi tidak juga!” Nada pesimis dalam lamunannya segera ditepis, “Seorang Insinyur Soekarno saja yang notabene anak bangsa super cerdas lulusan ilmu teknik serba pasti dengan rumus-rumus dan hitungan absolut pernah berkata ‘Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah’ ..... eh ...... kok jadi ngelantur begini!”, Ia lantas bergulat kembali dengan kamus dihadapannya.<br />“Walah .....walah! Benar-benar dikerjain aku! Staatsblad sialan! Lembaran Negara jahanam! Diksimu kok susah sekali sih!” Dihisap sigaretnya lebih dalam dari sebelumnya sambil beranjak duduk di kursi yang juga terbuat dari kayu jati tua polos tanpa ukiran. Dihempaskan punggungnya pada sandaran kursi, diam sejenak untuk kemudian pemilik tubuh langsing itu tegak kembali menekuni pekerjaannya.<br />“Come on, guy! Seorang Wisnu Aji Dewobroto bukanlah orang yang gampang putus asa, wake up! Let finish these thing!”<br /># # #<br />Lamat-lamat mengalun suara Azan Subuh sebagai panggilan untuk bersembahyang, bersembah kepada Yang Maha Esa, bersujud menghadap Yang Maha Kuasa. Suara panggilan lembut yang berasal dari perkampungan penduduk di sebelah timur berjarak kurang lebih 10 km dari lokasi tenda-tenda Tim Eksvakasi Gabungan dari berbagai perguruan tinggi di Republik ini. Nampak mulai terlihat geliat-geliat kecil di sebagian tenda, pertanda sudah ada orang-orang yang menyelesaikan masa istirahat mereka dan bersiap tenggelam dalam aktivitas di hari yang baru. Sementara sang calon arkeolog muda di dalam tenda terbesar itu, masih meneruskan pekerjaannya. Kini, ia sedang mencari buku di deretan dua buah rak setinggi dua meter berisikan aneka ragam buku serta jurnal bahan referensi pendukung penelitian.<br />“Lho! Mas Aji masih belum tidur? Wah ngelembur ya? Saya buatkan mie rebus pakai telur buat sarapan, bagaimana Mas Aji?” Seorang laki-laki berumur 50-an masuk ke dalam tenda.<br />“Eh .... Pak Gimin, wah cocok sekali Pak! Boleh juga tawaran Bapak itu.”<br />“Baik .... kalau begitu saya siapkan dulu ya Mas Aji, permisi!”<br />“Terima kasih Pak Gimin! Seperti yang biasa yang Pak, pakai kecap dan saus.”<br />“Baik Mas Aji! Mari!” Lelaki yang masih tegap untuk ukuran seusianya itu pergi meninggalkan tenda.<br />“Mari! Mari! Pak Gimin!” Ujar Aji sambil menghisap sigaretnya yang entah sudah batang ke berapa sedari malam tadi. Ia masih mencari buku di dalam rak yang terletak di sudut kanan ruangan.<br />“Benar-benar implementasi kata-kata Kahlil Gibran, Pak Gimin itu, ‘Akar adalah Bunga yang Meremehkan Kemashyuran’, jiwa abdi sejati yang melayani semua orang tanpa mempedulikan balasan yang akan didapat. Entah gimana jadinya Tim Eksvakasi ini tanpa kehadiran Pak Gimin.” Gumam Aji sambil terus mencari buku yang diinginkannya.<br />“Ah .... di mana lagi itu buku ‘Teori dan Metodologi Sejarah’? Giliran mau dipergunakan malah tidak ada. Jangkrik! Pasti anak-anak yang ambil, dasar!” Gerutunya ketika buku yang dicari tidak ditemukannya. Namun, tak lama berselang aroma mie instan yang dibawa Pak Gimin membuyarkan kekesalan Aji.<br />“Permisi Mas Aji! Ini mie-nya, silakan dimakan dulu nati keburu dingin jadi ndak enak!”<br />“Iya Pak Gimin! Matur Nuwun! Terima kasih Pak! Lho Bapak kok tidak ikut makan?”<br />“Sudah, terima kasih Mas Aji! Saya nanti saja, silakan Mas Aji makan dulu.”<br />“Kalau begitu, Bapak temani saya ngobrol saja ya.” Aji menerima mangkuk mie tersebut sambil menghirup kepulan asapnya.<br />“Hm ..... hm ..... nikmat sekali! Mari Pak, saya makan dulu!”<br />“Monggo .... Mas Aji, silakan!”<br />Aji segera mengambil duduk di depan meja kerja di sebelah tumpukan buku-buku dan kertas laporan penelitian yang tadi dihadapinya. Dengan nikmat disantapnya mie instan buatan Pak Gimin sambil sesekali meniupkan mulutnya ke mangkuk.<br />“Pak Gimin, sedari kecil Bapak tinggal di sini?”<br />“Oh .... ndak Mas Aji, saya lahir dan besar di Wonogiri, di dukuh kecil tepi sebelah barat Bendungan Gajah Mungkur. Saya di Pacitan sini baru dua tahun Mas Aji. Maaf Mas Aji, boleh saya pinjam korek apinya?”<br />“Silakan Pak Gimin, ambil saja, itu di meja sana di atas layar komputer.”<br />Pak Gimin segera menuju meja yang ditunjukkan Aji sambil tangannya mengeluarkan rokok tingwe alias ngelinting dewe buatannya sendiri dari sebuah kotak kayu kecil berukir yang diambil dari saku jaket parasut hitamnya. Terdengar suara gemericik dari sigaret yang dinyalakan Pak Gimin dan tak berapa lama terciumlah aroma khas tembakau memenuhi ruangan berukuran 8x5 m itu diiringi oleh kepulan asap pekat berwarna putih keabu-abuan.<br />“Gimana Pak Gimin kerasan ikut dengan Tim Penelitian kami?” Tanya Aji lebih lanjut.<br />“Ya pasti betah Mas Aji, lagipula yang namanya kerja di mana saja pasti sama, ya pasti capek, contohnya ya Mas Aji ini, sampai harus lembur kurang tidur begini.” Sekali lagi dihirupnya dalam-dalam sigaret untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk tulang.<br />“Bapak memang dilahirkan sebagai tipikal Manusia Jawa sejati rupanya, konsep pasrah sumarah dalam memandang dan menghadapi hidup begitu melekat dalam diri Bapak lahir dan batin.”<br />“Yah .... begitulah Mas Aji, sebagai keturunan asli Jawa saya memang terbiasa dengan tata krama Jawa. Apalagi orang seperti bapak ini yang SD saja tidak tamat yang Cuma bisa menerima apa adanya, ya kan Mas Aji?” Sahut Pak Gimin sambil tersenyum penuh arti.<br />“Wah .... wah! Nyindir nih Pak Gimin! Mentang-mentang saya mahasiswa. Ya .... memang tidak sedikit kalangan berpendidikan tinggi, kaum intelektual“, Aji mengambil sapu tangan dari saku celana jins belel-nya, “terjebak jadi sok modern dan menganggap tata krama orang tua mereka sudah kuno, ketinggalan jaman.”<br />“Ya .... ndak nyindir kok Mas Aji, lagipula mahasiswa-mahasiswa di sini baik dan sopan.” Ujar Pak Gimin.<br />“Tidak apa-apa Pak Gimin, justru sindiran kadang dapat membangun. Lagipula saya bukannya tidak suka atau anti dengan adat Jawa. Terus terang banyak falsafah Jawa yang dapat saya resapi dan saya praktekkan dalam hidup sehari-hari. Walaupun tidak semuanya saya ambil, ada beberapa hal yang saya tidak sependapat dari falsafah atau adat Jawa itu.”<br />“Wah .... wah ....! Jadi ngelantur pembicaraan saya. Mending, sehabis makan merokok dulu!” Aji menyudahi sendiri pembicaraannya.<br />“Sudah Mas Aji, taruh saja di meja, biar saya saja yang bereskan.” Sahut Pak Gimin ketika Aji bergegas hendak membawa mangkuk mie instan yang sudah ludes isinya itu.<br />“Terima kasih Pak Gimin!” Kemudian Aji melangkah menuju kulkas kecil yang ada di dekat rak buku, membukanya, dan kemudian mengambil sebotol minuman ringan dari dalam kulkas itu, “Pak Gimin, boleh saya mencoba rokok tingwe Bapak?” Sambung Aji.<br />“Oh.... silakan Mas Aji, tapi kalau ndak enak jangan diejek ya .... maklum rokok desa.” Pak Gimin segera menyodorkan kotak kayu tempat rokoknya pada Aji.<br />“Nah itu! Basa-basi versi Jawa! Saya sampai tidak habis mengerti mengapa orang Jawa mau menghabiskan banyak waktu hanya untuk berbasa-basi? Sesuatu yang tidak efisien dan kadang justru mengaburkan inti pembicaraan!” Aji menyambut kotak rokok Pak Gimin, mengambil satu batang, dan menyerahkan kembali pada pemiliknya.<br />“Terima kasih, Pak Gimin!”<br />“Wah .... Mas Aji ini! Ya .... ndak sopan namanya kalau bicara terang-terangan, langsung tembak saja!”<br />“Tapi apa tidak capek dan tidak bingung menangkap inti pembicaraan Pak?”<br />“Disitulah letaknya Mas Aji, orang Jawa dituntut untuk punya Panggraita deneng Sasmita, untuk tanggap akan tanda-tanda atau perlambang yang tidak terucapkan, yang kuat sehingga dapat mengerti apa yang tidak kelihatan.” Pak Gimin mencoba berargumen tentang nilai-nilai yang telah ditanamkan sejak beliau kecil.<br />“Memang kepekaan untuk menangkap apa yang tidak terucap, yang tak kasat mata itu perlu. Cuma apakah untuk mempergunakan sasmita atau perlambang harus disertai bumbu-bumbu, berputar-putar dahulu mengelilingi halaman baru masuk rumah? Wah ... capek lho Pak Gimin! Kalau harus selalu begitu.”<br />“Wah .... nikmatnya tembakau ini! Tembakau dari mana ini Pak?” Aji segera mengalihkan pembicaraan yang menurutnya tidak akan pernah bertemu itu.<br />“Dari Temanggung Mas Aji, kemarin saya dapat kiriman dari adik yang jadi buruh perkebunan tembakau di sana.”<br />“Pantas! Rasanya khas .... jadi ingat Temanggung saya, kangen sama udaranya.” Aji menerawang sambil tersenyum penuh kenangan.<br />“Pak Gimin! Nampaknya Bapak akan melanjutkan kerja? Silakan tidak usah sungkan-sungkan.” Lanjut Aji ketika melihat Pak Gimin membereskan mangkuk dan gelas kopi di meja.<br />“Betul Mas Aji, ndak apa-apa toh Bapak tinggal dulu? Pak Gimin beranjak keluar tenda.<br />“Tidak apa-apa Pak Gimin! Silakan dan terima kasih buat mie dan rokoknya.”<br />“Iya Mas Aji, sama-sama! Mari, saya tinggal dulu!”<br />Suasana hening kembali menyelimuti, sementara Aji sudah tidak berselera lagi dengan aktivitas pembuatan laporannya. Sinar petromak juga perlahan mulai meredup lelah semalaman menunaikan tugasnya. Beringsut sang jiwa muda kelana itu mengenakan jaket, lalu mengambil bungkus rokok bersama teman setianya, sang pemantik api. Disapunya pandangan ke sekeliling ruangan dan dengan helaan napas tertahan, tubuhnya melangkah keluar. Dibiarkannya petromak meredup, sementara kakinya terus melangkah menjauh dari komplek tenda Tim Penelitian.<br />Tanpa menoleh ke belakang, Aji berjalan menuju dataran tinggi di sebelah barat komplek tenda, tempat favoritnya jika ia ingin menyendiri selama satu setengah bulan ia bergabung dengan Tim.<br />Daerah Situs Purbakala Pacitan mungkin memang sengaja diciptakan layaknya ‘The Lost World’, Peradaban Lampau Yang Hilang. Sebuah wilayah berbatu-batu beriklim kering yang dipagari oleh gugusan dataran tinggi dan lembah bebatuan menghampar. Sebuah wilayah yang terkenal dengan batu akiknya, yang bahkan konon kabarnya ada batu akik yang berharga ratusan juta rupiah di kalangan para kolektor.<br />Langkahnya terhenti pada sebuah tonggak kayu di puncak dataran tinggi, lalu tubuhnya berbalik dan menghadap ke bawah. Kerumunan tenda Tim tidak terlihat jelas dari tempatnya berdiri, hanya nampak siluetnya saja. Sementara cahaya lampu bersinar laksana kunang-kunang raksasa bermain-main dengan riang. Aji berdiri mematung sambil terus menghirup tembakau pemberian Pak Gimin dan sesekali mulutnya meludah mengeluarkan serpihan tembakau yang mampir di sana. Matanya lekat memandang area tidur panjang ‘Pithecanthropus Erectus’, manusia kera yang sudah dapat berdiri tegak, namun angannya telah berkelana jauh berkilo-kilo meter jaraknya menuju kenangan masa silam yang senantiasa menggugah hatinya. Perasaannya selalu bergetar kala mendengar nama Temanggung, tempat yang selalu tinggal dalam sisi ruang batinnya dan menyisakan memori sangat mendalam.<br />Di tengah lamunannya, tiba-tiba Aji tersentak! Dihirupnya dalam-dalam sang tembakau dan dibuangnya dengan resah, ada pikiran lain yang mengusiknya!<br />“Jangkrik! Mendadak kok aku keingetan sama genduk ragil, adik bungsu perempuanku. Ada apa Mitha? Dia memang berliku-liku jalan hidupnya.” Gelisah Aji mengambil sigaret dari jaketnya dan dinyalakan dengan cepat.<br />“Ah .... aku harus menghubungi Agni secepatnya! Kok mendadak pikiranku nggak enak, jangan-jangan ada apa-apa dengan Mitha.” Segera Aji meraba-raba saku jaketnya, kemudian pindah ke saku celana, “Jangkrik! pasti HP-ku ada di tenda!” Setengah berlari Aji menuruni punggung bukit tempatnya berdiri.<br />“Persetan dengan penelitian! Aku harus ke Semarang sekarang juga!”PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-67815441590380235902009-01-29T13:54:00.000-08:002009-01-29T13:55:32.345-08:00APAKAH CINTAPROLOG<br /><br />Apakah Cinta bukanlah sebuah rangkaian alphabet demi mempertanyakan C.I.N.T.A. apalagi mempermasalahkan. Ia hadir laksana letusan lava<br /> bagai gelegar halilintar<br /> seperti lesatan meteor<br /> serupa pelangi<br /> tiada terduga<br /> sebagai citra asa<br /> yang coba dipendam<br /> dikubur<br /> dibenamkan<br />memang pada akhirnya penyangkalan akan cinta justru memperkokoh-memperkuat-memperjelas keberadaannya. Karna daripadaNyalah cinta berasal, untuk kemudian bersemayam di palung hati terdalam, selanjutnya diejawantahkan melenyapkan keakuan, dan penghabisan bermuara kembali padaNya Sang Kuasa Tinggi Empu Hidup.<br />C.I.N.T.A. yang meminggirkan balasan dan hanya ingin mengalir terus mengalir meresap ke dalam relung-relung persendian jiwa, bukan menara gading<br /> bukan pula ego sentris<br /> bukan juga sangkar emas<br /> apalagi rantai pengikat<br /> ia hadir untuk melepaskan materi menyiratkan makna<br />Maka Apakah Cinta hadir hanya sebagai cermin akan apa yang sebenarnya sudah ada.PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-89258173072326114682009-01-27T02:17:00.000-08:002009-01-27T02:18:41.706-08:00LIHAT ITU SALIBLihat itu Salib<br /> Dipikul<br /> Dipanggul<br /> Dibopong<br />Lihat itu langkah terseret<br /> Dicambuk<br /> Dipecut<br /> Berdarah<br /> Ahhh … !<br />Lihat itu tubuh<br />Dipaku<br /> Direjam<br /> Ditombak<br /> Itu dikenang<br /> Itu diresapi<br /> Itu direnungi<br /> Itu bahan kontemplasi<br /> Itu materi diskusi<br /> Itu dulu … !<br />Sang Anak Manusia Mengejawantah<br />Sekarang<br /> Kini<br /> Hari ini …<br />Lihat itu Salib<br />Kosong<br /> Melompong<br /> Hampa<br />Terpajang indah penuh estetika<br />Terpasang penuh nuansa<br />Terbentang penuh romansa<br /> Tapi …<br /> Adakah dilingkupi makna<br /><br /><br /><br /><br /> Adakah diliputi selaksa doa<br /> Atau …<br /> Hanya simbol<br /> Perlambang<br /> Aksesoris<br /> Hiasan<br /> Benarkah ?<br /><br /><br /><br />Salib itu kehilangan spirit<br />Tertutup kelekatan<br /> Keakuan<br /> Absolutisme semu<br /> Sekat-sekat pranata<br /> Ciptaan ketakutan diri<br /> Benarkah ?<br />Belum<br />Not yet … !<br />Lihat itu Salib<br />Rindu dendam menanti<br />Penuh kepasrahan<br />Ditempatkan pada kesejatian eksistensi<br /><br /> <br /> 16 Januari 2001PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-45947586756837614572009-01-22T08:31:00.000-08:002009-01-22T08:32:13.503-08:00T E L A D A NLihat kayu itu dipanggul<br />Rasakan Tubuh itu disesah<br />Bayangkan Kepala itu dimahkotai duri<br />… Namun piala tetap diminumNya<br /><br />Lihat Tangan dan Kaki itu direjam<br />Rasakan Tubuh itu terpaku di salib<br />Bayangkan Badan itu dihujam tombak<br />… Namun lakon terus berlanjut<br /><br />Lihat deraan lahir menusuk jiwa<br />Rasakan cercaan menerpa batin<br />Semua begitu memilukan<br />Semua begitu menyayat<br />Semua begitu mengiris<br />Terurai dalam<br />Ketulusan<br />Kepasrahan<br />Kelembutan<br />Ketegaran<br />Melampaui segala bentuk keakuan<br />Citra Teladan menyemat<br />Dalam wujud Junjungan Manusia<br />Gusti Pangeran ingkang Kuasa<br />Yesus Kristus<br /><br /><br /><br /> 4 September 2001PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-20398522576515376412009-01-21T08:14:00.000-08:002009-01-21T08:15:06.582-08:00V I A D O L O R O S ASatu : Mengucur darah dan airmata yang adalah kasih<br />Dua : Menguak terurai sebagai luka tubuh demi penyataan Cinta Abadi<br />Tiga : Merasuk kalbu segala cercaan makian namun hati tiada berpaling<br />Empat : Maut menjemput mengajak mengarungi kedalamannya<br />Lima : Sampai akhirnya bangkit sebagai kebenaran hakiki<br />Enam : Sebagai Pawarta Agung<br />Tujuh : Bahwa kematianNya adalah demi penebusan<br />Delapan : Segala cela nista dosa umat manusia<br />Sembilan : Melebur dalam pasarah sumarah sepi ing pamrih<br />Sepuluh : Sebagai media murni kehidupan<br />Sebelas : Untuk Lahir Baru!<br />Dua belas : Menjadikan Sang Putera sebagai Teladan Sejati<br /><br /><br /> 23 Mei ‘03PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-89996063397617137622009-01-21T04:08:00.000-08:002009-01-21T04:10:03.659-08:00DUNIA PENDIDIKAN SEKOLAH MINGGUDunia Pendidikan Sekolah Minggu :<br />KEMANAKAH, WAHAI KAUM LAKI-LAKI?<br />Oleh : age<br /><br />“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya,<br />maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada<br />jalan itu.”<br /> Amsal 22 : 6 <br /><br />SEKOLAH MINGGU. Di dalam kehidupan bergereja tentunya bukanlah nama atau istilah yang asing terdengar di telinga. Secara umum, Sekolah Minggu adalah wadah bagi anak balita sampai masa usia pra-remaja untuk dididik dan diajar oleh para pengasuh atau guru Sekolah Minggu mengenai Firman Allah. Melalui Sekolah Minggu anak-anak dididik dan diajar untuk sedini mungkin mengenal Firman Allah. Dengan kata lain, Sekolah Minggu merupakan wadah pendidikan dan pengajaran iman Kristiani bagi anak-anak.<br />Dalam organisasi gereja, kehadiran Sekolah Minggu tentu saja bukan hanya sekadar pelengkap yang memang harus ada namun ya hanya sebatas ada. Sekolah Minggu merupakan bagian penting dalam gereja yang memiliki potensi dalam proses pembentukan anak untuk dapat tumbuh dan berkembang tidak hanya secara fisik dan intelektual semata, tetapi juga secara emosi, moral, dan spiritual.<br />Berkaitan dengan betapa pentingnya bidang pelayanan anak di gereja, sama pentingnya dengan bidang-bidang pelayanan yang lain baik kategorial maupun fungsional. Ada hal yang sedikit menggelitik penulis mengenai dunia pelayanan anak, dalam hal ini implementasinya di dunia pendidikan dan pengajaran Sekolah Minggu, khususnya dengan realita yang ada di dalam orang-orang yang terpanggil untuk menjadi pelayan anak. Hal yang menggelitik tersebut adalah pertanyaan, “Mengapa sedikit sekali kaum laki-laki yang terpanggil untuk menjadi pelayan anak?” Pertanyaan yang seolah diperkuat ketika belum lama ini penulis mengikuti Temu Nasional dan Workshop pelayan anak di Istora Senayan, Jakarta. Dari ribuan peserta yang hadir di acara tersebut, menurut pengamatan penulis persentase kaum laki-laki yang menjadi peserta sangatlah sedikit.<br />Mungkin pertanyaan di atas adalah sebuah pertanyaan yang biasa-biasa saja, atau bahkan terlalu mengada-ada! Namun, walaupun mungkin baru dapat dikatakan asumsi karena tidak ditopang oleh riset atau penelitian ilmiah, minimnya jumlah pelayan anak dari kaum laki-laki menyiratkan bahwa budaya patriarkal masih sangat kental dalam kehidupan bergereja!<br />Benarkah pendidikan dan pengajaran anak, dalam hal ini pendidikan dan pengajaran moral dan spiritual di Sekolah Minggu, terutama adalah porsi bagi kaum perempuan? Benarkah bahwa kodrat kaum laki-laki adalah bekerja keras untuk mencari nafkah bagi penghidupan keluarga, sehingga porsi untuk mendidik anak menjadi boleh lebih sedikit dibandingkan kaum perempuan? Dan benarkah bahwa di gereja, kaum laki-laki telah sedemikian sibuk mengurusi hal-hal yang sangat penting dan vital bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja, sehingga bidang pelayanan anak sudah selayaknya diserahkan pada kaum perempuan? Sungguh alangkah perlakuan yang diskriminatif jika pertanyaan-pertanyaan di atas adalah benar adanya!<br />Jika kita mau bercermin pada apa yang dikatakan Salomo di AMSAL 22 ayat 6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu.” Salomo tidak memberikan spesifikasi berdasarkan jenis kelamin kepada siapa perintah ini ditujukan, misalnya perintah ini khusus bagi kaum ibu atau kaum perempuan. Tidak, sama sekali tidak! Salomo mengarahkan perintah untuk mendidik orang muda atau anak-anak bagi semua orang baik kaum perempuan maupun kaum laki-laki tanpa terkecuali.<br />Memang jika berbicara secara kodrati, kaum perempuan adalah ibu atau calon ibu yang melahirkan anak-anak. Sudah sewajarnyalah bagi kaum perempuan untuk mencurahkan kasih sayang dan perhatian mereka demi memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak, sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan ini. Namun apakah tugas untuk memberikan pendidikan dan pengajaran anak hanyalah tugas kaum perempuan semata? Tidak, bukan! Salomo pun sebagai seorang laki-laki tidak menyatakan demikian.<br />Bahkan ketika Allah memerintahkan kepada anak-anak untuk menghormati ayah dan ibu mereka, sekali lagi ayah dan ibu! Bukan hanya menghormati ibu. Perintah yang tentu saja mengandung konsekwensi bahwa jika anak-anak mempunyai tugas untuk menghormati ayah dan ibu mereka, maka ayah dan ibu mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak mereka. Sebuah kemestian bahwa tugas memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak bukanlah hanya tugas ibu atau kaum perempuan semata, tetapi adalah juga tugas ayah atau kaum laki-laki.<br />Ada kesan kuat yang dirasakan penulis bahwa di dalam kehidupan bergereja terdapat paradigma, mudah-mudahan hanya sekadar asumsi, yang menyatakan Sekolah Minggu adalah dunia yang penuh dengan permainan dan hal-hal yang serba sukacita. Dunia yang melulu tanpa beban, tanpa perlu pemikiran-pemikiran yang berat. Dunia yang ringan-ringan saja. Sehingga urusan Sekolah Minggu hanyalah urusan wajib bagi kaum perempuan, sementara bagi kaum laki-laki boleh saja ikut ambil bagian kalau ada waktu. Bagi kaum laki-laki berkiprah atau berpelayanan di Sekolah Minggu bukanlah suatu kemestian. Mau ikut berperan boleh! Tidak mau ambil pusing ya silakan!<br />Sungguh suatu paradigma yang sangat memprihatinkan, dan tentu saja harus ditiadakan dalam kehidupan bergereja! Sekolah Minggu memang dunia penuh sukacita dan penuh permainan. Namun, berkiprah di dalam pelayanan Sekolah Minggu bukanlah untuk main-main! Sekolah Minggu adalah wadah bagi tumbuh dan berkembangnya moral dan spiritual tunas-tunas muda Kristiani yang perlu dipikirkan dan digeluti secara serius. Dan menjadi tanggung jawab bersama baik bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki untuk senantiasa bergelut dan bergumul mencari format dan metode pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak melalui Sekolah Minggu.<br />Sudah saatnyalah sekarang, kalau tidak mau dikatakan terlambat, gereja membuang habis akar-akar warisan budaya patriarkal di dalam seluruh sendi kehidupannya. Warisan budaya yang hanya akan melahirkan kesenjangan dan diskriminasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Warisan budaya yang hanya akan menghambat pertumbuhan gereja Tuhan di dunia ini. Warisan budaya yang sama sekali tidak adil! Karena manusia adalah kaum laki-laki dan kaum perempuan, bukan hanya kaum laki-laki atau kaum perempuan saja. Karena dalam banyak sisi tidak mungkin laki-laki hidup tanpa perempuan, begitu pun sebaliknya.<br />Akan lebih indah jika laki-laki dan perempuan dapat bekerja bersama-sama bahu-membahu dalam bergelut dan bergumul di dunia pelayanan anak. Maka tidak akan timbul lagi pertanyaan, “Kemanakah, wahai kaum laki-laki?” Yang ada hanyalah satu tekad, “Inilah kami, laki-laki dan perempuan, yang saling bergandengan tangan berdaya upaya agar anak-anak dapat mewujudkan masa depan mereka yang penuh harapan di dalam KRISTUS! Dan segala kemuliaan hanyalah bagi TUHAN!”<br />Ladang pelayanan anak masihlah sangat luas untuk bersama-sama kita garap! Tuhan memberkati.<br /><br /><br /> Depok, 15 September 2006PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-7282401806306245372009-01-21T04:05:00.000-08:002009-01-21T04:06:34.203-08:00CATATAN AKHIREngkaulah Permata yang Indah<br /><br />Saat ini ya Tuhan,<br />Aku datang di hadapanMu<br /> Dan berseru<br />Bahwa selain Engkau tiada yang lain bagiku<br />Bahkan aku ingin berkata<br />Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap<br />Engkau Tuhanku<br />Akan tetap menjadi bagian hidupku<br />Mulai hari ini sampai selama-lamanya<br /> Engkaulah kekuatanku<br /> Engkaulah kemuliaanku<br /> Engkaulah segalanya<br /><br /><br /> Engkau permata yang indah<br /> Tak ‘kan pernah kulupakan<br /> Engkaulah segalanya<br />YESUS ....<br />Domba Allah<br /> Mulia namaMu<br />Kuletakkan hidupku di hadapanMu<br /> Dan berharap<br /> Kau membasuh segala dosaku<br /> Kau hapus s’gala dosaku<br /> S’gala cela dan maluku<br /> Engkaulah s’galanya<br /> Saat jatuh<br /> Kau angkatku<br /> Saat haus<br /> Kau milikku<br /> Engkaulah s’galanya<br /><br /> by Franky Sihombing<br /><br /><br />Maka dua anak manusia itu saling bergandengan tangan membuka catatan-catatan kehidupan selanjutnya. Demikianlah.PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-86780638835577741792009-01-21T04:04:00.000-08:002009-01-21T04:05:43.311-08:00CATATAN KEDUABELASSEMUA ADA MASANYA<br /><br /><br />“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya ... Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.<br /> Pengkhotbah 3 : 1, 11<br /><br />Saudara-Saudara yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus,<br />Ketika saya ditanyakan untuk memilih perikop Alkitab sebagai bahan khotbah saya hari ini. Saya langsung teringat dengan perikop di atas. Sebuah perikop yang secara pribadi saya sukai, terutama akan makna tersirat di dalamnya.<br />Kitab Pengkhotbah di dalam Perjanjian Lama termasuk di dalam bagian dari karya sastra hokmah atau hikmat-hikmat dan tergolong dalam lima megillot atau gulungan-gulungan, yang biasa dipergunakan dalam perayaan-perayaan resmi bangsa Yahudi. Selain Pengkhotbah, yang termasuk Kitab Megillot adalah Rut, Kidung Agung, Ratapan, dan Ester. Adapun Kitab Pengkhotbah dipakai atau dibacakan pada Hari Raya Pondok Daun. Hari Raya Pondok Daun atau dalam bahasa Ibrani Khag Hasukkot sendiri adalah salah satu dari tiga pesta besar Yahudi yang dirayakan setiap tahun. Inilah pesta perayaan akhir tahun ketika panen dituai dan ketika setiap laki-laki harus muncul di hadapan Tuhan.<br />Nama ‘Hari Raya Pondok Daun’ berasal dari kebiasaan bahwa setiap orang Israel harus berdiam di dalam pondok yang dibuat dari cabang dan daun selama masa tujuh hari pesta itu. Pesta Perayaan Pondok Daun ini merupakan juga peringatan akan keluarnya bangsa Israel dari Mesir dan masa pengembaraan di padang gurun. Di mana saat itu bangsa Israel tinggal di dalam pondok-pondok.<br />Saudara-Saudara yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus,<br />Nama ‘Pengkhotbah’ sendiri merupakan terjemahan dari kata Ibrani Qohelet, yaitu orang yang memanggil suatu sidang, mungkin dalam rangka untuk pengajaran. Qohelet mengambil bahan tulisan dari pengamatan penulis sendiri mengenai hidup dan bukan berasal dari Kitab Taurat atau Nabi-Nabi.<br />Begitulah sekilas mengenai latar belakang Kitab Pengkhotbah.<br />Sementara Pengkhotbah pasal tiga ayat yang pertama dan kesebelas yang menjadi perikop, berisi mengenai pengendalian Allah atas semua peristiwa di dalam kehidupan ini dan bahwa manusia tidak akan pernah dapat mengetahui misteri rencana Allah atas diri mereka. Rencana berupa kemisterian tak terjangkau oleh manusia, yang akan menjadi indah pada waktunya. Untuk itulah, manusia hendaknya menikmati kehidupan sekarang sebagaimana telah diberikan kepada Allah. Apa pun bentuk kehidupan yang terjadi, karena Allah bekerja demi kebaikan manusia dan pekerjaan Allah akan indah pada waktu yang tepat.<br />Saudara-Saudara yang dikasihi Tuhan,<br />Apa yang akan saya sampaikan pada Khotbah Perdana saya ini, merupakan kupasan mengenai RENCANA BAIK TUHAN kepada kita, umat yang dikasihiNya. Sebelumnya saya minta maaf jika terlihat kaku dalam penyampaian Khotbah ini. Jujur, seberapa pun banyaknya persiapan yang saya lakukan, namun tetap rasa grogi menghinggapi saya.<br />Baik,<br />Kita tentu sudah akrab dengan kalimat, “TUHAN MEMILIKI RENCANA YANG BAIK UNTUK KITA”. Dan kita juga tidak asing dengan pertanyaan berikut, “SEBENARNYA APA RENCANA TUHAN YANG SESUNGGUHNYA PADA DIRIKU?”. Ya ... sebuah jaminan akan sesuatu yang baik yang akan diberikan Sang Khalik kepada kita. Sesuatu yang baik yang telah dirancang olehNya bagi kita. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, “Apakah sesederhana itu ...?”<br />Saudara-Saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,<br />... share-kan pengalaman pribadi saat mengetahui mengidap AIDS dan membuyar semua rencana hidup yang disusun ...<br />Demikianlah sekelumit perjalanan hidup saya. Porak porandanya semua rencana yang telah disusun untuk menapaki kehidupan. Hancur berkeping-kepingnya cita-cita. Remuk redamnya hati ini menghadapi kepahitan hidup.<br />Namun, pada akhirnya RENCANA BAIK sajalah yang Tuhan rancang. Rencana Baik yang datang TEPAT PADA WAKTUNYA dan INDAH!<br />Sungguh INDAH ... ketika pada akhirnya saya dapat berdiri di depan Saudara-Saudara sekalian ... di saat sekarang ini.<br />Saudara-Saudara yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus,<br />Saya teringat akan Pesan Bunda Teresa yang mungkin akan dapat menjadi perenungan kita bersama, demikian pesan beliau ...<br />Apa yang Anda bangun selama bertahun-tahun, bisa saja dihancurkan orang dalam semalam ... <br /> MEMBANGUNLAH SELALU<br />Jika Anda mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, mereka mungkin iri hati ...<br /> BERBAHAGIALAH SELALU<br />KEBAIKAN YANG Anda buat hari ini akan dilupakan orang besok ...<br /> TETAPLAH BERBUAT BAIK<br />Amin.<br /><br />“Kak Karel ... jelas sekali uraian dalam khotbah Kakak! Riska senang membacanya ... seperti ada yang dibangkitkan ... begitu kali ya bahasa rohaninya ... hihihi! Tapi sungguh Kak Karel ... bagus kok isinya ...” Ada kilatan-kilatan bening di mata Riska begitu selesai membaca Rancangan Khotbah yang aku susun.<br />“Yah ... Kakak hanya memetik pengalaman dari apa yang telah Kakak alami selama beberapa tahun belakangan ini ... ketika Kakak dinyatakan mengidap AIDS ... dan juga bagaimana orang-orang di sekitar Kakak yang begitu sabar mendampingi selama ini ...”<br />“Iya ... Kak! Bagus kok Rancangan Khotbahnya ... wah kalau ada Lomba Khotbah Terbaik ... bisa-bisa Kakak jadi juaranya ... hihihi!”<br />“Dasar ...! Bisa aja kamu ... sudah ... sudah ... Kakak mau tidur dulu ... capek nih!”<br />“Oke ... Bos! By the way ... Kak Dewi dateng kan di acara Pentahbisan Kakak ...?”<br />“Undangannya sih udah dikasihin ... eh kamu kok nanyanya aneh gitu sih ...?” Rasa terkejut yang hinggap di hatiku secara spontan merasuk. Aku tidak tahu apakah Riska bisa menangkap perubahan dalam ekspresi wajahku. Semoga saja tidak.<br />“Ah ... gak apa-apa kok ... cuma tanya aja ...” Riska tersenyum. Sebuah senyum yang aku rasakan mengandung arti. Arti terselubung tentunya.<br /><br /># # #<br /><br />16062010<br />05.02 WIB<br />Bapa,<br />Dua hari lagi tibalah saatnya hari yang membahagiakan buatku<br /> Hari yang menegaskan<br /> Bahwa RENCANA BAIK sajalah yang Engkau berikan pada umatMu<br /> Dan bahwa semua akan tiba tepat pada waktunya<br /> Dengan KEINDAHAN sematalah yang bersemayam<br />Bapa,<br />Terima kasih!<br /><br /><br />18062010<br />09.24 WIB<br />Gila ... siang amat bangunku hari ini!<br />Bapa,<br />Justru di saat hari bersejarah ini aku kangen Cah Ayu!<br /> Kangen untuk kesekian kalinya!<br />Bapa,<br />Aku merasa sudah pada jalan buntu<br />Aku merasa bahwa tidak akan pernah ada jalan<br /> Untuk melupakan Cah Ayu<br /> Untuk menghapus wajah ayu itu dari benakku<br /> Untuk mengubur sayang yang ada<br /> Untuk membuang segala angan dan bayang Cah Ayu<br /> Semakin jauh dan<br /> Semakin sering<br /> Aku menghindar<br /> Justru semakin dalam rasa ini bersemayam<br />Aku sadar ...<br />Sungguh dengan sepenuh hati aku sadar<br />Bahwa perasaan sayang ini hanyalah MIMPI belaka<br /> Hanyalah DUNIA DONGENG<br /> Yang indah dan membahagiakan<br /> Untuk diimajinasikan<br /> Dikhayalkan<br /> Namun,<br /> Pahit dan menyesakkan dalam realitanya<br />Aku sadar ...<br />Cah Ayu tak pernah bisa terjangkau<br />Oleh tangan-tangan rapuh ini<br /> Cah Ayu ...<br /> Adalah jurang terdalam tak tersentuh<br /> Adalah FATAMORGANA<br /> Di dalam bagian hidupku<br /> Cah Ayu ...<br /> Adalah laksana udara yang aku hirup<br /> Begitu dekat<br /> Namun tak pernah bisa aku sentuh<br /> Namun tak pernah bisa aku raih<br /> Namun tak pernah bisa aku lihat<br /> Hanya mampu aku rasakan<br /><br /><br /><br />D E A L O V A<br /><br />- ONCE -<br /><br />Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu<br />Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu<br />Karena langkah merapuh tanpa dirimu<br />Karena hati t’lah letih<br /> Aku ingin menjadi sesuatu yang s’lalu bisa kau sentuh<br /> Aku ingin kau tahu bahwa ku s’lalu memujamu<br /> Tanpamu sepinya waktu merantai hati<br /> Bayangmu seakan nyata<br />Kau seperti nyanyian dalam hatiku<br />Yang memanggil rinduku padamu<br />Seperti udara yang ku hela<br />Kau selalu ada<br /> Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang<br /> Tanpa dirimu aku merasa gila<br /> Dan sepi<br /> Dan sepi ...<br />Kau seperti nyanyian dalam hatiku<br />Yang memanggil rinduku padamu<br />Seperti udara yang ku hela<br />Kau selalu ada<br /> Selalu ada <br /><br />“Ehm ... permisi! ... Kak Karel ... apa kabar?” Suara lembut yang amat kukenal terdengar dari pintu kamarku. Dan ketika aku menoleh ... sebentuk senyuman kudapati di sana. Senyum meneduhkan nan menggetarkan.<br />“Eh ... eh ... Dewi ... kok tumben ...” Sungguh kurasakan serba salah akan apa yang mesti aku lakukan ... kata-kata apa yang mesti aku susun! Sungguh-sungguh gak karu-karuan diriku mendapati Dewi sudah berada di depan pintu kamarku yang memang terbuka ...<br />“Dewi ganggu ya ...”<br />“Eh ... oh ... gak kok! Sama sekali gak ngeganggu ... suprised aja aku ... oh iya ... sebentar ya ... ! Dewi tunggu aja di depan ...”<br /><br />Selang lima menit kemudian ...<br />”Sori ya ... kelamaan nunggu ... nnggg ... gimana kabarnya?”<br />“Baik-baik aja Kak ... Cieee yang mo jadi pedete ... tambah keliatan berwibawa aja ...” Dewi tersenyum menggodaku. Ada sedikit kekakuan di dalam percakapan kami. Sementara aku sendiri memang belum bisa benar-benar menenangkan gemuruh jiwa ini.<br />“Ah ... bisa aja! Yaah ... pada akhirnya memang jalan yang udah disiapin Om G ... bener-bener gak bisa diduga ...”<br />“Kak Karel ... Dewi sengaja ke sini ... mau ngasih ini ...” Suara Dewi terdengar pelan, setelah beberapa saat kesunyian menyelimuti kami berdua. Sang gadis kemudian menyerahkan lembaran-lembaran kertas kepadaku.<br />“Baca dulu ya sampai selesai Kak Karel ...”<br />Dan dengan masih terheran-heran aku menuruti permintaan Dewi. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutku, dan mulailah aku membaca ...<br /><br />Kak Karel yang baik,<br />Maaf ya ... Dewi secara gak sengaja membaca diary Kak Karel. Gak banyak sih, Cuma tiga lembar tulisan tangan Kak Karel. Diary yang secara gak sengaja Dewi temukan di antara tumpukan buku dan kertas-kertas kerja waktu Dewi beresin meja Kak Karel di Sekretariat yang berantakan.<br />Diary yang mengagetkan!<br />Jujur ... saat Dewi pertamakali tahu apa yang dirasakan Kak Karel pada Dewi, ada rasa tersinggung dan marah. Ya ... begitu Dewi tau perasaan Kak Karel, awalnya spontan Dewi menganggap bahwa kedekatan Kak Karel dengan Dewi selama ini adalah tipu daya terselubung yang sengaja dirancang Kak Karel untuk ‘mendekati’ Dewi. Dewi menganggap bahwa ada maksud-maksud tertentu di balik keakraban kita. Maksud ‘lain’ yang tersembunyi. Dewi tidak suka itu! Sangat tidak suka! Kak Karel ternyata tidak tulus selama ini. Begitu anggapan yang ada dalam hati Dewi.<br />Pasti Kak Karel sudah dapat membaca gelagat yang Dewi perlihatkan. Ya ... memang semenjak membaca diary Kak Karel itu ... Dewi jadi males ketemu. Maaf ... bukan Dewi sok kecakepan atau bermaksud merendahkan Kak Karel yang sakit ... maaf ... AIDS. Dewi sama sekali tidak pernah mempermasalahkan sakit Kak Karel. Hanya memang semenjak awal kita dekat ... Dewi hanya menganggap Kak Karel sebagai seorang kakak ... tidak lebih!<br />Sekali waktu ... pernah juga Dewi mencoba untuk merenungkan dan mempergumulkan apa mungkin Dewi membalas sayang Kak Karel. Namun, setelah Dewi paksa sekuat tenaga ... tetap saja tidak bisa! Kak Karel bagi Dewi adalah seorang kakak. Kakak yang baik. Itu saja.<br />Kak Karel,<br />Ternyata ... inilah yang Dewi gak punya. Ya, rasa penyerahan diri secara utuh. Itu yang tidak Dewi punyai selama ini.<br />Ternyata ... justru karena ketulusan hatilah yang selama ini Kak Karel perlihatkan. Termasuk ketulusan hati dalam menyayangi Dewi. Kak Karel begitu tabah menjalani pergolakan-pergolakan batin yang ada.<br />Adalah kekeliruan jika Dewi tetap berlaku seperti selama ini!<br />Maafkan ... maafkan Dewi, Kak Karel!<br /> <br />“Ya ... Tuhan! Jadi Dewi udah tau kalo ...” Aku benar-benar tersentak. Apa yang selama ini aku rahasiakan ternyata telah diketahui. Terkuaknya sebuah rahasia. Rahasia terbesar bahkan. Tanpa aku sendiri menyadarinya.<br />“Iya Kak Karel ... Dewi sudah tahu!”<br /><br />Dan kalau boleh ... ijinkan Dewi menjadi Cah Ayu bagi Kak Karel ... Cah Ayu yang bukan hanya ada di atas kertas seperti yang selama ini tertulis ...hihihi Dewi bisa puitis juga, kan?”<br />“Cah Ayu ... sini!” Aku menggapai tangan milik sang gadis pujaan. Membelai rambut hitam terurai. Memandang sorot mata meneduhkan. Menikmati senyum manis dan wajah ayunya. Bukan hanya di negeri khayalan. Namun nyata adanya.<br />“Terima kasih Bapa ... terima kasih Cah Ayu!” Hanya itu yang bisa terucap dari mulut dan hatiku yang masih tak habis-habisnya merasa takjub.PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-16395848516306202222009-01-20T23:09:00.000-08:002009-01-20T23:11:12.143-08:00CATATAN KESEBELASUJUNG SEBUAH PERSIMPANGAN<br /><br /><br />23022010<br />04.18 WIB<br />Cah Ayu,<br />Nampaknya memang ini jawaban dariNya<br />Bahwa sebaiknya aku<br /> Berhenti berharap<br /> Akhiri semua asa ini<br />Bahwa sepertinya<br />Cah Ayu memang tiada teraih<br /> Memang tak terjangkau<br /> Oleh lengan-lengan lemah ini<br /> Kepak-kepak sayap kecil ini<br />Bahwa sepertinya bukan kondisilah yang kejam<br /> Bukan salah siapa siapa<br />Tapi ternyata ...<br />Akulah yang masih lekat dengan keakuan<br />Akulah yang berharap terlalu berlebihan<br />Akulah yang belum mau menerima kenyataan<br /> Dengan hati terbuka<br />Akulah yang egois memaksakan kemauanku<br /> Tanpa mempedulikan perasaan Cah Ayu<br />Maafkan ...<br />Ya, maafkan aku Cah Ayu!<br /> Doakan semoga aku tidak salah dalam melangkah<br /> Menyusuri tapak-tapak kehidupan ini<br />Bapa,<br />Kalau masih boleh ...<br />Biarlah aku simpan RASA SAYANG ini<br /> Rasa Sayang pada Cah Ayu ini<br /> Yang adalah Maria Magdalena Citra Dewi Anggini<br />Biarlah aku tetap memeliharanya<br /> Tanpa pernah mengharapkan balasan<br />Yesus,<br />Iringi langkahku<br /> Untuk tetap bergelut dalam dunia pelayanan<br /> Sehancur<br /> Seremuk redamnya hati ini<br /> Biarkan rasa ini dapat aku pancarkan<br /> Sebagai cerminan kasih daripadaMU<br />Cah Ayu,<br />Terima kasih buat semuanya<br />Semoga ulahku selama ini tidak membuat luka<br /> tidak membuat tersakiti<br /> tidak membuat beban<br />Aku senang Cah Ayu<br />Semakin bertumbuh dalam pelayanan dan dalam menapaki alur kehidupan<br />Teruslah begitu ...<br />Teruslah tumbuh<br />Teruslah mengembangkan sayap-sayap<br /> Cah Ayu<br /> Dalam tuntunan OUR LOVELY JESUS<br />Sementara aku ...<br /> Setidaknya aku akan selalu mencoba<br /> Untuk tetap tersenyum<br /> Untuk tetap terus bersyukur<br /> Bahwa paling tidak<br /> Aku masih dianugrahi RASA SAYANG<br /> Yang akan aku coba<br /> Untuk terus<br /> Aku tempatkan dalam hati ini<br /> Rasa yang tidak menuntut<br /> Rasa yang tiada buta<br /> Rasa yang selalu mencoba untuk mengerti<br /> Rasa yang selalu mencoba untuk memberi<br /> apa yang bisa diberikan<br /> tanpa memusingkan balasan<br /> Rasa yang tidak memaksakan<br />Bapa,<br />Terus bimbing Cah Ayu<br />Agar Cah Ayu dapat menjadi anakMU<br /> yang senantiasa memancarkan<br /> Cahaya kasihMU<br />Agar Cah Ayu dapat terus bertumbuh dan berkembang<br /> Dalam ketegaran iman<br /> Kelembutan hati<br /> Ketulusan jiwa<br /> Kerendah hatian<br /> Dalam gandengan tanganMU<br /> Amin.<br />Cah Ayu,<br />Terus belajar ya<br />Tetap semangat dalam berpelayanan<br /> Jangan lupa minum air putihnya<br /> Jangan bolong lagi SATE-nya<br /> (belagu nih kayak yang rajin SATE aja hehehe ...)<br /><br />Dewi berhenti sejenak membaca lembaran-lembaran tulisan tangan yang sangat ia kenal. Tulisan tangan khas yang agak sulit dibaca sebenarnya namun karena Dewi sudah sedemikian sering melihat dan membacanya, dirinya tak menemui kesulitan sedikitpun untuk menyimak deretan-deretan aksara yang ada.<br />“Kak Karel... benarkah ini ungkapan hati Kakak yang sesungguhnya?” Dewi masih termangu-mangu seakan tak percaya pada rangkaian aksara yang tengah dibacanya.<br />“Dewi sama sekali tidak pernah menyangka akan apa yang tertulis di sini! Benar Kak Karel! Sunguh-sungguh di luar dugaan!” Perempuan berwajah manis tersebut menggeleng-gelengkan kepala mendapati kenyataan melalui tulisan-tulisan yang ada. Kenyataan bahwa laki-laki yang selama ini dekat dengan dirinya dan sudah menjadi sosok seorang kakak ternyata memiliki rasa yang ‘lain’. Rasa yang sama sekali tak pernah disangka-sangka olehnya.<br /><br /><br />09032010<br />23.36 WIB<br />Cah Ayu,<br />Apa kabar adik kecilku?<br /> Memang susah ya ...<br /> Untuk mencoba mencabut sesuatu yang sudah merekat<br /> Untuk coba menarik sesuatu yang sudah terlanjur melekat<br /> Sungguh!<br /> Aku sama sekali gak ngerti ...<br /> Inikah yang dikatakan CINTA SEJATI<br /> Atau hanya EGO belaka?<br />Tapi satu hal yang pasti!<br />Bahwa aku akan coba sekuat daya dan tenaga yang aku punya<br />Untuk tidak pernah mempermasalahkan ‘sayang’ ini lagi<br />Ya ... Cah Ayu,<br />Biarlah cukup aku yang merasakan<br /> Sedih<br /> Gundah<br /> Gelisah<br /> Gak karu-karuan <br /> Ini ...!<br />Cah Ayu,<br />Terus berjuang ya ngadepin semua yang terjadi!<br /> Ngadepin perkuliahan yang nambah berat<br /> Ngadepin tugas2 dan juga tuntutan2 hidup yang ngerepotin<br /> Ngadepin dunia pelayanan yang butuh ekstra kesabaran<br /> Ngadepin situasi yang serba menyulitkan<br /> Ngadepin tempaan-tempaan hidup<br /> Ngadepin aku ... mungkin<br />Don’t give up ... Cah Ayu<br />Dan aku yakin Cah Ayu pasti tidak akan menyerah<br />Good luck ya adik kecilku ...<br /> Doaku selalu menyertai<br /><br /><br />11032010<br />00.37 WIB<br />Bapa,<br />MisteriMU ini sungguh tak pernah bisa aku jangkau<br />Aku benar-benar gak tau lagi<br /> Apakah ini cuma keegoisanku<br /> Atau ... memang harus begini lakon yang aku jalani?<br />Yang jelas ...<br />Seberapapun kuat<br /> Keras<br /> Dan hebatnya<br /> Aku mencoba<br /> Untuk membuang<br /> Untuk menerima kenyataan<br /><br /> Sekuat itu pula<br /> Rasa ini melekat erat<br /> Tak kunjung mau beranjak pergi!<br />Cah Ayu,<br />Aku sayang Cah Ayu<br />Dan aku sama sekali tak berdaya untuk membunuhnya!<br /> Dan lengkaplah<br /> Lara melanda rapuhnya jiwa<br /> Ketika pertemuan-pertemuan<br /> Yang tak dapat aku hindari<br /> Terjadi hari lepas hari<br /> Waktu demi waktu<br /> Demi sebuah komitmen<br /> Pada apa yang dinamakan PELAYANAN<br />Cah Ayu,<br />Aku gak tau<br />Sampai berapa lama lagi aku mampu bertahan<br />Dengan ini semua<br /> Sungguh!<br /> Kalau bisa ... aku ingin semua ini lalu dari hadapan<br />Cah Ayu,<br />Perasaan sayang yang mengasyikkan sekaligus menyesakkan<br />Tanpa aku mampu untuk melawannya<br /> Laksana ...<br /> Biduk kecil yang harus tetap berlayar<br /> Dengan layar tercabik-cabik kesesakan yang amat<br /> Dan senantiasa bertemu dengan hembusan angin<br /> Yang adalah dikau ... Cah Ayu<br /> Hembusan menyejukkan<br /> Sekaligus merobek-robek layar serba rapuh<br /> Sebuah kebahagiaan bersanding dengan kesedihan<br /> Tanpa terelakkan<br /> Tapi begitulah adanya<br />Cah Ayu,<br />Kalau boleh ... ijinkan aku<br />Sekali saja aku belai rambut hitam terurai<br /> Wajah ayu meneduhkan<br /> Serta kugenggam erat jemari lembut<br /> SEDETIK saja<br /> Sebagai obat pelipur perih<br /> Nan menyengat<br /> Bolehkah?<br /><br />“Ya Tuhan ... Kak Karel!” Tanpa terasa lelehan butiran-butiran bening keluar dari sepasang mata bening milik sang gadis. Dirinya terbawa oleh perasaan yang sukar sekali digambarkan dengan kata-kata. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawab yang bersliweran di dalam benaknya terus saja meluncur dan berkecamuk tanpa bisa dikendalikan.<br />Ketidaksengajaan Dewi menemukan 3 lembar kertas di antara tumpukan buku-buku milik Karel yang bergeletakan tak beraturan di meja kerja itu, berujung pada membuka dan menguaknya apa yang selama ini tersimpan dengan rapat. Entah mengapa malam ini Dewi begitu ingin untuk merapikan buku-buku itu, walaupun sebenarnya memang sudah bukan hal baru lagi jika meja kerja Karel di Sekretariat Komunitas selalu berantakan dengan buku-buku dan kertas-kertas penuh ragam.<br />“Harus bagaimana selanjutnya aku harus bersikap? Aku toh tak mungkin mengabaikan begitu saja rahasia yang telah aku ketahui ini! Apalagi ini menyangkut dengan diriku ...”<br /><br /># # #<br /><br />“Halo ... Dewi ...!”<br />“Iya ... Kak Karel ... ada apa?”<br />“Wah kemana aja nih ...? Kok lama gak keliatan ...? Lagi sibuk ya ...”<br />“Nngg ... biasa Kak ... banyak kerjaan yang musti diselesaiin ...”<br />“O ... begitu ...! Gimana tugas bikin rekapan jumlah penderita HIV/AIDS berdasarkan umur dan wilayah domisili udah selesai belum?”<br />“Ya ... ampun! Aduh ... sori banget Kak Karel ... belum kesentuh sama sekali! Aduh ... gimana ya ...”<br />“It’s oke ...! Gak masalah ... nanti biar aku aja yang ngerjain deh ... soalnya si Albert udah terus-terusan nanyain ... biasa ... buat keperluan Tim Advokasi yang lagi cari data-data ...”<br />“Yah ... kok jadi ngerepotin Kak Karel ya ... sori banget ya Kak ...!<br />“Gak apa-apa lagi! Oke kalo gitu selamat ngerjain tugas-tugas ya ... eh kalo lagi ada waktu mampir ke Sekretariat ya ... anak-anak lagi kelimpungan tuh banyak yang harus dikerjain ... oke gitu dulu ya ...”<br />“Eh ... iya Kak Karel ...”<br />“Klik ...”<br /><br /><br />09042010<br />13.24 WIB<br />Cah Ayu,<br />Beberapa hari ini kamu tampak lain<br />Ada apa Cah Ayu?<br /> Aku lihat keceriaan yang makin menghilang<br /> Aku merasakan ada beban yang sedang melanda<br /> Dan ...<br /> Tidak seperti biasanya<br /> Cah Ayu tidak bercerita kepadaku<br />Cah Ayu,<br />Aku cuma bisa berdoa<br />Supaya Cah Ayu tegar ngadepin entah apapun itu ...<br /><br /># # #<br /><br />“Oh ... jadi Cah Ayu yang selama ini dirahasiakan Kak Karel itu Kak Dewi ... memang sih Riska sebenarnya udah ngerasa curiga ngeliat cara natap en perlakuan Kak Karel ke Kak Dewi ... beda!” Riska terbinar-binar melihat lembaran-lembaran kertas yang diberikan Dewi padanya.<br />“Jujur ... aku sama sekali gak nyangka Ris ... ternyata perasaan Kak Karel lebih dari sekadar adik kepadaku ... aku harus gimana ya Ris?”<br />“Aduh ... Kak Dewi! Pertanyaannya berat banget! Terus terang aku juga bingung mo kasih advice gimana ...” Riska menghela napas dan nyeruput Strawberry Sparkling Tea yang tadi dipesannya.<br />“Eh ... sori ya Ris! Bukannya aku kege-eran ... sebenarnya apa sih yang membuat Kak Karel punya perasaan ‘lain’ sama aku ...?”<br />“Yah Riska juga gak tau persis Kak ...! Kak Karel sangat tertutup untuk hal yang satu ini ... pernah sih Kak Karel ngasih Riska puisi-puisi tentang Kak Dewi ... tapi itu juga top secret abis deh!”<br />“Kak Dewi ... kalau boleh Riska tau ... perasaan Kak Dewi sendiri gimana? Apalagi Kak Dewi sekarang udah tau perasaan Kak Karel yang sesungguhnya ...” Riska melanjutkan pembicaraannya setelah terdiam beberapa saat.<br />“Jujur ya Ris ... aku shock banget begitu ngebaca ini ... selama ini aku sama sekali hanya menganggap Kak Karel sebagai sosok seorang Kakak ... Kakak yang baik ... gak lebih! Sekarang ini aku cenderung untuk menghindari pertemuan dan ngobrol dengan Kak Karel ... bukan apa-apa or sok kecakepan ... cuma ya aku masih serba rikuh aja ...” Dewi menghembuskan napas panjang. Ada perasaan tidak enak setelah kata-katanya barusan.<br />“Kak Dewi ... Riska bisa mahamin itu kok ... nanti Riska coba untuk mancing-mancing Kak Karel ... sapa tau dia mau curhat ma Riska ...” Riska tersenyum dan mencoba mencairkan suasana.<br />“Makasih ya Ris ... dan satu hal yang perlu kamu tau ... hal ini gak ada hubungannya sama sekali dengan kondisi kesehatan Kak Karel ...”<br />“Iya ... iya ... Riska ngerti banget hal itu ... Riska percaya Kak Dewi gak pernah masalahin Kak Karel yang kena AIDS ... swear ...! Riska juga udah nganggep Kak Dewi sebagai bagian dari keluarga ... hihihi! Kayak drama aja ya Kak ...”<br />“Makasih Ris ... kamu emang kayak kakak kamu ... baik en selalu mau mengerti orang lain ...”<br />“Udah Kak Dewi ... diminum dulu tuh minumannya tar lumutan lagi ...hihihi! Eh ... Kak Dewi kita jalan-jalan yuk ... kan udah lama kita gak muter-muter bareng di Mal ... gimana?”<br />“Sapa takut ...!” Dewi tertawa. Hatinya sekarang sudah agak lega. Paling tidak dia tidak memendam sendirian apa yang tengah merisaukan hatinya. Tapi, tiba-tiba saja Dewi teringat pada seseorang yang justru telah sekian lama memendam perasaan sendirian. “Kak Karel ... maafkan Dewi ya yang gak bisa punya rasa selain sebagai seorang adik ... mudah-mudahan Kak Karel tidak terus-terusan memendam dan merelakan kenyataan yang terjadi ...sekali lagi maaf Kak Karel!” Dewi menggumam dalam hati.<br /><br /># # #<br /><br />Apr 19,2010 07.16<br />To : Tjah Ajoe<br />Ulang Tahun adl momen indah sbg ungkapan syukur atas curahan berkat tak terkira dariNya. Momen untuk menapaki hari2 berikutnya dgn kedewasaan & penyerahan lebih lagi.<br />Semoga tetap jadi insan istimewa yang snantiasa mewarnai mayapada dgn terang kasih & ketulusan hati. Amin.<br />HAPPY BIRTHDAY!!<br /> Send ...<br /><br /><br />19042010<br />07.24 WIB<br />Bapa,<br />Apa memang sebaiknya aku bagikan kesesakan ini pada seseorang<br />Apa memang sebaiknya aku tidak terus-terusan menyimpannya sendiri<br /> Apa memang sebaiknya begitu, ya Tuhan?<br /> Agar aku tidak tenggelam dalam alam perasaanku sendiri<br /> Agar aku tidak terbenam dalam dunia maya khayalku sendiri<br /> Berilah aku petunjuk<br /> Akan apa yang sebaiknya aku lakukan, ya Bapa ...<br /><br />“Kak Karel ... selamat pagi!” terdengar suara dari depan pintu kamarku.<br />“Eh ... kayaknya pagi-pagi begini udah ada dewi yang turun dari kahyangan nih!” Aku menoleh ke arah Riska berdiri dan tersenyum menggoda, melihat adikku tersayang sudah berdandan rapi.<br />“Ah ... emang gak boleh ... pagi-pagi udah cantik ...! Kak ... hari ini ada acara gak?” Riska menghampiri diriku dan seperti biasa bergelayut dengan manja di sampingku.<br />“Nah ... gak usah basa-basi deh! Kalo ada maunya pasti ngebaik-baikin ... hehehe! Ada apa adikku tersayang? Kebetulan hari ini gak ada acara kemana-mana ...”<br />“Asik ... kalo gitu anterin Riska jalan-jalan ya ... suntuk nih! Pengen refreshing ...”<br />“Tuh kan ...! Nngg ... gimana ya ... coba mikir-mikir dulu ...”<br />“Ih ... mosok sama adik sendiri begitu! Ayo dong Kak ... mau ya ...ya? Pokoknya harus mau ...!<br />“Hehehe ... iya ... iya ... gitu aja ngambek!” Aku tertawa melihat tingkah Riska. Adikku satu ini memang tak pernah berubah. Tetap Riska yang manja. Kemanjaan yang selalu membuatku tak pernah berhenti untuk mencurahkan kasih sayang dan perhatian.<br />“Oke ...! Kakak mandi dulu ya ...!”<br />“Sip deh ...”<br /><br />Dua jam berselang ...<br />“Ris ... begitulah perasaan yang selama ini Kakak pendam ... perasaan yang mengasyikkan sekaligus menyesakkan ... karena Kakak tau jarak antara Kakak dan Kak Dewi terlalu jauh dan terlalu dalam ...”<br />“Kak Karel ... Riska sungguh gak sanggup musti berkata apa ...”<br />“Ris ... Kamu sudah jadi pendengar yang baik saja itu sudah sangat berarti ... paling gak Kakak bisa melepaskan apa yang selama ini tertanam di dalam hati Kakak ...”<br />“Hehehe ... Kakak gak nyangka lho ...! Adik Kakak yang satu ini bisa begitu sabar menjadi pendengar tanpa ada selaan sedikit pun ....! Hebat ...euy ...!” Aku mencoba menetralisir suasana dengan banyolan. Banyolan kering tentu saja.<br />“Sapa dulu dong kakaknya ...! Terus apa yang mo Kakak lakukan ...?”<br />“Hhmmhhh ... Kakak sadar sesadar-sadarnya ... bahwa kasih sayang sejati adalah memberi yang bisa diberikan tanpa memusingkan balasan ... dan itulah yang Kakak coba untuk terus Kakak lakukan ... dan tentu saja selalu berusaha nyerahin semua ke Om Gondrong terkasih ...!”<br />“Nah ... seandainya memang Our Lovely Om G punya rencana lain ... alias Kak Dewi ternyata bukan jodoh Kak Karel ... gimana?” Terlihat hati-hati sekali adikku Riska dalam memilih kata-kata. Dia paham kalau aku, sang kakak tercinta, sedang dalam kegalauan hati yang sangat.<br />“Ris ... sampai saat ini pun Kakak sedang dalam pergumulan untuk dapat pasrah menyerahkan semua ke Tangan Om G ... pasrah untuk dapat menerima apa pun yang terjadi ...”<br />“Kak Karel ... Riska hanya bisa bantu dalam doa ...”PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-61513979242771683062009-01-20T23:07:00.000-08:002009-01-20T23:09:12.909-08:00CATATAN KESEPULUHMENAPAKI TITIAN KEHIDUPAN<br /><br /><br /><br />KEMANA HIDUP AKAN MEMBAWA<br /><br />Bapa,<br />Kalau masih boleh<br /> anakMU ini bertanya ...<br /> sebegitu kuatkah diri ini?<br /> Hingga<br /> Realita yang ada di hadapan<br /> Berbanding terbalik<br /> Dengan harapan<br /> Cita-cita<br /> Angan-angan<br /> Yang coba dirajut<br />Hingga<br />Setelah enam langkah menapak ke depan<br />Disusul enam langkah melompat ke belakang<br /> Kembali ke TITIK NOL<br /> Mau tidak mau<br /> Suka tidak suka<br /> Berganti haluan<br />Bapa,<br /> Hidup tetap akan berjalan<br /> Dan hidup akan menemukan jalan!<br />Maka ...<br />Tuntun dan bimbing<br /> Pada ke mana hidup akan membawa<br /><br /><br />18092009<br />17.34 WIB<br />Cah Ayu,<br />Kepakkanlah sayap-sayap kecilmu setinggi mungkin<br />Bentangkanlah tapak-tapak langkahmu sejauh mungkin<br />Selamilah intisari kehidupan sedalam mungkin<br />Hayatilah lakon panggung semesta<br />Reguklah setiap alur dalam Skenario Kemisterian<br /> Dalam naungan Tangan-Tangan lembut<br /> Milik Sang Kuasa Segala<br /> Sang Sutradara Sejati<br />Berbahagialah selalu<br />Karena dikau pantas untuk bahagia<br />Karena dikau berhak untuk bahagia<br />Namun ...<br /> Saat kepak sayap terasa lelah<br /> Saat tapak kaki terasa berat<br /> Saat kehidupan terasa getir<br /> Saat panggung mementaskan lakon kepedihan<br /> Saat aliran misteri terasa kering<br /> Dan saat berlayar dalam samudera kesendirian<br /> Ingatlah bahwa<br /> Akan ada seorang<br /> Yang mau mendengarkan<br /> Yang selalu mendampingi<br /> Yang siap menemani<br /> Itu saja! <br />Bapa,<br />Bimbing aku untuk tetap menerima apa yang dibawa hidup ini!<br />Biarlah aku dapat menjalani<br /> Aliran kehidupan hanya dengan penyerahan penuh<br /> Dan sukacita<br />Biarlah aku tetap percaya<br /> Bahwa dalam keadaan apapun yang tengah terjadi<br /> Semua adalah demi RENCANA BAIK<br /> daripadaMU<br /><br /># # #<br /><br />Aku mengamati lembaran-lembaran kertas kerjaku yang sebagian berisi tabel-tabel jumlah penderita HIV/AIDS, dan setelah menghembuskan napas sejenak ... aku menyerahkan lembaran-lembaran tadi kepada Dewi. “Dewi ... ini makalahku buat acara seminar besok ... coba dibaca dulu kira-kira sesuai gak sama tema yang mau dibawain ...”<br />“Siap Bos ...! Tenang aja Kak Karel ... Dewi percaya kok kalo Kak Karel yang bikin mah pasti tokcer ... hihihi ...”<br />“Dasar! Jangan kebanyakan muji ah ... nanti jadi besar kepala ... tapi sebenernya gak usah dipuji juga udah ketauan ... emang dasarnya cerdas ... hehehe ...!”<br />“Udah deh kumat over confident-nya ... gak boleh dipuji sedikit ... langsung kege-eran ...”<br /><br />HIV/AIDS DAN PERKEMBANGANNYA<br />Sebuah Catatan untuk Kejadian di Indonesia<br /><br />Sebelum kita melihat perkembangan HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan, ada baiknya kita melihat sejenak mengenai asal-usul diketemukannya penyakit mematikan yang kemudian dikenal dengan HIV/AIDS, serta kapan pertama kali ditemukan masuk ke Indonesia.<br />Sebuah artikel yang ditulis oleh Annabel Kanabus & Sarah Allen di dalam Majalah AVERT edisi 10 Pebruari 1999 mengemukakan bahwa : kasus AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat paa tahun 1981, namun hanya sedikit informasi yang dapat diperoleh. Dan sekarang (sejak tahun 1999 –catatan pen.) sudah ada bukti secara jelas bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV.<br /><br /><br /><br />Asal-usul HIV bukan hanya menyangkut masalah akademik, karena tidak cukup hanya memahami dari mana asal virus tersebut, tetapi juga faktor bagaimana virus ini berkembang menjadi penting sekali untuk mengambangkan vaksin HIV dan pengobatan yang lebih efektif. Selain itu, pengetahuan tentang bagaimana epdemi AIDS timbul menjadi penting dalam menentukan bentuk epidemi di masa depan serta mengembangkan pendidikan dan program pencegahan yang efektif.<br />HIV adalah bagian dari keluarga atau kelompok virus yang disebut lentivirus. Lentivirus seperti HIV ditemukan dalam lingkup luas primata non-manusia. Lentivirus yang lain, secara kolektif sebagai virus monyet yang dikenal dengan SVI (Simian Immnodeficiency Virus).<br />HIV/AIDS di Indonesia<br />HIV/AIDS pertama kali terdeteksi di Indonesia pada tahun 1987. Namun, diperkirakan HIV/AIDS mulai masuk di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, perkembangan HIV/AIDS dari tahun ke tahun dapat dilihat berdasarkan tabel-tabel berikut ini :<br /><br />“Lho Kak Karel ... tabel-tabelnya mana ...? Kok gak ada ...!!” Dewi mengernyitkan dahinya tanpa keheranan.<br />“Hehehe ... jangan kuatir ‘Non ... ini prin-prinan tabel-tabelnya ... Cuma nanti gak usah dicopi ... kan disediain slide ... ditampilin di slide aja ...” Aku menyerahkan print out tabel-tabel yang dimaksud oleh Dewi.<br />“O ... begitu ... jadi yang dicopi cuma tulisannya aja ... oke Bos ... gimana baiknya aja ...” Dewi mengambil print out yang aku serahkan dan segera membacanya.<br /><br />JUMLAH KASUS HIV/AIDS MENURUT JENIS KELAMIN<br />Per Desember 2006<br />Jenis Kelamin/Sex AIDS AIDS/IDU<br />Laki-laki/Male 6604 3807<br />Perempuan/Female 1529 274<br />Tak diketahui/Unknown 61 37<br /><br /><br />JUMLAH KASUS HIV/AIDS MENURUT GOLONGAN UMUR<br />Per Desember 2006<br />Golongan Umur/Age Group AIDS AIDS/IDU<br />< 1 tahun 37 0<br />1 – 4 tahun 70 0<br />5 – 14 tahun 22 1<br />15 – 19 tahun 222 97<br />20 – 29 tahun 4487 2885<br />30 – 39 tahun 2226 886<br />40 – 49 tahun 647 134<br />50 – 59 tahun 176 16<br />> 60 tahun 38 6<br />Tak diketahui/Unknown 269 93<br /><br /><br />JUMLAH KUMULATIF KASUS HIV/AIDS BERDASARKAN PROPINSI<br />Per Desember 2006<br />NO PROPINSI AIDS AIDS/IDU TOTAL MATI<br />1 DKI Jakarta 2565 1839 4404 420<br />2 Papua 947 4 951 221<br />3 Jawa Timur 863 475 1338 258<br />4 Bali 399 124 523 74<br />5 Riau 97 15 112 40<br />6 Jawa Barat 940 757 1697 188<br />7 Kalimantan Barat 553 106 659 106<br />8 Sumatera Utara 242 110 352 48<br />9 Sumatera Selatan 91 52 143 22<br />10 Jawa Tengah 290 86 376 138<br />11 Maluku 119 50 169 53<br />12 Sulawesi Utara 101 24 125 37<br />13 Yogyakarta 89 55 144 11<br />14 Sulawesi Selatan 143 91 234 62<br />15 Kalimantan Timur 10 4 14 8<br />16 NTT 29 4 33 4<br />17 Kalimantan Tengah 1 1 2 1<br />18 Jambi 83 49 132 29<br />19 Lampung 102 83 185 32<br />20 NTB 62 30 92 16<br />21 Bengkulu 23 15 38 6<br />22 Sumatera Barat 64 53 117 32<br />23 Kalimantan Selatan 12 7 19 5<br />24 Sulawesi Tenggara 2 0 2 0<br />25 Sulawesi Tengah 1 1 2 1<br />26 Nangroe Aceh Darussalam 6 1 7 2<br />27 Maluku Utara 3 1 4 1<br />28 Kepulauan Riau 203 21 224 91<br />29 Bangka Belitung 50 15 65 3<br />30 Gorontalo 3 2 5 1<br />31 Irian Jaya Barat 58 5 63 0<br />32 Sulawesi Barat 0 0 0 0<br />TOTAL 8151 4080 12231 1910<br /><br /><br />“Wah ... jumlah orang yang terjangkit HIV di Indonesia ternyata banyak juga ya Kak Karel! Dan tersebar di hampir semua propinsi di Indonesia ... Terus gimana cara pendampingannya ya Kak ...?”<br />“Hhmmm ... jumlah di dalam tabel itu masih belum merupakan data semua penderita HIV/AIDS yang ada di Indonesia ... dan itu pun data pada tahun 2006! Aku sengaja gak nampilin data tahun ini supaya nanti ada pertanyaan en bisa diskusi lebih lanjut di sesi tanya jawab ... oke?”<br />“Maksud Kak Karel ...?” Dewi menatap ke arahku dengan sorot mata penasaran. Tatapan yang masih saja membuat dadaku bergetar dan setiap tingkahku seakan menjadi serba salah.<br />“Maksudnya ... masih ada para penderita yang tidak atau belum mau orang lain tahu bahwa mereka menderita AIDS ...”<br />“Mereka sengaja merahasiakannya dari siapa pun, kecuali pihak dokter dan rumah sakit tempat mereka melakukan Tes HIV/AIDS ... hal ini dimungkinkan karena dokter dan rumah sakit diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan jika yang bersangkutan meminta untuk dirahasiakan ...”<br />“Nah ... untuk lebih jelasnya ... Mbak Dewi ikut aja seminar besok ...” Aku tersenyum jahil. Naluri kejahilanku kumat melihat ekspresi serius sang gadis di depanku menyimak kallimat demi kalimat yang mengalir dari bibirku.<br />“Ih ... orang lagi serius malah digodain ... “ Dewi merajuk manja ketika tersadar bahwa dirinya tengah dijadikan obyek kejahilanku. Tak lama berselang sang gadis manis itu kembali meneruskan mencermati data-data yang ada di tangannya.<br /><br />JUMLAH KASUS HIV/AIDS BERDASARKAN TAHUN PELAPORAN<br />TAHUN HIV AIDS TOTAL AIDS/IDU <br />1987 4 5 9 0<br />1988 4 2 6 0<br />1989 4 5 9 0<br />1990 4 5 9 0<br />1991 6 15 21 0<br />1992 18 13 31 0<br />1993 96 24 120 1<br />1994 71 20 91 0<br />1995 69 23 92 1<br />1996 105 42 147 1<br />1997 83 44 127 0<br />1998 126 60 186 0<br />1999 178 94 272 10<br />2000 403 256 658 65<br />2001 732 219 951 62<br />2002 648 345 993 97<br />2003 168 316 484 122<br />2004 649 1195 1844 822<br />2005 875 2638 3513 1420<br />2006 986 2873 3859 1517<br />TOTAL 5229 8193 13422 4118<br /><br />“Gawat juga ya Kak Karel ... hampir tiap tahun jumlah penderita HIV/AIDS selalu mengalami peningkatan ...” Dewi menggumam mengomentari data-data yang ada di dalam tabel.<br />“Terus ... Kak Karel! File tabel-tabelnya dalam bentuk apa ...?”<br />“O ... ini sudah aku buat dalam format Excel en Power Point ... tinggal dicopi aja di harddisk ... oke ...” Aku mengambil flash disk dari saku celanaku dan menyerahkan kepada Dewi.<br /><br /># # #<br /><br />20092009<br />22.49 WIB<br /><br />“Via Domini Aliae Sunt Hominibus Prospositus”<br />Jalan TUHAN Lainlah dari yang Dirancang Manusia<br /><br />Bapa,<br />Begitulah ungkapan yang tepat menggambarkan<br />Apa yang sedang aku alami di dalam alur kehidupan ini<br />Ya ...<br /> Apa yang selama ini aku rancang<br /> Skenario yang selama ini aku buat<br /> Rencana yang selama ini aku susun<br /> Sedemikian rupa ... serapi dan semaksimal mungkin<br />Ternyata jauh berbeda dengan Rancangan yang telah Engkau tetapkan<br />Bapa,<br />Jalan yang Engkau pilihkan untukku<br />Bapa,<br />Seorang RABINDRANATH TAGORE pernah menulis demikian :<br />Inilah permintaanku padaMu, junjunganku!<br />Pukullah dan kenailah akar takut dalam hatiku.<br />Berilah aku kekuatan menanggung senang dan sedih dengan rela hati<br />Berilah aku kekuatan membuat cintaku mengabdi dan berbuah<br />Berilah aku kekuatan supaya aku tak kan pernah menyingkirkan orang miskin, dan merendahkan diriku terhadap kekerasan<br />Berilah aku kekuatan meninggikan budiku di atas kejadian-kejadian sehari-hari yang tiada berarti<br />Dan berilah aku kekuatan memberikan kekuatanku dengan ikhlas kepada kemauanMu.<br />Maka biarlah aku dapat belajar untuk selalu menyerahkan segala kehidupan hanya kepadaMu ... ya Bapa!<br />Berilah aku kekuatan untuk senantiasa menapaki titian kehidupan ini dengan ikhlas seturut kemauanMu ...<br />Amin.<br /><br />25122009<br />01.57 WIB<br />Bapa,<br />Selamat Natal!<br />Sehabis mengisi Malam Renungan Natal di Komunitas ...<br />Malam renungan bertajuk, “Renungan Natal ODHA dan OHIDHA Nasional”<br />Wow ... NASIONAL<br />Aku menjadi Pelayan Firman dalam kegiatan bersekup Nasional ...<br /> Hehehe ... sekali waktu narsis sedikit gak papa ya Bapa!<br /> Sekali tempo membanggakan diri sendiri kan gak ada salahnya ...<br />Begitulah ...<br />Pada akhirnya hidup memang harus terus berjalan<br />Pada akhirnya hidup memang akan tetap berjalan<br />Dan pada akhirnya hidup akan menemukan jalan!<br />Terima kasih Bapa!<br />Kian hari Engkau semakin membukakan diriku<br />Bahwa rencana baiklah yang Engkau berikan padaku<br />Rencana yang sungguh baik<br /> Keberadaanku di Komunitas semakin terbentang<br /> Kiprahku di Komunitas semakin tergali<br /> Dan semakin terbukalah bahwa<br /> Di Komunitaslah diriku Engkau tempatkan<br /> Untuk bertekun dan berserah<br /> Menanam bibit-bibit pelayanan<br /> Sampai pada akhirnya nanti menuai kebahagiaan sejati<br />Terima kasih Bapa!<br />Selamat Natal!<br /><br /># # #<br /><br />“Selamat Natal Kak Karel! Tumben ... pagi-pagi udah beredar di sini ...?” Suara yang amat kukenal menyapaku. Aku segera menoleh ke belakang, ke arah asal suara yang selalu membuat getaran-getaran bersliweran di hati ini.<br />“Selamat Natal juga Dewi! Aku lagi pengen sendiri aja di sini ... pengen menikmati suasana Natal di sini ... lho Dewi sendiri ngapain ke sini ... kan masih libur Sekretariat ...?” Agak kikuk juga diriku dengan pertemuan yang tidak disangka-sangka ini.<br />“Ih ... emangnya gak boleh kemari kalo Sekretariat libur ...? Emangnya Kak Karel aja yang bebas kemari kapan aja ...?”<br />“Aduh ... jangan sewot gitu dong! Hehehe ... boleh ... boleh kok Dewi ke sini kapan aja ... semua orang juga boleh ... gak ada yang melarang ... cuma kalo aku kebetulan gak ke sini ... gimana caranya Dewi masuk Sekretariat ... kan yang pegang kuncinya cuma aku, dokter Herman, dan Pak Narto -penjaga sekaligus petugas kebersihan di sini ...”<br />“Benar juga sih ... Dewi cuma kebetulan aja mampir ... tadi dari depan Dewi liat kok ada tanda-tanda kehidupan di dalam ... so Dewi masuk aja siapa tau ada kegiatan di Komunitas ... eh taunya ketemu sama ...”<br />“Ketemu sama orang ganteng ye ...”<br />“mulai deh ...”<br />“Hehehe ... dilarang sirik! Eh ... Cah A ... eh ... eh ... Dewi ... bantuin aku stand by di Harapan On Line aja yuk sekalian ngecek-ngecek e-mail yang masuk ... kali aja ada yang urgen en kudu segera dijaweab ... gimana?”<br />“Siap Bos ... eh Kak Karel barusan manggil apa ...?”<br />“Ah ... gak kok ... salah panggil aja ... hehehe ... ayo let’s do our job ...” Aku memaki diriku sendiri, atas kecerobohan yang nyaris saja membawa masalah. Beginilah kalau rasa berbeda dengan apa yang mesti ditampilkan ke permukaan.PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-54726460724340608652009-01-20T03:36:00.000-08:002009-01-20T03:37:50.743-08:00CATATAN KESEMBILANREALITA ADALAH REALITA<br /><br /><br />Awal Tahun 2009<br />00.37 WIB<br />Bapa,<br />Tahun baru ini<br /> Boleh jadi tahun baru paling menyebalkan!<br /> What a suck new year!<br /> Masih tak habis-habisnya aku bertanya<br /> Masih tak putus-putusnya aku memaki<br /> Masih tak henti-hentinya aku protes<br /> Mengapa aku?<br /> MENGAPA AKU?<br /> Ya Bapa ...<br /><br />Mengapa KAU torehkan kenyataan ini?<br /> Kenyataan yang membawa diriku ke dalam lubang sempit tak menentu!<br /> Kenyataan yang menyeretku dalam kebimbangan<br /> Tak terkirakan<br />Aku teringat akan apa yang pernah dikatakan Santo Gregorius dari Nazianz, demikian :<br />Orang bijaksana mengambil manfaat dari malapetaka yang menimpanya. Setelah sadar akan apa yang dialaminya, ia berkata : “Baik bagiku, bahwa aku diberi ajaran seperti ini, ya TUHAN, agar aku mematuhi perintahMU ... karena menderita orang mendekati TUHAN dan dalam kesesakan mereka mendapat penolong ...”<br />Tapi sungguhkah aku dapat berlaku demikian?<br />Sungguhkan aku dapat menyelami perkataan sang orang kudus<br /> Untuk kemudian memberlakukannya dalam kehidupanku?<br /> Sungguh Bapa ... aku tidak tahu!<br /> Sementara rasa tak menerima ini terus melekat!<br /> Mengapa aku yang memiliki cita-cita mulia<br /> Harus KAU hentikan!<br /> KAU campakkan!<br /> KAU putus tanpa aku bisa melawan!<br /> Jujur Bapa!<br /> Aku belum dapat sepenuhnya berserah!<br /> Dan ketika perlahan pemberontakan rasa itu<br /> Mulai merambat pergi<br /> Dari hati ini<br />Kenapa justru KAU hadirkan rasa yang menurut banyak orang adalah anugrah<br />Namun buatku adalah siksa dalam bentuknya yang lain<br />Bapa,<br />Kenapa tidak KAU cabut saja nyawa ini!<br />Kenapa tidak KAU hentikan saja nafas di tubuh ini!<br /> Atau haruskah aku yang melakukannya<br /> Jawab aku!<br /> Jawab aku Bapa!<br /><br />03.55 WIB<br />Bapa,<br />Masih dengan pertanyaan yang aku sendiri gak tahu apa jawabannya<br />Ada sebuah pesan dari sahabat ....<br /> Yesterday is a history<br /> Tommorow is a mystery<br /> And Today is a gift<br /> Memang ... ya Bapa!<br /> Kehidupanku di depan adalah misteri<br /> MISTERI<br /> Yang sebaiknya tidak aku pertanyakan<br />Bapa,<br />Ada kalimat dari film “Spiderman 2” yang tadi sempat aku tonton ...<br /><br /> Bahwa jika kita ingin berbuat kebenaran<br /> Kadangkala kita harus melepaskan semua<br /> Termasuk apa yang kita inginkan<br /> Harapkan<br /> Impikan<br />Juga rangkaian syair milik Kahlil Gibran dalam ‘Sang Nabi’<br />demikian,<br />Apabila cinta memanggilmu, ikutlah dengannya, meski jalan yang akan kalian tempuh terjal dan berliku. Dan pabila sayap-sayapnya merengkuhmu, pasrahlah serta menyerahlah, meskipun pedang yang tersembunyi di balik sayap itu akan melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara memporak-porandakan pertamanan.<br />Ya ...<br />Semoga semua yang aku dengar, lihat, dan baca ....<br />Dapat menjadi media refleksi<br /> Dan merupakan petunjuk dariMU<br /> Bagi apa yang seharusnya aku jalani<br /> Walau tak urung tetap ada tanya menyisa ...<br />Mampukah aku seperti itu, ya Bapa?<br /> Mampukah aku dengan ikhlas melepaskan<br /> Semua mimpi-angan-harapan-cita-keinginan<br /> Untuk memiliki Cah Ayu?<br /> Untuk hanya menyayangi Cah Ayu<br /> Tanpa pernah merisaukan balasan yang aku terima<br /> Mampukah aku ...<br /> Memberikan yang terbaik yang aku bisa<br /> Untuk Cah Ayu<br /> Tanpa pernah berharap apapun<br /> Selain untuk bisa memberi dan memberi?<br />Mampukah aku, ya Bapa?<br /> SEMOGA<br /> Ya ... semoga<br /><br /> Pimpin<br /> Bimbing<br /> Sertai<br /> aku ya Bapa<br /> Untuk bisa menerima dan berserah total<br /> Pada semua ini<br />Dan jika masih boleh<br />Ijinkan aku untuk tetap sayang pada Cah Ayu<br />Karena aku memang sayang pada Cah Ayu<br />Karena rasa sayang ini aku anggap sebagai anugrah<br /> Anugrah yang datang dariMu<br />Cah Ayu ...<br /> Makasih<br /> Hanya itu yang mampu aku ucapkan<br /><br />Aku menoleh ke arah Hand Phone-ku yang tergeletak di atas rak CD tempat koleksi MP3. Ada pesan masuk di alat komunikasi mungilku itu.<br />Jan 1,2009 04.18<br />From : Tjah Ajoe<br />Happy new year too my bro! Wooiii jgn brkutat didpn kmputr aj....!!!<br />Nikmati prgntian taon dgn happy2<br />KKrl..mnding gbung ma qta2 di grj..rame lho..!!<br />Aku tersenyum membaca ucapan selamat dari seseorang yang amat aku kenal. Seseorang yang selama ini selalu menghiasi mimpi-mimpi indahku. “Pantesan ... Cah Ayu gak bales-bales SMS-ku! Rupanya sedang ada acara di gereja dia ...” Aku menggumam di dalam hati dan segera menekan tombol-tombol huruf untuk membalas pesan yang aku terima.<br />Jan 1,2009 04.26<br />To : Tjah Ajoe<br />Wah enk dunk! Tau aje ada org lg ngetik2 di kmputr..<br />Y udh met nikmatin taon baruanny ma ank2 grj<br />GBU<br /> Send ...<br />Selang beberapa menit, kembali terdengar nada sebagai tanda ada pesan yang masuk ke Hand Phone-ku.<br />Jan 1,2009 04.39<br />From : Tjah Ajoe<br />Bener niy g mo gbung..tar nyesel loh! ..Masih ada aym en ikan bakar tuh..hihihi<br />BTW makasi y kiriman Puisi Akhir taunny..bagus bgt loh!<br />Jd sukses deh acr Refleksi Akhir Taun..once again tararengnkyu verimuch..<br />“Oh ... puisi yang tempo hari diminta itu buat acara di gereja toh!” Ada rasa bangga bertengger di dalam hatiku, mengetahui bahwa aku bisa membantu orang yang aku sayangi. Meskipun aku bungkus sedemikian rupa sehingga tak ada seorang pun yang tahu. Termasuk Cah Ayu yang adalah Maria Magdalena Citra Dewi Anggini. Aku jadi teringat akan puisi yang yang buat itu ... segera aku mengambil hasil coret-coretanku di dalam laci meja belajar.<br /><br /><br /><br />ADA SESUATU MALAM INI<br />Ada keheningan malam ini<br />Terantuk pada ada sadar diri<br />Waktu telah bergeser<br />Tahun telah berganti<br />Titian kalbu sejenak undur<br />Melintas bayang-bayang lampau<br />Pada kemana hidup membawa<br />Pada sikap diri<br />Pada asa yang mewujud<br />Pada rangkaian samsara<br />Pada gelegar amarah<br />Pada kuatnya kelekatan ego<br />Malam ini ada tanya tersembul<br />Semua adalah karsa Sang Empu Alam<br />Atau pengejawantahan keakuan<br />Ada perenungan malam ini<br />Apa yang telah diri berikan pada hidup<br />Apa sesembahan pada Sang Khalik<br />Atau hanya pinta meraja<br />Bersembunyi dalam topeng doa<br />Namun semu tiada hati<br />Ada refleksi mengemuka malam ini<br />Pada langkah kaki masa lampau<br />Apa jalan yang dilakoni<br />Selaras harmonis kehendak Gusti Allah<br />Atau sekadar keinginan tubuh yang mewujud<br />Berlindung dalam pembenaran diri<br />Ada serangkaian doa bertutur malam ini<br />Dengan kepala tertunduk<br />Dengan hati merendah <br />Dengan jiwa berserah<br />Ya Tuhan …<br />Duh Gusti …<br />Oh My Lord !<br />Jangan biarkan kami berpaling<br />Berada dalam sekat kemegahan hati<br />Laksana burung merak<br />Senantiasa mengibaskan ekor indahnya<br />Tertutup mata dan telinga<br />Tak sadar serigala mengintai<br />Ada sebentuk asa tercipta malam ini<br />Jadikan masa yang telah lalu<br />Sebagai ajang cerminan<br />Pada hidup di depan<br />Agar senantiasa diri ini<br />Bersandar<br />Berpegang<br />Berpijak<br />Pada kemuliaan dan kebesaran<br />NamaMu Junjungan Sejati<br />Amin.<br /># # #<br /><br />04012009<br />02.49 WIB<br />Cah Ayu,<br />Tahun yang baru!<br />Tentunya juga dengan harapan-harapan baru<br /> Cita-cita baru<br /> Angan-angan baru<br /> Langkah-langkah baru<br /> Yang mungkin masih bisa aku rancang<br />Cuma ....<br />Ada satu yang masih dan akan tetap tinggal<br />Ya ....<br />RASA SAYANG !<br />Rasa Sayang diri ini pada Cah Ayu<br />Yang adalah Maria Magdalena Citra Dewi Anggini<br />Cah Ayu,<br />Akhirnya aku mencoba untuk sadar<br /> Untuk bisa nerima keadaan<br /> Untuk membuang ego<br />Ya ....<br />Sebisa mungkin aku akan berusaha jadi kakak yang baik buat Cah Ayu<br />Asalkan itu bisa membuat Cah Ayu bahagia<br />Karena Cah Ayu berhak untuk bahagia<br />Tuhan Yesus,<br />Biarlah KAU pilihkan orang yang terbaik untuk Cah Ayuku –siapapun dia<br />Walau jujur tentu saja aku berharap I am the man.<br />Tapi yang lebih dari harapanku, biarlah KAU pilihkan orang yang bisa membuat Cah Ayu bahagia<br />Ya BAHAGIA !<br />Karena Cah Ayu pantas untuk mendapatkannya<br /> Cah Ayu berhak untuk bahagia<br />Tuhan Yesus,<br />Kalau memang kehendakMU untuk aku hanya menjadi seorang kakak, biarlah KAU sertai aku untuk mencoba dengan sebaik mungkin<br />Jujur ...<br />Kalau itu bisa membuat Cah Ayu bahagia maka aku akan mencoba sekuat tenaga<br />Dan biarlah aku menyimpan RASA ini ya Tuhan<br />Karena aku tidak sanggup untuk<br /> Membuangnya<br /> Menepisnya<br /> Menampiknya<br />JADIKAN KAMI SETIA<br /><br />Ya, YESUS!<br />Ajarilah kami untuk pasrah berserah<br />Ajarilah kami untuk hanya selalu menerima DIKAU<br />Dan apa yang KAU kehendaki<br />Meski tak sesuai dengan<br />Kepastian dan kejelasan<br />Yang kami inginkan<br />Dalam segenap kelemahan<br /> Kesulitan<br /> Kerapuhan<br /> Kami!<br />Ya, YESUS!<br />Jadikan kami tetap setia<br />Hanya padaMU<br />Dan .......<br />Our Father which art in heaven, Hallowed be thy name. Thy kingdom come, Thy will be done in earth, as it is in heaven. Give us this day our daily bread. And forgive us our debts, as we forgive our debtors. And lead us not into temptation, but deliver us from evil: For thine is the kingdom, and the power, and the glory, for ever.<br />Amen.<br />“Halo ... Sang Petapa Muda! Apa kabar lo ...? Selamat Tahun Baru ye Coy ...” Suara di ujung sana dengar sesuai dengan ciri khasnya. Ciri khas milik seorang Albert.<br />“Wahai Sang Pembela Kaum Lemah ...! Gile kemana aja Pak Penasihat Hukum ... lama gak kedengaran kabar beritanya ...? Selamat Tahun Baru juga ...”<br />“Coy ... udah lama gak kongkow-kongkow nih ... ada waktu gak ...?”<br />“Boleh juga tuh ... kira-kira si Bono bisa diajak gak ya ...?” Aku antusias sekali dengan ajakan Albert, karena di samping kebetulan sedang tidak ada kegiatan. Aku kangen untuk bercengkrama dengan sahabat-sahabatku ini.<br />“Don’t worry ... si BonBin udah gue kontak kok ... en dia udah di perjalanan menuju ke sini ... gimana kita ketemu di cafe biasa ...?” Suara di seberang sana terdengar bersemangat menanti persetujuan dariku.<br />“Sip deh ... atur aja ... gue langsung meluncur ke sana ...”<br />“Oke Coy ... see ya!”<br />“Klik ...”<br /><br /># # #<br /><br />28012009<br />01.58 WIB<br />Cah Ayu,<br />Tak habis-habisnya<br />Tak henti-hentinya<br />Tak putus-putusnya<br />Tak hilang-hilangnya<br /> Sebuah kata tanya hadir<br /> Bertengger<br /> MENGAPA?<br /> Ya ...<br /> Mengapa?<br /> Mengapa tak kunjung hilang?<br /> Rasa ini ...<br /> Rasa yang ujung-ujungnya hanya menyesakkan dada!<br /> Rasa yang pada akhirnya meremukkan hati<br />Cah Ayu,<br />Apa yang harus diri ini lakukan?<br />Apa yang sebaiknya aku lakukan?<br /><br /><br />10052009<br />04.21 WIB<br />Cah Ayu,<br />Udah lama ya kita gak pernah ngobrol2 lagi ...<br /> Gak tau apa Cah Ayu ngerasa hal yang sama denganku<br /> Ngerasa pengen sedikit saja dikasih kesempatan buat ngobrol bareng<br /> Ngerasa pengen sebentar saja berdua tanpa ada yang mengganggu<br /> Ngerasa pengen ada kesempatan untuk berbagi rasa<br /> Berdua ... ya just two of us!<br /> Begitulah sejujurnya yang aku rasakan ...<br /> Aku kangen<br /> Aku rindu Cah Ayu<br />Cah Ayu,<br />Kenyataan ini memang tidak bisa aku tepis sedikitpun<br />Kenyataan kalo aku sayang Cah Ayu<br /> Entah sampai kapan akan terbuka kesudahan dari semua ini<br /> Jujur ...<br /> Aku sama sekali gak bisa untuk berlaku sekadar hanya sebagai seorang kakak<br /> Harapan-harapan dan angan-angan itu masih saja bertahta<br /> Entah sampai kapan ...<br />Cah Ayu,<br />Aku berusaha untuk sekuat tenaga merelakan<br /> Melepaskan<br /> Menerima kenyataan yang ada<br />Bahwa hanya bertepuk sebelah tangan yang terjadi<br />Bahwa rasa yang Cah Ayu miliki tidaklah sama dengan harapanku<br />Bahwa hati Cah Ayu bukanlah milikku<br /> Begitulah realita yang adalah realita<br /><br />Cah Ayu,<br />Aku juga selalu mempersiapkan diri<br />Jika pada saatnya nanti Cah Ayu bersanding dengan orang lain<br />Jika pada waktunya nanti Cah Ayu bersandar pada hati yang lain<br /> Sungguh ...<br /> Walaupun aku tahu bahwa aku gak akan pernah siap menghadapinya<br />Cah Ayu,<br />Biarlah Cah Ayu tetap menjadi inspirasi dalam hidupku<br />Biarlah Cah Ayu tetap menjadi Cah Ayuku<br /> Cah Ayu yang bisa aku pandang<br /> Cah Ayu dengan senyum manis<br /> Cah Ayu dengan sorot mata meneduhkan<br /> Cah Ayu dengan wajah ayu<br /> Yang ada dalam ruang rindukuPARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-11728773893205935382009-01-20T01:39:00.000-08:002009-01-20T01:42:01.016-08:00CATATAN KEDELAPANMENGAWANG SUKMA MEMELUK BAYANG<br /><br /><br />Pembaca yang bijak bestari,<br />Aku akan awali episode ini dengan sebuah puisi ...<br /> Sori ya bagi yang bukan kaum puisimania<br /> Anda sebaiknya berbesar hati untuk tetap membaca catatan-catatan ini<br /> Catatan-catatan yang akan bertaburan dengan puisi<br /> Oke ... bisa kan berbesar hati barang sejenak ...<br /> Yah kalo gak bisa sih ya KEBANGETAN<br /> Hehehehehe ......<br /><br />Cah Ayu<br /><br />Sebuah mimpi<br />Yang ada dalam realita<br />Sekaligus<br />Sebuah realita<br />Yang adalah mimpi<br />Ketika tergambar<br />Senyum manis<br />Wajah ayu<br />Sorot mata meneduhkan<br />Yang ada namun tiada<br />Juga tiada namun ada<br />Cah Ayu,<br />Jika tembok sudah tertutup rapat<br />Dan jika jarak sudah terbentang<br />Ijinkan diri ini<br />Menyimpannya<br />Hanya menyimpannya<br /> Sampai nanti<br /><br /><br />12012008<br />11.40 WIB<br />Bapa,<br />Sebuah anugerah KAU ciptakan<br />Sebentuk kebahagiaan KAU hadirkan<br />Serangkai kisah KAU skenariokan<br />Ya ...<br />Kesukaan untuk hambaMU ini<br />Terima kasih ya Bapa!<br />Puji syukur ya Tuhan!<br />Justru ketika hati ini mulai mencoba untuk melepaskan<br /> Ketika aku mulai mencoba untuk mengikuti kemana hidup membawa<br /> Ketika itu pula<br /> KAU anugerahkan catatan membahagiakan<br /> Ketika tatapan mata saling bertemu<br /> Ketika akhirnya bisa berjalan berdua<br /> Ketika bangku taman itu jadi saksi bisu<br /> Ketika duduk ngobrol berdua<br /> Ketika rangkaian kata terucap<br /> Ketika jalinan komunikasi mulai terbuka<br /> Ketika coba untuk lebih mengenal<br /> Ketika senyum manis itu hadir<br /> Ketika sorot mata meneduhkan itu dekat<br /> Ketika wajah ayu itu ada<br /> Ketika semua bukan hanya sekadar angan<br /> Ya...... this is real!<br /> So real!<br /> And make happy<br />Cah Ayu,<br />Terima kasih ...!<br />Buat cerita-ceritanya<br />Buat senyum manismu<br />Buat sorot mata meneduhkan<br />Buat wajah ayumu<br />Buat kesediaan Cah Ayu nemenin ngobrol<br /> menyusuri siang mendamaikan itu<br />Hehehe .....!<br />Memang sih Cah Ayu masih keliatan sungkan,<br />Mungkin ada rasa canggung<br />Mungkin ada rasa kaku<br />Mungkin juga ada rasa takut ada yang ngeliat kebersamaan kita<br /> Gak apa-apa kok Cah Ayu ......<br /> Aku bisa ngerti<br /> Bener-bener aku bisa ngerti itu!<br /> Yang penting harapanku<br /> Cah Ayu bisa enjoy ngobrol sama aku<br /> Cah Ayu gak risih nemenin aku<br /> Cah Ayu bisa nyaman kalo di sampingku<br /> Cah Ayu bisa semakin terbuka<br /> Cah Ayu gak sebel saat kebersamaan itu hadir<br />Ya Yesus!<br />Biarlah diri ini mencoba untuk membiarkan mengalir apa adanya<br />Biarlah semua coba kuserahkan pada Skenario AgungMU<br />Ya .....<br />Pada akhirnya memang<br />“Segala sesuatu ada masanya .... ada waktunya”<br />Dan ketika itu hadir<br /> Sungguh membahagiakan<br /> Sungguh menggetarkan<br /><br /><br /><br /><br /><br />25022008<br />00.44 WIB<br />Cah Ayu,<br />Bible Camp yang tak akan pernah terlupakan!<br />Gimana nggak,<br />Di saat hati ini tengah berusaha bertahan sekuat tenaga<br /> Mengumpulkan kembali keping-keping kehancuran<br /> Merangkai kembali puing-puing asa<br /> Yang terlibas prahara<br /> Yang terhantam gelombang pasang<br />Tiba-tiba ...<br />Ada seberkas sinar terpancar<br />Memandu dalam kegelapan<br />Bermula dari a simple message<br /> Sederhana<br /> Namun penuh kedalaman makna<br /> “Walaupun agak ngaret2 But Acaranya “sukses” bgt .... “Met” ya .....<br /> I proud of U<br /> GBU”<br />Disusul,<br />Sederet kata-kata ketika berpamitan .......<br /> “Kakak ... ngerokok terus nih! Kayak kereta ngebul terus! Emangnya Dewi gak perhatiin?!! Emang kata orang kalo lagi under pressure enaknya ngerokok! Tapi balikin aja lagi ke orangnya, emang ada manfaatnya?”<br />Hehehe .... Cah Ayu! Cah Ayu! Dari semula memang kamu adalah orang yang tidak pernah setuju atau pun mentolerir seorang perokok!<br /> Sederet kata yang simpel ... dan<br /> Singkat memang!<br /> Namun ada kedalaman makna di sana<br /> Namun ada rasa diperhatikan di sana<br /> Namun ada rambatan yang menggetarkan di sana<br />Kemudian,<br /> Pesan melalui teknologi SMS itu ... <br /> “ jk<br /> Kau kcewa<br /> Dan bersedih<br /> Karna<br /> Dilukai<br /> Izinkan<br /> Kuhadir<br /> Merawat<br /> Lukamu<br /> Krna aku..<br /> JUAL PLESTER<br /> 500<br /> Rp satu<br /> Mw bli? =)”<br /><br />Sungguh ...<br />Rangkaian aksara yang indah<br />Cah Ayu,<br />Mulai terbukakah pintu hatimu?<br />Terkuakkah misteriMU ya Bapa?<br /> Bahwa penantianku selama ini<br /> Berakhir membahagiakan?<br />Cah Ayu adik kecilku,<br />Semoga ini bukanlah khayalan<br /> Impian<br /> Angan semu belaka<br />Jujur ...<br />Ada rasa takut dan khawatir<br />Bahwa aku akan terjerembab untuk kesekian kalinya<br />Keliru menangkap tanda-tanda<br /> Aku takut kecewa lagi<br /> Takut terberangus kembali asa ini<br /><br /><br />23032008<br />12.50 WIB<br />Cah Ayu,<br />Piye kabare? Apik-apik wae kan?<br />Sehat-sehat aja kan?<br />Hampir sebulan gak nulis-nulis lagi!<br />Cah Ayu,<br />Memang pada akhirnya aku<br /> Gak bisa membohongi diri sendiri<br /> Gak bisa mengingkari<br /> Gak bisa menyangkal<br /> Gak bisa memupus rasa<br /> Gak bisa menghilangkan<br />Bahwa,<br />Rasa SAYANG itu masih ada dan tetap ada<br />Rasa SAYANG pada Cah Ayu masih bersemayam<br />Salahkah, ya Bapa?<br />Gak benarkah, ya Bapa?<br />Hanya rasa tak tahu dirikah meraja, ya Bapa?<br /> Mungkin karena memang gak bisa menerima kenyataan<br /> Mungkin karena memang gak tahu diri<br /> Mungkin karena memang gak pasrah sama keadaan<br /> Hanya ..<br /> Itulah adanya<br /> Kalau memang aku ini gak bisa menepis RASA SAYANG ini<br />Cah Ayu,<br />Sangat mungkin Cah Ayu jadi marah<br /> Sebel<br /> Benci<br /> Dan lain-lain<br />Kalo tau kakakmu yang satu ini kayak begini!<br />Yang masih aja terus berharap<br />Yang gak bisa cuma sekadar jadi kakak<br />Yang maunya lebih<br /> Maafkan,<br /> Ya maafkan aku Cah Ayu!<br />Kalo ... pada akhirnya aku gak bisa menyangkal rasa<br />Jujur!<br />Sampai saat ini<br />Aku masih punya keyakinan<br />Kalo suatu hari nanti<br />Entah kapan<br /> Cah Ayu akan dapat aku rengkuh<br /> Cah Ayu akan bersanding denganku<br /> Ge-er kah?<br /> Keyakinan yang berlebihankah?<br /> Sungguh ... aku gak tau!<br /> Yang aku rasa ...<br /> Bahwa jika tiba harinya nanti<br /> Impianku akan nyata<br /> Anganku akan mewujud<br /> Cita-citaku akan menjelang<br />Aku hanya perlu untuk bersabar<br /> Berusaha<br /> Berdoa<br /> Gila ya kakak Cah Ayu yang satu ini<br />Cah Ayu,<br />Ada syair-syair buatanku sendiri (nyombong sedikit gak apa-apa ya hehehe ...!) yang mungkin dapat mewakili perasaanku<br />Demikian,<br /><br />Sang Inspirasi Adanya<br /><br />Ternyatalah bahwa<br />Sang inspirasi tiada tergantikan<br />Mewujud pada sinar mata meneduhkan<br />Senyum manis<br />Wajah ayu<br />Meluruh duka<br />Melarut nestapa<br />Melebur dalam kesukaan<br />Cah Ayu,<br />Tiada dapat dan tiada mau berpaling<br />Biarlah dikau ijinkan<br />Rasa ini bersemayam<br />Sambil terus mengembang<br />Biarlah dikau tetap sebagai inspirasi adanya<br />Sampai nanti<br />Sampai misteri Sang Pemilik Segala<br />Terkuak<br />Terjawab<br />Dikau sambut biduk kecil ini menambat<br /> Atau tetap berlayar dalam samudera kesendirian<br />Yang terjadi maka terjadilah<br />Dan dikau tetap inspirasi adanya<br /><br /> - Kepada Cah Ayu -<br /><br />Begitulah.<br />Sekali lagi maaf beribu maaf bagi para pembaca yang budiman ...<br />Kalau episode ini nampak membosankan<br /> Karena taburan puisi-puisinya<br /> Karena isinya penuh sesak dengan romantisme<br /> Romantisme picisan bisa jadi<br />Namun memang begitu adanya<br /> Bahwa cinta identik dengan romantisme<br /> Betul bukan?<br />Dan ada satu lagi syair ...<br />Demikian,<br /><br />Biduk Mendamba<br /><br />Sebuah kegilaan<br />Sebentuk obsesi<br />Sewujud kekerashatian<br />kah semua ini?<br />Ketika biduk sableng nan tambeng ini<br />Mencoba menambat<br />Pada Cah Ayu<br />Atas nama usaha<br />Atas nama cinta<br />Atas nama kerinduan<br />Atau,<br />Memang begitukah adanya?<br />Bahwa biduk dan pelabuhan<br />Adalah sebuah kesatuan jiwa<br />Sebagai goresan Sang Ilahi<br />Entahlah .... Cah Ayu!<br />Hanya satu kepastian<br />Biduk lemah ini<br />Begitu mendamba<br />Hanya kepada dikau<br />Bolehkah<br />Bisakah<br />Benarkah<br />Salahkah<br /> <br /><br />02042008<br />02.37 WIB<br />Cah Ayu,<br />Sekarang lagi ngabisin Paket Hemat di Warnet sebelah<br />Eh ... tiba-tiba aja tergambar wajah ayu itu<br /> Wajah ayu dengan senyum manis<br /> Wajah ayu dengan sorot mata meneduhkan<br /> Wah ...<br /> Saat ini aku sedang kangen<br /> Kangen sama Cah Ayu<br /><br /><br />Sebentuk Kerinduan<br /><br />Sewujud apakah<br />Yang dinamakan cinta itu<br /> Ketika ternyatalah bahwa<br /> Semakin kuat ingin memadamkan<br /> Justru semakin dalam meresap<br /> Semakin keras hasrat membuang<br /> Malah semakin lekat bersarang<br />Maka,<br />Di tengah kesunyian meraja<br />Di tengah keheningan melingkupi<br /> Pekatnya malam<br /> Tergambarlah wajah ayu<br /> Senyum manis<br /> Sorot mata meneduhkan<br /> Milik sang inspirasi adanya<br /> Mewujud<br /> Pada apa yang dinamakan<br /> Kerinduan<br /> Begitulah<br />Cah Ayu,<br />Apa Kabar?<br />Diri ini ingin sekali ketemu<br />Kangen yang benar-benar kangen<br />Rindu yang benar-benar rindu<br />Seperti syairnya Sitor Situmorang, “Di matamu negeri kekasih ... rindu pudar membakar diri ...!”<br />Cah Ayu, aku sayang Cah Ayu<br /><br /><br />01052008<br />15.58 WIB<br />Cah Ayu,<br />Masih dengan tanya tak berkesudahan<br /> Sesak berkepanjangan<br /> Rindu tak tentu ujung<br />Sungguh aku gak tahu mau kemana hidup membawa<br />Hanya satu yang pasti ...<br /> Yesus sang Kristus<br /> Om Gondrong Maha Agung<br /> Punya rencana terbaik<br /> Maka biarlah<br /> Semua berjalan seperti adanya<br /> Mengalirlah lembar kehidupan<br /> Sebagaimana lakon yang telah terpatri<br />Termasuk juga<br />Aliran rasa ini<br /> Rasa yang hanya pada<br /> Cah Ayuku seorang<br />Once more,<br />Aku gak tahu bagaimana kesudahannya nanti<br />Namun kalau boleh aku meminta<br />Bapa,<br />Biarlah KAU ijinkan aku seperti adanya ini<br /> Yang punya rasa sayang pada Cah Ayu<br /> Yang coba menempatkan semua pada porsinya<br /> Yang coba memberikan yang terbaik yang bisa diberikan<br /> Yang coba untuk tidak pernah mempermasalahkan balasan apapun<br /> Yang coba untuk mengerti lebih lagi<br /> Yang coba untuk mendengar lebih lagi<br /> Yang coba untuk memahami lebih lagi<br /> Yang coba untuk hanya menyimpan rasa ini<br /> Dan meresapi kedalamannya<br />Walau tak urung ada harap tersembul, ya Bapa<br />Bahwa,<br />Bersandingnya Cah Ayu dalam meniti hidup<br />Bersandingnya Cah Ayu dalam kebersamaan<br /> Adalah KESUDAHANdari MISTERIMU<br /> Yang sekaligus juga<br /> Adalah awal dari langkah berikutnya<br /> Dalam mengarungi hidup<br /> Sebuah titik sekaligus koma<br /> Ya ... sebuah titik koma<br /> Yang akan menghadapi koma-koma lain di depan<br />Cah Ayu,<br />Ada deretan syair yang aku kutip dari lirik tembang “HERE FOR YOU”-nya Fire House. Gak apa-apa ya berlagak bule sedikit en pake bahasa Inggris-Inggrisan segala hehehe ... kan biar terlihat keren en intelek gitu ...<br />Here For You<br />So you think you’ve got it all figured out<br />Well you know you can’t make it alone<br />Everybody needs somebody to help them out<br />And you know I could be that someone<br />And if you ever get on life’s highway<br />Don’t know where to go<br />There’s just one thing<br />That I want you to know<br />I am here for you<br />Alwayas here for you<br />When you need a shoulder to cry on<br />Someone to rely on<br />I am here for you<br />So you think that love is long overdue<br />Tired of looking for someone that care<br />Let me tell you now the choice is up to you<br />But you know I will always be there<br />I am here for you<br />Always here for you<br />When you needed someone to hold you<br />Remember I told you<br />I am here for you<br />I am here for you<br />So now you’ve got it all figured out<br />And you know you’ve found someone that care<br />And if you ever need<br />Somebody to help you out<br />Well you know I will always be there<br />Cah Ayu,<br />Jangan pernah merasa sendiri ...PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-91899625635666937412009-01-19T08:07:00.000-08:002009-01-19T08:09:37.096-08:00CATATAN KETUJUHMENGASYIKAN SEKALIGUS MENYESAKKAN<br /><br />c.i.n.t.a.<br /> Adalah kata<br /> Berikutnya<br /> Yang menyeretku ke dalam pertentangan-pertentangan<br /> Penyangkalan-penyangkalan<br /> Dan bahkan pemberontakan tak berujung<br />Ada syair lagu dari Kang Doel Sumbang<br />Yang aku sendiri sangat setuju<br />Demikian ...<br />Jangan berkata tidak<br />Bila kau jatuh cinta<br /> Berterus terang sajalah<br /> Buat apa berdusta<br /> Cinta itu anug’rah<br /> Maka berbahagialah<br /> Sebab kita sengsara<br /> Bila tak punya cinta<br /><br />Sebuah untaian syair yang benar adanya, bukan?<br /> Aku pun tidak mau berdebat atau adu argumentasi mengenai hal itu<br />Namun ...<br />Pembaca yang budiman!<br />Yang aku alami justru sebaliknya .... sungguh tanpa mengada-adakan yang tidak ada!<br /> AKU JATUH CINTA<br /> Aku sedang jatuh cinta!<br /> Wow ... betapa menyenangkan bukan?<br /> Hidup akan dipenuhi dengan harapan-harapan<br /> Hidup akan diwarnai dengan angan-angan<br /> Hidup akan dinuansai dengan imajinasi-imajinasi<br /> Hidup menjadi lebih hidup<br /> (seperti slogan sebuah produk buatan negeri ini)<br />Mestinya memang begitu ....<br />Dan aku pun merasa bunga-bunga bersemi dalam hati-jiwa-raga<br />Tetapi,<br /> Kenapa ada kata mestinya?<br /> Kenapa harus ada kalimat,<br /> Mestinya aku bahagia karena aku sedang jatuh cinta<br />Karena ...<br />Kehadiran cinta di dalam hatiku<br /> Bersamaan dengan sebentuk pilihan<br /> Pilihan dilematis bahkan!<br /> Boleh jadi ...<br /> Orang lain atau bahkan pembaca sendiri akan beranggapan<br /> Hal yang aku rasakan ini terlalu didramatisir<br /><br /> Terlalu dibuat-buat<br /> Tidak masuk akal<br /> ABSURD!<br />Pembaca yang budiman,<br />Anda boleh dan sangat berhak untuk tidak meneruskan kisah ini<br />Menganggap hanya sebagai sesuatu yang wasting time<br /> Buang-buang waktu<br /> Percuma<br /> Tidak ada gunanya<br /> Itu adalah hak pembaca<br />Seperti aku juga punya hak untuk menuangkan<br />Apa yang aku rasakan<br />Menjadi sebuah rangkaian kisah yang mudah-mudahan tidak menina-bobokkan<br /> Melenakan<br /> Atau menjemukan<br /><br /># # #<br /><br />Juli 2007<br />Entah kapan bermula<br />Karena perkenalan dengan Cah Ayu (begitu aku biasa memanggil sang dambaan hati, dan lebih baik begitu terus aku sebutkan agar kerahasiaan Cah Ayu tetap terjaga) sudah terjadi beberapa kurun waktu lamanya<br />Dan hubungan yang terjalin merupakan persaudaraan di dalam pelayanan<br />Tidak lebih ... dan tanpa ada ‘skenario’ khusus di dalam kedekatanku dengan Cah Ayu<br />Hanya semenjak sebuah peristiwa<br />Yang pasti tidak akan pernah terlupakan<br />Yaitu peristiwa jatuh sakitnya Cah Ayu akibat terkontaminasi<br /> Kepulan-kepulan asap<br /> Gumpalan-gumpalan pekat<br /> Kepunyaan benda yang melulu berisi racun sebenarnya<br /> Namun anehnya sangat digemari banyak orang<br /> Termasuk diriku ini<br />Bodohnya aku!<br />Kejadian memalukan itu justru sama sekali TIDAK aku sadari!<br /> Aku baru mengetahui setelah beberapa hari berselang<br /> Ketika berita Cah Ayu tengah tergeletak sakit<br /> Sampai ke telingaku<br /> Betapa kagetnya!<br /> Betapa tersentaknya!<br />Dan ini ....<br />Sebuah PERINGATAN<br /> SUNGGUH SEBUAH PERINGATAN!<br />Bagi kaum Adam yang belum terlanjur ketagihan atau kecanduan benda yang dinamakan sigaret<br /> Lebih baik jangan mencoba<br /> JANGAN SEKALI-SEKALI MENCOBA<br /> Benar ...<br /> Karena .... ups sori berbau pengakuan pribadi ...<br /> Diriku ini termasuk orang yang sangat tahu bahwa hanya zat-zat beracun saja yang dikandung oleh sigaret<br /> Namun, realitanya aku masih saja berada dalam pergumulan panjang yang entah sampai kapan akan aku menangkan<br /> Aku masih saja menghirup dalam-dalam dan menghembuskan kepulan asap pekat dari sang sigaret!<br /> Walaupun semenjak aku divonis mengidap HIV-positif, jumlah sigaret yang kuhisap dalam satu hari sudah jauh berkurang dibandingkan sebelumnya<br /> Paling hanya dua sampai tiga batang saja aku konsumsi setiap minggunya<br /> Namun begitu, yah tetap saja aku masih seorang perokok<br /> Karena bukan kenikmatan fisik yang disajikan oleh sang sigaret<br /> Melainkan lebih dari itu ...<br /> Ada sugesti batiniah yang ditawarkan<br /> Sehingga kita terdorong untuk terus dan terus menyalakan serta menghirupnya dalam-dalam<br />Oh ... ya ... maaf bagi pabrik-pabrik sigaret<br /> Aku tidak bermaksud mengibarkan bendera perang against you all<br /> Karena sama seperti kalian punya hak untuk memproduksinya<br /> Menghisap sigaret adalah hak bagi semua orang!<br />Peringatan ini lebih aku tujukan<br />Bagi kaum pencari tulang rusuk yang hilang<br /> Dijamin deh<br /> Kaum perempuan pada hakikatnya lebih memilih sang pujaan hatinya untuk tidak menghisap sigaret<br /> Boleh kalian tanya ... atau bahkan edarkan angket sekalian<br /> Kalau tidak percaya<br />Waduh ... waduh ...<br />Kok ngelantur kemana-mana ya jadinya<br /> Sampai-sampai menjadi kampanye anti sigaret terselubung<br /> Hihihi ...<br />Baiklah, pembaca yang budiman<br />Aku akan kembali pada kisahku tentang cinta ...<br /> Yang sepertinya lebih asyik untuk dikisahkan<br /> Daripada berceloteh tentang sigaret!<br />Oke ....<br />Peristiwa Cah Ayu versus sigaret itulah<br />Yang pada akhirnya menjadi titik penyadaran<br /> Bahwa bumi telah menumbuhkan benih-benih smara<br /> Yang bersemi dalam taman hati<br /> Bermula dari rasa bersalah<br /> Berlanjut penyesalan<br /> Berkembang menjadi rasa ingin menebus dosa<br /> Bertumbuh menjadi rasa ingin melindungi<br /> Bermetamorfosa menjadi ingin memperhatikan<br /> Berbuah menjadi rasa cinta<br /> Rasa yang semestinya membahagiakan<br /> Rasa yang semestinya penuh bunga-bunga<br />Namun,<br />Ternyata tidak sepenuhnya begitu aku rasakan!<br />Aku BAHAGIA tentu saja!<br /> Namun, kebahagiaan yang bersemi diiringi oleh pertanyaan-pertanyaan<br /> Pertanyaan-pertanyaan meresahkan<br /> Berupa ...<br /> Benar sejatikah perasaan ini atau hanya sesaat?<br /> Pada tempatnyakah aku memiliki rasa cinta pada Cah Ayu?<br /> Tidak salahkah rasa cinta ini?<br /> Pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu sebenarnya<br /> Tapi nyata adanya!<br /><br /><br />AGUSTUS 2007<br />Cah Ayu,<br />Semenjak getar-getar menjalar<br /> Relung sukma<br /> Semenjak itu pula<br /> Bayang-bayang wajah ayu<br /> Senyum manis<br /> Sorot mata meneduhkan<br /> Milik Cah Ayu<br /> Senantiasa meraja<br />Wow ...<br />Betapa mengasyikkan<br /> Hidup serasa berada dalam tebaran-tebaran asa<br /> Laksana terbang sampai pada<br /> Langit ketujuh<br /> NAMUN<br /> Ketika tersadar<br /> Diriku<br /> Terjerembab<br /> Begitu keras<br /> Jatuh ke bumi<br /> Ke atas realita<br /> Menyesakkan<br />Bagaimana tidak ...!<br />Senandung gita cinta tentang Cah Ayu ini<br /> Hanya bisa aku nikmati<br /> Sebatas pada merasakan – menyimpan – untuk selanjutnya merahasiakan<br /> Menutup RAPAT<br /> SERAPAT-RAPATNYA!<br />Begitulah episode cinta yang harus aku jalani<br />Cah Ayu,<br />Ungkapan-ungkapan rasa dan perhatian pada Cah Ayu ini harus aku kemas serapi mungkin agar tidak terbongkar oleh siapa pun bahkan oleh Cah Ayu sekalipun. Kalau perlu angin dan tembok pun tidak boleh tahu! Agar mereka tidak merambatkan kabar kalau aku jatuh cinta pada Cah Ayu kepada semua orang!<br />Memang itu pilihan yang harus aku jalani!<br />Pilihan yang mengasyikkan sekaligus menyesakkan!<br /> MENGASYIKKAN ...<br /> Seperti misalnya ketika aku mampu mencurahkan rasa peduli pada Cah Ayu<br /> Yang berwujud memberikan tenaga untuk membantu Cah Ayu menyelesaikan tugas-tugas yang harus dibuat dalam rangka masa orientasi saat memasuki dunia kampus<br /> Rasa peduli yang aku bungkus sedemikian rupa sampai Cah Ayu sendiri pun tidak menyadari ... ah! Betapa membahagiakan dapat mencurahkan perhatian pada Cah Ayu tanpa terdeteksi oleh orang lain<br /> MENYESAKKAN ...<br /> Seringkali pertanyaan-pertanyaan protes mengalir dari dalam hatiku<br /> Mengapa aku tidak bisa bebas mengekspresikan perasaanku pada Cah Ayu? Mengapa aku harus menutupinya dengan serapi mungkin agar tidak ada orang yang tahu? Mengapa aku harus bermain petak umpet?<br /> Mengapa ... ? Mengapa ....? Dan mengapa-mengapa lain ...?<br />Aku yang jatuh cinta pada Cah Ayu<br />Tentu saja punya harapan terbesar<br /> Bahwa perasaan Cah Ayu serupa dengan yang aku rasakan<br /> Namun ...<br /> Bagaimana itu bisa menjadi sebuah kenyataan<br /> Kalau aku harus merahasiakan semua ini<br />Jangankan untuk mewujudkan asa yang terpendam bahwa gayung bersambut dari Cah Ayu adalah kesudahan dari episode cintaku ini. Sekaligus juga menjadi awal dari rangkaian kisah cinta dua sejoli yang membahagiakan<br />Untuk Cah Ayu sekadar mengetahui perasaanku saja ... itu adalah hal terlarang!<br /> YA ... TERLARANG<br />Bapa,<br />Kalau boleh aku bertanya ...<br />Bukankah KAU ciptakan apa yang dinamakan cinta itu selain untuk dirasakan dan dinikmati, lebih dari itu diwujudkan dengan apa adanya pada sang tambatan hati?<br />Lantas dapat disebut cintakah apa yang aku alami ini, ya Bapa?<br />Atau memang telah Kau torehkan bahwa implementasi rasa cintaku pada Cah Ayu dalam bentuk kerahasiaan? Benarkah demikian, Bapa?<br /> Kalau benar begitu ...<br /> Bagaimana dengan perkataan banyak orang dan bahkan para pujangga sekali pun bahwa jangan biarkan cinta terpendam terbenam di dasar hati!<br /> Katakanlah ...<br /> katakanlah agar orang yang kau cintai tahu bahwa engkau mencintainya dengan segenap hatimu!<br /> Bullshit-kah semua itu?<br /> Sungguh aku tidak tahu dan tidak berani menyimpulkannya<br /><br /><br />21082007<br />02.15 WIB<br />Bapa, <br />Aku mungkin gila<br /> Mungkin gak tau diri<br /> Mungkin gak pernah pasrah menerima keadaan<br /> Mungkin berlebihan<br /> Dan mungkin-mungkin lain yang gak benar<br /> Membuat Engkau kecewa<br /> Engkau sedih<br />Benarkah ...?<br />Benarkah begitu ya Bapa ...?<br /> Mungkin juga karena lagi hangat-hangatnya<br /> Atau lagi mengebu-gebunya<br /> Atau baru saja terjadi<br /> Atau masih suka ketemu<br /> Atau belum bertemu cewek lain<br />Cuma ...<br />Jujur!<br />Hati ini sedih sekali<br /> Merasa kehilangan begitu mendalam<br /> Merasa membuyar segala angan<br />Dan .....<br />Hanya satu yang pasti<br /> AKU SAYANG CAH AYU<br /> Harus lakukan apa diri ini, ya Tuhan?<br /> Harus bagaimana diri ini, ya Bapa?<br /> Rasa itu masih ada dan tetap tinggal<br />Cah Ayu,<br />Bohong kalo gak sedih!<br /> Kalo gak tersayat!<br /> Kalo gak tergores!<br /> Dan bahwa ....<br /> Setiap ada pertemuan<br /> Ada senyuman<br /> Ada sorot mata meneduhkan<br /> Ada wajah ayu<br /> Saat itu pula lara melanda<br /> Saat itu pula jiwa tersobek<br /> Cah Ayu bukan milik hati ini<br /> Cah Ayu tidak tersentuh<br /> Cah Ayu tidak terjangkau<br />Dan ....<br />Hati ini tetap harus sendiri!<br />Mungkin memang ....<br /> Tidak ada berbagi rasa<br /> Tidak ada nonton bareng<br /> Tidak ada ngobrol bareng<br /> Tidak ada cari buku bareng<br /> Tidak ada berdoa bareng<br /> Semua tidak ada!<br />Mungkin memang ...<br /> Senyum manis<br /> Sorot mata meneduhkan<br /> Wajah ayu<br /> Perhatian<br /> Hati<br /> ... Cah Ayu<br /> BUKAN UNTUK HATI INI<br /><br />“Ayo ... Kak Karel lagi ngapain? Ketahuan ya ... lagi curhat-curhatan sama temen chatting ye? ... Riska ngeganggu gak nih?” Riska adik semata wayangku yang sangat tabah dan sabar dalam menerima kenyataan bahwa kakaknya ini menderita penyakit aib bagi kebanyakan orang merangkulku dari belakang. Kemanjaannya tidak pernah hilang sama sekali.<br />“Nggak kok ... Kakak cuma lagi nulis catatan harian aja! Ada apa Ris ...?” Aku segera mengalihkan file Catatan Harianku yang nampak di layar monitor menjadi tampilan screen saver.<br />“Kak Karel ... kayaknya udah lama deh gak liat lagi puisi-puisi terbaru Kakak ... lagi mampet ya inspirasinya ...?”<br />“Ada sih beberapa karya Kakak yang terbaru ... tapi temanya beda banget dari karya-karya Kakak sebelumnya ...”<br />“Mana ... mana? Riska baca ya Kak ...!!” Antusias sekali adik tersayangku ini ... sampai-sampai ia memotong perkataanku yang belum selesai. Aku tersenyum melihat sikapnya yang menggebu-gebu itu. Sikap yang seringkali menjadi motivasi untuk aku dapat terus berkarya.<br />“Tapi ... jangan diketawain ye ... ini ...!” Aku mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam laci meja belajarku dan menyerahkannya pada Riska.<br /><br />Syair Kerinduan<br /><br />wajah ayu nan meneduhkan<br />untaian senyum nan menyejukkan<br /> laksana embun pagi<br /> atau kemerlap bintang malam<br /> nun di atas sana<br /> duhai Cah Ayu,<br /> ada ingin mewujud<br /> redamkan semua gejolak<br /> inspirasikan tangan ‘tuk menggoreskan pena<br />kerinduan ini begitu mengemuka<br />ujudkan secercah asa<br />selimuti api kegalauan<br />usir segala kegetiran<br /> melebur bara amarah<br /> angkat puing kehancuran<br /> dan nyatalah bahwa<br /> engkaulah<br /> wahai Cah Ayu<br /> inspirasi itu adanya<br /><br />“Wah ... ternyata kakakku yang ganteng ini sedang jatuh cinta ya ...! Sama siapa Kak ... kenalin dong ke Riska ...?” Riska tertawa menggoda.<br />“Weeiittts ... rahasia dong ... nanti aja ah ... kalo udah waktunya baru Kakak kasih tau ...” Aku tersenyum melihat reaksi Riska yang langsung cemberut mendengar jawabanku barusan.<br />“Ih ... Kak Karel sekarang senang main rahasia-rahasiaan segala ... ayo dong Kak gak usah diumpet-umpetin deh ... Riska janji gak akan kasih tau siapa-siapa ...” Riska mulai mengeluarkan senjata ampuhnya jika dia menginginkan sesuatu. Senjata ampuh berupa rengekan manja.<br />“Udah ah ... Kakak bilang rahasia ... ya rahasia ... titik!” Aku tetap berkeras pada pendirianku. Menurutku memang sebaiknya tidak ada seorang pun yang tahu akan perasaanku pada Cah Ayu.<br />“Ih ... Kakak pelit ...!” Riska mulai merajuk, seperti anak kecil yang minta permen kesukaannya namun dilarang oleh orang tuanya.<br />“Biarin ... udah sana ... jangan ganggu Kakak dulu ... hehehe!” Aku memberi kode pada Riska untuk meninggalkan kamarku. Dan dengan wajah cemberut dan langkah yang berat Riska menuruti apa yang kuperintahkan. Geli juga aku melihat sikap adik semata wayangku itu yang seperti anak kecil saja.<br /><br /><br />20092007<br />02.40 WIB<br />Cah Ayu,<br />Untuk kesekian kali<br /> Hati ini<br /> Jiwa ini<br /> Rasa ini<br /> Ambruk !<br /> Meluruh dalam pedih<br /> Dalam sedih<br /> Dalam kesendirian<br />Ya ....<br />Kembali berulang lara melanda<br />Yang sekaligus<br />Juga menegaskan<br />Kalau rasa itu masih ada<br />Ya ... RASA SAYANG<br /> Yang hanya pada Cah Ayu<br /> Cah Ayuku seorang<br />Bapa ....<br />Tak urung tanya masih bertengger<br /> Mengapa ?<br /> Mengapa justru RASA SAYANG ini<br /> Semakin menguat<br /> Di hadapan realita<br /> Bahwa terbentang tembok sangat tinggi<br /> Antara Cah Ayu<br /> Dan diriku<br />Entahlah,<br />Sungguh aku tak tahu<br />Aliran ini mau kemana<br />Bapa,<br />Hanya pasrah yang aku bisa<br /> FIAT VOLUNTAS TUA<br /> Jadilah kehendakMU !<br />Dan satu yang pasti<br />Aku KANGEN<br /> KANGEN pengen ngobrol<br /> KANGEN pengen liat senyum manis itu<br /> Pengen liat wajah ayu itu<br /> Milik Cah Ayuku<br /> SeorangPARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-3103458524711956622009-01-05T01:10:00.000-08:002009-01-05T01:13:02.902-08:00CATATAN KEENAMCATATAN KEENAM – LIFE MUST GO ON<br /><br />Sang Hidup<br />Alur kemestian<br />Pada apa yang dinamakan kehidupan<br />Yang harus dijalani<br />Yang harus ditapaki<br /> Tak peduli<br /> Dalamnya lubang menganga<br /> Kerasnya gelombang menghadang<br /> Hebatnya badai menerpa<br />Karena itulah<br />Saripati<br />Yang harus diresapi<br />Bahwa kebangkitan dari kejatuhan<br />Adalah makna sejati<br />Dari kehidupan<br />Berat pasti<br />Sukar memang<br />Tapi bukan tidak mungkin<br />Wahai hidup!<br />Biarlah dirimu kupeluk<br />Erat<br />Lekat<br />Dalam naungan<br />Tangan Sang Agung<br /><br />“Teman-teman terkasih! Sore hari ini kita kedatangan tamu yang bisa dikatakan istimewa ... apanya yang istimewa? ... Nanti kita akan dengarkan bersama kesaksian dari tamu kita ini! Baik ... saya akan perkenalkan ... tamu kita yang telah berada di samping saya ... namanya Karelius Irghi Bramantyo atau Karel” dokter Herman selaku pembina Komunitas Harapan Tak Kunjung Usai memperkenalkan aku pada para anggota Komunitas, begitu biasanya perkumpulan yang diprakarsai oleh dokter Herman ini disebut. Komunitas adalah sebuah lembaga yang menghimpun orang-orang ‘positif’ seperti diriku dan bertujuan untuk melakukan pendampingan serta pembinaan bagi kaum ‘positif’ beserta keluarganya dan orang-orang yang dekat dengan mereka.<br />Tepuk tangan meriah menggema ke seluruh ruangan. Ada 27 orang yang hadir sore hari ini, selain diriku dan dokter Herman. Ada juga rasa tersentuh melihat dan merasakan sambutan yang hangat dari para anggota Komunitas mengalir dalam darahku ... ya seketika rasa senasib sepenanggungan meresap dalam hatiku.<br />“Terima kasih teman-teman semua ... terima kasih dokter Herman! Nama Saya Karelius Irghi Bramantyo atau biasa dipanggil Karel! Usia 31 tahun ... lahir dan besar di Jakarta ...” Begitulah untuk seterusnya aku memperkenalkan diriku, dibantu oleh dokter Herman, di hari pertamaku bergabung dengan Komunitas.<br /><br /><br />24092006<br />22.18 WIB<br />Habis ikut Sharing Mingguan di Komunitas ...<br />Bapa,<br />Ini adalah kali ketiga aku ikut kegiatan di Komunitas<br />Dua kali hanya sebagai partisipan atau undangan yang hanya datang saja<br />Dan hari ini –kali yang ketiga- aku sudah benar-benar bergabung dengan Komunitas<br />Dan benar-benar aku semakin dikuatkan<br />Bahwa apapun<br /> Ya ... apapun yang terjadi pada diriku<br /> Termasuk AIDS yang menjangkiti tubuhku ini<br /> Hidup belumlah berakhir<br /> Dan hidup masihlah terus berjalan<br />AIDS yang semula aku kira menjadi penyebab<br />Porak-porandanya hidupku<br />Ternyata selama ini telah aku gunakan sebagai ‘alat’ untuk membenarkan ego sentrisku bahwa yang aku alami adalah tidak adil ... tidak seharusnya terjadi!<br />Aku terjerumus pada rasa pemberontakan akan kenyataan,<br /> Yang pada akhirnya semakin menenggelamkan diriku<br /> Ke dalam jurang kehancuran<br />Puji Tuhan ...<br />Hal tersebut dapat aku lalui dan hanya berkat penyertaanMu saja ... ya Bapa!<br />Ada rasa bangga juga ketika momen perkenalan dengan para anggota Komunitas tadi sore. Ketika dokter Herman memperkenalkan dan mengatakan bahwa aku ‘istimewa’. Istimewa bahwa aku seorang sarjana teologi dan menjadi ‘kaum positif’ bukan sebagai akibat dari apa aku lakukan. Dan aku mampu melalui tahap paling kritis dalam keberadaanku ini.<br />“Teman-teman ... Puji Tuhan kalau saudara kita ini bersedia bergabung dan bersharing bersama kita di sini. Karena apa ...? Karel ini adalah sarjana teologi dan bahkan sebenarnya sempat menjadi seorang Vikaris atau calon pendeta sebelum akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri ... Begitu bukan, Karel? Apalagi Karel ini menjadi ‘positif’ melalui transfusi darah sewaktu dirinya kecelakaan ... sungguh suatu perjuangan yang sangat berat tentu saja untuk dapat menerima kenyataan yang terjadi ...” dokter Herman menyampaikan sekilas riwayat perjalanan hidupku.<br />“Nah, seperti yang saya katakan ‘istimewa’ tadi di awal ... kehadiran Karel di tengah-tengah kita tentu akan sangat membantu kita semua ... karena kita akan semakin dikuatkan dalam sisi spiritual! Kita beri aplaus untuk teman baru kita ... Karel ...”<br /><br /># # #<br /><br />MEMAHAMI HIV/AIDS DAN PENANGGULANGANNYA<br />Memahami HIV/AIDS dan para penderitanya sebaiknya tidak menempatkan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) sebagai suatu obyek penderita. Kacamata yang sering dipergunakan oleh orang-orang pada umumnya. Memposisikan ODHA hanya dengan KASIHAN dan memperlakukan mereka hanya sebagai kaum lemah ‘serba tak bisa apa-apa’ sama sekali tidak lebih baik dengan meminggirkan mereka dalam kehidupan sosial.<br />Rasa kasihan yang tidak pada tempatnya, hanya akan melanggengkan label yang kadung melekat bahwa ODHA hanyalah ‘sampah’. Sesuatu yang ada tapi tidak berguna. Untuk itu, penulis mencoba mengajak pembaca untuk lebih dalam menyelami HIV/AIDS dan penanggulangannya. Ada baiknya catatan-catatan berikut ini kita cermati bersama.<br /><br />Karel menghentikan sejenak aktivitas mengetik tombol-tombol aksara di atas keyboard komputernya. Membaca ulang apa yang telah diketiknya. Dan kemudian mengambil secarik kertas print out yang memang telah disiapkan sebelumnya di samping key board.<br />“Dewi ... Dewi! Kamu itu kalau sudah punya kemauan, ya begini ini ... pokoknya HARUS! Ya Harus! Hehehe ... Dasar!” Karel tersenyum mengingat kembali bagaimana pagi tadi Dewi menelepon dirinya untuk meminta sumbangan Artikel mengenai ODHA dan penanggulangan HIV/AIDS, dari sisi ODHA itu sendiri.<br />“Kak Karel ... tolong Dewi ya buatin Artikelnya. Nanti malem Dewi ambil ke rumah Kakak!”<br />“Hah ... gak salah nih! Masak buat nulis artikel cuma dikasih waktu beberapa jam aja! Wah .... mepet banget ya!”<br />“Yah ... Kak Karel tolongin Dewi dong! Soalnya besok Majalah Gerejanya udah mau naik cetak ... ya Kak please ... please!”<br />“Udah deh repot kalo udah begini ... gak ada kata selain, ‘iya’ kan? Hehehe ...”<br />“Maaf deh Kak ... tapi Kak Karel bisa kan? Pasti bisa deh, kan Kakak udah biasa nulis-nulis so gak bakalan susah ... hihihi!”<br />“Iya ... iya ... adik kecil! Aku buat sebisanya ya ... en tar malem jam lapanan aja kesininya ... oke? By the way ... udah dapet nama belum buat Majalah barunya?”<br />“Asyik ... gitu dong! Eh ... iya ... belum dapet nama yang sreg nih Kak! Kakak ada ide?”<br />“Tuh ... kan ... belum dapet nama aja besok udah naik cetak ...”<br />“O .. gitu! Ya udah deh kalo gak mau bikinin artikel bilang aja ...” Ada nada meninggi di seberang sana.<br />“Hehehe ... gitu aja ngambek! Bceanda kok .. pasti aku bikinin Mbak Dewi ... eh gimana kalo Majalahnya dikasih nama JANABADRA?”<br />“Wah ... kayaknya boleh juga tuh namanya ... apa tadi ... ?”<br />“Yanabadra .. tulisannya pake J tapi dibacanya Y ... gimana udah jelas ..”<br />“Yap ... tapi ... hihihi ... jadi malu ngomongnya! Artinya apa Kak?”<br />“Artinya ... mmm ... apa ya? Kok jadi ...”<br />“Nah mulai lagi kan! Seneng banget sih ngeledekin orang! Gak lucu tau!”<br />“Hehehe ... iya ... iya! Artinya Cahaya Pengetahuan ... dari bahasa Sansekerta”<br />“Emang deh gak percuma punya Kakak yang satu ini! Makasih banyak ya Kak! Dewi seneng banget deh kayaknya kalo sama Kak Karel gak ada yang gak bisa dipecahin ...”<br />“Udah ... udah ... tar ada yang kegeeran! Oke see you later ...”<br />“Oke Kak Karel ...sampe nanti malem! Makasih ya ... I mean it!”<br />“You.re welcome ...!”<br />“Klik ...”<br />Karel masih tersenyum-senyum sendirian, “Eh ... kok jadi ngelantur gini ...! Mending nerusin kerjaan ...!” Karel menghentikan perjalanan melompat ke masa lalunya yang belum lama berselang dan kembali berkutat dengan lembaran kertas serta tombol-tombol key board yang memang sudah menjadi ‘makanan’-nya setiap hari.<br />ASAS – ASAS PENANGGULANGAN HIV/AIDS<br />HIV/AIDS telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak tahun 1987. Karena stigma yang melekat dengan HIV?AIDS, masalah kesehatan ini selalu diliputi nuansa ketakutan dan rasa malu.<br />Sementara itu, jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia terus bertambah. Bahkan pada The 6th International Congress on AIDS in Asia and the Pacific di Melbourne bulan Oktober 2001 lalu, Indonesia disebut oleh dr. Peter Piot, Executive Director UNAIDS sebagai negara dengan epidemi yang meledak. Namun, berbicara HIV/AIDS jangan direpresentasikan dan dilihat sebagai statistik semata. Setiap angka dalam statistik mewakili satu orang manusia yang mempunyai martabat, hak dan kewajiban seperti manusia lainnya.<br />Kami peserta Pertemuan Nasional Orang dengan HIV/AIDS II, yaitu orang-orang yang hidup dengan HIV beserta keluarga, teman, dan pendampingnya, melihat diri kami sebagai bagian dari penyelesaian. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan obyek atau sasaran semata, melainkan mempunyai peran dan tanggung jawab dalam upaya dukungan dan pencegahan AIDS. Sebagai orang yang hidupnya tersentuh langsung oleh HIV, kami juga adalah pihak yang merasakan dampak dari segala kebijakan dan program AIDS yang ada, kekosongan dari keduanya. Kami prihatin akan keterbatasan dukungan untuk orang HIV-positif di Indonesia saat ini dan sikap-sikap serta tindakan diskriminatif yang masih dialami oleh orang HIV-positifsampai sekarang. Kami juga prihatin akan pihak-pihak yang mengambil manfaat dari orang HIV-positif dengan berbagai cara. Berdasarkan itu, kami mengusulkan kepada para pembuat kebijakan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, penyedia layanan, dan lembaga donor untuk memperhatikan beberapa asas di bawah dalam segala upayanya menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia :<br />• Upaya penanggulangan HIV/AIDS nasional harus memperhatikan aspek dukungan dan perawatan, selain aspek pencegahan.<br />• Pengembangan program untuk orang HIV-positif diminta untuk mengutamakan :<br />1. Penyebaraluasan informasi yang lengkap dan benar untuk masyarakat supaya dapat menerima keberadaan orang HIV-poitif dengan wajar dan tidak menghakimi.<br />2. Mendukung pembentukan kelompok dukungan (support group) di tingkat lokal dan wilayah.<br />3. Penyediaan informasi lebih lanjut mengenai topik-topik terkait dengan hidup HIV<br />4. Peningkatan ketersediaan layanan dan tenaga kesehatan yang bersahabat dengan orang HIV-positif.<br />5. Pemberdayaan dan kesempatan bagi orang HIV-positif untuk bisa bekerja dan berpenghidupan yang layak. Hak orang HIV-positif untuk memperoleh pekerjaan agar dilindungi.<br />6. Mendorong adanya keterlibatan orang HIV-positif secara bermakna dalam tiap tahapan pembuatan (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi), serta memberikan keterampilan agar orang HIV-positif bisa memenuhi peran tersebut dengan nyata.<br />7. Tersedeianya dukungan sebelum dan sesudah tes agar orang HIV-positif dapat menerima hasil tes dan menjalani hidup secara positif dan bermartabat.<br />8. Memberikan keterampilan pada orang HIV-positif yang berbicara di depan umum agar lebih percaya diri.<br />• Upaya penanggulangan AIDS harus dilakukan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia untuk orang HIV-positif perlu ditingkatkan.<br /><br /><br /><br />• Pemerolehan obat-obatan antiretroviral dan obat-obatan untuk infeksi oportunistik dengan standar yang baik dengan harga terjangkau perlu segera ditingkatkan dan lebih merata.<br />• Hak orang HIV-positif untuk mempunyai keturunan agar dilindungi dan segala upaya dilaksanakan agar bisa dilakukan dengan cara paling aman untuk ibu dan bayi.<br />Asas-Asas Penanggulangan HIV/AIDS ini merupakan masukan dari Peserta Pertemuan Nasional Orang dengan HIV/AIDS II tahun 2001 yang dihadiri 34 orang dari 11 propinsi di Indonesia. Huruf yang dicetak tebal merupakan penekanan dari penulis.<br />Peran dan upaya pemerintah Republik Indonesia dalam penanganan HIV/AIDS, dapat dicermati dalam Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan AIDS 2007 – 2010 yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional. Ringkasannya adalah sebagai berikut :<br />Jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia yang mengalami peningkatan pesat dalam 10 tahun terakhir dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan jika upaya penanggulangan tidak di percepat dan di perluas. Diperkirakan akan ada 1 (satu) juta infeksi HIV baru termasuk 350 ribu orang meninggal karena AIDS dalam 10 tahun kedepan jika upaya penanggulangan masih tetap menggunakan paradigma lama. Kenyataan di atas menjadi dasar diluncurkannya Strategi Nasional Penanggulangan AIDS 2007 – 2010.<br />Dr. Nafsiah Mboi, Sekretaris KPA Nasional menjelaskan bahwa Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007–2010 juga merupakan kelanjutan dari amanat yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.75 tahun 2006 yang mengharuskan adanya peningkatan penanggulangan di seluruh Indonesia termasuk mewajibkan daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendorong adanya kebijakan penanggulangan dan pengalokasian dana penanggulangan melalui APBD. <br />Tujuan umum penanggulangan HIV dan AIDS dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007–2010 adalah mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat, yang diarahkan pada 7 (tujuh) area prioritas, yaitu: (1) Pencegahan Infeksi Menular Seksual, HIV dan AIDS; (2) Perawatan, pengobatan dan dukungan kepada ODHA; (3) Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi Menular Seksual; (4) Penelitian dan riset operasional; (5) Lingkungan Kondusif; (6) Koordinasi dan harmonisasi multipihak; dan (7) Kesinambungan Penanggulangan. <br />Strategi Nasional yang baru ini menjelaskan bahwa upaya penanggulangan diarahkan kepada kelompok orang dengan HIV dan AIDS (Infected People), kelompok yang beresiko tertular (High-Risk People), kelompok yang rentan penularan (Vulnerable People) dan masyarakat umum (general population).<br />Untuk mencapai tujuan pencegahan, Strategi Nasional ini mengarahkan pada kegiatan-kegiatan yang dikelompokkan dalam program-program: (1) Program peningkatan pelayanan konseling dan testing sukarela; (2) Program peningkatan penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko, yang juga mencakup program Behaviour Change Intervention (BCI); (3) Program pengurangan dampak buruk penyalahgunaan NAPZA suntik atau Harm Reduction; (4) Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak; (5) Program penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS); (6) Program penyediaan darah dan produk darah yang aman; (7) Program peningkatan kewaspadaan universal; (8) Program komunikasi publik; (9) Program pendidikan ketrampilan hidup; dan (10) Program perlindungan, perawatan dan dukungan pada anak. <br />Demikian sedikit gambaran mengenai bagaimana memahami HIV/AIDS dan penanggulangannya. Semoga dapat menjadi bahan perenungan bagi kita bersama. Tuhan memberkati.<br /><br />”Ah ... akhirnya selesai juga ...!” Aku menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi. Dan kembali pikiranku melayang ke masa-masa yang telah berselang. Dewi atau lengkapnya Maria Magdalena Citra Dewi Anggini adalah seorang aktivis gereja di tempat aku dulu menjadi Vikaris atau Calon Pendeta di sana. Dia adalah satu dari sedikit orang yang tidak peduli dengan kondisi penyakit AIDS-ku. Persahabatanku dengan Dewi tidak pernah berubah. Sebelum dan sesudah aku dinyatakan positif mengidap AIDS, Dewi tetap menjadi sahabat dalam pelayanan. Yang berbeda hanyalah intensitas pertemuan semakin berkurang semenjak aku mengundurkan diri sebagai Vikaris dan akhirnya melepaskan sedikit demi sedikit aktivitas di gereja.<br /><br /># # #<br /><br />11102006<br />14.02 WIB<br />Bapa penuh rahmat,<br />Engkau memang tak pernah meninggalkan umatMU<br />Aktivitasku dengan Komunitas pada akhirnya semakin menguatkan diriku bahwa semua cobaan atau ujian yang dialami dalam hidup ini pasti akan ada jalan keluarnya ... dan pasti tidak akan pernah melampaui kekuatan kita untuk menanggung dan menjalaninya<br />Melalui kegiatan-kegiatan di Komunitas ...<br />Aku semakin dibukakan bahwa dunia pelayanan atau ladang pembenihan kasih karunia Allah dapat dilakukan di mana saja ... tidak terbatas di dunia atau lingkungan gereja semata<br />Aku juga semakin dapat menyelami pemikiran kedua sobatku –Albert dan Bono- yang lebih memilih untuk bergelut di dunia non gerejawi. Namun, pada dasarnya apa yang mereka lakukan adalah bentuk pelayanan juga.<br />Albert ... saat ini tengah berkecimpung dengan perjuangan-perjuangan dalam mengupayakan Advokasi yang seadil-adilnya bagi anak-anak jalanan dan kaum miskin kota. Dia curahkan perhatiannya kepada golongan marjinal bukan semata demi dapat disebut pahlawan, apalagi demi mendapatkan keuntungan materi. Sama sekali tidak! Albert justru menggunakan tabungan pribadinya untuk dapat berkiprah melakukan pembelaan dan pendampingan bagi kaum marjinal. Kaum yang dipinggirkan dan selalu dipandang sebelah mata.<br />Walaupun sampai sekarang aku masih saja sering bertanya mengapa Albert masih saja menganut ideologi ‘Religiositas tanpa Ritual’ ... ya Albert memang masih seperti Albert yang dulu dalam hal religi. Baginya untuk dapat dekat dengan Sang Maha Ada tidak harus selalu melalui ibadah atau ritual-ritual rohani lainnya, karena Allah tidak hanya hadir saat hari Minggu. Bagi Albert, praksis kita dalam keseharian hiduplah yang mencerminkan ketaatan kita dengan Sang Maha Ada atau tidak.<br />Sebuah pemahaman yang dapat aku pahami ... namun sekaligus juga tidak sepenuhnya aku setujui.<br />Sementara Bono ... tidak perlu diragukan lagi perhatiannya terhadap kaum tertindas atau golongan yang diperlakukan tidak adil. Bono seperti menemukan partner yang sehati dan sepikiran sekaligus juga dapat mengontrol dirinya. Om Kim, paman Albert, memang memiliki visi dalam memandang hidup yang sama dengan Bono. Keterbatasan Om Kim adalah faktor usia yang sudah tidak muda lagi, dan begitu bertemu dengan semangat muda Bono ... saling melengkapilah Bono dan Om Kim. Ditambah dengan Arini yang pengetahuannya di bidang medis ternyata cukup dapat diandalkan. Sehingga Bono dapat bergelut dengan dunia yang selama ini memang menjadi impiannya. Berwiraswasta ... yang sekaligus berarti membuka lapangan pekerjaan dan membina kaum tertindas.<br />Walaupun untuk urusan spiritual, Bono berbeda sekali dengan Albert. Bono adalah juga seorang yang tekun untuk beribadah setiap hari. Namun, ibadah yang dilakukan hanyalah pada lingkup keluarga semata. Bono tidak pernah bersekutu bersama dengan saudara-saudara seiman di dalam gereja, karena dirinya beranggapan gereja yang sejati adalah hati kita dan semua tempat dapat menjadi gereja.<br />Sekali lagi ... sebuah keyakinan yang dapat aku pahami ... namun sekaligus juga tidak sepenuhnya aku setujui.<br />Begitulah ... pemahaman spiritual kedua sahabatku tercinta<br />Pada akhirnya memang kami bertiga memiliki pemahaman dan keyakinan masing-masing dalam religiositas. Namun, pada dasarnya dengan satu muara yang sama bahwa semuanya kembali kepada Sang Maha Ada. Sang Trinitas Agung -Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Semua berasal dan kembali.<br />Sementara diriku ini ...<br />Seorang Karelius Irghi Bramantyo ...<br />Tampaknya di Komunitaslah ... ladang pelayananku yang sesungguhnya<br /> Ladang yang telah dipersiapkan oleh Sang Khalik<br /> Bagi diriku ini untuk lebih menempa keyakinanku<br />Ya ... kian hari aku semakin merasakan<br />Bahwa di sinilah panggilanku yang sesungguhnya<br />Bapa,<br />Terus pimpin dan bimbing langkah anakMu ini<br />Di dalam pergulatan arus kehidupan<br />Bapa,<br />Biarlah semua yang terjadi dalam hidupku hanya seturut dengan kehendakMu<br />Biarlah hanya karsaMu saja yang bertahta di dalam hati ini ...<br />Biarlah hambaMu nan lemah ini dapat selalu bersandar<br /> Hanya padaMu<br /> Dan selalu padaMu<br /> Apapun dan bagaimanapun keadaan yang ada<br />Seperti aliran syair berikut ...<br /><br />DATANGLAH DOMBA TERKASIH<br />Sekian lama<br />Hati beravonturir<br /> Timur selatan barat tenggara<br /> Berlaku laksana mahasiddha<br /> Yang adalah topeng<br /> Bagi kerdilnya jiwa<br /> Membuncah pada klimaksnya<br /> Menjadi ada yang tiada<br /><br /><br />Menjelma pada senjakala ning urip<br /> Halimun menyelimuti segenap akses<br /> Merupa kuldesak<br /> Ternyatalah<br /> Bahwa<br />Diri ini alpa belaka<br />Akan gaung titah<br />Lembut mengalun<br /> memangggil<br /> membelai<br /> membasuh<br /> Masuklah dalamKu<br /> S’rahkanlah segala dipangkuanKu<br /> Mari datang dombaKu terkasih<br />Rasakan Air Hidup nan sejuk<br />DaripadaKu<br /><br />- Thanks to Franky Sihombing for the song “Temukanlah HatiKu” -PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-85062469974673394602008-12-20T10:03:00.000-08:002008-12-20T10:07:04.043-08:00CATATAN KELIMANETRALISASI PSIKOLOGIS<br /><br /><br />“ ... Semar, kau adalah samar. Hanya penderitaanlah yang dapat membuat dirimu samar. Begitu kaugugat penderitaanmu, Semar, hilanglah kesamaranmu. Kau menginginkan kejelasan dan kepastian. Penderitaan tak pernah memberimu kepatian dan kejelasan. Namun penderitaan memberimu harapan. Harapan itulah yang memungkinkan kamu hidup dalam samar. Kau berani hidup, walau semuanya tidak jelas. Bukanlah kehidupan lagi ya Semar, jika ia menjauhi samar. Dan jika hidup ini adalah satu-satunya kebahagiaanmu, maka kau berani bertahan dalam samar. Dan hanya jika kamu berani menanggung penderitaan, Semar, maka kamu dapat hidup dalam samar, yang membahagiakan”, kata Sang Hyang Tunggal.<br />Tertegun sejenak diriku setelah membaca kalimat demi kalimat. Kata demi kata. Rangkaian aksara seperti yang tertulis di dalam bagian Buku “Semar Mencari raga” buah karya Rm. Sindhunata. Buku kiriman Pendeta Subrata yang tengah aku baca. “Karel ... apa kabar? Ini aku kirimkan sebuah buku yang mungkin dapat menjadi bahan perenungan dalam mengahadapi dan belajar mencintai kehidupan. Karena mencintai kehidupan berarti tetap berpengharapan dalam apapun keadaan kita ... Tuhan memberkati!” Begitulah pesan singkat yang ditulis dengan tangan di bagian depan buku ini. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung melahap lembar demi lembar buku kiriman Pendeta Subrata.<br />Ada yang menyentuh hatiku. Kalimat-kalimat yang ada seperti menggugah bahwa sebaiknya aku tidak tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa?’. Atau bahkan menggugat ‘keberadaanku yang terkena AIDS’. <br /><br />“Ya Bapa ... penuh kasih! Terima kasih ... bahwa Engkau tetap mengasihi diriku ini melalui orang-orang yang sabar dan setia menemani. Melalui rangkaian aksara-aksara nan meneduhkan ... terima kasih, Bapa!” Aku merasakan hawa ketenangan makin lama makin melingkupi hatiku. Ya, sudah saatnya pertanyaan-pertanyaan gugatan, protes, dan sejenisnya pergi dari benakku. Ketenggelamanku dalam sedih dan tak mau menerima realita selama ini, justru semakin membuatku tanpa daya. Aku harus BANGKIT!<br /><br />Dikau Yang Baik<br />Ya, YESUS!<br />Jadikan kami untuk senantiasa berpegang<br />Bahwa apapun yang terjadi hari demi hari<br />Dibalik kesesakan<br />Kesulitan<br />Kelelahan<br />Menapaki kehidupan ini<br />Pasti akan mendatangkan<br />Kebaikan<br /> Bagi kami<br />Karena Dikau turut bekerja<br />Bagi kebaikan kami<br />Karena Dikau ALLAH yang baik<br />Maka ...<br />“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Roma 8 : 28<br />Dan ......<br />Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.<br />Amin.<br /><br />“Hai ... kakakku yang ganteng! ... Lagi ngapain nih ... ? Kayaknya lagi nulis puisi ya ... boleh lihat Kak Karel ... “ Riska, sang adik tersayang tiba-tiba sudah ada di belakangku dan bergelayut manja di pundakku.<br />“Kok tau sih ... ngintip ya! Kak Karel terkesan sama buku yang dikirim Pendeta Subrata tempo hari ... nah ujung-ujungnya jadi terinspirasi buat bikin puisi ...” Aku menyerahkan lembar-lembar kertas yang aku gunakan untuk merangkai kata merupa syair. Riska ini memang paling getol menunggu dan menjadi pembaca pertama puisi-puisi terbaruku.<br />“Eh ... Ris ...! Kakak beruntung banget deh ... punya adik seperti kamu ... punya Bunda ... punya Albert ... Bono ... dokter Herman ... Pendeta Subrata ... dan orang-orang yang selalu sabar dan mencoba mengerti akan kondisi Kakak sekarang ...” Aku membuka percakapan di sela-sela Riska yang tengah membaca hasil karya-karyaku.<br />“Apalagi kamu ... kamu tuh sabar banget ya ngadepin hinaan-hinaan dan tekanan-tekanan dari luar ... hinaan punya Kakak yang AIDS ... hinaan kamu berasal dari keluarga yang kena kutukan ... hinaan yang macem-macem ...”<br />“Ah ... Kak Karel! Jangan begitu Kak ...! Jujur ... Riska itu justru belajar banyak dari Kak Karel ... Kakak begitu kuat dan tabah ngadepin semua ini ... kalau hal ini terjadi pada Riska ... wah gak tau deh apa Riska bisa ngelaluinnya ...” Riska tersenyum padaku dan merangkul diriku penuh kasih sayang. Kasih sayang yang tulus dari seorang adik.<br />“Riska ... ini Kakak kasih liat Catatan Harian Kakak ... tapi di bagian ini aja ya ...” Aku mengambil bundel Catatan Harian-ku yang aku sendiri pun tidak tahu berapa jumlah halamannya. Sebuah bundel yang lembaran-lembaran kertasnya terdiri dari beraneka ragam jenis kertas dan ukuran.<br /><br /><br />30032006<br />15.59 WIB<br />Bapa,<br />Aku sedang kehabisan kata untuk menulis Catatan Harian ini ...<br />Tapi mungkin ini dapat menjadi wakil akan apa yang ada di dalam hatiku<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tak Melampaui Kekuatanku<br />Bapa,<br />Di tengah terpaan<br /> Masalah-masalah yang kami<br /> Hadapi saat ini!<br />Kami percaya ...<br />Bahwa semua ini<br /> Adalah proses penempaan hidup<br /> Agar kami<br /> Dapat ENGKAU bentuk<br /> Sebagai bejana-bejana indah<br /> Seturut kehendakMU<br />Dan ...<br />Seperti fajar di pagi hari<br />Yang selalu terbit tepat pada waktunya<br />Kami mau percaya TUHAN<br /> Bahwa pertolonganMU bagi kami<br /> Akan selalu sampai tepat pada waktunya<br /> Sekali pun kami belum<br /> Melihat apapun hari ini<br /> Kami mau tetap percaya padaMU<br /> Percaya pada janji-janjiMU<br /> (hehehe .... Bang Franky gak apa-apa ya kalimat Abang di Lagu “JanjiMu S’perti Fajar” aku sadur”<br /><br />“Gimana ... udah selesai Ris ... bacanya ...?”<br />“Kak Karel ... dalam banget dan menyentuh isinya ... sungguh!”<br />“Yah begitulah Riska ... memang Kakak kadang-kadang masih suka bertanya-tanya ... atau protes bahkan terhadap kondisi penyakit AIDS Kakak ... tapi kalau Kakak ingat sama tulisan Kakak tadi ... Kakak menjadi dikuatkan kembali ...”<br />“Kak Karel ... Riska bangga deh punya Kakak seperti Kak Karel ... Kakak yang tegar dan tabah! ... Kak Karel jangan pernah nyerah ya ...” Kembali Riska merangkulku dan kali ini rangkulannya lebih kuat dari sebelumnya. Rangkulan kuat sebagai tanda bahwa dirinya tak pernah mau kehilangan Kakak satu-satunya ini.<br />“Kak Karel ... Riska mau kuliah dulu ya ...”<br />“Oke hati-hati ya ...eh gak sama pangeranmu ...?”<br />“Ah nggak, Kak! Sony sedang UTS! See you ... Kak Karel tersayang!” Senyum jahilnya mulai mengembang. Keceriaan terpancar di sana. Keceriaan yang khas milik seorang Anindya Riska Dewayanti.<br /><br /># # #<br /><br />“Seorang anak berpakaian permai, kalung permata d ilehernya, tak senang lagi dalam bermain. Pakaiannya menghalangi dia dalam tiap-tiap langkahnya. Takutkan koyak dan kotor, ia tidak berani bersama yang lain; sedang bergerak pun ia tak berani.<br />Bunda! Rantai hiasmu tidak kami sukai, jika rantai hias itu memisahkan kami dari bumi yang sehat, jika ia mengambil hak kami untuk masuk ke peralatan hidup manusia yang besar ini.”<br />- dari “Gitanyali” karya Rabindranath Tagore -<br />Menjadi seorang mahasiswa teologi di dalam kehidupan sehari-hari tentu saja memiliki pergumulan tersendiri. Pergumulan yang terutama adalah pergumulan spiritualitas di mana tidak saja dihadapi dalam lingkungan kampus, namun lebih dari itu juga di dalam kehidupan masyarakat secara umum.<br />Menurut pemahaman pribadi, menjadi mahasiswa teologi ibarat menempa diri di dalam ‘Kawah Candradimuka’ dalam hal olah spiritualitas serta keimanan untuk pada akhirnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat, tidak hanya masyarakat gereja namun juga masyarakat secara umum. Sebuah pergumulan dan perjuangan yang tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan, diperlukan komitmen dan fokus yang kuat dalam proses penempaan di atas.<br />Komitmen pribadi dalam usaha mempergumulkan panggilan Tuhan tercakup dalam 3 segi yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pertama; menjadikan masa studi selama menjadi mahasiswa teologi sebagai ajang mengembangkan diri, baik dalam kehidupan keimanan (penghayatan terhadap ajaran dan nilai Kristiani, kehidupan doa, dan lain-lain) maupun dalam kehidupan berteologi secara ilmiah (penghayatan akan teologi kontekstual, teologi praktika, dan lain-lain). Kedua; menjadikan lingkungan kampus sebagai wahana interaksi dan sosialisasi, berolah rasa, pemikiran, dan pengalaman akan spiritualitas beserta praksisnya. Hal tersebut dirasa penting karena Sekolah Teologi adalah komunitas khusus sebagai wadah penggemblengan memenuhi panggilan Tuhan di dalam dunia pelayanan.<br />Ketiga; merupakan buah dari kedua hal tersebut di atas, yaitu bahwa sebagai individu, mahasiswa teologi begitu berada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat tentu saja memiliki konsekwensi logis sebagai hasil penempaan segi pertama dan kedua. Konsekwensi logis untuk mengejawantahkan proses penempaan di lapangan praksis.<br />Proses pergumulan dan perjuangan dalam usaha membangun spiritualitas persekutuan akan mendapatkan implementasinya dalam kehidupan bermasyarakat, baik kehidupan bergereja maupun kehidupan bermasyarakat secara umum. Di sinilah apa yang diistilahkan dengan teologi kontekstual berada dalam level praksis. Jadi tidak seperti syair di awal tulisan ini, menjadi mahasiswa teologi bukan untuk membuat seseorang laksana berpakaian indah berkalungkan mutiara sehingga sehingga hanya menjadi pajangan untuk ditonton dan dikagumi. Menjadi mahasiswa teologi bukanlah menjadi tokoh paling atas penuh kilau kemewahan yang takut untuk berkotor-kotor dan berdebu.<br /><br />Membangun spiritualitas persekutuan adalah juga berarti mampu dan mau untuk berkotor-kotor bermandikan debu kehidupan di tengah-tengah pergulatan dan pergumulan umat atau masyarakat secara umum. Di sini membangun spiritualitas persekutuan berarti tidak hanya berkiprah di dalam lingkungan kampus, namun lebih dari itu adalah bagaimana cerminan spiritualitas Kristiani dapat terpancar dalam setiap pribadi mahasiswa teologi ketika ia terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat, sebuah panggung kehidupan yang lebih nyata.<br />Sebagai komunitas yang dapat diistilahkan ‘Kampus Gumul dan Juang’, pembangunan spiritualitas persekutuan yang Kristiani bukanlah laku ‘instan’ yang langsung jadi. Pergumulan dan perjuangan dalam rangka pembangunan spiritualitas persekutuan merupakan sebuah proses panjang yang berkesinambungan, yang sudah pasti juga melelahkan. Ibarat ladang yang terbentang beserta benih-benihnya yang harus ditanam dan digarap sampai pada masanya menuai. Sebuah proses penuh liku-liku yang harus dijalani.<br />Menjadi mahasiswa teologi dalam rangka membangun spiritualitas persekutuan juga bukan menjadi pribadi yang senantiasa membentengi diri dengan masyarakat pada umumnya. Arogansi pribadi dengan menganggap diri yang paling benar atau paling tinggi tinggi spiritualitasnya perlu untuk dihilangkan, sehingga tidak terjebak dalam laku pembenaran diri sendiri bertopengkan iman. Menjadi mahasiswa bukan anak manja yang eksklusif di dalam sangkar emas bernama teologi.<br /><br />Tulisan yang adalah pemahaman pribadiku mengenai spiritualitas Kristiani saat memasuki dunia Sekolah Teologi seperti menjadi teguran bagiku. “Karel ... selama ini dirimu terkungkung oleh ambisimu untuk menjadi seorang pendeta! Kenyataan bahwa dirimu mengidap AIDS dan akhirnya membuatmu tidak dapat menerima kenyataan ... adalah buah dari ambisimu! Ambisi yang secara tidak sadar engkau tutupi dengan topeng ‘panggilan Tuhan’ ... sadarlah Karel! Sadarlah dan terimalah semua yang terjadi dalam kehidupanmu ..”<br />“Bapa ... ampuni anakMu ini! Bahwa ternyata kelekatan akan ambisi pribadi ternyata masih bersemayam di hati ini ... bahwa apa yang selama ini aku kira adalah ‘panggilanMu’ ternyata masih terbungkus oleh kelekatan ego sentris ... ampuni Bapa!”<br /><br /># # #<br /><br />“Bunda ... setelah Karel mencoba untuk menggumulkan hal ini ... Karel sampai pada keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatan Karel sebagai Vikaris di gereja ... bagaimana menurut pendapat Bunda?”<br />“Karel ... Bunda percaya apa yang kamu putuskan tentunya demi kebaikan bersama ... dan kalau boleh Bunda tahu, apa yang mendorong kamu untuk mundur ...?”<br />“Dengan kondisi Karel yang menderita AIDS ini ... Karel pikir jika Karel tetap menjalani posisi sebagai Vikaris untuk kemudian ditahbiskan sebagai Pendeta ... itu akan menjadi konflik yang dapat meresahkan Jemaat ...” Aku berhenti sejenak dari perkataanku.<br />“Adalah tidak bijaksana jika Karel tetap memaksakan diri dan kehendak ... keberadaan Karel yang AIDS sangat mungkin dapat menjadi batu sandungan dalam proses pembinaan iman di Jemaat ... toh Karel masih dapat berkarya dan berpelayanan di tempat lain bukan sebagai Vikaris atau Pendeta ... masih banyak ladang yang lebih sesuai dengan kondisi Karel ini ...”<br />“Bunda senang dengan pemikiranmu itu, Karel! ... Keputusan kamu untuk mundur bukan didasarkan pada emosi sesaat ... Bunda pasti mendukung kamu ...” Bunda tersenyum kepadaku. Ada dukungan penuh atas apa yang telah aku putuskan.<br />“Riska ... menurut kamu bagaimana ...?”<br />“Riska ... as usually ...! Ngedukung penuh apa yang Kak Karel putuskan ...”<br />“Terima kasih Bun ... Riska ... atas pengertian dan dukungan buat Karel ... oh iya ... satu lagi ... Karel pikir inilah saatnya sermua orang tahu keberadaan Karel yang sebenarnya ... bahwa Karel kena AIDS ... Karel pikir biarlah apa yang selama ini jadi bahan pergunjingan orang, diungkap secara langsung oleh Karel sendiri!” Aku diam sejenak untuk melihat reaksi dari Bunda dan Riska.<br />“Tapi ... itupun kalau Bunda dan Riska setuju ... karena dengan Karel membuka diri ... pasti imbasnya akan dirasakan oleh Bunda dan Riska ...”<br />“Karel ... Bunda dan Riska sudah sepakat untuk menerima apapun yang orang katakan dan perlakukan jika pada saatnya nanti mereka tahu kalau kamu kena AIDS ... biarlah orang lain bersikap menurut mereka ... namun Bunda dan Riska akan selalu berada di samping kamu ... iya kan Riska ...?”<br />“Yap betul sekali kata Bunda ... kami semua tidak akan pernah peduli dengan orang lain ... karena kita kan satu keluarga yang saling mendukung satu sama lain ...”<br />Aku sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Dukungan penuh yang diberikan oleh Bunda dan Riska sudah sangat berarti buatku untuk meneruskan langkah-langkah selanjutnya di dalam kancah kehidupan ini. Selanjutnya kami bersekutu dalam doa bersama untuk memohon petunjuk dan kekuatan dari Sang Agung pemilik kehidupan ini.<br /><br /><br />SURAT PENGUNDURAN DIRI<br /><br />Kepada,<br />Yth. Bapak dan Ibu Majelis<br /> Di Jakarta<br /><br />Salam dalam Kasih Yesus Kristus,<br />Saya yang bertandatangan di bawah ini :<br />Nama : KARELIUS IRGHI BRAMANTYO<br />TTL : Jakarta, 12 Juni 1975<br />Jabatan : Vikaris<br />Alamat : Jl. Damai Utara IX No. 214<br /> Jakarta Selatan<br />Mengajukan Pengunduran Diri saya sebagai Vikaris atau Calon Pendeta di gereja Bapak dan Ibu. <br />Adapun dasar pemikiran saya mengundurkan diri lebih bersifat pribadi, yaitu terhitung sejak tanggal 22 Oktober 2005 saya dinyatakan Positif mengidap HIV atau Positif AIDS oleh pihak rumah sakit (Surat Keterangan dari Rumah Sakit terlampir). Sehubungan dengan kondisi saya tersebut, saya berpandangan bahwa akan terjadi benturan-benturan bagi saya dan gereja dengan jemaat pada umumnya jika saya tetap melanjutkan posisi sebagai Vikaris di sini.<br />Maka, demi kebaikan bersama dan dengan dengan penuh rasa tanggung jawab saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Selanjutnya semua proses baik yang bersifat administratif dan pastoral akan disepakati bersama.<br />Demikian Surat Permohonan saya, atas perhatian dan persetujuan Bapak dan Ibu Majelis, saya ucapkan terima kasih. Tuhan memberkati.<br /><br /> Jakarta, 1 April 2006<br /> Hormat Saya<br /><br /><br /> Karelius Irghi Bramantyo<br /><br /><br />Begitulah yang terjadi dengan diri saya Pak Sumartono ... dan keputusan saya mengundurkan diri sebagai Vikaris saya pikir adalah demi kebaikan kita semua.” Aku menyerahkan Surat Pengunduran Diri-ku kepada Bapak Paulus Sumartono, Ketua Majelis di gereja yang menjadikan diriku sebagai Vikaris.<br />“Saya mengerti Nak Karel! Namun berdasarkan pemikiran saya ... pasti akan ada jalan yang bisa kita tempuh agar Jemaat dapat mengerti kondisi Nak Karel. Apalagi penyebab penyakit AIDS yang diderita Nak Karel adalah karena kecelakaan ... pasti akan ada jalan!” Pak Sumartono mencoba untuk meyakinkan diriku agar membatalkan niat untuk mengundurkan diri.<br />“Apapun kondisi Nak Karel sekarang ... tenaga dan jiwa pelayanan Nak Karel masih sangat dibutuhkan oleh gereja kita ... apalagi saya bersama majelis yang lain telah berkonsultasi dengan dokter Herman mengenai cara perawatan penyakit AIDS ini.”<br />“Pak Sumartono ... saya sangat menghargai pengertian dan kesungguhan para majelis untuk mempertahankan saya. Namun, ada baiknya kita juga memikirkan dampak-dampak yang akan terjadi di tengah Jemaat jika saya tetap bertahan ...” Aku menarik napas sebentar sebelum menyelesaikan penjelasanku.<br />“Saya tidak mau memaksakan diri ... dan kalau memang saya masih dibutuhkan, saya siap membantu gereja kita ... pengunduran diri saya hanya sebagai Vikaris bukan diikuti pengunduran diri saya sebagai anggota Jemaat gereja. Semoga Pak Sumartono dan majelis yang lain dapat memahami hal ini ...”<br />“Baiklah Nak Karel ... saya dan majelis yang lain bisa memahami. Walau jujur secara pribadi saya merasa sangat kehilangan ...”<br />“Satu lagi permintaan saya Pak Sumartono ... saya ingin agar sebab pengunduran diri saya tidak ditutup-tutupi dengan hal lain ... biarkan saja semua Jemaat mengetahui bahwa saya mengidap AIDS dan biarlah mereka menilai apakah saya masih layak berada di tengah-tengah Jemaat dengan kondisi saya yang sekarang ini!”<br /><br /><br />29042006<br />22.18 WIB<br />Bapa,<br />Semoga apa yang telah aku pilih ini seturut dengan kehendakMU saja<br />Semoga pilihanku ini merupakan yang terbaik<br /> Aku pikir sudah tiba saatnya semua dibuka<br /> Sudah saatnya diriku ini menerima apapun ...<br /> Apapun penilaian orang lain<br /> Tanpa ada gugatan lagi<br /> Tanpa ada rasa tersakiti lagi<br />Bapa,<br />Pada akhirnya memang hidup seringkali menampilkan pilihan<br /> Pilihan-pilihan berat bahkan<br /> Pilihan yang sama-sama tidak enak<br /> Pilihan bagai buah simalakama<br /> Dimakan ibu mati<br /> Tidak dimakan ayah yang mati<br />Namun pilihan tetap harus diambil<br />Karena memang harus diambil<br /> Seringkali kita justru memilih untuk tidak mengambil pilihan<br /> Membiarkan semuanya ‘menggantung’ begitu saja<br /> Dan berharap waktu akan melibasnya<br /> Dan jika hal itu kita lakukan<br /> Justru kita akan semakin terjerembab<br /> Ke dalam lubang permasalahan<br />Begitulah ...<br />Betapa pahitnya pilihan yang harus diambil<br />Akan lebih baik untuk tetap mengambilnya<br />Daripada berlari dengan memilih untuk tidak mengambil pilihan<br />Karena hidup bukanlah PEMILU<br />Yang bisa saja memilih untuk tidak memilih alias GOLPUT<br />Namun hidup adalah bagaimana mengambil pilihan dan tetap menjalaninya sepahit dan seberat apapun<br />Dan hidup harus tetap berjalan!PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1782470544624648924.post-11599627722766846492008-12-17T10:47:00.000-08:002008-12-17T10:49:09.562-08:00DESAIN KARTU NAMA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxhqt9g9lZkmDIYalCZEUUwoPJQoxBgaP2qvOnuAk_WmuqOHM6Z1UKbTo0Dg4JM2AR061yQcOGL8mPq4pIaDK4rDSOvxMSg2qEupWloF5gBXj6ZqoyL-gPTm4hfBsiK5V5JLHz4utcJpqp/s1600-h/KARTU+NAMA.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 283px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxhqt9g9lZkmDIYalCZEUUwoPJQoxBgaP2qvOnuAk_WmuqOHM6Z1UKbTo0Dg4JM2AR061yQcOGL8mPq4pIaDK4rDSOvxMSg2qEupWloF5gBXj6ZqoyL-gPTm4hfBsiK5V5JLHz4utcJpqp/s400/KARTU+NAMA.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5280832902148736530" /></a>PARKIRhttp://www.blogger.com/profile/10163308879244307296noreply@blogger.com0