LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Jumat, 05 Desember 2008

CATATAN PERTAMA edisi ketiga

“Albert ... Karel ...! Ini kenalin Arini, tunangan gue! Dik ... ini Mas Albert dan Mas Karel ... sahabat-sahabat Mas Bon yang selalu setia ...”
“Oh ... saya Arini ... Mas !” Secercah senyum tersungging di bibir Arini. Seorang gadis cantik sebenarnya. Namun aura beban yang kuat nampak bertengger di pancaran wajah beningnya.
“Albert ...!”
“Karel ...!”
“Oke ... BonBin gimana kita tetap sesuai sama planning kan? Atau ada rencana lain yang mungkin lebih baik dari yang udah kita diskusiin ...?”
“Nggak Bert ... gue gak ada ide lain ... kalo elo gimana ...?”
“Sama ... sementara ini kita jalanin dulu aja rencana semula ... tar kalo ada perubahan or perkembangan ... kita rembug lagi oke ...”
“Sip ... Coy!” Albert mengacungkan jari jempolnya tanda menyetujui kesepakatan yang ditawarkan olehku.
“Begini ... Arini! Mas Bono pasti sudah cerita kan? Untuk sementara demi keselamatan kamu, sebaiknya kamu tinggal di tempatku ... nanti bisa tidur sama-sama adikku si Riska. Nah, Mas Bono untuk sementara juga akan bersembunyi di tempat Om Kim, pamannya Albert di Bogor. Gimana kamu setuju kan?”
“Saya pasrah saja sama Mas Karel dan Mas Albert ... saya percaya Mas-Mas berdua pasti akan membantu dengan sepenuh hati ... tapi sebelumnya saya minta maaf telah merepotkan semua ...” Mata sang gadis cantik berkulit kuning langsat itu basah oleh bulir-bulir bening. Bulir-bulir bening berupa air mata sebagai tanda keharuan.
“Jangan dipikirkan ... tenang saja ... ya kan Bro?” Albert tersenyum dan melirik padaku.
“Yap ... dan sebagai alat komunikasi ... Albert sudah membelikan HP beserta nomor baru buat kalian berdua. Hanya kita berempat plus Bunda yang tahu nomor-nomor ini ... “ Aku menyerahkan Hand Phone berikut starter pack nomor Hand Phone kepada Arini dan Bono.
“Ris ... Riska ... ke sini sebentar dong!”
“Ris ... ini Arini yang Kakak ceritakan tempo hari ... Arini ini Riska, adik saya satu-satunya!” Aku memperkenalkan Arini kepada Riska, bakal teman sekamarnya dalam beberapa hari ini.
“Riska! Wah ... Mas Bono pinter ya milih calon istri! Kak Karel dan Kang Albert harusnya belajar dari Mas Bono ...hihihi!”
“Bisa aja kamu Ris ...” Bono tersenyum sumringah.
“Arini ... kamu jangan sungkan-sungkan ya dengan Riska ... kalau ada apa-apa ngomong aja! Cuma jangan kaget ... Si Riska ini super jahil dan bawel ... hehehe!”
‘Ih ... Kak Karel mosok sama adik sendiri tega bener!” Riska segera mencubit lenganku dan merajuk manja menggandeng tanganku.
“Hehehe ... oh iya ... Bunda sedang ke Mangga Dua sekarang! Nanti kalau Bunda pulang aku kenalkan sama beliau ... nah Riska sekarang kamu antar Mbak Arini ini ke kamar sana! Biar dia bisa istirahat ...!”
“Oke Bos! Ayo Mbak ... kita ke atas!” Riska menggamit tangan Arini dan mengajaknya masuk ke dalam.
“Dik ... sini biar tasnya aku bawa ...” Bono segera mengambil travel bag besar kepunyaan sang tunangan terkasih dan menyertai masuk ke dalam.

# # #

17032005
06.32 WIB
Bapa,
Terima kasih atas segala penyertaanMU!
Tahapan awal rencana kami bertiga dapat berjalan dengan lancar. Bono sekarang sudah di Bogor, sementara Arini tinggal di tempatku.
Aku baru saja tiba di Semarang dini hari tadi dan Albert akan menyusulku keesokan harinya. Wah ... ternyata aktivitas di Kota Atlas ini tidak kalah dengan di Jakarta. Pagi-pagi benar sebelum matahari menampakkan cahayanya, warga kota Semarang sudah banyak yang bergeliat memulai hari yang baru.
Seperti yang disarankan Bono, setelah check in di sebuah hotel melati yang letaknya dekat dengan Kawasan Simpang Lima ... aku langsung bergegas menuju ke sana. Sebuah kawasan yang merupakan Pusat Kota Semarang. Di sana aku langsung menuju tempat yang menjual nasi liwet. Menu yang sudah aku prioritaskan sebagai sarapan pagiku begitu pertama kali menginjakkan kaki di Semarang. Itu juga atas petunjuk Bono agar aku mencoba nasi liwet khas Simpang Lima.
Dan ternyata memang benar ... nasi liwet yang mak nyos ... hehehe.
Jadwal pertamaku hari ini adalah menghubungi Adrian –teman semasa kuliah- yang sekarang menjadi Pembina Rohani sebuah lembaga pelayanan mahasiswa Kristen se-Kota Semarang. Aku butuh bantuannya untuk menjadi guide berhubung aku sama sekali ‘buta’ dengan situasi dan kondisi di sini.
Oh ... ya ... aku akan lanjutkan catatan mengenai Bono dan apa yang sedang dihadapinya di Semarang ini. Hhhmmmm ... tempo hari sampai di mana ya?
...
SESAMA, lembaga yang didirikan Bono sebagai wadah pendampingan dan advokasi bagi kaum homoseksual secara terbuka mempublikasikan diri dan melakukan aktivitas-aktivitas demi mencapai tujuan perjuangan mereka.
Langkah yang terburu-buru menurutku ... ya SESAMA terlalu cepat melakukan lompatan dalam ‘bergerak’. Semangat mereka yang terlalu menggebu-gebu untuk berjuang memperoleh pengakuan atas eksistensi dan persamaan hak, pada akhirnya justru menjerumuskan SESAMA –dan tentu saja Bono sebagai pendirinya- ke dalam konflik kepentingan yang kompleks.
Aku memang tidak pernah setuju dengan homoseksualitas! Sama dengan tidak pernah setujunya diriku terhadap euthanasia misalnya. Pandangan teologis dan iman yang aku pergumulkan, telah membentuk pemahamanku sedemikian rupa. Namun, aku –sama seperti pemahaman Bono- sangat sepakat bahwa di luar orientasi seksual kaum homo yang tidak dapat aku terima sebagai sesuatu yang tidak salah, mereka tetaplah manusia yang sama derajatnya dengan manusia lain.
Nah, Bono itu terkenal lincah dalam berorganisasi dan mengimplementasikan konsep-konsep di atas kertas menjadi realita di lapangan semasa kuliahnya dulu. Namun, sepertinya my Bro yang satu ini lupa bahwa yang diorganisirnya waktu itu adalah wadah-wadah yang ‘biasa’, dalam artian wadah dan bentuk perjuangan yang memang ada di kampus-kampus atau dunia intelektual pada umumnya. Sedangkan SESAMA adalah wadah yang ‘unik’ yang jelas memiliki perbedaan dalam pergerakannya, dalam hal ini apalagi jika sudah bersinggungan dengan tatanan pranata sosial yang umum berlaku di Republik ini..
Akhirnya ... Bono yang memang aku kenal sering hanya berorientasi pada jangka pendek, terbawa arus semangat berlebihan. Bono menerapkan gaya-gaya dan langkah-langkah yang biasa dipakainya dalam berorganisasi di kampus sama seperti di SESAMA. Secara ekspresif yang menggebu-gebu, SESAMA melancarkan serangkaian propaganda dan aksi demonstratif demi mencapai tujuan. Berbagai media, mulai dari pamflet dan selebaran, buletin dan jurnal independen, forum-forum diskusi dan seminar, pembuatan web site, sampai pengajuan tuntutan secara terbuka ke pabrik tempat dulu Darma bekerja dilakukan oleh SESAMA secara intensif.
Sebenarnya untuk sebuah lembaga yang baru berdiri dengan sumber daya manusia yang terbatas, aku kagum dengan pergerakan SESAMA. SESAMA melesat bagaikan meteor berkecepatan tinggi sampai pada akhirnya Bono tidak dapat menghentikan lajunya lagi. Pergerakan SESAMA menjadi tidak terkendali. Tanpa kendali yang mengundang bahaya.

“Halo ... Adrian! Apa kabar? Wah kok jadi kamu yang menghubungi duluan ...”
“Ah ... ya ndak apa-apa to Karel ... aku cuma mau memastikan ... kamu sudah sampai di Semarang belum ...”
“Wis ... aku wis tekan Semarang ... hehehe! Aku nginep di Hotel Erlangga ... gimana kamu tahu kalau dari sini ke tempatmu ... jalurnya ke arah mana?”
“Begini saja ... nanti jam sepuluh aku jemput di tempat kamu nginap ... aku tahu kok hotelnya di mana ... itu yang dekat Simpang Lima, bukan”
“Wah jadi ndak enak bodi nih ...! ngerepotin kamu ... gak apa-apa nih ...?”
“Tenang aja lagi! Aku memang sudah mengosongkan semua jadwal hari ini ... sekalian aku mau ajak kamu muter-muter Kota Semarang mumpung kamu ada di sini... ndak usah dipikirin ... santai saja!”
“Oke ... makasih banyak my friend ... see you at ten and God Bless ...”
“Sama-sama ... God Bless you too ...”
“Klik ...”
Aku menghentikan Catatan Harianku ... dan melihat penunjuk waktu yang terpasang di dinding kamar hotel. Terlihat waktu telah menujukkan pukul setengah delapan lebih empat menit. Aku tutup laptop pinjaman dari Albert yang aku bawa dan memutuskan untuk segera mandi.

# # #

“Jadi ... kedatangan kamu ke Semarang ini adalah untuk menelusuri kasus SESAMA ... wah repot juga teman kamu itu ... Bono ya namanya ... dia sebaiknya jangan terlihat lagi di sini ... maaf Karel, aku tidak bermaksud apa-apa ... tapi ...”
“Iya ... aku mengerti kok! Memang Bono sudah setuju untuk tidak tinggal di Semarang lagi ... cuma kedatanganku ke sini dan besok Albert akan menyusulku adalah untuk memastikan situasi di sini berkaitan dengan kasus SESAMA ...”
“O ... begitu! Aku paham maksud kamu ... kalau begitu sebaiknya kamu menemui Pendeta Subrata. Beliau tahu banyak tentang SESAMA, karena Beliau terlibat langsung dengan penyelesaian kasus itu ... sebentar aku buat appoinment dulu ya ...” Adrian beranjak dari bangku tempatnya duduk menuju meja kerjanya dan mengangkat gagang telepon.
Setelah beberapa menit terjadi perbincangan dengan seseorang yang dia hubungi, Adrian menutup gagang telepon. Dirinya kembali ke bangku dan tersenyum.
“Kamu beruntung hari ini Karel! Pendeta Subrata ada di rumah dan bersedia kita temui saat ini juga ... ayo kita langsung meluncur ...”
“Puji Tuhan! Ayo tunggu apa lagi ...”

17032005
19.01 WIB
Bapa yang baik,
Hari ini dengan tanpa kesulitan berarti ... aku mendapat banyak sekali masukan mengenai permasalahan Bono dengan SESAMA-nya. Melalui Adrian ... aku bisa bertemu dengan Pendeta Subrata, atau lebih tepatnya Pendeta Timotius Subrata. Pendeta Subrata termasuk salah satu dari tim yang dibentuk oleh dewan gereja-gereja setempat untuk melakukan pendampingan dan klarifikasi bagi kasus SESAMA. Keberadaan dan aktivitas SESAMA memang pada akhirnya membuat geger besar.
SESAMA sebagai wadah yng ‘tidak lazim’ menurut anggapan orang-orang kebanyakan, akhirnya tidak hanya berhadapan dengan pihak pabrik tempat Darma di-PHK. SESAMA kemudian berhadapan dengan banyak pertentangan. Dan ... kondisi seperti ini yang kurang diperhitungkan oleh Bono. Dia bahkan tidak mengendurkan pergerakan SESAMA menghadapi reaksi keras yang mengemuka.
Berdasarkan penuturan Pendeta Subrata ... laju SESAMA semakin kebablasan dan tidak terkendali. Tanpa disadari, SESAMA menabuh genderang perang terhadap tatanan masyarakat. SESAMA lupa bahwa iklim sosial di sini sangat berbeda dengan liberalisme ala barat. Isu-isu yang mereka kembangkan ... mereka adopsi langsung dari budaya yang sama sekali berbeda. Mulai dari isu kebebasan bagi eksistensi kaum homo, kemudian persamaan hak-hak, sampai kepada memperbolehkan pernikahan sesama jenis. Hal yang terakhir tentu saja menimbulkan reaksi keras dan kegelisahan.
Fenomena SESAMA pada akhirnya berujung pada diobrak-abriknya Kantor Sekretariat SESAMA, dan yang lebih gawat lagi ... adalah terjadi aksi penculikan beberapa anggota SESAMA. Puncaknya adalah ... Darma ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa di Pantai Marina lima hari setelah pengrusakan Kantor Sekretariat SESAMA!
Hal itulah yang membuat Pendeta Subrata dan timnya turun tangan agar geger SESAMA ini tidak melebar ke arah lain. SESAMA dalam bergerak memang melampaui batas ... namun biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang patut dilindungi hak-hak hidupnya. Melalui pendekatan-pendekatan kepada tokoh-tokoh setempat, tim Pendeta Subrata mencoba untuk menciptakan suasana teduh agar korban tidak semakin bertambah. Di samping juga pendekatan kepada pihak berwajib agar segera menuntaskan kasus pembunuhan terhadap Darma.

“Wooiii ... enak ye di hotel! Sampe telepon gak diangkat-angkat ... apa jangan-jangan lagi ngebooking cewek Semarang ... iye Coy ... hahaha!” Suara yang sangat kukenal terdengar di ujung sana.
“Sial ... emangnye gue kayak elo ... yang suka ‘jajan’ sembarangan ...!”
“Hahaha .. eh gue udah di kereta sekarang ... gimana perkembangan hari ini ...?”
“Wah ... mending kalo udah sampe aja gue ceritain ... yang jelas banyak info berharga gue dapet hari ini ...”
“Sip deh ... see you Coy!”
“Oke take care Bro!”
“Klik ...”
Aku jadi tidak berselera lagi dengan Catatan Harianku. Kelelahan akibat berkeliling Kota Semarang seharian tadi baru aku rasakan sekarang. Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat demi memulihkan tenaga.

# # #

“Jadi ... sampe sekarang dua orang anggota SESAMA masih belum ditemukan ... wah gawat juga ye ...” Albert menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirinya agak kaget juga mendengar ceritaku dan Adrian mengenai SESAMA. Dia tidak mengira sampai separah itu.
“Begitulah Albert! ... Tapi sekarang sih sudah mereda karena polisi akhirnya berhasil menangkap para pembunuh Darma dan SESAMA sudah dinyatakan bubar!” Adrian memulai lagi penjelasannya.
“Yah memang sangat disayangkan ... sebenarnya maksud Bono itu baik dan tidak salah, karena memperjuangkan hak-hak dan perlakuan adil bagi kaum homo di luar orientasi seksual mereka yang berbeda itu memang patut dilakukan. Namun, pergerakan yang dilakukan terlalu terburu-buru ... sayangnya!”
“Begitulah ... mungkin ini juga pelajaran bagi kita bahwa dalam memperjuangkan sesuatu ... tentunya perlu memperhatikan situasi dan kondisi ... tidak asal terabas semata!” Aku mencoba mengambil hikmat dari apa yang telah terjadi.
“So ... kesimpulannya ... kasus SESAMA tidak akan berdampak lebih jauh lagi! Maksudnya kekhawatiran Bono bahwa dirinya akan terus diburu sudah tidak akan terjadi lagi, begitu?”
“Yap ... satu permasalahan sudah ada titik terang! Tinggal dua tugas lagi yang perlu dicari titik terangnya ...”

17032005
19.01 WIB
Bapa penuh rahmat,
Syukur kepadaMU bahwa kami dapat menemukan titik terang mengenai keselamatan Bono dan Arini. Satu tahap yang sudah terselesaikan.
Segera setelah pertemuan dengan Adrian, aku dan Albert menghubungi Bono dan tunangannya agar mereka tidak merasa terancam lagi. Agar mereka tidak lagi dibayang-bayangi oleh ketakutan. Namun, demi untuk memastikan kami sepakat bahwa sebaiknya Bono tetap di Bogor dan Arini tetap di tempatku menunggu perkembangan selanjutnya. Di samping juga agar Bono dan Arini dapat mentralisasi suasana batin mereka yang selama ini dicekam perasaan tak menentu akibat geger SESAMA.
Selanjutnya sesuai dengan rencana ... Albert akan bekerjasama dengan kolega-kolega pengacaranya di Semarang dan tentu saja akan dibantu oleh Adrian serta Pendeta Subrata untuk berusaha memperoleh kepastian perlindungan hukum plus pendampingan bagi para ‘mantan’ anggota SESAMA. Tim Pendeta Subrata memang bergelut dengan hal tersebut, karena saat ini ada 7 orang ‘mantan’ anggota SESAMA di bawah perlindungan mereka.
Sementara tugasku ... adalah mencoba mengadakan pendekatan dengan pihak keluarga Arini. Geger SESAMA mengakibatkan geger pula bagi rencana pernikahan Bono-Arini. Pihak keluarga Arini kadung beranggapan bahwa ulah Bono membahayakan keselamatan Arini dan rencana pernikahan harus digagalkan. Hal yang perlu untuk diluruskan. Bono salah dalam melangkah akibat kurang perhitungan serta berakibat membahayakan jiwa Arini, itu memang benar. Namun semua sudah berlalu.
Arini terbukti sangat menyayangi Bono. Menyayangi apa adanya. Menyayangi dalam apapun keadaan Bono. Dia dengan setia mendampingi Bono dalam keadaan yang paling membahayakan sekalipun. Demikian juga dengan Bono, rasa sayangnya pada Arini tidak perlu diragukan lagi. Di samping juga adalah wajar jika pihak keluarga Arini mengedepankan keselamatan putri mereka. D sinilah benang merah perlu diurai agar pintu maaf dan kesempatan bisa dibuka bagi Bono. Agar sepasang belahan jiwa ini tidak terpisahkan.

# # #

“Bono ...! Sebaiknya besok elo jemput Arini en segera berangkat ke Wonosobo ... Pak Wiryo calon mertua udah nunggu elo ...”
“Oke ... akhirnya semua bisa berakhir ... makasih banyak! Gue gak tau kalo gak elo-elo semua”
“Elo berterimakasih sama Yang Di Atas ... Bro! Yang penting jangan diulang lagi kejadian yang udah-udah! Sebenernye ... keluarganya Arini pada dasarnya udah sreg ama elo ... Bon! Cuma kejadian tempo hari bikin shock mereka ...ya wajar aja kalo jadi ngambil sikap buat batalin rencana pernikahan elo berdua ...”
“Iya sih ... gue bisa ngerti ... terus apa lagi sobat?”
“Gitu aja ... gue tunggu kedatangan elo berdua di sini ... gue masih punya waktu dua minggu lagi dari deadline ... oh iya ... salam dari Albert ... dia masih di Semarang! Masih berjibaku sama Adrian plus Pendeta Subrata ... yah sedikit demi sedikit mulai ada perkembangan yang positif ... oke kalo ada kabar lain pasti gue kontak elo ... ati-ati ye di jalan ... see you ...”
“see you too ... thanks a lot”
“Klik ...”
Aku tersenyum setelah menutup pembicaraan dengan Bono. Thanks God! Akhirnya satu-persatu semua permasalahan ini menemui titik terang. Ternyata sebenarnya pihak keluarga Arini sangat berkenan dengan rencana pernikahan mereka berdua. Namun, karena geger SESAMA mereka menjadi takut dan tidak tenang. Sebentuk pemikiran yang logis apalagi Bono tidak terdengar kabar beritanya sampai beberapa hari setelah geger SESAMA meledak. Perasaan cemas akan bahaya yang merembet kepada pihak keluarga Arini menyebabkan mereka mengambil keputusan untuk membatalkan rencana pernikahan. Tapi memang jika Yang Maha Agung punya kehendak ... tak ada satu pun yang dapat mencegahNya. Arini sudah lebih dulu menyertai Bono untuk mengungsi secara nomaden sebelum terlanjur dijemput oleh pihak keluarga. Hanya sepucuk surat yang ditinggalkan Arini kepada keluarganya bahwa ia akan tetap mendampingi sang kekasih walau nyawa yang menjadi taruhannya. Sungguh kesetiaan yang tak dapat diukur dengan wujud materi.
Begitulah.

Tidak ada komentar: