LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Kamis, 04 Desember 2008

CATATAN PERTAMA edisi kedua

Tiga orang anak muda terlihat duduk terdiam. Hati mereka tengah bergelora dengan pikiran masing-masing. Namun, pancaran kegelisahan yang sangat hanya terlihat di sinar mata seorang saja dari mereka. Sinar mata milik laki-laki berperawakan tegap dengan kulit hitam legam yang mengesankan bahwa dirinya akrab dengan sinar matahari dan debu jalanan. Sinar mata milik Arsabono Kristiawan.
“Anjir! Bono ... elo emang gokil ye! Kegilaan elo itu emang gak pernah ilang rupanya! Anjir ...! Anjir!!” Suara Albert yang memang berpembawaan meledak-ledak memecah kesunyian di kamar kecil berukuran 3x3 meter yang biasa jadi ‘base camp’ kami. Dirinya bangkit bangkit dari duduk.
“Udah! Sekarang mau lo gimana?” Lagi suara Albert menggema di seluruh ruangan kamar. Membuat seisi ruangan tersapu oleh gelegarnya.
“Sabar ... Brur! Kalem sedikit dong ... kita beri kesempatan teman kita ini tenang ...” Aku mencoba meredakan suasana yang mulai sedikit meninggi.
“Oke ... temen-temen! Terus terang gue sekarang ini bingung dan gak tau apa yang sebaiknya gue lakukan ...” Bono menghela napas panjang. Dari semula dirinya tahu reaksi yang bakal terjadi saat ia berniat untuk menceritakan apa yang sedang dihadapinya kepada sahabat-sahabatnya ini. Apalagi reaksi ‘si singa lapar’ Albert. Tapi Bono juga tahu kalau mereka berdualah orang-orang yang paling tepat untuk berbagi di saat dirinya seakan terbentur jalan buntu.
“Emang! Gue udah bisa nebak ... kalo pas mentok aja elo dateng ke kita-kita! Kapan sih elo dateng gak bawa masalah?! ... Elo juga Karel sialan! Pantes lo gak bilang-bilang si tengik ini mau nongol!”
Aku Cuma bisa tersenyum melihat reaksi keras dari Albert. Sobatku satu ini memang seperti kilat dalam merespon hal-hal yang tidak sejalan dengan idealismenya. Di samping aku tahu bahwa letupan-letupan dan umpatan-umpatan yang keluar dari bibir tipisnya itu hanyalah luapan emosi sesaat.
“Woooiii .... Anjir! Diomelin bukannya mikir malah cengengesan!”
“Oke ... oke ...! Gue emang sebel banget ...nget! Dengan apa yang udah lo lakuin ‘Bon! Inget itu!”
“Iya ... Bert! Gue minta maaf banget! Dan kalau kalian berdua memilih untuk tidak ikut campur ... gue bisa terima semua ...” Bono terlihat pasrah dan menerima semua yang terjadi sebagai kesalahannya.
“Udah ... cukup! Gue emang sebel sama elo! Tapi gue juga percaya kalo elo sebenarnya punya niat baik ... cuma, seperti biasa ...sembrono! Gimana Bapak Calon Pendeta kita?”
“Hahaha .... itulah yang gue hormati dari persahabatan kita ini! Kita tahu persis satu sama lain, selalu saling percaya dan siap untuk saling membantu, betul bukan? .... Nah sekarang begini ...” Dan tidak lama berselang, kami bertiga mulai terlibat dalam diskusi serius mencari alternatif-alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk permasalahan yang sedang dihadapi Bono. Kami memang terbiasa seperti ini dalam menyikapi permasalahan yang sedang dialami oleh salah seorang dari kami. Diawali dengan kata-kata umpatan atau letupan-letupan amarah sebagai respon spontan, dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi dari hati ke hati untuk mencari jalan keluar. Yah ... memang harus diakui Bono-lah yang kerap datang dengan membawa permasalahan, karena dia memang terlahir sebagai seorang spekulan sejati. Pola pikirnya terbiasa dengan spekulasi-spekulasi berorientasi jangka pendek yang tidak jarang membawa dampak bahaya bagi dirinya jika perhitungannya meleset sedikit saja. Seperti permasalahan yang sedang dihadapinya sekarang. Permasalahan sebagai buah dari spekulasi sesaat yang kurang memperhitungkan ‘faktor x’ bisa saja menjadi batu sandungan.
“Oke ... Gue bisa cancel semua agenda empat sampe lima minggu ke depan! Urusan klien bisa gue serahin ke asisten-asisten gue ... no problemo!”
“Sip ... deh kalo gitu! Besok kita mulai rencana masing-masing ... dua hari lagi let’s go to Semarang!”
“Eh ... eh ... gak segampang itu my Bro! Elo kudu janji ama gue kalo paling lama satu setengah bulan kita di Semarang ... kelar gak kelar urusan BonBin satu ini ... elo kudu balik kemari! I mean it ... seriously! ...” Nada suara Albert terdengar pelan namun tajam sekali kali ini. Tanda bahwa dia bersungguh-sungguh serius dengan ucapannya barusam.
“Iye ... gak apa-apa kok ... kalo emang urusan kalian gak bisa ditinggal lama ...” Bono mencoba bersikap sumarah agar tidak merepotkan kedua sahabatnya itu.
“STOP ....! Gue gak butuh pendapat elo ... gimana Bapak Calon Pendeta?”
“It’s a deal! Gue ngerti maksud elo ... supaya gue ngejalanin Masa Orientasi gue buat jadi Vikaris ... begitu kan?”
“Tepat ... ! Penyakit lo yang suka gak tegaan itu kudu elo stop dari sekarang! En ... BonBin! Elo gak usah kuatir ... gue bukan orang yang bisa diem aje ngeliat temen susah! Gue pasti nemenin elo sampe semua bullshit ini selesai ... oke Bro!” Albert mengedipkan matanya kepada Bono. Begitulah cara sang laki-laki berdarah Cina-Jawa namun besar di Tanah Pasundan ini dalam bersikap. Laki-laki yang kesetiakawanannya tidak pernah aku ragukan sedikitpun. Laki-laki keras yang meledak-ledak, namun di balik itu tersimpan ketulusan perhatian dan empati sangat dalam di sanubarinya.
“Thanks guys!” Bono tersenyum dan menatap haru kepadaku dan Albert. Ada kilatan-kilatan bening di kedua matanya.
“Oke ... sekarang urusan gue ... ! Kita doa bareng ...”
“Siap ... Pak Pendeta! Hehehe .... sini Bon ...”

# # #
14032005
04.50 WIB
“Maksud Baik Belum Tentu
Dapat Diterima dengan Baik”

Begitulah kira-kira kalimat yang dapat menggambarkan apa yang tengah terjadi dengan Bono. Dirinya terperangkap antara dua sisi yang tidak jarang saling berhadap-hadapan, menjadi lawan tanding dalam pergolakan batiniah. Sisi ketulusan dan idealisme yang ada dalam sosok Bono, kini dengan berbenturan dengan tatanan pranata masyarakat. Aku tahu tidak ada sama sekali niat-niat tersembunyi dibalik apa yang dirintisnya selain untuk mencoba mengangkat orang-orang atau kaum yang boleh dikatakan dipinggirkan oleh aturan-aturan sosial.
Namun, jiwa spekulan yang kadung melekat pada diri Bono dan berujung pada kenekatan, membuat Bono terus melaju mewujudkan kehendak. Bermula dari empatinya pada rekan barunya yang tinggal di sebelah rumah kontrakan. Rekan baru yang memiliki keunikan tersendiri. Keunikan yang bagi sebagian besar orang merupakan bahan ejekan atau bahkan dianggap sebuah aib.
Rekan Baru bernama Darmawan. Rekan baru dengan orientasi seksual berbeda dengan sebagian besar orang kebanyakan. Rekan baru yang berorientasi seksual dengan pasangan sejenis alias homoseksual.
Bono tersentuh mendengar pengalaman hidup sang rekan baru yang lebih banyak pahit daripada manisnya, berkaitan dengan statusnya sebagai ‘homo’. Apalagi ketika didapati bahwa Darmawan di-PHK dari pabrik tempatnya bekerja karena alasan kehomoannya. Pihak pabrik beranggapan kalau keberadaan Darma, begitu ia biasa dipanggil, setelah terkuak bahwa dirinya homo sangat meresahkan karyawan-karyawan lain yang memang sebagian besar adalah laki-laki. Keresahan yang berdampak pada kinerja pabrik. Keresahan yang merugikan pabrik secara ekonomis. Maka keberadaan Darma merugikan pabrik
Bono, my Bro ...
Aku kenal seorang Arsabono Kristiawan adalah orang yang tidak bisa diam melihat ketidakadilan terjadi di depan matanya. Begitu juga dalam kasus Darma. Menurutnya harus ada yang mau memperjuangkan hak-hak Darma dan orang-orang seperti Darma, ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Segera naluri ‘aktivis kampus’ Bono bangkit.
Bono beranggapan bahwa hanya dengan mengorganisir dirilah, Darma dan teman-teman homonya dapat memperjuangkan hak-hak mereka dan keluar dari lubang ketidakadilan. Kemudian, Bono menghimpun 15 orang kaum gay, termasuk Darma, serta 7 orang kaum lesbi dan mengorganisir mereka dalam sebuah wadah bernama SESAMA.
SESAMA atau SEtia SAmpai MAti awalnya bertujuan untuk melakukan kritisi bagi perlakuan tidak adil kaum homoseksual, dan memperjuangkan persamaan hak-hak mereka di tengah kehidupan bermasyarakat. Atau dengan bahasa humanis, SESAMA berjuang demi memanusiakan manusia homoseksual.
Hany

“Aaaaddduuhhhhhh ....! Leher gue kenapa nih!?” Aku menghentikan aktivitas di depan layar komputer. Tubuhku aku sandarkan ke tembok sambil tangan kananku memegangi leher bagian belakang yang terasa sakit.
“Waduh ... demam plus keringat dingin itu dateng lagi ... lebih baik aku sudahi dulu hari ini ... Oh God! Ada apa ini ...?”

# # #

Tidak ada komentar: