LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Kamis, 12 Maret 2009

GEREJA DAN HIV/AIDS

HIV/AIDS. Sebuah kata yang terdengar ‘angker’ di telinga. Sebuah penyakit mematikan yang adalah ‘kutukan’. Begitulah definisi HIV/AIDS yang mengendap di otak.
Sebuah stigma yang melekat di dalam hampir seluruh sendi-sendi kehidupan sosial bangsa ini. Termasuk juga di dalam kehidupan bergereja. Kehidupan bergereja dalam hal kehidupan berjemaat atau bersekutu. HIV/AIDS cenderung untuk dipinggirkan dalam diskusi, sharing, materi khotbah, dan segala sesuatu yang berbau kegiatan jemaat. Bahkan yang lebih ekstrim lagi HIV/AIDS tidak ada di dalam kamus berjemaat.
Mengapa?
Karena HIV/AIDS adalah penyakit kotor. Penyakit yang ada karena perbuatan amoral dan penuh dosa. Thus, orang yang mengidap AIDS adalah pendosa. Pendosa yang harus menanggung sendiri akibat dari perbuatannya. HIV/AIDS ada karena murka TUHAN terhadap umatNya yang tidak takut akan laranganNya.
Memang gereja tidak pernah menyatakan secara langsung dan tegas bahwa HIV/AIDS adalah sesat. Penderita AIDS adalah orang tidak beriman. Tidak seperti misalnya, Peraturan Daerah mengenai AIDS yang dikeluarkan oleh salah satu propinsi di negara kita tercinta menyatakan bahwa cara mencegah HIV adalah ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’, yang berarti bahwa orang yang tertular HIV atau penderita AIDS adalah orang yang tidak beriman dan bertaqwa. Gereja nampaknya lebih memilih untuk bersikap ‘halus’ untuk memarjinalkan kaum positif AIDS. Gereja tidak memandang HIV/AIDS sebagai salah satu bentuk keprihatinan. Sebagai salah satu pergumulan gereja dalam melaksanakan tugas dan panggilannya. Sehingga porsi prioritasnya setidaknya sama dengan pemiskinan, kehamilan di luar pernikahan, pelestarian alam, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain.
Gereja cenderung menghindar untuk bergumul dan bergelut dalam upaya penanggulangan AIDS. Untuk tidak mengatakan bahwa gereja sama sekali tidak peduli dengan HIV/AIDS, memang ada beberapa gereja yang mencoba mempergumulkan HIV/AIDS. Namun, itu hanya sebatas materi-materi diskusi atau seminar tentatif atau temporal. Dan, tanpa mengurangi rasa hormat, memang ada segelintir pendeta yang aktif dalam kepedulian pencegahan HIV/AIDS. Namun, hal tersebut masih bersifat sporadis.
Penderita AIDS atau kaum positif AIDS, terlepas dari latar belakang sang penderita terjangkit, adalah juga manusia yang sama posisinya dengan kaum negatif. Sama di sini dalam artian, gereja memiliki tanggung jawab untuk secara sungguh-sungguh melakukan pemeliharaan iman. Tidak menjadikan sang manusia ‘positif’ sekadar sebagai objek yang hanya perlu dikasihani, didoakan, diberikan rasa prihatin. Namun lebih dari itu, sama dengan kaum ‘negatif’ lainnya mendapat porsi sama dan seimbang dalam kehidupan bergereja. Menjadi subjek yang juga diberi kesempatan dalam berpelayanan.
Gereja perlu berpikir ulang dalam menjangkau ladang-ladang pendampingannya. Mungkin ada terlintas di kalangan fungsionaris sebuah gereja, “ah...gereja kita ini gereja kecil! Jemaatnya juga tidak pernah melaporkan ada yang menderita AIDS!...Semuanya baik-baik saja!” Namun, dapatkah kita menjamin 100% bahwa jika tidak ada laporan berarti terbebas dari HIV/AIDS. Atau jika, katakanlah, memang terbebas berarti upaya pencegahan HIV/AIDS tidak perlu dilakukan?
Di sini, tentu saja bukan berarti gereja menjadi ‘menganakemaskan’ isu HIV/AIDS dan pendampingan bagi penderitanya. SAMA SEKALI TIDAK. Gereja juga harus proporsional dalam memenuhi tugas dan panggilannya. Namun, gereja sudah saatnya memulai sekarang, kalau tidak mau dikatakan terlambat, untuk secara berkesinambungan menempatkan isu HIV/AIDS dan upaya pendampingan serta pencegahannya di dalam sendi-sendi kehidupan bergereja.