LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Sabtu, 20 Desember 2008

CATATAN KELIMA

NETRALISASI PSIKOLOGIS


“ ... Semar, kau adalah samar. Hanya penderitaanlah yang dapat membuat dirimu samar. Begitu kaugugat penderitaanmu, Semar, hilanglah kesamaranmu. Kau menginginkan kejelasan dan kepastian. Penderitaan tak pernah memberimu kepatian dan kejelasan. Namun penderitaan memberimu harapan. Harapan itulah yang memungkinkan kamu hidup dalam samar. Kau berani hidup, walau semuanya tidak jelas. Bukanlah kehidupan lagi ya Semar, jika ia menjauhi samar. Dan jika hidup ini adalah satu-satunya kebahagiaanmu, maka kau berani bertahan dalam samar. Dan hanya jika kamu berani menanggung penderitaan, Semar, maka kamu dapat hidup dalam samar, yang membahagiakan”, kata Sang Hyang Tunggal.
Tertegun sejenak diriku setelah membaca kalimat demi kalimat. Kata demi kata. Rangkaian aksara seperti yang tertulis di dalam bagian Buku “Semar Mencari raga” buah karya Rm. Sindhunata. Buku kiriman Pendeta Subrata yang tengah aku baca. “Karel ... apa kabar? Ini aku kirimkan sebuah buku yang mungkin dapat menjadi bahan perenungan dalam mengahadapi dan belajar mencintai kehidupan. Karena mencintai kehidupan berarti tetap berpengharapan dalam apapun keadaan kita ... Tuhan memberkati!” Begitulah pesan singkat yang ditulis dengan tangan di bagian depan buku ini. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung melahap lembar demi lembar buku kiriman Pendeta Subrata.
Ada yang menyentuh hatiku. Kalimat-kalimat yang ada seperti menggugah bahwa sebaiknya aku tidak tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa?’. Atau bahkan menggugat ‘keberadaanku yang terkena AIDS’.

“Ya Bapa ... penuh kasih! Terima kasih ... bahwa Engkau tetap mengasihi diriku ini melalui orang-orang yang sabar dan setia menemani. Melalui rangkaian aksara-aksara nan meneduhkan ... terima kasih, Bapa!” Aku merasakan hawa ketenangan makin lama makin melingkupi hatiku. Ya, sudah saatnya pertanyaan-pertanyaan gugatan, protes, dan sejenisnya pergi dari benakku. Ketenggelamanku dalam sedih dan tak mau menerima realita selama ini, justru semakin membuatku tanpa daya. Aku harus BANGKIT!

Dikau Yang Baik
Ya, YESUS!
Jadikan kami untuk senantiasa berpegang
Bahwa apapun yang terjadi hari demi hari
Dibalik kesesakan
Kesulitan
Kelelahan
Menapaki kehidupan ini
Pasti akan mendatangkan
Kebaikan
Bagi kami
Karena Dikau turut bekerja
Bagi kebaikan kami
Karena Dikau ALLAH yang baik
Maka ...
“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Roma 8 : 28
Dan ......
Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.
Amin.

“Hai ... kakakku yang ganteng! ... Lagi ngapain nih ... ? Kayaknya lagi nulis puisi ya ... boleh lihat Kak Karel ... “ Riska, sang adik tersayang tiba-tiba sudah ada di belakangku dan bergelayut manja di pundakku.
“Kok tau sih ... ngintip ya! Kak Karel terkesan sama buku yang dikirim Pendeta Subrata tempo hari ... nah ujung-ujungnya jadi terinspirasi buat bikin puisi ...” Aku menyerahkan lembar-lembar kertas yang aku gunakan untuk merangkai kata merupa syair. Riska ini memang paling getol menunggu dan menjadi pembaca pertama puisi-puisi terbaruku.
“Eh ... Ris ...! Kakak beruntung banget deh ... punya adik seperti kamu ... punya Bunda ... punya Albert ... Bono ... dokter Herman ... Pendeta Subrata ... dan orang-orang yang selalu sabar dan mencoba mengerti akan kondisi Kakak sekarang ...” Aku membuka percakapan di sela-sela Riska yang tengah membaca hasil karya-karyaku.
“Apalagi kamu ... kamu tuh sabar banget ya ngadepin hinaan-hinaan dan tekanan-tekanan dari luar ... hinaan punya Kakak yang AIDS ... hinaan kamu berasal dari keluarga yang kena kutukan ... hinaan yang macem-macem ...”
“Ah ... Kak Karel! Jangan begitu Kak ...! Jujur ... Riska itu justru belajar banyak dari Kak Karel ... Kakak begitu kuat dan tabah ngadepin semua ini ... kalau hal ini terjadi pada Riska ... wah gak tau deh apa Riska bisa ngelaluinnya ...” Riska tersenyum padaku dan merangkul diriku penuh kasih sayang. Kasih sayang yang tulus dari seorang adik.
“Riska ... ini Kakak kasih liat Catatan Harian Kakak ... tapi di bagian ini aja ya ...” Aku mengambil bundel Catatan Harian-ku yang aku sendiri pun tidak tahu berapa jumlah halamannya. Sebuah bundel yang lembaran-lembaran kertasnya terdiri dari beraneka ragam jenis kertas dan ukuran.


30032006
15.59 WIB
Bapa,
Aku sedang kehabisan kata untuk menulis Catatan Harian ini ...
Tapi mungkin ini dapat menjadi wakil akan apa yang ada di dalam hatiku






Tak Melampaui Kekuatanku
Bapa,
Di tengah terpaan
Masalah-masalah yang kami
Hadapi saat ini!
Kami percaya ...
Bahwa semua ini
Adalah proses penempaan hidup
Agar kami
Dapat ENGKAU bentuk
Sebagai bejana-bejana indah
Seturut kehendakMU
Dan ...
Seperti fajar di pagi hari
Yang selalu terbit tepat pada waktunya
Kami mau percaya TUHAN
Bahwa pertolonganMU bagi kami
Akan selalu sampai tepat pada waktunya
Sekali pun kami belum
Melihat apapun hari ini
Kami mau tetap percaya padaMU
Percaya pada janji-janjiMU
(hehehe .... Bang Franky gak apa-apa ya kalimat Abang di Lagu “JanjiMu S’perti Fajar” aku sadur”

“Gimana ... udah selesai Ris ... bacanya ...?”
“Kak Karel ... dalam banget dan menyentuh isinya ... sungguh!”
“Yah begitulah Riska ... memang Kakak kadang-kadang masih suka bertanya-tanya ... atau protes bahkan terhadap kondisi penyakit AIDS Kakak ... tapi kalau Kakak ingat sama tulisan Kakak tadi ... Kakak menjadi dikuatkan kembali ...”
“Kak Karel ... Riska bangga deh punya Kakak seperti Kak Karel ... Kakak yang tegar dan tabah! ... Kak Karel jangan pernah nyerah ya ...” Kembali Riska merangkulku dan kali ini rangkulannya lebih kuat dari sebelumnya. Rangkulan kuat sebagai tanda bahwa dirinya tak pernah mau kehilangan Kakak satu-satunya ini.
“Kak Karel ... Riska mau kuliah dulu ya ...”
“Oke hati-hati ya ...eh gak sama pangeranmu ...?”
“Ah nggak, Kak! Sony sedang UTS! See you ... Kak Karel tersayang!” Senyum jahilnya mulai mengembang. Keceriaan terpancar di sana. Keceriaan yang khas milik seorang Anindya Riska Dewayanti.

# # #

“Seorang anak berpakaian permai, kalung permata d ilehernya, tak senang lagi dalam bermain. Pakaiannya menghalangi dia dalam tiap-tiap langkahnya. Takutkan koyak dan kotor, ia tidak berani bersama yang lain; sedang bergerak pun ia tak berani.
Bunda! Rantai hiasmu tidak kami sukai, jika rantai hias itu memisahkan kami dari bumi yang sehat, jika ia mengambil hak kami untuk masuk ke peralatan hidup manusia yang besar ini.”
- dari “Gitanyali” karya Rabindranath Tagore -
Menjadi seorang mahasiswa teologi di dalam kehidupan sehari-hari tentu saja memiliki pergumulan tersendiri. Pergumulan yang terutama adalah pergumulan spiritualitas di mana tidak saja dihadapi dalam lingkungan kampus, namun lebih dari itu juga di dalam kehidupan masyarakat secara umum.
Menurut pemahaman pribadi, menjadi mahasiswa teologi ibarat menempa diri di dalam ‘Kawah Candradimuka’ dalam hal olah spiritualitas serta keimanan untuk pada akhirnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat, tidak hanya masyarakat gereja namun juga masyarakat secara umum. Sebuah pergumulan dan perjuangan yang tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan, diperlukan komitmen dan fokus yang kuat dalam proses penempaan di atas.
Komitmen pribadi dalam usaha mempergumulkan panggilan Tuhan tercakup dalam 3 segi yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pertama; menjadikan masa studi selama menjadi mahasiswa teologi sebagai ajang mengembangkan diri, baik dalam kehidupan keimanan (penghayatan terhadap ajaran dan nilai Kristiani, kehidupan doa, dan lain-lain) maupun dalam kehidupan berteologi secara ilmiah (penghayatan akan teologi kontekstual, teologi praktika, dan lain-lain). Kedua; menjadikan lingkungan kampus sebagai wahana interaksi dan sosialisasi, berolah rasa, pemikiran, dan pengalaman akan spiritualitas beserta praksisnya. Hal tersebut dirasa penting karena Sekolah Teologi adalah komunitas khusus sebagai wadah penggemblengan memenuhi panggilan Tuhan di dalam dunia pelayanan.
Ketiga; merupakan buah dari kedua hal tersebut di atas, yaitu bahwa sebagai individu, mahasiswa teologi begitu berada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat tentu saja memiliki konsekwensi logis sebagai hasil penempaan segi pertama dan kedua. Konsekwensi logis untuk mengejawantahkan proses penempaan di lapangan praksis.
Proses pergumulan dan perjuangan dalam usaha membangun spiritualitas persekutuan akan mendapatkan implementasinya dalam kehidupan bermasyarakat, baik kehidupan bergereja maupun kehidupan bermasyarakat secara umum. Di sinilah apa yang diistilahkan dengan teologi kontekstual berada dalam level praksis. Jadi tidak seperti syair di awal tulisan ini, menjadi mahasiswa teologi bukan untuk membuat seseorang laksana berpakaian indah berkalungkan mutiara sehingga sehingga hanya menjadi pajangan untuk ditonton dan dikagumi. Menjadi mahasiswa teologi bukanlah menjadi tokoh paling atas penuh kilau kemewahan yang takut untuk berkotor-kotor dan berdebu.

Membangun spiritualitas persekutuan adalah juga berarti mampu dan mau untuk berkotor-kotor bermandikan debu kehidupan di tengah-tengah pergulatan dan pergumulan umat atau masyarakat secara umum. Di sini membangun spiritualitas persekutuan berarti tidak hanya berkiprah di dalam lingkungan kampus, namun lebih dari itu adalah bagaimana cerminan spiritualitas Kristiani dapat terpancar dalam setiap pribadi mahasiswa teologi ketika ia terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat, sebuah panggung kehidupan yang lebih nyata.
Sebagai komunitas yang dapat diistilahkan ‘Kampus Gumul dan Juang’, pembangunan spiritualitas persekutuan yang Kristiani bukanlah laku ‘instan’ yang langsung jadi. Pergumulan dan perjuangan dalam rangka pembangunan spiritualitas persekutuan merupakan sebuah proses panjang yang berkesinambungan, yang sudah pasti juga melelahkan. Ibarat ladang yang terbentang beserta benih-benihnya yang harus ditanam dan digarap sampai pada masanya menuai. Sebuah proses penuh liku-liku yang harus dijalani.
Menjadi mahasiswa teologi dalam rangka membangun spiritualitas persekutuan juga bukan menjadi pribadi yang senantiasa membentengi diri dengan masyarakat pada umumnya. Arogansi pribadi dengan menganggap diri yang paling benar atau paling tinggi tinggi spiritualitasnya perlu untuk dihilangkan, sehingga tidak terjebak dalam laku pembenaran diri sendiri bertopengkan iman. Menjadi mahasiswa bukan anak manja yang eksklusif di dalam sangkar emas bernama teologi.

Tulisan yang adalah pemahaman pribadiku mengenai spiritualitas Kristiani saat memasuki dunia Sekolah Teologi seperti menjadi teguran bagiku. “Karel ... selama ini dirimu terkungkung oleh ambisimu untuk menjadi seorang pendeta! Kenyataan bahwa dirimu mengidap AIDS dan akhirnya membuatmu tidak dapat menerima kenyataan ... adalah buah dari ambisimu! Ambisi yang secara tidak sadar engkau tutupi dengan topeng ‘panggilan Tuhan’ ... sadarlah Karel! Sadarlah dan terimalah semua yang terjadi dalam kehidupanmu ..”
“Bapa ... ampuni anakMu ini! Bahwa ternyata kelekatan akan ambisi pribadi ternyata masih bersemayam di hati ini ... bahwa apa yang selama ini aku kira adalah ‘panggilanMu’ ternyata masih terbungkus oleh kelekatan ego sentris ... ampuni Bapa!”

# # #

“Bunda ... setelah Karel mencoba untuk menggumulkan hal ini ... Karel sampai pada keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatan Karel sebagai Vikaris di gereja ... bagaimana menurut pendapat Bunda?”
“Karel ... Bunda percaya apa yang kamu putuskan tentunya demi kebaikan bersama ... dan kalau boleh Bunda tahu, apa yang mendorong kamu untuk mundur ...?”
“Dengan kondisi Karel yang menderita AIDS ini ... Karel pikir jika Karel tetap menjalani posisi sebagai Vikaris untuk kemudian ditahbiskan sebagai Pendeta ... itu akan menjadi konflik yang dapat meresahkan Jemaat ...” Aku berhenti sejenak dari perkataanku.
“Adalah tidak bijaksana jika Karel tetap memaksakan diri dan kehendak ... keberadaan Karel yang AIDS sangat mungkin dapat menjadi batu sandungan dalam proses pembinaan iman di Jemaat ... toh Karel masih dapat berkarya dan berpelayanan di tempat lain bukan sebagai Vikaris atau Pendeta ... masih banyak ladang yang lebih sesuai dengan kondisi Karel ini ...”
“Bunda senang dengan pemikiranmu itu, Karel! ... Keputusan kamu untuk mundur bukan didasarkan pada emosi sesaat ... Bunda pasti mendukung kamu ...” Bunda tersenyum kepadaku. Ada dukungan penuh atas apa yang telah aku putuskan.
“Riska ... menurut kamu bagaimana ...?”
“Riska ... as usually ...! Ngedukung penuh apa yang Kak Karel putuskan ...”
“Terima kasih Bun ... Riska ... atas pengertian dan dukungan buat Karel ... oh iya ... satu lagi ... Karel pikir inilah saatnya sermua orang tahu keberadaan Karel yang sebenarnya ... bahwa Karel kena AIDS ... Karel pikir biarlah apa yang selama ini jadi bahan pergunjingan orang, diungkap secara langsung oleh Karel sendiri!” Aku diam sejenak untuk melihat reaksi dari Bunda dan Riska.
“Tapi ... itupun kalau Bunda dan Riska setuju ... karena dengan Karel membuka diri ... pasti imbasnya akan dirasakan oleh Bunda dan Riska ...”
“Karel ... Bunda dan Riska sudah sepakat untuk menerima apapun yang orang katakan dan perlakukan jika pada saatnya nanti mereka tahu kalau kamu kena AIDS ... biarlah orang lain bersikap menurut mereka ... namun Bunda dan Riska akan selalu berada di samping kamu ... iya kan Riska ...?”
“Yap betul sekali kata Bunda ... kami semua tidak akan pernah peduli dengan orang lain ... karena kita kan satu keluarga yang saling mendukung satu sama lain ...”
Aku sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Dukungan penuh yang diberikan oleh Bunda dan Riska sudah sangat berarti buatku untuk meneruskan langkah-langkah selanjutnya di dalam kancah kehidupan ini. Selanjutnya kami bersekutu dalam doa bersama untuk memohon petunjuk dan kekuatan dari Sang Agung pemilik kehidupan ini.


SURAT PENGUNDURAN DIRI

Kepada,
Yth. Bapak dan Ibu Majelis
Di Jakarta

Salam dalam Kasih Yesus Kristus,
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : KARELIUS IRGHI BRAMANTYO
TTL : Jakarta, 12 Juni 1975
Jabatan : Vikaris
Alamat : Jl. Damai Utara IX No. 214
Jakarta Selatan
Mengajukan Pengunduran Diri saya sebagai Vikaris atau Calon Pendeta di gereja Bapak dan Ibu.
Adapun dasar pemikiran saya mengundurkan diri lebih bersifat pribadi, yaitu terhitung sejak tanggal 22 Oktober 2005 saya dinyatakan Positif mengidap HIV atau Positif AIDS oleh pihak rumah sakit (Surat Keterangan dari Rumah Sakit terlampir). Sehubungan dengan kondisi saya tersebut, saya berpandangan bahwa akan terjadi benturan-benturan bagi saya dan gereja dengan jemaat pada umumnya jika saya tetap melanjutkan posisi sebagai Vikaris di sini.
Maka, demi kebaikan bersama dan dengan dengan penuh rasa tanggung jawab saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Selanjutnya semua proses baik yang bersifat administratif dan pastoral akan disepakati bersama.
Demikian Surat Permohonan saya, atas perhatian dan persetujuan Bapak dan Ibu Majelis, saya ucapkan terima kasih. Tuhan memberkati.

Jakarta, 1 April 2006
Hormat Saya


Karelius Irghi Bramantyo


Begitulah yang terjadi dengan diri saya Pak Sumartono ... dan keputusan saya mengundurkan diri sebagai Vikaris saya pikir adalah demi kebaikan kita semua.” Aku menyerahkan Surat Pengunduran Diri-ku kepada Bapak Paulus Sumartono, Ketua Majelis di gereja yang menjadikan diriku sebagai Vikaris.
“Saya mengerti Nak Karel! Namun berdasarkan pemikiran saya ... pasti akan ada jalan yang bisa kita tempuh agar Jemaat dapat mengerti kondisi Nak Karel. Apalagi penyebab penyakit AIDS yang diderita Nak Karel adalah karena kecelakaan ... pasti akan ada jalan!” Pak Sumartono mencoba untuk meyakinkan diriku agar membatalkan niat untuk mengundurkan diri.
“Apapun kondisi Nak Karel sekarang ... tenaga dan jiwa pelayanan Nak Karel masih sangat dibutuhkan oleh gereja kita ... apalagi saya bersama majelis yang lain telah berkonsultasi dengan dokter Herman mengenai cara perawatan penyakit AIDS ini.”
“Pak Sumartono ... saya sangat menghargai pengertian dan kesungguhan para majelis untuk mempertahankan saya. Namun, ada baiknya kita juga memikirkan dampak-dampak yang akan terjadi di tengah Jemaat jika saya tetap bertahan ...” Aku menarik napas sebentar sebelum menyelesaikan penjelasanku.
“Saya tidak mau memaksakan diri ... dan kalau memang saya masih dibutuhkan, saya siap membantu gereja kita ... pengunduran diri saya hanya sebagai Vikaris bukan diikuti pengunduran diri saya sebagai anggota Jemaat gereja. Semoga Pak Sumartono dan majelis yang lain dapat memahami hal ini ...”
“Baiklah Nak Karel ... saya dan majelis yang lain bisa memahami. Walau jujur secara pribadi saya merasa sangat kehilangan ...”
“Satu lagi permintaan saya Pak Sumartono ... saya ingin agar sebab pengunduran diri saya tidak ditutup-tutupi dengan hal lain ... biarkan saja semua Jemaat mengetahui bahwa saya mengidap AIDS dan biarlah mereka menilai apakah saya masih layak berada di tengah-tengah Jemaat dengan kondisi saya yang sekarang ini!”


29042006
22.18 WIB
Bapa,
Semoga apa yang telah aku pilih ini seturut dengan kehendakMU saja
Semoga pilihanku ini merupakan yang terbaik
Aku pikir sudah tiba saatnya semua dibuka
Sudah saatnya diriku ini menerima apapun ...
Apapun penilaian orang lain
Tanpa ada gugatan lagi
Tanpa ada rasa tersakiti lagi
Bapa,
Pada akhirnya memang hidup seringkali menampilkan pilihan
Pilihan-pilihan berat bahkan
Pilihan yang sama-sama tidak enak
Pilihan bagai buah simalakama
Dimakan ibu mati
Tidak dimakan ayah yang mati
Namun pilihan tetap harus diambil
Karena memang harus diambil
Seringkali kita justru memilih untuk tidak mengambil pilihan
Membiarkan semuanya ‘menggantung’ begitu saja
Dan berharap waktu akan melibasnya
Dan jika hal itu kita lakukan
Justru kita akan semakin terjerembab
Ke dalam lubang permasalahan
Begitulah ...
Betapa pahitnya pilihan yang harus diambil
Akan lebih baik untuk tetap mengambilnya
Daripada berlari dengan memilih untuk tidak mengambil pilihan
Karena hidup bukanlah PEMILU
Yang bisa saja memilih untuk tidak memilih alias GOLPUT
Namun hidup adalah bagaimana mengambil pilihan dan tetap menjalaninya sepahit dan seberat apapun
Dan hidup harus tetap berjalan!

Rabu, 17 Desember 2008

DESAIN KARTU NAMA

COVER BUKU PERTAMA

CATATAN KEEMPAT

MASA PENCERAHAN


14022006
05.32 WIB
Valentine’s Day ... HARI KASIH SAYANG
Mungkin inilah Valentine’s Day yang paling berkesan dalam hidupku
Ya ...
Karena di hari inilah
Aku benar-benar dapat merasakan
Curahan kasih sayang sejati
Milik Sang Kuasa Tertinggi
Empu kehidupan
Terima kasih, Bapa!
Ternyatalah bahwa ENGKAU
Memang selalu ada
Dan setia menemani
Bapa,
Hati ini begitu pilu sekaligus bersyukur
PILU ....
Karena baru saat sekarang
Aku menyadari
Bahwa di tengah himpitan cobaan
Yang aku jalani
Aku justru semakin menjauh dariMU
Berlari dari dekapan hangatMU
Gampang memang! Untuk aku mendapat teman-teman baru ...
Yang bahkan seketika itu menjadi akrab
Layaknya teman-teman sejati, mereka menemani diriku yang tengah berada dalam kepedihan dan luka mendalam tiada terobati!
Awalnya aku kira demikian adanya
Karena mereka aku anggap mau mengerti apa yang aku inginkan
Ya,
Teman-teman baru nan setia
Yang berwujud kata-kata kotor
Berbentuk makian
Sumpah serapah
Yang berupa sikap apatis serba masa bodoh
dan ...
yang berbentuk cairan-cairan surga dunia
lintingan-lintingan daun nirwana
butiran-butiran kecil pembawa nikmat sesaat
yang dapat mengantarku terbang tinggi
ke dalam awang-awang
swargaloka nan indah
ciptaanku sendiri
Kehadiran teman-teman sejati
yang aku pikir dapat mengantarku keluar dari kesialan hidup ini
atau paling tidak membawaku lari jauh dari takdir
yang menurutku tidak adil ini

Namun ...
yang kudapat justru makin memperparah sebenarnya
mereka –teman-teman baruku itu-
secara perlahan tapi pasti
menggerogoti tubuh rapuhku ini
dan jika tiba pada puncaknya nanti
mereka akan menelanku menuju alam MAUT!
Oh .... Bapa penuh rahmat!
Syukur padaMU!
ENGKAU sama sekali tidak membiarkan
AnakMU yang hina ini
Terjatuh lebih dalam lagi!
Bapa,
Ada banyak sekali kejutan di hari Kasih Sayang ini ...
Mulai dari serangkai bunga dan sandwich cornet campur telur dadar menu favoritku yang disajikan oleh Bunda ...
Ada aliran kasih sayang yang melingkupi di sana
Juga ketika Bunda dan Riska mengajakku untuk berdoa bersama dan memintaku untuk memimpinnya. Kata mereka, mereka kangen mendengar suaraku memimpin doa.
Ada kehangatan kasih sayang di sana
Kemudian ...
Ketika Riska menyanyikan sebuah lagu. Padahal aku tahu sekali Riska tak pernah mau untuk menyanyi di depan orang lain karena suaranya fals ...
Dan memang ... lagu yang dinyanyikan untukku juga terdengar fals ... hehehe ...
Namun ... ada ketulusan kasih sayang bersemayam di sana
Bapa,
Semua itu sungguh aku rasakan

Cinta Sejati
Saat kurenungkan
Hidup bersamaMU
Seringkali kumelupakanMU
Kuberjalan sendiri
Seakan ku mampu
Lalui tanpa kekuatanMU
S’makin berat beban hidupku
S’makin ku menjauh dariMU
Namun ada cinta yang tak pernah berlalu
Cinta yang kudapat dariMU
T’lah teruji lalui rentangan sang waktu
KAU mati bagiku
Berkorban untuk diriku

Ya ... sungguh bahwa Engkau memiliki Cinta Sejati yang tiada tara
Cinta Sejati yang teruji oleh waktu dan tak lekang oleh waktu
Bahwa Engkau tidak pernah meninggalkan diriku
Bahwa Engkau selalu ada melalui orang-orang di sekitarku
Dan mungkin ini dapat mewakilinya ....

Tak Lekang Oleh Waktu
Berjalan tegap
Berdiri mendongak
Berlaku sebagai mahasiddha
Yang sakti mandraguna
Serba bisa
Segala mampu
Hohoho ....
Tunggu dulu !
Lihat !
Lihatlah !
Tak urung
Limbung jua terjerembab
Tumbang jua terperosok
Dihantam
Dihujam
Digulung
Terpaan badai
Sang Kahuripan
Nyatalah bahwa ...
Tak ada kekuatan super
Tak ada kedigjayaan sempurna
Nyatalah bahwa ...
Sekuat apapun diri berlaku
Sejauh apapun berlari
Sekeras apapun pengingkaran
Ada satu kemestian
Membelai lembut
Memberi sentuhan hangat
Membasuh keringnya jiwa
Selaras lantunan
Gita permenungan ...
“ Namun ada cinta
Yang tak pernah berlalu
Cinta yang kudapat dariMu
T’lah teruji lalui rentangan sang waktu
Kau mati bagiku
Berkorban untuk diriku ...”


Kesejatian cinta yang
Tanpa pernah beranjak
Tanpa sedikit pun berlalu
Dari waktu ke waktu
Thanks to Franky S. & Nikita
For the song “Cinta Sejati”

Terima kasih Bapa!

# # #

Aku membaca dengan lebih seksama lembaran kertas photocopian yang berjudul “Eksamen Khusus”. Lembaran yang aku dapatkan dulu sewaktu masih semester pertama di Sekolah Teologi. Entah apa yang mendorongku, tiba-tiba saja pagi hari ini aku begitu ingin melakukan apa yang pernah aku pelajari. Sebuah bentuk berkomunikasi dengan Sang Maha Ada yang baru aku sadari telah lama aku tinggalkan.
Eksamen Khusus
1. Eksamen (pemeriksaan batin) khusus, dilakukan untuk mengubah suatu kebiasaan buruk yang telah menjebak kita dalam suatu kelekatan tak teratur.
2. Eksamen khusus dilakukan dengan menyediakan “tiga waktu eksamen” setiap hari dalam suatu jangka waktu yang disepakati.
3. Ketiga waktu eksamen itu adalah :
• Pagi hari; segera setelah bangun tidur.
• Siang hari; setelah makan siang.
• Malam hari; menjelang tidur.
Adapun pemeriksaan batin yang kita lakukan adalah berdoa :
a. Mengucap syukur kepada Allah, bahwa IA setia mencintai kita.
b. Memohon rahmat kehendak kepada Allah, agar di dalam diri kita muncul keinginan serius untuk menelusuri waktu yang telah berlalu serta mengingat di mana kita jatuh ke dalam dosa.
c. Memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa kita.
d. Membuat niat untuk memperbaiki diri.
e. Doa Bapa Kami.

Aku merenungkan sejenak akan apa yang telah kubaca, dan mencoba untuk mempersiapkan diri untuk memasuki Eksamen Khusus. Ketika mencoba untuk melakukan relaksasi batin, aku teringat akan ‘Doa Santo Ignasius dari Loyola’ yang pernah aku tempel di dinding kamar dekat meja belajarku. Aku mecari-cari sebentar teks yang dimaksud dan... yap ketemu juga!
Allah Maha Kuasa dan Maha Penyayang
Dikau berkuasa untuk memberikan hidup
Dan Dikau pun berkuasa untuk ... menata segala sesuatu
Dari titik awal sampai titik akhir
Harapan Dikau yang berkobar-kobar adalah agar setiap insan diselamatkan dari keakuan dan penghancuran diri
Sebaliknya,
Dikau menghendaki agar Kerajaan Kasih muncul di hati kami
Dan Dikau hendak memeluk semua insan serta segala sesuatu yang ada di bumi
Aku memuji Dikau
Aku bersyukur kepada Dikau
Karena Dikau mengajarkan hal-hal ini kepada kami
Dengan perantaraan Kristus, Tuhan kami
Amin.

Setelah beberapa menit aku mencoba melakukan relaksasi batin dan memenangkan hati dan pikiran, maka mulailah proses berkomunikasi dengan Sang Khalik aku lakukan ...
“Karel ...!” Suara yang sangat aku kenal memecah keheninganku. Keheningan untuk mencoba mendengarkan suara Sang Khalik.
Perlahan aku membuka mata. Ada ketenangan yang menyejukkan menyelimuti diriku. Ketenangan yang entah dari mana datangnya. “Halo ... sobat! Maafkan semua kekasaranku tempo hari ya ...” Aku tersenyum kepada sang sahabat yang selama ini selalu setia dan sabar mendampingiku..
“Udah ... gak usah dipikirin! Gue iudah ngelupain kejadian itu kok ... yang penting elo sekarang udah kembali seperti Karel yang gue kenal ... gue seneng banget ...!” Albert membalas senyumanku ... juga dengan senyuman. Ada kehangatan di sana.
“Welcome back my Bro ...!” Albert kemudian duduk di lantai, “Silakan kalo elo mau terusin berdoa ...” Katanya tanpa menoleh padaku. Dirinya sibuk memilih-milih MP3 koleksiku di dalam rak.
“Gue udah selesai kok ... eh ... Bro! Kita ke tempat Bono ... gimana?”
“Boleh ... ayo berangkat sekarang ... gue juga kangen sama Si BonBin satu itu ...”

# # #

GEMBALA SEJATI
Karya : Papank

Dalam kediaman malam
Bergemuruh suara hati
Merasa terasing dipangku resah
Sementara sepi menyelimuti suasana
Kehampaan meraja
Sendiri,
Berlari tak tentu rimba
Bagai biduk di tengah lautan
Terombang-ambing
Diterpa gelombang kegalauan
Roboh
Ambruk
Tiada daya
Tiada rasa
Tiada karsa
Lemah diri menggapai sandaran
Bermedia kepasrahan utuh
Pada apa yang dibawa hidup
Dan dalam hening
Terdengar suara lembut
Mengalun
Menyentuh
Membasuh
Keringnya jiwa
Aku dengar !
Ya, aku dengar !
Lembut mengetuk pintu hati
Menggugah segenap indera
Kini diri berserah ya Tuhan
Hanya padaMu
Penguasa seru sekalian alam
Gembala Sejati
Yang senantiasa menjaga
Domba kecil
Piala lemah ini
Agar tiada terperosok
Dalam kubangan dosa
Sekarang hanya kesukaan mengemuka
Bahwa diri tiada sendiri
Arungi medan kahuripan
Implementasikan harmoni
Ora et Labora

15022006
06.17 WIB
Bapa,
Sebuah puisi yang aku salin dari tempat Bono kemarin. Puisi yang diberikan oleh Papank, salah seorang penderita kusta yang diberdayakan oleh Bono dan Om Kim.
Papank menderita penyakit kusta semenjak usia 13 tahun. Dia bahkan sempat dipasung oleh keluarganya karena dianggap terkena kutukan dan selalu dijauhi oleh masyarakat desa tempat Papank tinggal. Sampai akhirnya Papank dibuang karena keluarganya tidak sanggup lagi menerima tudingan bahwa keberadaan Papank yang terkena penyakit kutukan telah menyebabkan kegagalan panen serta matinya ternak-ternak milik penduduk desa.
Papank kemudian ditemukan oleh seorang petani tua di tengah hutan dalam kondisi yang mengenaskan. Petani yang memang hanya sebatang kara tersebut akhirnya merawat dan membesarkan Papank. Begitu Bono mendengar cerita mengenai Papank, dia berinisiatif mengajak Papank untuk diberdayakan bersama para penderita kusta yang lain.

Bapa,
Aku begitu terkesan mendengar penuturan kisah hidup Papank yang penuh dengan kepahitan dan penderitaan. Dia memiliki ketabahan yang tiada bandingannya, karena sepahit dan seberat apapun hidup yang dijalani Papank tidak pernah sekalipun menyerah.
Dia selalu berpegang pada keyakinan bahwa ‘Tuhan tak pernah meninggalkan umatNya’.
Bapa,
Terima kasih tak terkira ...
Engkau tak pernah lelah untuk selalumengingatkan aku
Melalui orang-orang seperti Papank
Melalui keluargaku
Melalui Albert
Betapa hina diriku ini
Jika dibandingkan dengan Papank, orang yang begitu sederhana namun memiliki kekuatan dan keyakinan penuh akan diriMu!
Sedang aku ...
Yang berlabel sarjana teologi
Yang berkiprah di dunia pelayanan
Yang hidup di kota serba ada
Justru serba tak mampu menghadapi kenyataan
Aku berlaku seolah yang paling benar
Bapa,
Ampuni diriku ini
Dan biarlah Engkau mampukan serta memberi kekuatan bagiku untuk dapat melalui alur kahuripan sepahit dan sesakit apapun. Amin.

“Hai ... Kak Karel! Selamat pagi ... gimana tidurnya ... enak kan ...?” Riska dengan tawanya yang ceria menghampiri diriku di dalam kamar, yang memang aku biarkan pintunya terbuka lebar.
“Halo juga cantik ...! Wah mau kemana nih pagi-pagi begini ... udah dandan ...?” Aku mengedipkan sebelah mataku untuk menggoda sang adik semata wayang.
“Ih ... Kakak! Tapi Riska happy banget deh liat Kakak tersayang pagi ini ... udah kumat lagi isengnya ...” Riska merangkulku dengan manja. Ada kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Kebahagiaan melihat sang kakak sudah berangsur-angsur kembali menjadi Karel yang dulu.
“Kak ... doain Riska ya ... hari ini Riska mau ngedate sama Sony ... itu lho adik kelas Kakak yang Kakak kenalkan waktu wisuda dulu ...”
“Sony ... ya ampun ... dia kan ‘Raja Buku’ ... bisa juga dia ngerayu cewek ... hahaha ...!”
“Wah ... Kakak belum tau aja ...”
“Belum tau apa ...? Belum tau kalau dia keringat dingin pas nembak kamu ...”
“Ih ... ini orang ...! Terus ... terus deh ... ngeledekin ...!” Riska mencubit lenganku dengan keras.
“Aduh ... ! Iya ... iya deh ... hahaha ...!” Aku masih tidak dapat menahan tertawaku. Terbayang wajah Sony, adik kelasku yang aktivitasnya tiada lain selain membaca buku itu, ketika berhadapan dengan Riska yang super manja. Tapi, sebenarnya aku senang kalau Riska dekat dengan orang model Sony, karena sebenarnya di balik sifatnya yang pendiam dan ‘kutu buku’ itu, Sony adalah orang yang memiliki kepedulian sosial sangat besar. Pengalamanku dengan Sony saat banjir besar melanda Jakarta beberapa tahun lalu membuktikannya. Bermodal semangat pantang menyerah yang seakan tak kenal istilah lelah, Sony berjibaku memberikan bantuan logistik kepada warga yang terisolasi di rumah-rumah dengan berperahu karet bersama tim SAR.
“Udah sana ... tuh pasti Arjunamu sudah datang ... ada yang ngetuk pintu depan ... sana selamat ber-Valentine ria...”
“Oke deh Kak Karel ... Riska berangkat dulu ya ...” Riska mengecup pipiku dan menekan jari telunjuknya ke pinggangku. Spontan aku melompat dari bangku tempat aku duduk. Dan ketika aku ingin membalas perbuatan jahilnya, Riska telah berlari menuju pintu depan. Aku tersenyum melihat keceriaannya. Keceriaan yang berasal dari rasa cinta.

# # #

“Malam Karel ...! Boleh Bunda masuk ...”
“Bunda ... kok pakai ijin segala ...”
“Kamu belum tidur ... Karel? Sudah malam ... Bunda lihat seharian ini kamu sibuk di depan komputer ... istirahatlah dulu! Besok kan bisa dilanjutkan lagi kalau pekerjaanmu belum selesai ..” Bunda membelai rambutku dengan penuh kasih.
“Iya ... Bun ... sebentar lagi kok ...! Abis tanggung ...” Aku menoleh pada Bunda. Tidak seperti biasanya Bunda terlihat begitu khawatir akan kondisiku.
“Bun ... terima kasih ya! Bunda begitu perhatian dan tidak pernah menyalahkan Karel ... terutama kelakuan Karel yang beberapa waktu lalu sangat tidak baik ...” Aku mencium tangan Bunda. Ciuman sebagai ekspresi dari rasa sayang dan bangga memiliki Bunda yang penuh pengertian.
“Sudahlah Karel ... tidak usah diingat-ingat lagi yang sudah berlalu! Bunda senang kamu sekarang lebih bisa menerima kenyataan ... seberat apapun itu kita pasti bisa melaluinya, bukan begitu Karel ...?”
“Benar ... Bun! Baiklah Karel sekarang istirahat dulu ... kondisi Karel kan tidak seperti dulu lagi ...”
“Nah ... lebih baik begitu Karel ... selamat malam ya ...” Bunda tersenyum dan menangis bahagia. Setelah membelai rambutku, Bunda meninggalkan kamar.
“Bapa, terima kasih ...!” Hanya itu yang dapat aku ucapkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala kasih yang Dia berikan kepadaku. Kasih yang diberikan lewat keluargaku tercinta, Bunda dan Riska.

Selasa, 16 Desember 2008

COVER BUKU

FILOSOFI CINTA

F I L O S O F I C I N T A

I
Cinta bukan untuk dipertanyakan dan dipikirkan, melainkan untuk diresapi kemudian diwujudkan pada tempatnya tanpa perlu khawatir akan kehilangan diri
II
Cinta tiada buta tidak juga terang benderang menyilaukan mata batin. “The Truly Love” ada setelah moksanya pencarian dan tanya tak berkesudahan akan kesejatian pengejawantahan diri. Cinta tampil dalam samar sebagai samudera raya hasrat untuk memberi dengan meminggirkan balasan
III
Cinta sehati dengan devosi utuh nurani akan Kuasa Tinggi Empu Semua Ada
IV
Di mana pengorbanan terasa kecil dan sekejap terlupakan di situ bersemayam C.I.N.T.A.S.E.J.A.T.I.


26 April ‘03

Senin, 15 Desember 2008

CATATAN KETIGA edisi 2

“Bun ... Bunda yang sabar ya! Kita pasti bisa melewati semua ini ... yakin aja!”
“Iya ... Albert! Bunda percaya akan pertolongan Tuhan yang tidak pernah terlambat datangnya! ... makasih ya sudah mau repot-repot ngurusin Karel!”
“Bun ... jangan dipikirin! Albert kan anak Bunda juga ... hehehe!” Ada senyuman di bibir Albert. Terlihat begitu dewasa sekali Albert saat ini.
“Albert ...” Suara Bunda tertahan. Dirinya sudah tak dapat lagi menahan air mata dan rasa terharu yang ada. Dan hanya isak tangislah yang melanjutkan kata-kata Bunda. Kata-kata tak terucap, namun cukup jelas apa yang makna yang tersirat.
“Bunda juga kalo ada apa-apa ... jangan sungkan-sungkan ya cerita ke Albert! Kalau memang diijinkan ... untuk sementara Albert akan tinggal di sini dan Albert sudah minta cuti seminggu ini dari kantor ...”
“Bener Kang ... Akang mau tinggal di sini buat nemenin kita?” Suara Riska terdengar penuh pengharapan.
“Bener ... setelah apa yang kita temukan di kamar kakakmu ... Akang pikir kita perlu untuk bersama-sama mendampingi Karel sebelum semuanya menjadi lebih buruk lagi ...” Albert menunjukkan barang-barang yang ditemukan olehnya di kamarku. Barang-barang berupa helai-helai daun beserta kertas halus, dan butir-butir kecil obat penenang. Albert sebenarnya tak habis pikir darimana aku mendapatkan semua barang-barang ‘surga dunia’ ini. Karel yang dikenalnya sama sekali tidak akrab dengan barang-barang ‘setan’ yang dipegangnya, paling-paling aku hanya pernah mencicipi pahitnya bir. Itu pun bisa dihitung dengan jari.
Albert yang justru sangat kenal dengan barang-barang itu, karena ia dulu mantan ‘teman dekat’ mereka, tahu akan bahaya besar yang terjadi jika dibiarkan apalagi dengan kondisiku sekarang. Kondisi dengan kekebalan tubuh yang sangat rentan. Dan ia merasa gelisah sekali. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mendampingiku agar tidak terjadi hal-hal buruk.
“Bun ... menurut Albert! Sebaiknya kita secara intensif mendampingi Karel! Saya tahu Karel bukan orang yang begitu saja gampang menyerah ... hanya mungkin saat ini dia perlu untuk terus dikuatkan ...”
“Iya Albert ... memang nampaknya begitu! Dan Bunda merasa bersyukur sekali masih ada orang yang mau mengerti ... setelah semua famili lebih memilih untuk menjauh karena berpikir AIDS itu adalah aib!”
“Bunda tenang saja ... Albert pasti bantu sampai semuanya beres ...”
“Makasih ya Albert ...”
“Makasih ya Kang ... Akang memang sahabat sejati!”

# # #

ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dapat menghadapi akibat fatal dari penyakitnya, jika dibekali dengan lebih banyak informasi. Semakin banyak informasi yang diberikan akan semakin baik. Dukungan orang-orang terdekat serta perawatan medis yang baik dari semenjak tahap awal penyakit terdeteksi, akan lebih berhasil untuk menangani infeksi terhadap penyakit oportunistik.
Obat Antiretroviral yang sekarang semakin terjangkau dari segi harga dapat memperlambat kecepatan penggandaan HIV; di samping obat lain yang dapat mencegah atau mengobati infeksi oportunistik yang disebabkan HIV.
PENTING UNTUK DIPERHATIKAN!
• HIV hanya dapat hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya mampu bertahan beberapa jam saja di luar tubuh manusia.
• HIV tidak dapat menular melalui air ludah, air mata, muntahan, kotoran manusia, dan air kencing, walaupun jumlah virus yang sangat kecil terdapat di caira ini.
• HIV tidak ditemukan di CAIRAN KERINGAT.
• HIV tidak dapat menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan dengan orang yang terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh ODHA; penggunaan bersama peralatan makan atau minum dan peralatan/barang-barang lainnya tidak akan menularkan HIV; demikian juga penggunaan bersama toilet atau kamar mandi secara bergantian.
• Perawatan seseorang dengan HIV tidak membawa resiko apabila tindakan pencegahan dilakukan, seperti membuang jarum suntik secara aman dan menutupi luka.

Aku membaca tulisan besar-besar yang terpampang di pintu kamarku. Dari bentuk huruf-huruf yang tertulis menggunakan spidol ini, aku bisa segera tahu siapa orang yang telah menulis dan memasangnya!
“Wooii ... Coy! Udah bangun lo! Sana buruan mandi ... gue mo ajak elo jalan-jalan! Udah berhari-hari elo ngedekem di kamar sempit begini! Gak kangen ama dunia luar?” Albert masuk ke dalam kamar sobatnya itu. Tangannya masih menggosok-gosokkan handuk ke kepalanya.
“Elo yang masang pengumuman gede ini ... ? Eh ... itu kan anduk gue ... elo gak takut ketularan ...”
“Coy ... liat tuh poin kedua dari bawah ... !”

# # #

“Elo itu sebenarnya mau ngajak gue kemana sih ...? Kok dari tadi muter-muter aja gak ada juntrungannye ... udah deh gue lagi gak mood buat becanda ...!”
“Hehehe ... oke ... oke ... kalem sedikit Boy! Sebentar lagi kita sampe tempat tujuan pertama ... sabar dikit ye ...” Tidak berapa lama kemudian mobil Albert tiba di pelataran parkir sebuah bangunan besar yang sangat aku kenal.
“Heh ... ngapain lo ngajak gue kemari ... gue lagi gak pengen berdoa tau ...!” Aku sama sekali tidak menyangka Albert akan membawaku ke tempat ini. Tempat di mana biasanya aku menyendiri untuk sesaat menenangkan pikiran kala dilanda permasalahan.
“Karel ... elo inget terakhir kali lo ngajak gue ke sini?” Albert tidak mempedulikan perkataanku. Dia justru memarkir mobilnya di halaman parkir tepat di bawah sebuah pohon rindang.
“Udah ... to the point aja ... apa maksud lo ngajak kemari ...?”
“Karel ... terakhir lo ngajak gue kemari adalah saat yang paling menyentuh hidup gue! Terserah elo mau anggap ini cuma sekadar basa-basi or penghiburan ... gue gak peduli!” Albert berkata dengan pelan namun penuh keseriusan dalam setiap kata yang mengalir.
“Mulai saat itulah gue jadi bisa ninggalin barang-barang yang justru sekarang lagi elo akrabin! Semua emang hak elo buat ngelakuin apa yang elo mau ... gue cuma mau ngingetin aja apa yang elo bilang ke gue waktu itu ...” Albert menarik napas sebentar sebelum melanjutkan pembicaraannya. Sementara aku terdiam dengan tatapan lurus ke depan. Pikiranku melayang entah berada di mana.
“Elo bilang kalo pelarian gue ke minuman en cimeng dan sejenisnya karena ditinggal kawin Della tempo hari ... itu ibarat gue naek mobil dan cuma muter-muter aja sama kekecewaan dan kesedihan gue! Gue nenggak minuman ... ngisep lintingan ... ngobat ... itu ibarat berhenti sebentar ... terus jalan buat muter-muter lagi!”
“Alias semua gak ada gunanya ... gak MECAHIN MASALAH!”
“Tapi yang gue adepin sekarang laen ...”
“Ya emang beda ... bahkan mungkin penyakit yang elo derita sekarang jauh lebih berat ... tapi ada kesamaannya ... elo sekarang juga lagi muter-muter kayak gue dulu ...!” Tajam sekali perkataan Albert yang terakhir ini. Dia sangat serius kali ini.
“Jadi elo sekarang balikin apa yang pernah gue nasehatin ke elo dulu ... begitu?”
“Terserah ...! It’s up to you ...! Satu yang pasti gue gak pengen liat temen gue yang lagi down jadi ancur sia-sia ... itu aja! Dan gue gak peduli ... elo mau suka apa gak suka ... gue tetep ngejalanin apa yang kudu gue jalanin ...”
“One more thing ... dengan kena AIDS kayak sekarang ... bukan berarti hidup lo TAMAT! Lo renungin dalam-dalam tulisan gue di pintu kamar lo ...”
Aku tidak bisa berkata-kata lagi mendengar kata demi kata yang meluncur dari bibir Albert. Kata-kata yang menghujam tepat di dalam hatiku. Albert juga tidak lagi meneruskan kata-katanya, bukan karena kehabisan kata. Seorang pengacara seperti Albert tentu tidak akan menemui banyak kesulitan untuk mengeluarkan jutaan kata-kata ceramah padaku. Tapi, nampaknya Albert sengaja membiarkan aku tenggelam dalam alam pikiranku. Alam pikiran yang penuh dengan tumpang tindihnya berbagai pertanyaan.
Albert juga tahu bahwa semakin banyak kata yang keluar, justru akan semakin membuat diriku terperosok ke dalam lubang kekecewaan. Lubang yang akan menyeretku ke dalam kehancuran hingga tak bersisa harapan sedikitpun!
“Gue mau masuk ke dalam ... terserah elo mau ikut apa nggak ...” Albert keluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke dalam bangunan besar itu, dirinya tak mempedulikan aku yang masih diam terpaku di dalam mobil. Bangunan yang adalah sebuah tempat ‘Persekutuan Orang Percaya’. Bangunan dengan arsitektur agung buatan kaum penjajah bangsa kita tempo dulu.
“Tuhan ... saya memang orang yang jarang berdoa apalagi ikut Kebaktian Minggu. Saya mungkin adalah orang yang paling gak sopan dalam menghadap kepadaMU ... seperti yang saya lakukan barusan ... mungkin Kamu akan berkata :’Albert ... Albert ... siapakah kamu itu? Sudah jarang berbakti ... eh ... berani-beraninya kamu membentak-bentak Saya ... marah-marah ... memaki-maki’. Ampuni saya ya Tuhan!” Albert tertunduk lemas. Ada penyerahan begitu mendalam di dalam ucapannya yang sedikit tertahan itu.
“Tuhan ... kalau boleh saya memohon ... tolong Kau turunkan kuasaMu ... agar sahabat saya Karel yang saat ini sedang kehilangan pegangan Engkau tuntun ... Engkau kuatkan dia dalam kehancurannya sekarang ya Tuhan! Tolonglah Tuhan ... tolong dia ...” Albert semakin luruh ke lantai marmer. Dirinya sudah tidak kuasa lagi untuk menahan tangis yang meluap-luap.
“Tuhan ... kalau boleh saya memohon ... ja ... ngan Kau biarkan dia han ... cur! Beri ... lah kuasaMu ... ya Tuhan! ... Saya ... mo ... hon! ... Sa ... ya ... mohon ... ya Tu ... han ...” Albert sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Selanjutnya dia hanya tenggelam dalam tangis yang sungguh-sungguh luapan dari rasa kesedihan yang mendalam.
Sementara diriku ... yang tadinya hendak menghampiri Albert, akhirnya mengurungkan niatku. Aku terkesima begitu mendengar doa yang dipanjatkan oleh Albert. Sebuah doa yang terasa benar-benar keluar dari lubuk hati terdalam. Berbeda sekali dengan pembawaan Albert biasanya yang meledak-ledak. Perlahan-lahan air mata menetes membasahi pipiku, “Bapa, betapa besar perhatian dan kasih sayang Albert kepadaku ... Bapa apa yang telah aku lakukan?”

# # #

“Karel ... ada satu tempat lagi yang mau gue ajak elo buat ke sana ...! Gue gak minta persetujuan elo ... kalo elo gak mau ... elo bisa turun sekarang ...”
“Oke ... gue ikut aja ...” Aku sengaja membiarkan Albert tidak tahu kalau aku mendengar apa yang didoakannya di ‘Imannuel’ tadi. Walau ada rasa terharu akan perhatiannya yang tulus kepadaku, tak urung aku masih dipenuhi oleh rasa kecamuk yang menyiksaku. Rasa kecamuk yang muncul sebagai akibat dari rasa tak terimaku atas kenyataan yang terjadi.
Mobil yang kami naiki sekarang sudah berada di Jalan Tol Jagorawi. Aku dan Albert memang tenggelam dalam pikiran masing-masing, dan aku juga tidak ingin bertanya lebih jauh mengenai tujuan Albert mengajakku ke ‘tempat kedua’ seperti perkataannya. Aku tahu tempat yang dituju Albert pasti adalah tempat yang menurutnya dapat membuatku berpikir bahwa apa yang telah aku lakukan dengan ‘teman-teman baruku’ sebagai pelampiasan adalah bodoh belaka.
Setelah sekitar satu setengah jam lamanya menyusuri jalan raya, Albert menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah yang lumayan besar. Di dalam halaman depan rumah tersebut terdapat sebuah papan nama besar bertuliskan “Pondok Anugerah”. Hey ... tiba-tiba aku merasa pernah mendengar nama itu ... tapi kapan ya ...?
“Ayo ... ikut gue ke dalam ... sekarang gue maksa elo supaya ikut masuk ...” Perkataan Albert masih tetap dingin dan datar.
Aku menurut saja apa yang diperintahkan Albert. Ketika kami sudah memasuki teras rumah, betapa kagetnya diriku mendapati siapa yang menyapaku ...


07122005
03.47 WIB
Sudah berapa lama ya aku tidak gak ngisi Catatan Harian ...
Sebenarnya emang lagi males buat ngetik-ngetik
Jangankan buat ngetik ...
Buat hidup aja MALES banget ...!
Cuma ...
Seharian ini ... ada kejadian-kejadian gak biasa
Pertama,
Untuk pertama kalinya aku melihat Albert menangis dan mengajukan permohonan yang benar-benar memohon! Baru kali ini aku lihat orang yang biasanya meledak-ledak ... luruh ... jatuh dalam sebuah permohonan yang sangat!
Dan ... yang lebih mengagetkan lagi adalah bahwa permohonan yang diajukan kepada Tuhan adalah demi aku ... DEMI AKU!
Kedua,
Ternyata di Bogor, Albert mengajakku ke tempat sekarang Bono tinggal ... Bono sekarang selain menjadi wirausahawan di bidang peternakan ikan hias juga menjadikan rumahnya sebagai tempat pemberdayaan 8 orang yang terkena penyakit kusta. Mereka di sana dikembangkan untuk menjadi pengrajin pernik-pernik rumah, mulai dari hiasan dinding, keset, taplak meja, dan lain-lain. Bono bekerjasama dengan Om Kim, pamannya Albert dan Arini sang istri, yang memang seorang perawat.
Aku sebenarnya menangkap maksud Albert mengajakku ke sana, yaitu bahwa dia ingin menunjukkan kalau dengan penyakit AIDS yang aku derita sekarang bukan berarti kehidupanku habis sampai di sini.
Albert ingin aku melihat semangat juang kaum penderita kusta di tempat Bono, yang dibuang oleh keluarga mereka dan dilecehkan oleh lingkungan, untuk tetap melangsungkan hidup seberat apapun penderitaan yang dialami.
Aku mengerti ...
Bahkan jika dirujuk dengan apa yang tertulis di dalam Alkitab ... banyak ayat di sana yang mengatakan bahwa jangan pernah menyerah dengan penderitaan hidup. Sandarkan dan serahkan semua ke dalam tangan Tuhan!
Namun ... benarkah apa yang aku alami ini adalah penderitaan biasa
Penderitaan yang dapat dan harus aku lalui ...
Atau ... inilah KUTUKAN yang tak terampuni?!
Bagaimana tidak ...
Cita-citaku dalam memenuhi panggilan Tuhan sudah di depan mata
Aku sudah berstatus sebagai Vikaris sekarang
Vikaris yang adalah Calon Pendeta atau Calon Penggembala Umat
Cita-cita yang aku rintis dengan susah-payah
Bergelimang air mata
Berbanjir tetes keringat
Sebentuk perjuangan
Yang tidak bisa dikatakan ringan
Dan ...
Yang terjadi adalah ...
Semuanya MUSNAH dalam sekejap!
Semua tersapu dalam hitungan hari!
Semua terlibas dalam sebentar!
Mengapa Tuhan ...?
Mengapa Kau buat aku jadi begini ...?
Lebih baik Kau ambil saja nyawa ini
Lebih baik Kau lepaskan jiwa dari raga ini
Untuk apa lagi aku ada di dunia ini?
Untuk apa lagi aku meneruskan hidup ini?
Sedang aku sudah tidak berguna sekarang!
Sedang aku sudah tidak layak untuk melayani Engkau!
Sedang aku sudah menjadi nista sekarang!
Dan mana mungkin aku dapat
Menjadi pelayan Engkau yang Suci
Sedang aku adalah aib!

# # #

Aku gelisah menggeledah seluruh isi kamarku. Semua pelosok dan sudut yang ada di dalam kamar aku periksa, tapi apa yang kucari tetap saja tidak ada. Aneh! Kemana larinya semua barang-barang itu? Aku ingat sekali terakhir kali aku menyimpannya adalah di dalam laci meja belajarku. Namun, sekarang jangankan di laci meja belajar ... seluruh isi kamar ini rasanya sudah aku periksa dan hasilnya nihil!
“Aaahhh ... sial! Kemana itu cimeng, pil, dan paketan yang lain ... biasanya juga di laci gue simpan ... kok sekarang susah banget ketemunya!” Aku masih terus mencari teman-teman baruku. Teman-teman yang dapat mengantarku menuju ‘surga’ ciptaanku sendiri.
“Sial ... ! Sial ...! pas gue lagi pengen banget kok malah gak ketemu-ketemu ...! Mosok gue harus beli lagi di BeDe depan komplek itu ... aaahhh mana lagi bokek begini!” Aku semakin diliputi oleh rasa kesal. Kesal karena teman-teman baruku seakan menghilang pada saat aku sedang ingin menggunakannya.
“Wooii ... Coy! Lagi nyari apaan sih ... kok kayaknya sibuk banget?” Albert tiba-tiba masuk dan langsung menyapaku.
“Ah ... nggak kok ... gak nyari apa-apa ...” Aku yang tidak ingin Albert tahu barang apa yang sedang aku cari, seketika itu juga langsung menghentikan aktivitas pencarianku.
“Udah deh ... gak usah pura-pura! Elo pasti nyari cimeng dan sejenisnya kan ... barang-barang itu udah gue buang Karel ... percuma elo cari sampe ke ujung langit juga gak bakal ada ...! Albert menatapku dengan pandangan tajam. Mata kecilnya sama sekali tak berkedip, tanda kalau dia tidak suka dengan tingkahku itu.
“Elo buang! ... Bangsat ...” Dengan luapan amarah aku menghampiri Albert. Dan ...
“Bruk ...!”
Albert menunduk memegangi bibirnya yang baru saja kudaratkan sebuah tinju. Dia tidak bereaksi apa-apa selain memegangi bibirnya.
“Bangsat ... elo udah mulai lancang ya ...” Dan selanjutnya aku membabi buta menyergap tubuh Albert dengan kepalan tanganku. Albert tetap diam tak melakukan reaksi apa-apa, sampai akhirnya dia terpental keluar kamar akibat sebuah tendangan yang bersarang di perutnya. Aku justru tidak menghentikan luapan nafsu liarku. Kuhujani tubuh Albert yang tergeletak di lantai dengan tendangan demi tendangan.
“KAREL ... HENTIKAN! Apa-apaan kamu ...” Suara Bunda yang menggelegar spontan membuatku terhenti. Teriakan keras Bunda yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
“Ya Tuhan ... Karel ...” Bunda tidak dapat menahan air mata kesedihannya melihat aku yang sudah tidak terkendali lagi. Aku yang sudah dikuasai oleh bara emosi.
“Ti ... dak apa-apa Bunda ... sa ... ya rela ...” Suara Albert terbata-bata menahan rasa sakit yang hinggap di sekujur tubuhnya akibat aku jadikan sansak hidup.
“Albert ... kamu tidak apa-apa ...? Karel keterlaluan sekali kamu ...” Bunda menghampiri Albert dan mencoba membantunya untuk berdiri.
“Sudah Bunda ... saya tidak apa-apa kok ... kalaupun saya harus babak belur ... akan saya terima ... asal sahabat saya ini gak pernah nyentuh barang-barang laknat itu lagi ...” Albert mencoba tersenyum dan menahan rasa sakit yang dialaminya.
“Hey ... jangan berlagak mau jadi pahlawan ... ! Keluar dari sini ... keluar!” Entah kenapa aku begitu kalap. Kemarahan begitu menyelimuti hati dan pikiranku. Tak ada sedikit pun rasa kasihan melihat Albert yang berdarah dan memar-memar akibat pukulan dan tendanganku.
“Albert ... sebaiknya kamu pulang saja dulu ... biar Karel ... Bunda yang urus! Dia sedang dikuasai setan sekarang ... maafkan Karel ya ...”
“Tidak apa-apa Bunda ... baiklah saya akan menuruti nasehat Bunda ... tapi kalau ada apa-apa dengan Karel ... hubungi saya ya Bun ...”
“Sudah ... jangan kamu pikirkan Karel ...”
“Sungguh Bunda ... saya tidak apa-apa kok ... saya memang bertekad untuk melakukan apa saja ... asal Karel bisa kembali seperti Karel yang dulu ...” Albert tersenyum dan perlahan-lahan berjalan menuju pintu.
“Sekali lagi maafkan Karel ya ...”
“Iya Bunda ... dan Bunda yang sabar ya ... mungkin dengan Karel bisa mengeluarkan emosi terpendamnya ... dia jadi bisa berpikir lebih jernih lagi ...”
“Doakan dia ya Albert ...”
“Pasti Bunda ... pasti! Saya pamit dulu ya Bun ...”
“Hati-hati Albert ...”

Minggu, 14 Desember 2008

CATATAN KETIGA

SANDYA KALA


“Bro ... gue ... gue gak tau harus ngomong apa ...?” Albert menghisap dalam-dalam sigaret yang ada di jemari tangan kanannya. Sigaret yang entah sudah batang ke berapa ia hisap sambil mendengarkan ceritaku. Cerita akan penyakit yang aku derita. Cerita kalau aku dinyatakan mengidap HIV-positif.
“Albert ... elo masih inget ketakutan akan intuisi gue tempo hari ...?”
“Yap ... gue inget banget ... dan sekarang apa yang elo takutin terjawab!”
“Begitulah ... dan sekarang gue belum tau langkah apa yang mau gue ambil ... gue ...” Aku sudah tidak dapat menahan kepedihan dan kesesakan yang ada di dadaku. Namun, anehnya seakan air mata ini telah mengering. Tak setetes pun cairan-cairan bening keluar dari sepasang netraku.
Sementara Albert tampak tak berniat mengeluarkan kata-kata dari bibirnya. Walau aku bisa menangkap rasa sedih begitu dalam dari kediaman dan sorot matanya.
“Karel ... siapa lagi yang sudah tau ini semua selain gue? Bunda sama Si Riska udah elo kabarin?” Suara perlahan Albert terlontar. Nada suara yang tak pernah aku dengar sebelumnya. Nada suara dengan kesedihan menyengat yang menyertainya.
“Mereka berdua so pasti udah gue kasih tau ... dan elo orang pertama di luar keluarga gue plus dokter Herman yang gue ceritain ...”
“Jujur Bro ... masih belum masuk akal gue ... kenapa penyakit itu bisa kena ke elo ... elo kan belum pernah ... sori! Elo belum pernah begituan kan? Lantas kenapa bisa kena?”
“Bener ...! Gue emang belum pernah making love. Gue kena lewat transfusi darah!”
“Masih inget waktu motor gue kelibas mobil jaman gue ikut Praktek Jemaat dulu? En tangan gue yang nyaris diamputasi kalo gak segera dioperasi plus ditransfusi darah ...”
“Oke ... oke ... gak usah diterusin! Yang jelas gue gak sanggup ngedengerin cerita sedih kayak begini!” Albert mengambil sigaret dan menyalakan pemantik api dengan tangan gemetar. Aku juga tidak dapat berbicara lebih jauh. Hatiku bergemuruh hebat setiap kali menceritakan penyakit yang aku derita kepada orang lain. Kemudian, kuputuskan untuk memberikan catatan-catatan harian yang aku tulis agar Albert dapat lebih jelas mengetahui apa yang terjadi.
“Bro ... lebih baik elo baca aja ini!”
“Tapi elo udah yakin kalo positif kena ... siapa tahu hasil tesnya salah ...” Albert masih dihinggapi rasa tak percaya bahwa aku, sobat kentalnya itu, terkena penyakit yang memalukan dan mengerikan. Sampai-sampai pertanyaan tak logis itu keluar dari mulutnya. Albert tahu persis kalau aku sebisa mungkin tak akan bercerita sesuatu yang belum pasti.
“Bro ... tes itu udah dilakuin sebanyak empat kali ... dan hasilnya tetap sama ... gue positif! Lagipula elo pasti tau kalo gue akan cerita sesuatu kalo itu emang udah pasti ...!”

# # #

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, yaitu sistem pertahanan tubuh yang melindungi dari infeksi. HIV hanya menular pada manusia
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi. Segera setelah terinfeksi, beberapa orang mengalami gejala yang mirip dengan gejala flu selama beberapa minggu. Selain itu tidak ada tanda-tanda spesifik sebagai deteksi telah terinfeksi HIV, hanya biasanya paisen terinfeksi HIV mengalami gejala seperti berat badan menurun secara drastis, cepat dan sering merasa lelah, sering demam disertai keringat tanpa sebab yang jelas, terjadi pembesaran kelenjar di sekitar leher, ketiak, atau lipatan paha tanpa sebab yang jelas.


Seseorang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat sampai bertahun-tahun tanpa ada tanda fisik atau gejala infeksi. Orang yang terinfeksi virus tersebut tetapi tanpa gejala disebut orang dengan ‘HIV-positif tanpa gejala’. Sedangkan apabila gejala mulai muncul, orang tersebut disebut mempunyai ‘HIV-positif bergejala’ atau ‘penyakit HIV lanjutan’. Di mana pada tahap ini seseorang kemungkinan besar akan mengembangkan infeksi oportunistik.
Sementara AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah definisi klinis yang diberikan pada orang yang terinfeksi HIV dan menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lemah. Keadaan ini akan membuat orang mudah diserang beberapa jenis penyakit (sindrom) yang sebenarnya tidak begitu mempengaruhi orang yang sistem kekebalan tubhnya sehat. Penyakit-penyakit tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik. Dalam hal ini, definisi orang dikatakan terkena AIDS adalah jika setelah melalui hasil tes di laboratorium ditemukan bahwa jumlah sel CD4 berada di bawah 200. Tes tersebut merupakan tes yang menghitung jumlah sel CD4 –yaitu sel darah penyerang infeksi yang diserang dan dibunuh oleh HIV.

“Huuuhhh ... Anjir! Begini jadinya kalo gak terbiasa sama komputer! Baru baca sebentar ... mata udah perih! Ah ... mendingan langsung ngeprint aja deh ...” Albert kemudian menyimpan informasi yang sedang dibacanya dan menyalakan mesin pencetak di sebelah laptop.
“Heran ... si Karel itu kok bisa ya betah berlama-lama di depan layar monitor! Apa kagak pedes itu mata ...” Sambil menunggu hasil print out dari informasi-informasi yang diinginkannya, Albert terus menggumam di dalam hati. Semenjak mendengar ‘badai’ yang menimpa diriku, sahabat karibnya, Albert jadi rajin mengunjungi situs-situs mengenai HIV/AIDS. Dirinya ingin tahu lebih jelas mengenai penyakit itu dan beranggapan bahwa jika kita mengenal secara jelas terhadap sesuatu, maka kita akan dapat menghadapinya. Termasuk jika sesuatu itu adalah masalah atau penyakit.

Bagaimana HIV/AIDS dapat Menular :
• HIV terdapat di dalam darah seseorang yang terinfeksi HIV (termasuk darah haid), air susu ibu, air mani, dan cairan vagina.
• Melalui hubungan seksual (anal, oral, atau vaginal) dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
• HIV dapat menular melalui transfusi darah yang mengandung HIV, melalui alat suntik, atau alat tindakan medis lain yang tercemar.
• HIV dapat disalurkan ke bayi saat kehamilan, kelahiran, dan menyusui. Bila tidak ada intervensi, kurang lebih sepertiga bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu dengan HIV-positif akan tertular.
Anggapan yang Salah tentang Penularan HIV/AIDS
1. Berjabatan tangan dengan penderita AIDS.
2. Bersentuhan dengan pakaian atau barang bekas penderita AIDS.
3. Penderita AIDS bersin atau batuk di dekat kita.
4. Makan dan minum bersama penderita AIDS.
5. Berenang di kolam renang bersama penderita AIDS.
6. Pemakaian kamar mandi, WC, dan wastafel bersama dengan penderita AIDS; penularan disebabkan oleh gigitan nyamuk atau serangga lain
“Bro ... ! Apapun yang terjadi sama elo ... termasuk juga kenyataan kalo elo sekarang jadi penderita AIDS! ... elo tetep best friend!“ Albert menghembuskan kuat-kuat asap pekat dari dalam mulutnya. Asap yang berasal dari sigaret kesukaannya.
“AIDS ... bangsat! Dan bangsat macem elo gak akan pernah sanggup misahin persahabatan gue sama Karel ...!”

# # #

Kurasakan tubuhku makin terangkat ke atas. Ya, layaknya tersedot secara perlahan, tubuhku beranjak ke atas meninggalkan kamarku. Ada rasa ringan yang aku rasakan, sampai-sampai aku memejamkan mata untuk dapat semakin menikmati sensasi yang ada. Dan ketika kubuka mata ini, aku tidak tahu di mana kini diriku berada. Yang kulihat disekelilingku hanyalah gumpalan asap-asap tipis dan terkadang kilatan-kilatan cahaya bersliweran laksana lampu-lampu kilat.
“Dimanakah aku? Apakah aku sudah mati ... dan inikah yang dinamakan surga?” Aku menarik-narik kulit lenganku. Sesaat kemudian aku sudah melupakan rasa heran yang ada, dan beralih menjadi dihinggapi rasa kegirangan. “Ah ... apa peduliku! Kalau memang aku sudah mati ... ya alangkah leganya! Aku bisa meninggalkan kepahitan hidup yang aku alami ... selamat tinggal dunia! Good bye AIDS! Adios kesedihan ...!”
Aku begitu tenggelam dengan ‘dunia’ baruku ini. Kureguk senikmat-nikmatnya sensasi yang aku alami. Apalagi ketika kusadari bahwa tubuhku melayang tak berpijak pada bumi. Aku segera melakukan manuver-manuver layaknya tim akrobatik udara yang pernah aku saksikan di layar kaca. Aku lepaskan semua beban yang selama ini tinggal di dalam hatiku. Aku lepaskan semua sampai tak tersisa. Dan ...
“Aduuuh ... kepalaku sakit sekali! Seperti ada jarum ribuan jumlahnya yang menancap di kepalaku ini! ... Kok jadi begini sih! Bukankah aku tadi sedang bersenang-senang!’ Aku beranikan diri untuk membuka mata dan akhirnya aku sadari bahwa aku masih tergolek di lantai kamarku. Aku ternyata tidak kemana-mana. Aku yang bisa melayang hanyalah halusinasi. “Ahhhh ... apa mungkin kurang ya minumnya ...?! Oke ... oke ... tambah lagi!” Tanganku meraba-raba mencari barang yang aku cari ... aha! Akhirnya ketemu juga! Dan tak lama kemudian aku sudah meneggak cairan berwarna cokelat seperti air teh itu ke dalam mulutku. Cairan yang berasal dari dalam botol berbentuk unik sebetulnya. Cairan yang biasa diistilahkan dengan ‘air api’ karena kita akan merasakan panas menjalar ke seluruh badan saat kita meminumnya.
“Anjir ... ! Karel apa yang lo lakuin? ...” Albert yang masuk ke dalam kamar Karel tanpa mengetuk terlebih dahulu, karena memang sudah biasa dia lakukan, kaget bukan kepalang melihat apa yang tengah aku kerjakan. Dia segera mengambil botol ‘air api’ yang kupegang dan dilemparkannya ke pojok kamar.
“Hahaha ... halo Bro! Kok malah dibuang sih ... Ayo kita sama-sama nikmati ... kita ke surga bareng-bareng ...” Aku mencoba bangkit untuk mengambil kembali botol yang sudah dibuang Albert. Susah payah aku mencoba untuk bisa berdiri tegak.
“Begini cara lo ngatasin masalah Karel ... begini?” Albert segera mencengkeram leherku dan begitu melihat aku justru malah tertawa-tawa dia menghempaskan tubuhku ke tempat tidur.
Tak lama kemudian, Riska yang mendengar suara gaduh masuk ke dalam kamar dan alangkah tersentak dirinya mendapati kakak tersayang seperti orang hilang ingatan. Riska menyaksikan apa yang belum pernah sekalipun ia lihat terjadi pada diriku. “Kang Albert ... Ada apa dengan Kak Karel .. ?” Nada kalimat Riska barusan diliputi oleh kecemasan yang sangat.
“Sudah ... biarkan saja dulu Ris ... kakakmu itu mabok berat! Hampir sebotol penuh minuman laknat itu dia tenggak ... tuh liat sendiri sisanya ...” Suara Albert tertahan menunjukkan pada Riska botol yang tadi ia lempar. Ada emosi meluap-luap yang coba ia tahan. Emosi sekaligus bercampur dengan keprihatinan mendalam. Sementara, diriku masih saja berceloteh tanpa arah dan tujuan yang jelas. Yang ada dalam pikiranku adalah mencoba mencapai ‘surga’ yang tadi sempat aku rasakan, namun tak pernah bisa aku lakukan.
“Ris ... lebih baik biarkan dulu kakakmu ngoceh semaunya ... nanti kalau sudah capek juga akan tidur sendiri! Gue nginep di sini malam ini ... biar gue tungguin Karel sampe dia tidur ... kamu tidur aja lagi en don’t worry ... I’ll take care your brother!” Albert tersenyum getir pada Riska. Ingin rasanya ia ledakkan semua luapan emosi ini. Namun, ia sadar sekarang ini dibutuhkan ketenangan agar suasana tidak bertambah runyam.
“Baik Kang ... Riska percaya sama Akang ... kalo ada apa-apa, panggil Riska ya Kang!”
“Sip deh ...” Albert mengedipkan matanya sambil tersenyum. Senyum yang dibuat-buat sebenarnya, untuk menenangkan Riska.
“Riska ... tinggal dulu ya ...”

# # #

011205 12.11
Dari : Riska
Kang! Kndisi Kak Krel tmbah kacau! Kashan Bnda! Bs g Akang smpetin
mmpir k rmh ... thx bfor

Albert geleng-geleng kepala setelah membaca SMS yang baru saja masuk. “Karel ... Karel! Elo kok jadi kayak gini sih!” Albert segera menekan tombol-tombol mungil untuk mengirim balasan ke Riska.

011205 12.17
Untuk : Riska
Ris..Akng tar mlm k rmh! Smntra ini jgn biarin c Krel kmana2 oke..
Salam bwt Bunda y..en yg tbah ngadepinnya GBU!
Send .........

Albert tersenyum-senyum sendiri ketika membaca ulang pesan yang dia kirim ke Riska. “Kok bisa ya gue jadi begitu kalem en sabar ...? Gak meledak-ledak kayak biasanya ... oh God! Emang Kau Maha Bijaksana! Karena emang bukan emosi meluap-luap yang dibutuhkan saat ini buat ngadepin Karel! ...” Tak lama kemudian Hand Phone-nya berbunyi.

011205 12.29
Dari : Riska
Thx y Kang! Ak tnggu nnti mlm
GBU too ..!

# # #

Kamis, 11 Desember 2008

CATATAN KEDUA edisi kedua

SURAT PERNYATAAN HIV/AIDS

Rumah Sakit Internasional “AGAPE” menerangkan bahwa :
Nama : KARELIUS IRGHI BRAMANTYO
TTL : Jakarta, 12 Juni 1975
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Damai Utara IX No. 214
Jakarta Selatan

Berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium berdasarkan sampel darah yang diambil melalui Tes Westen Blot, maka yang bersangkutan dinyatakan

POSITIF TERINFEKSI HIV

Dengan sel CD4 di dalam darah : 109 sel
Demikian Pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.

Jakarta, 22 Oktober 2005
Rumah Sakit Internasional“AGAPE”
Kepala Laboratorium


dr. Aleksander Andra, Phd.


Secarik KERTAS yang isinya sama ... sama dengan sebelumnya
Secarik kertas
Yang membalikkan keadaan 180 derajat
Yang memporakporandakan semua impian
Yang membuyarkan seluruh cita-cita
Yang melarutkan segala angan
SECARIK KERTAS
PEMBUNUH ASA!
Bapa,
Apa yang salah dengan diri ini?
Kalau memang ada HUKUM KARMA,
Karma apa yang tengah diri jalani?
Aku tahu ...
Sebagai manusia
Aku tentu tak akan pernah luput dari apa yang dinamakan DOSA
Tapi dosa apakah yang harus aku tanggung?
Hingga sebegini KAU torehkan ....
Kenyataan yang merupa badai!
M E N G A P A A K U ?
Salahkah ya Bapa ketika tanya ini terlontar?
Sedang diri ini punya cita-cita untuk menjadi alatMU
Sedang diri ini punya asa untuk menjadi jembatan bagi umatMU
Jembatan penghantar kepadaMU
Sedang diri ini mencoba menjadi seorang gembala umat
Sebagai jalan memenuhi panggilanMU
Kutukan apa yang menimpa diri ini, ya Bapa?

BEGINILAH KESUDAHANNYA

Beginilah kesudahannya!
Bahwa benang-benang harapan putus satu persatu
Bahwa cita-cita di depan punah sudah
Bahwa angan hanya tinggal tetap menjadi angan
Wahai hidup!
Wahai kehidupan!
Pada akhirnya kau torehkan
Diri ini menjadi ORANG KALAH
SENDIRIAN
Selesai sudah!

Ya ...
Mungkin barisan puisi di atas
Dapat mewakili remuk redamnya hatiku
Mendapati kenyataan yang sama sekali berbeda dengan harapan
Kenyataan yang MENYAKITKAN
Bukan saja karena secara fisik ternyata tubuh ini mengidap penyakit
Namun juga kenyataan yang membuat batinku ini sakit
Bapa,
Ada tertulis FirmanMU demikian :
“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” I Korintus 10 : 13

Tapi apakah yang kualami ini adalah cobaan? Bukan hukuman? Kutukan?
Bagi dosa-dosa yang pernah aku lakukan di hari-hari terdahulu.
Apakah ini balasan yang harus aku hadapi untuk semua kesalahan yang aku pernah perbuat di dalam kehidupanku di belakang?
Tunjukkan ya Bapa!
Tunjukkan dosa dan kesalahanku sehingga semua menjadi sebegini!
Bukan saja KAU berikan diri ini penyakit ... penyakit LAKNAT bahkan!
Tapi sekaligus juga KAU biarkan cita-citaku menempuh panggilanMU musnah begitu saja

Senin, 08 Desember 2008

CATATAN KEDUA

SAAT COBA MENJEMPUT


t.a.k.d.i.r.
ya .... kata itulah
yang pertama akan aku kisahkan
Kata
Yang mungkin dapat mewakili
Pada apa yang aku dapatkan
Pada apa yang aku HARUS panggul
Di usia kepala tiga ini!

14092005
20.04 WIB
Bapa,
ada apa dengan tubuhku ini?
Aku merasa makin lama makin ada yang ‘tidak beres’ dengan tubuhku ini!
Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi ...
Bapa,
Beri aku kekuatan dan kesehatan!

“Ada apa dengan saya, Dok?”
“Hmmm ... berdasarkan Riwayat Kesehatan yang ada ... sepertinya tidak ada yang serius pada kondisi kesehatan Pak Karel” dokter Herman memeriksa lembaran-lembaran Catatan Riwayat Kesehatan kepunyaanku yang ada di hadapannya.
“Tapi ... Dok! Saya merasa akhir-akhir ini sering merasa ada yang tidak beres dengan tubuh saya ini ... ada apa ya Dok?”
“Ya ... ya ... Anda sering demam dengan keringat dingin belakangan ini! Kemudian Berat ... hmmm ... cepat merasa capek ...”
“Benar Dok! Tadinya saya pikir karena darah rendah atau akibat terlalu capak aja... Cuma kok intensitasnya semakin lama makin sering Dok ... padahal sejak dua minggu ini saya selalu rutin mengkonsumsi suplemen penambah darah ... jangan-jangan ada penyakit lain Dok?”
“Begini saja Pak Karel ... sebaiknya Anda melakukan tes kesehatan secara menyeluruh saja di laboratorium di rumah sakit ini! Saya akan berikan surat rujukannya, bagaimana Pak Karel?”
“Yaaahhh ... bagaimana baiknya saja Dok! Saya akan lakukan saran Dokter”
“Baik ... saya akan buatkan dan untuk sementara sebaiknya Pak Karel jangan terlalu lelah dalam berkegiatan ...”
“Terima kasih ... Dokter!”

# # #

20092005
22.24 WIB
Bapa,
Entah ada apa dengan diriku ini ...
Tapi yang jelas aku merasa ada sesuatu yang bakal terjadi pada diriku
Sesuatu yang gak beres!
Ada apa ini, ya Bapa?
Aku takut sekali ...

“Karel ... Karel! Elo itu kadang-kadang suka nganeh-nganehin aja sih! Kayaknya dari sekian orang kaum sufi or kaum spiritualis yang gue kenal ... Cuma elo deh yang super aneh!”
“Gak tau deh Bert! Gue juga gak ngerti ada apa ... yang jelas intuisi gue bilang kalo bakal ada kejadian besar menimpa gue ...”
“Woooiii ... wake up! Wake up, Bro! Cukup gue punya temen sableng satu aja model Si BonBin itu! Eh ... elo sekarang mau ngikutin jejak dia! Oh God ... tolong hambaMu ini! Jangan Kau biarkan hambaMu yang sehat ini berteman dengan orang-orang yang gak waras dan akhirnya jadi ikut-ikutan gak waras!” Albert dengan ekspresif mengambil sikap tangan yang biasa dilakukan dalam proses berkomunikasi dengan Yang Maha Ada.
“Sialan ...! Elo dicurhatin bukannya kasih advice malah ngeledek!”
“Kan udah barusan! Bangun ... bangun ... Karelius Irghi Bramantyo! Dan nyebut nama Yang Di Atas ... hahaha ...” Albert tertawa lepas mencoba mencairkan suasana yang mulai terlihat aura kelam menyelimuti.
“Udah ah ...! Mending kita jalan-jalan sekalian hunting VCD Orgi. Kali-kali aja ada film dalam negeri baru yang udah keluar.”
“Sapa takut! Koleksi MP3 gue juga udah usang semua nih!” Aku segera menangkap maksud sobatku ini untuk menetralisir suasana. Supaya aku tidak tenggelam dalam ketakutan yang belum jelas apa bentuknya.

# # #

“Coy ... liat tuh! Mantap ... wuih ... ck ... ck ... ck ... goyang pinggulnya! Nah coba liat lagi tuh arah jam tiga ... waduh ... itu bodi ... mantap Coy ...” Albert memulai aksinya menikmati anugerah yang ia dapat sebagai seorang cowok. Ya ... anugerah untuk ‘cuci mata’ di tengah-tengah lobi sebuah Mal.
“Anjir! Gue dicuekin ...! Coy gue mau tanya ... elo emang udah mau jadi Vikaris terus bakal jadi Pendeta ... tapi bukan berarti elo jadi Frigid kan? ... Alias selera ama cewek jadi nguap entah kemana ...”
“Sial ... ! Dalam soal cewek gue gak bakalan kalah ama elo ... walaupun sampe sekarang masih aja JOMBLO ... hehehe ...”
“Alangkah senang hatiku ... mendengarnya! Akhirnya kembali juga kau jadi orang normal! Hahahaha ....” Albert tertawa lepas sekali. Tak peduli pada suasana yang sebenarnya cukup ramai itu.
“Udah ah! ... eh tuh liat arah jam 10! Elo pasti suka banget ama yang satu ini! Gue kan tau selera Kang Albert kayak apa...” Aku tersenyum sambil memberikan kode dengan lirikan mata ke arah seorang penjaja topeng mainan yang mengenakan kostum gorila.
“Mana ... mana ...? Yang jelas dong kalo ngasih petunjuk!” Dengan bersemangat Albert mendongakkan kepalanya. Celingak-celinguk ke arah yang aku tunjukkan.
“Itu ... yang pake item-item ... seksi abiiiss ...!” Aku masih menahan rasa geli melihat pancinganku berjasil dan ulah Albert yang seperti orang penasaran.
“Mana sih ...? Seksi ... pake item-i ... Anjir ... Anjir! Maksud lo itu ...”
“Hahahaha ....”
“Puas lo ... PUAS! Emang gue cowok apaan ...!”
“Hahahaha ...!” Aku masih tidak dapat menghentikan tawaku yang sampai terpingkal-pingkal. Skak mat kali ini kau Albert!
“Anjir ...! Hahahaha ...”
Maka tenggelamlah dua anak manusia itu dalam tawa berkepanjangan. Tawa dan sukacita yang mampu menenggelamkan perasaan-perasaan gundah atau ketakutan tak tentu yang bersarang di dalam hati. Begitulah.

# # #

“Bagaimana Dok ...?”
“Hasil Tes Kesehatan Pak Karel bagus! Tidak ada gejala-gejala yang serius ...” Dokter Herman mencoba lebih cermat lagi mengamati Laporan Hasil Tes Kesehatan milikku.
“Tapi ... kenapa saya sering demam dan keluar keringat dingin ... ya Dok?” Aku merasa lega sebenarnya mendengar penuturan dokter Herman. Namun, intuisi akan ada yang tidak beres terhadapku yang makin lama makin menguat dan itu membuatku masih saja dipenuhi rasa penasaran.
“Begitu ya ...” Dokter Herman melirik kepadaku.
“Coba saya lihat dulu Riwayat Kesehatan Pak Karel ... terutama akhir-akhir ini ...” Dokter Herman mengambil lembaran-lembaran lain dari dalam Map. Kemudian mencermati dengan lebih seksama.
“Pak Karel ... jangan tersinggung ya ... berdasarkan keluhan-keluhan yang Pak Karel alami, sebaiknya Pak Karel melakukan sebuah Tes Khusus ... itupun kalau Pak Karel berkenan ...” Terlihat sangat hati-hati sekali dokter Herman dalam menyampaikan apa yang diucapkannya. Kehati-hatian memilih kata yang membuatku menangkap ada sesuatu. Sesuatu yang gawat.
“Tes Khusus ... Dokter? Saya jadi tidak mengerti ...?”
“Ya ... Tes Khusus! Keluhan-keluhan yang dialami Pak Karel seperti sering dan cepat merasa capek ... sering demam dan mengeluarkan keringat tanpa sebab atau tiba-tiba ... berat badan yang menurun cukup banyak ... kemudian ada pembesaran kelenjar di leher kanan dan lipatan paha kanan Pak Karel! Itu sama seperti gejala-gejala awal oleh penderita ... nngg maaf ...” Dokter Herman agak kesulitan untuk memberitahukan kemungkinan penyakit yang aku derita.
“Penderita sakit apa Dokter ...?”
“Maaf ... penderita HIV-positif ... atau penderita AIDS ... dan Pak Karel ini barulah diagnosa awal dan untuk memastikannya perlu dilakukan Tes HIV/AIDS ...”
“AIDS ... dokter! Saya terkena AIDS ...”
“Belum tentu Pak Karel ... belum tentu ... sekali lagi ini hanya diagnosa awal!”
“Saya ... kena ...” Aku tidak melanjutkan perkataanku. Keterkejutan yang sangat, membungkam bibirku untuk berkata-kata lebih lanjut.
“Lebih baik Pak Karel menenangkan diri dulu ... Tes HIV/AIDS bisa dilakukan hanya dengan persetujuan yang bersangkutan ... kalau Pak Karel siap silakan menghubungi saya ... kapan saja!” Dokter Herman menangkap keterkejutan yang menghinggapiku dan mencoba untuk tidak menambahnya lebih jauh lagi.
“Ba ... ba ... ik Dokter! Terima kasih!”

01102005
22.21 WIB
GILA ...!
Perkataan dokter Herman tadi siang sungguh bagai petir
Yang menyambar dan menghantam
Diriku tanpa bisa berbuat apa-apa
Bapa,
Cobaan apa ini ...?
Ada kemungkinan aku terkena AIDS
Apa benar ... Bapa?
A I D S !
Penyakit kotor itu ...
Ada di dalam tubuh ini?
GILA ...!

04102005
07.06 WIB
Selamat pagi Bapa,
Pertentangan-pertentangan yang sedang aku alami
Perasaan-perasaan tak tentu yang tengah menghinggapiku
Penolakan-penolakan yang meraja

Ternyata ...
Semakin membuat aku tidak karu-karuan
Semakin menenggelamkan diriku pada ketakutan tak jelas arahnya
Bapa,
Mungkin memang sebaiknya aku mengikuti saran dokter Herman untuk melakukan tes
Mungkin memang sebaiknya aku berusaha untuk pasrah
Maka biarlah Engkau pimpin setiap langkah dan alur dalam kehidupanku
Amin.

“Halo ... selamat pagi! Dengan dokter Herman ...”
“Iya ... saya sendiri ... oh Pak Karel ya ... ada yang bisa saya bantu, Pak Karel?”
“Begini ... dokter! Saya sudah siap untuk melakukan tes khusus seperti yang dokter sarankan kepada saya ... Tes HIV/AIDS itu ...”
“Baik ... kalau begitu nanti siang jam dua belas ... Pak Karel bisa datang ke rumah sakit ... langsung saja ke ruangan saya ... karena ada beberapa prosedur yang perlu dilakukan untuk melakukan tes itu ... bagaimana?”
“Baik Dokter ... terima kasih ... sampai ketemu nanti siang ... selamat pagi!”
“Sama-sama Pak Karel ...”
“Klik ...”
Aku melanjutkan aktivitasku dengan membuka Alkitab dan membaca bagian yang memang telah aku tandai sebelumnya. Hehehe ... sebelum aku membaca, aku teringat kalau diriku telah beberapa hari ini seakan lupa untuk ber-Saat Teduh. Karel ... Karel! Ketakutan dan rasa tidak terima ternyata terlalu mendominasi hatimu dalam beberapa hari ini!, begitu batinku menggumam. Dan mulailah proses berkomunikasi dengan Sang Hyang Widhi aku lakukan.

# # #

“Selamat siang Pak Karel ... bagaimana kabar Anda?”
“Selamat siang Dokter! ... saya seperti yang Dokter lihat ...” Aku tersenyum penuh arti.
‘Baik ... silakan duduk Pak Karel! Langsung saja ... seperti yang Pak Karel katakan tadi pagi kalau Pak Karel bersedia untuk melakukan Tes HIV/AIDS ... nah, untuk melakukan Tes HIV/AIDS ada tahap-tahap yang perlu Pak Karel lalui ...” Dokter Herman mengambil beberapa lembar formulir dari atas meja kerjanya.
“Pertama ... ada lembar-lembar isian awal yang harus Pak Karel lengkapi ... ini sebaiknya Pak Karel pelajari terlebih dahulu ...”, dokter Herman menyerahkan lembaran-lembaran formulir yang tadi diambilnya kepadaku, “... untuk kemudian Pak Karel harus menjalani Konseling Pra-Tes ... waktunya nanti akan kita sepakati bersama ... tahap selanjutnya barulah tes bisa dilakukan ...”
“Baik dokter ... saya akan coba pelajari dulu formulir ini ...”
“Silakan Pak Karel ... perlu saya tekankan di sini bahwa untuk dapat melakukan Tes HIV/AIDS ... sepenuhnya harus ada persetujuan dari yang bersangkutan tanpa ada paksaan atau tekanan dan yang bersangkutan telah menjalani Konseling Pra-Tes, serta telah secara jelas mendapat gambaran berdasarkan informasi lengkap atau informed consent mengenai HIV/AIDS ... begitu Pak Karel ... keputusan mutlak ada di tangan Bapak ... saya dan pihak rumah sakit hanya berperan sebagai fasilitator ...”
“Terima kasih Dokter ... jadi saya dapat mengembalikan formulir ini kapan saja ...?”
“Tepat ... dan jika Pak Karel memutuskan untuk tidak melakukan tes ... tidak ada konsekwensi sama sekali ...” Dokter Herman tersenyum. Senyuman sebagai tanda tidak ada paksaan bagiku untuk harus melakukan Tes HIV/AIDS.
“Baik Dokter kalau begitu ... terima kasih banyak atas kerja sama dan pengertiannya ... selamat siang ...”
“Selamat siang Pak Karel ... oh iya Pak Karel ... ini ada beberapa brosur mengenai apa itu HIV/AIDS ... mungkin bisa membantu Pak Karel untuk lebih memahami HIV/AIDS secara lebih jelas ... silakan!”
“Terima kasih Dokter ...” Aku menyalami dokter Herman dan keluar ruang kerjanya. Lembaran-lembaran formulir beserta brosur yang diberikan oleh sang doketr aku masukkan ke dalam tas. Dengan masih termangu-mangu, aku menyusuri koridor demi koridor di dalam rumah sakit menuju pintu keluar. Sebenarnya aku butuh paling tidak seseorang untuk dapat menjadi pendengar setia. Pendengar yang dapat aku curahkan semua cerita tentang apa yang tengah aku alami saat ini. Namun, aku telah putuskan untuk tidak menceritakan pada siapa pun, paling tidak sampai semuanya jelas. Sampai semuanya terbuka apakah aku mengidap AIDS atau tidak. Walau tak urung kesesakan ini terus bertahta dalam hati. “Bapa, aku percaya bahwa Engkau akan selalu menjadi teman buatku!”.

# # #

Prosedur untuk Melakukan Tes
Setiap orang, baik yang merasa dirinya memiliki resiko terinfeksi HIV/AIDS maupun yang tidak, dapat melakukan Tes HIV/AIDS di laboratorium khusus di Rumah Sakit besar. Sebelum dilakukan pemeriksaan, orang yang akan melakukan pemeriksaan harus mendapatkan konseling pra-tes untuk kemudian membuat Surat Persetujuan Melakukan Tes dan Telah Mendapatkan Informasi Lengkap (Informed Consent). Setelah tes dilakukan, juga diharuskan untuk mendapatkan konseling pasca-tes yang memadai.
Tes HIV/AIDS dilakukan dengan mengambil contoh darah. Berdasarkan contoh darah yang diambil, akan dilihat apakah ditemukan antibodi HIV di dalam darah. Antibodi itu dibuat oleh sistem kekebalan tubuh sebagai reaksi terhadap infeksi oleh HIV. Apabila tidak ditemukan antibodi HIV, maka akan dinyatakan seronegatif atau HIV-negatif.
Perlu untuk diketahui, bahwa hasil tes dapat saja menunjukkan HIV-negatif apabila seseorang baru saja terinfeksi, karena setelah terinfeksi pembentukan antibodi memakan waktu sampai 3 bulan. Untuk itu, seseorang yang melakukan tes dan menunjukkan hasil HIV-negatif harus melakukan tes ulang pada 3-6 bulan berikutnya untuk memastikan dirinya benar-benar HIV-negatif.
Sementara, jika hasil tes menunjukkan HIV-positif. Orang tersebut sebaiknya melakukan tes ulang sebanyak 3 kali dan juga melakukan Tes Westen Blot untuk lebih memastikan.
Hasil pemeriksaan akan selesai dalam waktu kurang lebih satu minggu.

Aku menghembuskan napas panjang setelah membaca lembaran yang ada di tanganku. Sudah untuk yang ketiga kalinya aku membaca “Prosedur Melakukan Tes HIV/AIDS” ini, sampai-sampai aku hafal kalimat-kalimat yang tertera di sana. Namun, mungkin karena diserang oleh rasa takut yang berlebihan, aku seakan tak pernah bisa memahami tulisan-tulisan yang tertera.

06102005
21.57 WIB
Bapa,
Sekuat mungkin aku mencoba untuk tetap tabah menerima realita
Namun tak urung rasa takut itu tetap bersemayam
Rasa yang tentu saja menggelisahkan
Rasa yang sudah pasti mencemaskan
Bapa,
Berilah kekuatan untuk dapat menghadapinya!

25102005
00.24 WIB
GILA ... !
Benar-benar bagaikan tertancap pisau yang luar biasa tajamnya
Tanpa bisa aku hindari!
Seberapa pun kuatnya aku mencoba untuk tetap tegar
Tetap saja hatiku merasakan sakit yang sangat
Bukan semata karena memang aku dinyatakan ‘sakit’
Namun,
Sakit yang lebih dari sekadar penyakit yang diderita tubuh
Ya, ketika untuk keempat kalinya ...
Secarik kertas aku terima,

Jumat, 05 Desember 2008

CATATAN PERTAMA edisi ketiga

“Albert ... Karel ...! Ini kenalin Arini, tunangan gue! Dik ... ini Mas Albert dan Mas Karel ... sahabat-sahabat Mas Bon yang selalu setia ...”
“Oh ... saya Arini ... Mas !” Secercah senyum tersungging di bibir Arini. Seorang gadis cantik sebenarnya. Namun aura beban yang kuat nampak bertengger di pancaran wajah beningnya.
“Albert ...!”
“Karel ...!”
“Oke ... BonBin gimana kita tetap sesuai sama planning kan? Atau ada rencana lain yang mungkin lebih baik dari yang udah kita diskusiin ...?”
“Nggak Bert ... gue gak ada ide lain ... kalo elo gimana ...?”
“Sama ... sementara ini kita jalanin dulu aja rencana semula ... tar kalo ada perubahan or perkembangan ... kita rembug lagi oke ...”
“Sip ... Coy!” Albert mengacungkan jari jempolnya tanda menyetujui kesepakatan yang ditawarkan olehku.
“Begini ... Arini! Mas Bono pasti sudah cerita kan? Untuk sementara demi keselamatan kamu, sebaiknya kamu tinggal di tempatku ... nanti bisa tidur sama-sama adikku si Riska. Nah, Mas Bono untuk sementara juga akan bersembunyi di tempat Om Kim, pamannya Albert di Bogor. Gimana kamu setuju kan?”
“Saya pasrah saja sama Mas Karel dan Mas Albert ... saya percaya Mas-Mas berdua pasti akan membantu dengan sepenuh hati ... tapi sebelumnya saya minta maaf telah merepotkan semua ...” Mata sang gadis cantik berkulit kuning langsat itu basah oleh bulir-bulir bening. Bulir-bulir bening berupa air mata sebagai tanda keharuan.
“Jangan dipikirkan ... tenang saja ... ya kan Bro?” Albert tersenyum dan melirik padaku.
“Yap ... dan sebagai alat komunikasi ... Albert sudah membelikan HP beserta nomor baru buat kalian berdua. Hanya kita berempat plus Bunda yang tahu nomor-nomor ini ... “ Aku menyerahkan Hand Phone berikut starter pack nomor Hand Phone kepada Arini dan Bono.
“Ris ... Riska ... ke sini sebentar dong!”
“Ris ... ini Arini yang Kakak ceritakan tempo hari ... Arini ini Riska, adik saya satu-satunya!” Aku memperkenalkan Arini kepada Riska, bakal teman sekamarnya dalam beberapa hari ini.
“Riska! Wah ... Mas Bono pinter ya milih calon istri! Kak Karel dan Kang Albert harusnya belajar dari Mas Bono ...hihihi!”
“Bisa aja kamu Ris ...” Bono tersenyum sumringah.
“Arini ... kamu jangan sungkan-sungkan ya dengan Riska ... kalau ada apa-apa ngomong aja! Cuma jangan kaget ... Si Riska ini super jahil dan bawel ... hehehe!”
‘Ih ... Kak Karel mosok sama adik sendiri tega bener!” Riska segera mencubit lenganku dan merajuk manja menggandeng tanganku.
“Hehehe ... oh iya ... Bunda sedang ke Mangga Dua sekarang! Nanti kalau Bunda pulang aku kenalkan sama beliau ... nah Riska sekarang kamu antar Mbak Arini ini ke kamar sana! Biar dia bisa istirahat ...!”
“Oke Bos! Ayo Mbak ... kita ke atas!” Riska menggamit tangan Arini dan mengajaknya masuk ke dalam.
“Dik ... sini biar tasnya aku bawa ...” Bono segera mengambil travel bag besar kepunyaan sang tunangan terkasih dan menyertai masuk ke dalam.

# # #

17032005
06.32 WIB
Bapa,
Terima kasih atas segala penyertaanMU!
Tahapan awal rencana kami bertiga dapat berjalan dengan lancar. Bono sekarang sudah di Bogor, sementara Arini tinggal di tempatku.
Aku baru saja tiba di Semarang dini hari tadi dan Albert akan menyusulku keesokan harinya. Wah ... ternyata aktivitas di Kota Atlas ini tidak kalah dengan di Jakarta. Pagi-pagi benar sebelum matahari menampakkan cahayanya, warga kota Semarang sudah banyak yang bergeliat memulai hari yang baru.
Seperti yang disarankan Bono, setelah check in di sebuah hotel melati yang letaknya dekat dengan Kawasan Simpang Lima ... aku langsung bergegas menuju ke sana. Sebuah kawasan yang merupakan Pusat Kota Semarang. Di sana aku langsung menuju tempat yang menjual nasi liwet. Menu yang sudah aku prioritaskan sebagai sarapan pagiku begitu pertama kali menginjakkan kaki di Semarang. Itu juga atas petunjuk Bono agar aku mencoba nasi liwet khas Simpang Lima.
Dan ternyata memang benar ... nasi liwet yang mak nyos ... hehehe.
Jadwal pertamaku hari ini adalah menghubungi Adrian –teman semasa kuliah- yang sekarang menjadi Pembina Rohani sebuah lembaga pelayanan mahasiswa Kristen se-Kota Semarang. Aku butuh bantuannya untuk menjadi guide berhubung aku sama sekali ‘buta’ dengan situasi dan kondisi di sini.
Oh ... ya ... aku akan lanjutkan catatan mengenai Bono dan apa yang sedang dihadapinya di Semarang ini. Hhhmmmm ... tempo hari sampai di mana ya?
...
SESAMA, lembaga yang didirikan Bono sebagai wadah pendampingan dan advokasi bagi kaum homoseksual secara terbuka mempublikasikan diri dan melakukan aktivitas-aktivitas demi mencapai tujuan perjuangan mereka.
Langkah yang terburu-buru menurutku ... ya SESAMA terlalu cepat melakukan lompatan dalam ‘bergerak’. Semangat mereka yang terlalu menggebu-gebu untuk berjuang memperoleh pengakuan atas eksistensi dan persamaan hak, pada akhirnya justru menjerumuskan SESAMA –dan tentu saja Bono sebagai pendirinya- ke dalam konflik kepentingan yang kompleks.
Aku memang tidak pernah setuju dengan homoseksualitas! Sama dengan tidak pernah setujunya diriku terhadap euthanasia misalnya. Pandangan teologis dan iman yang aku pergumulkan, telah membentuk pemahamanku sedemikian rupa. Namun, aku –sama seperti pemahaman Bono- sangat sepakat bahwa di luar orientasi seksual kaum homo yang tidak dapat aku terima sebagai sesuatu yang tidak salah, mereka tetaplah manusia yang sama derajatnya dengan manusia lain.
Nah, Bono itu terkenal lincah dalam berorganisasi dan mengimplementasikan konsep-konsep di atas kertas menjadi realita di lapangan semasa kuliahnya dulu. Namun, sepertinya my Bro yang satu ini lupa bahwa yang diorganisirnya waktu itu adalah wadah-wadah yang ‘biasa’, dalam artian wadah dan bentuk perjuangan yang memang ada di kampus-kampus atau dunia intelektual pada umumnya. Sedangkan SESAMA adalah wadah yang ‘unik’ yang jelas memiliki perbedaan dalam pergerakannya, dalam hal ini apalagi jika sudah bersinggungan dengan tatanan pranata sosial yang umum berlaku di Republik ini..
Akhirnya ... Bono yang memang aku kenal sering hanya berorientasi pada jangka pendek, terbawa arus semangat berlebihan. Bono menerapkan gaya-gaya dan langkah-langkah yang biasa dipakainya dalam berorganisasi di kampus sama seperti di SESAMA. Secara ekspresif yang menggebu-gebu, SESAMA melancarkan serangkaian propaganda dan aksi demonstratif demi mencapai tujuan. Berbagai media, mulai dari pamflet dan selebaran, buletin dan jurnal independen, forum-forum diskusi dan seminar, pembuatan web site, sampai pengajuan tuntutan secara terbuka ke pabrik tempat dulu Darma bekerja dilakukan oleh SESAMA secara intensif.
Sebenarnya untuk sebuah lembaga yang baru berdiri dengan sumber daya manusia yang terbatas, aku kagum dengan pergerakan SESAMA. SESAMA melesat bagaikan meteor berkecepatan tinggi sampai pada akhirnya Bono tidak dapat menghentikan lajunya lagi. Pergerakan SESAMA menjadi tidak terkendali. Tanpa kendali yang mengundang bahaya.

“Halo ... Adrian! Apa kabar? Wah kok jadi kamu yang menghubungi duluan ...”
“Ah ... ya ndak apa-apa to Karel ... aku cuma mau memastikan ... kamu sudah sampai di Semarang belum ...”
“Wis ... aku wis tekan Semarang ... hehehe! Aku nginep di Hotel Erlangga ... gimana kamu tahu kalau dari sini ke tempatmu ... jalurnya ke arah mana?”
“Begini saja ... nanti jam sepuluh aku jemput di tempat kamu nginap ... aku tahu kok hotelnya di mana ... itu yang dekat Simpang Lima, bukan”
“Wah jadi ndak enak bodi nih ...! ngerepotin kamu ... gak apa-apa nih ...?”
“Tenang aja lagi! Aku memang sudah mengosongkan semua jadwal hari ini ... sekalian aku mau ajak kamu muter-muter Kota Semarang mumpung kamu ada di sini... ndak usah dipikirin ... santai saja!”
“Oke ... makasih banyak my friend ... see you at ten and God Bless ...”
“Sama-sama ... God Bless you too ...”
“Klik ...”
Aku menghentikan Catatan Harianku ... dan melihat penunjuk waktu yang terpasang di dinding kamar hotel. Terlihat waktu telah menujukkan pukul setengah delapan lebih empat menit. Aku tutup laptop pinjaman dari Albert yang aku bawa dan memutuskan untuk segera mandi.

# # #

“Jadi ... kedatangan kamu ke Semarang ini adalah untuk menelusuri kasus SESAMA ... wah repot juga teman kamu itu ... Bono ya namanya ... dia sebaiknya jangan terlihat lagi di sini ... maaf Karel, aku tidak bermaksud apa-apa ... tapi ...”
“Iya ... aku mengerti kok! Memang Bono sudah setuju untuk tidak tinggal di Semarang lagi ... cuma kedatanganku ke sini dan besok Albert akan menyusulku adalah untuk memastikan situasi di sini berkaitan dengan kasus SESAMA ...”
“O ... begitu! Aku paham maksud kamu ... kalau begitu sebaiknya kamu menemui Pendeta Subrata. Beliau tahu banyak tentang SESAMA, karena Beliau terlibat langsung dengan penyelesaian kasus itu ... sebentar aku buat appoinment dulu ya ...” Adrian beranjak dari bangku tempatnya duduk menuju meja kerjanya dan mengangkat gagang telepon.
Setelah beberapa menit terjadi perbincangan dengan seseorang yang dia hubungi, Adrian menutup gagang telepon. Dirinya kembali ke bangku dan tersenyum.
“Kamu beruntung hari ini Karel! Pendeta Subrata ada di rumah dan bersedia kita temui saat ini juga ... ayo kita langsung meluncur ...”
“Puji Tuhan! Ayo tunggu apa lagi ...”

17032005
19.01 WIB
Bapa yang baik,
Hari ini dengan tanpa kesulitan berarti ... aku mendapat banyak sekali masukan mengenai permasalahan Bono dengan SESAMA-nya. Melalui Adrian ... aku bisa bertemu dengan Pendeta Subrata, atau lebih tepatnya Pendeta Timotius Subrata. Pendeta Subrata termasuk salah satu dari tim yang dibentuk oleh dewan gereja-gereja setempat untuk melakukan pendampingan dan klarifikasi bagi kasus SESAMA. Keberadaan dan aktivitas SESAMA memang pada akhirnya membuat geger besar.
SESAMA sebagai wadah yng ‘tidak lazim’ menurut anggapan orang-orang kebanyakan, akhirnya tidak hanya berhadapan dengan pihak pabrik tempat Darma di-PHK. SESAMA kemudian berhadapan dengan banyak pertentangan. Dan ... kondisi seperti ini yang kurang diperhitungkan oleh Bono. Dia bahkan tidak mengendurkan pergerakan SESAMA menghadapi reaksi keras yang mengemuka.
Berdasarkan penuturan Pendeta Subrata ... laju SESAMA semakin kebablasan dan tidak terkendali. Tanpa disadari, SESAMA menabuh genderang perang terhadap tatanan masyarakat. SESAMA lupa bahwa iklim sosial di sini sangat berbeda dengan liberalisme ala barat. Isu-isu yang mereka kembangkan ... mereka adopsi langsung dari budaya yang sama sekali berbeda. Mulai dari isu kebebasan bagi eksistensi kaum homo, kemudian persamaan hak-hak, sampai kepada memperbolehkan pernikahan sesama jenis. Hal yang terakhir tentu saja menimbulkan reaksi keras dan kegelisahan.
Fenomena SESAMA pada akhirnya berujung pada diobrak-abriknya Kantor Sekretariat SESAMA, dan yang lebih gawat lagi ... adalah terjadi aksi penculikan beberapa anggota SESAMA. Puncaknya adalah ... Darma ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa di Pantai Marina lima hari setelah pengrusakan Kantor Sekretariat SESAMA!
Hal itulah yang membuat Pendeta Subrata dan timnya turun tangan agar geger SESAMA ini tidak melebar ke arah lain. SESAMA dalam bergerak memang melampaui batas ... namun biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang patut dilindungi hak-hak hidupnya. Melalui pendekatan-pendekatan kepada tokoh-tokoh setempat, tim Pendeta Subrata mencoba untuk menciptakan suasana teduh agar korban tidak semakin bertambah. Di samping juga pendekatan kepada pihak berwajib agar segera menuntaskan kasus pembunuhan terhadap Darma.

“Wooiii ... enak ye di hotel! Sampe telepon gak diangkat-angkat ... apa jangan-jangan lagi ngebooking cewek Semarang ... iye Coy ... hahaha!” Suara yang sangat kukenal terdengar di ujung sana.
“Sial ... emangnye gue kayak elo ... yang suka ‘jajan’ sembarangan ...!”
“Hahaha .. eh gue udah di kereta sekarang ... gimana perkembangan hari ini ...?”
“Wah ... mending kalo udah sampe aja gue ceritain ... yang jelas banyak info berharga gue dapet hari ini ...”
“Sip deh ... see you Coy!”
“Oke take care Bro!”
“Klik ...”
Aku jadi tidak berselera lagi dengan Catatan Harianku. Kelelahan akibat berkeliling Kota Semarang seharian tadi baru aku rasakan sekarang. Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat demi memulihkan tenaga.

# # #

“Jadi ... sampe sekarang dua orang anggota SESAMA masih belum ditemukan ... wah gawat juga ye ...” Albert menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirinya agak kaget juga mendengar ceritaku dan Adrian mengenai SESAMA. Dia tidak mengira sampai separah itu.
“Begitulah Albert! ... Tapi sekarang sih sudah mereda karena polisi akhirnya berhasil menangkap para pembunuh Darma dan SESAMA sudah dinyatakan bubar!” Adrian memulai lagi penjelasannya.
“Yah memang sangat disayangkan ... sebenarnya maksud Bono itu baik dan tidak salah, karena memperjuangkan hak-hak dan perlakuan adil bagi kaum homo di luar orientasi seksual mereka yang berbeda itu memang patut dilakukan. Namun, pergerakan yang dilakukan terlalu terburu-buru ... sayangnya!”
“Begitulah ... mungkin ini juga pelajaran bagi kita bahwa dalam memperjuangkan sesuatu ... tentunya perlu memperhatikan situasi dan kondisi ... tidak asal terabas semata!” Aku mencoba mengambil hikmat dari apa yang telah terjadi.
“So ... kesimpulannya ... kasus SESAMA tidak akan berdampak lebih jauh lagi! Maksudnya kekhawatiran Bono bahwa dirinya akan terus diburu sudah tidak akan terjadi lagi, begitu?”
“Yap ... satu permasalahan sudah ada titik terang! Tinggal dua tugas lagi yang perlu dicari titik terangnya ...”

17032005
19.01 WIB
Bapa penuh rahmat,
Syukur kepadaMU bahwa kami dapat menemukan titik terang mengenai keselamatan Bono dan Arini. Satu tahap yang sudah terselesaikan.
Segera setelah pertemuan dengan Adrian, aku dan Albert menghubungi Bono dan tunangannya agar mereka tidak merasa terancam lagi. Agar mereka tidak lagi dibayang-bayangi oleh ketakutan. Namun, demi untuk memastikan kami sepakat bahwa sebaiknya Bono tetap di Bogor dan Arini tetap di tempatku menunggu perkembangan selanjutnya. Di samping juga agar Bono dan Arini dapat mentralisasi suasana batin mereka yang selama ini dicekam perasaan tak menentu akibat geger SESAMA.
Selanjutnya sesuai dengan rencana ... Albert akan bekerjasama dengan kolega-kolega pengacaranya di Semarang dan tentu saja akan dibantu oleh Adrian serta Pendeta Subrata untuk berusaha memperoleh kepastian perlindungan hukum plus pendampingan bagi para ‘mantan’ anggota SESAMA. Tim Pendeta Subrata memang bergelut dengan hal tersebut, karena saat ini ada 7 orang ‘mantan’ anggota SESAMA di bawah perlindungan mereka.
Sementara tugasku ... adalah mencoba mengadakan pendekatan dengan pihak keluarga Arini. Geger SESAMA mengakibatkan geger pula bagi rencana pernikahan Bono-Arini. Pihak keluarga Arini kadung beranggapan bahwa ulah Bono membahayakan keselamatan Arini dan rencana pernikahan harus digagalkan. Hal yang perlu untuk diluruskan. Bono salah dalam melangkah akibat kurang perhitungan serta berakibat membahayakan jiwa Arini, itu memang benar. Namun semua sudah berlalu.
Arini terbukti sangat menyayangi Bono. Menyayangi apa adanya. Menyayangi dalam apapun keadaan Bono. Dia dengan setia mendampingi Bono dalam keadaan yang paling membahayakan sekalipun. Demikian juga dengan Bono, rasa sayangnya pada Arini tidak perlu diragukan lagi. Di samping juga adalah wajar jika pihak keluarga Arini mengedepankan keselamatan putri mereka. D sinilah benang merah perlu diurai agar pintu maaf dan kesempatan bisa dibuka bagi Bono. Agar sepasang belahan jiwa ini tidak terpisahkan.

# # #

“Bono ...! Sebaiknya besok elo jemput Arini en segera berangkat ke Wonosobo ... Pak Wiryo calon mertua udah nunggu elo ...”
“Oke ... akhirnya semua bisa berakhir ... makasih banyak! Gue gak tau kalo gak elo-elo semua”
“Elo berterimakasih sama Yang Di Atas ... Bro! Yang penting jangan diulang lagi kejadian yang udah-udah! Sebenernye ... keluarganya Arini pada dasarnya udah sreg ama elo ... Bon! Cuma kejadian tempo hari bikin shock mereka ...ya wajar aja kalo jadi ngambil sikap buat batalin rencana pernikahan elo berdua ...”
“Iya sih ... gue bisa ngerti ... terus apa lagi sobat?”
“Gitu aja ... gue tunggu kedatangan elo berdua di sini ... gue masih punya waktu dua minggu lagi dari deadline ... oh iya ... salam dari Albert ... dia masih di Semarang! Masih berjibaku sama Adrian plus Pendeta Subrata ... yah sedikit demi sedikit mulai ada perkembangan yang positif ... oke kalo ada kabar lain pasti gue kontak elo ... ati-ati ye di jalan ... see you ...”
“see you too ... thanks a lot”
“Klik ...”
Aku tersenyum setelah menutup pembicaraan dengan Bono. Thanks God! Akhirnya satu-persatu semua permasalahan ini menemui titik terang. Ternyata sebenarnya pihak keluarga Arini sangat berkenan dengan rencana pernikahan mereka berdua. Namun, karena geger SESAMA mereka menjadi takut dan tidak tenang. Sebentuk pemikiran yang logis apalagi Bono tidak terdengar kabar beritanya sampai beberapa hari setelah geger SESAMA meledak. Perasaan cemas akan bahaya yang merembet kepada pihak keluarga Arini menyebabkan mereka mengambil keputusan untuk membatalkan rencana pernikahan. Tapi memang jika Yang Maha Agung punya kehendak ... tak ada satu pun yang dapat mencegahNya. Arini sudah lebih dulu menyertai Bono untuk mengungsi secara nomaden sebelum terlanjur dijemput oleh pihak keluarga. Hanya sepucuk surat yang ditinggalkan Arini kepada keluarganya bahwa ia akan tetap mendampingi sang kekasih walau nyawa yang menjadi taruhannya. Sungguh kesetiaan yang tak dapat diukur dengan wujud materi.
Begitulah.