LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Senin, 15 Desember 2008

CATATAN KETIGA edisi 2

“Bun ... Bunda yang sabar ya! Kita pasti bisa melewati semua ini ... yakin aja!”
“Iya ... Albert! Bunda percaya akan pertolongan Tuhan yang tidak pernah terlambat datangnya! ... makasih ya sudah mau repot-repot ngurusin Karel!”
“Bun ... jangan dipikirin! Albert kan anak Bunda juga ... hehehe!” Ada senyuman di bibir Albert. Terlihat begitu dewasa sekali Albert saat ini.
“Albert ...” Suara Bunda tertahan. Dirinya sudah tak dapat lagi menahan air mata dan rasa terharu yang ada. Dan hanya isak tangislah yang melanjutkan kata-kata Bunda. Kata-kata tak terucap, namun cukup jelas apa yang makna yang tersirat.
“Bunda juga kalo ada apa-apa ... jangan sungkan-sungkan ya cerita ke Albert! Kalau memang diijinkan ... untuk sementara Albert akan tinggal di sini dan Albert sudah minta cuti seminggu ini dari kantor ...”
“Bener Kang ... Akang mau tinggal di sini buat nemenin kita?” Suara Riska terdengar penuh pengharapan.
“Bener ... setelah apa yang kita temukan di kamar kakakmu ... Akang pikir kita perlu untuk bersama-sama mendampingi Karel sebelum semuanya menjadi lebih buruk lagi ...” Albert menunjukkan barang-barang yang ditemukan olehnya di kamarku. Barang-barang berupa helai-helai daun beserta kertas halus, dan butir-butir kecil obat penenang. Albert sebenarnya tak habis pikir darimana aku mendapatkan semua barang-barang ‘surga dunia’ ini. Karel yang dikenalnya sama sekali tidak akrab dengan barang-barang ‘setan’ yang dipegangnya, paling-paling aku hanya pernah mencicipi pahitnya bir. Itu pun bisa dihitung dengan jari.
Albert yang justru sangat kenal dengan barang-barang itu, karena ia dulu mantan ‘teman dekat’ mereka, tahu akan bahaya besar yang terjadi jika dibiarkan apalagi dengan kondisiku sekarang. Kondisi dengan kekebalan tubuh yang sangat rentan. Dan ia merasa gelisah sekali. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mendampingiku agar tidak terjadi hal-hal buruk.
“Bun ... menurut Albert! Sebaiknya kita secara intensif mendampingi Karel! Saya tahu Karel bukan orang yang begitu saja gampang menyerah ... hanya mungkin saat ini dia perlu untuk terus dikuatkan ...”
“Iya Albert ... memang nampaknya begitu! Dan Bunda merasa bersyukur sekali masih ada orang yang mau mengerti ... setelah semua famili lebih memilih untuk menjauh karena berpikir AIDS itu adalah aib!”
“Bunda tenang saja ... Albert pasti bantu sampai semuanya beres ...”
“Makasih ya Albert ...”
“Makasih ya Kang ... Akang memang sahabat sejati!”

# # #

ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dapat menghadapi akibat fatal dari penyakitnya, jika dibekali dengan lebih banyak informasi. Semakin banyak informasi yang diberikan akan semakin baik. Dukungan orang-orang terdekat serta perawatan medis yang baik dari semenjak tahap awal penyakit terdeteksi, akan lebih berhasil untuk menangani infeksi terhadap penyakit oportunistik.
Obat Antiretroviral yang sekarang semakin terjangkau dari segi harga dapat memperlambat kecepatan penggandaan HIV; di samping obat lain yang dapat mencegah atau mengobati infeksi oportunistik yang disebabkan HIV.
PENTING UNTUK DIPERHATIKAN!
• HIV hanya dapat hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya mampu bertahan beberapa jam saja di luar tubuh manusia.
• HIV tidak dapat menular melalui air ludah, air mata, muntahan, kotoran manusia, dan air kencing, walaupun jumlah virus yang sangat kecil terdapat di caira ini.
• HIV tidak ditemukan di CAIRAN KERINGAT.
• HIV tidak dapat menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan dengan orang yang terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh ODHA; penggunaan bersama peralatan makan atau minum dan peralatan/barang-barang lainnya tidak akan menularkan HIV; demikian juga penggunaan bersama toilet atau kamar mandi secara bergantian.
• Perawatan seseorang dengan HIV tidak membawa resiko apabila tindakan pencegahan dilakukan, seperti membuang jarum suntik secara aman dan menutupi luka.

Aku membaca tulisan besar-besar yang terpampang di pintu kamarku. Dari bentuk huruf-huruf yang tertulis menggunakan spidol ini, aku bisa segera tahu siapa orang yang telah menulis dan memasangnya!
“Wooii ... Coy! Udah bangun lo! Sana buruan mandi ... gue mo ajak elo jalan-jalan! Udah berhari-hari elo ngedekem di kamar sempit begini! Gak kangen ama dunia luar?” Albert masuk ke dalam kamar sobatnya itu. Tangannya masih menggosok-gosokkan handuk ke kepalanya.
“Elo yang masang pengumuman gede ini ... ? Eh ... itu kan anduk gue ... elo gak takut ketularan ...”
“Coy ... liat tuh poin kedua dari bawah ... !”

# # #

“Elo itu sebenarnya mau ngajak gue kemana sih ...? Kok dari tadi muter-muter aja gak ada juntrungannye ... udah deh gue lagi gak mood buat becanda ...!”
“Hehehe ... oke ... oke ... kalem sedikit Boy! Sebentar lagi kita sampe tempat tujuan pertama ... sabar dikit ye ...” Tidak berapa lama kemudian mobil Albert tiba di pelataran parkir sebuah bangunan besar yang sangat aku kenal.
“Heh ... ngapain lo ngajak gue kemari ... gue lagi gak pengen berdoa tau ...!” Aku sama sekali tidak menyangka Albert akan membawaku ke tempat ini. Tempat di mana biasanya aku menyendiri untuk sesaat menenangkan pikiran kala dilanda permasalahan.
“Karel ... elo inget terakhir kali lo ngajak gue ke sini?” Albert tidak mempedulikan perkataanku. Dia justru memarkir mobilnya di halaman parkir tepat di bawah sebuah pohon rindang.
“Udah ... to the point aja ... apa maksud lo ngajak kemari ...?”
“Karel ... terakhir lo ngajak gue kemari adalah saat yang paling menyentuh hidup gue! Terserah elo mau anggap ini cuma sekadar basa-basi or penghiburan ... gue gak peduli!” Albert berkata dengan pelan namun penuh keseriusan dalam setiap kata yang mengalir.
“Mulai saat itulah gue jadi bisa ninggalin barang-barang yang justru sekarang lagi elo akrabin! Semua emang hak elo buat ngelakuin apa yang elo mau ... gue cuma mau ngingetin aja apa yang elo bilang ke gue waktu itu ...” Albert menarik napas sebentar sebelum melanjutkan pembicaraannya. Sementara aku terdiam dengan tatapan lurus ke depan. Pikiranku melayang entah berada di mana.
“Elo bilang kalo pelarian gue ke minuman en cimeng dan sejenisnya karena ditinggal kawin Della tempo hari ... itu ibarat gue naek mobil dan cuma muter-muter aja sama kekecewaan dan kesedihan gue! Gue nenggak minuman ... ngisep lintingan ... ngobat ... itu ibarat berhenti sebentar ... terus jalan buat muter-muter lagi!”
“Alias semua gak ada gunanya ... gak MECAHIN MASALAH!”
“Tapi yang gue adepin sekarang laen ...”
“Ya emang beda ... bahkan mungkin penyakit yang elo derita sekarang jauh lebih berat ... tapi ada kesamaannya ... elo sekarang juga lagi muter-muter kayak gue dulu ...!” Tajam sekali perkataan Albert yang terakhir ini. Dia sangat serius kali ini.
“Jadi elo sekarang balikin apa yang pernah gue nasehatin ke elo dulu ... begitu?”
“Terserah ...! It’s up to you ...! Satu yang pasti gue gak pengen liat temen gue yang lagi down jadi ancur sia-sia ... itu aja! Dan gue gak peduli ... elo mau suka apa gak suka ... gue tetep ngejalanin apa yang kudu gue jalanin ...”
“One more thing ... dengan kena AIDS kayak sekarang ... bukan berarti hidup lo TAMAT! Lo renungin dalam-dalam tulisan gue di pintu kamar lo ...”
Aku tidak bisa berkata-kata lagi mendengar kata demi kata yang meluncur dari bibir Albert. Kata-kata yang menghujam tepat di dalam hatiku. Albert juga tidak lagi meneruskan kata-katanya, bukan karena kehabisan kata. Seorang pengacara seperti Albert tentu tidak akan menemui banyak kesulitan untuk mengeluarkan jutaan kata-kata ceramah padaku. Tapi, nampaknya Albert sengaja membiarkan aku tenggelam dalam alam pikiranku. Alam pikiran yang penuh dengan tumpang tindihnya berbagai pertanyaan.
Albert juga tahu bahwa semakin banyak kata yang keluar, justru akan semakin membuat diriku terperosok ke dalam lubang kekecewaan. Lubang yang akan menyeretku ke dalam kehancuran hingga tak bersisa harapan sedikitpun!
“Gue mau masuk ke dalam ... terserah elo mau ikut apa nggak ...” Albert keluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke dalam bangunan besar itu, dirinya tak mempedulikan aku yang masih diam terpaku di dalam mobil. Bangunan yang adalah sebuah tempat ‘Persekutuan Orang Percaya’. Bangunan dengan arsitektur agung buatan kaum penjajah bangsa kita tempo dulu.
“Tuhan ... saya memang orang yang jarang berdoa apalagi ikut Kebaktian Minggu. Saya mungkin adalah orang yang paling gak sopan dalam menghadap kepadaMU ... seperti yang saya lakukan barusan ... mungkin Kamu akan berkata :’Albert ... Albert ... siapakah kamu itu? Sudah jarang berbakti ... eh ... berani-beraninya kamu membentak-bentak Saya ... marah-marah ... memaki-maki’. Ampuni saya ya Tuhan!” Albert tertunduk lemas. Ada penyerahan begitu mendalam di dalam ucapannya yang sedikit tertahan itu.
“Tuhan ... kalau boleh saya memohon ... tolong Kau turunkan kuasaMu ... agar sahabat saya Karel yang saat ini sedang kehilangan pegangan Engkau tuntun ... Engkau kuatkan dia dalam kehancurannya sekarang ya Tuhan! Tolonglah Tuhan ... tolong dia ...” Albert semakin luruh ke lantai marmer. Dirinya sudah tidak kuasa lagi untuk menahan tangis yang meluap-luap.
“Tuhan ... kalau boleh saya memohon ... ja ... ngan Kau biarkan dia han ... cur! Beri ... lah kuasaMu ... ya Tuhan! ... Saya ... mo ... hon! ... Sa ... ya ... mohon ... ya Tu ... han ...” Albert sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Selanjutnya dia hanya tenggelam dalam tangis yang sungguh-sungguh luapan dari rasa kesedihan yang mendalam.
Sementara diriku ... yang tadinya hendak menghampiri Albert, akhirnya mengurungkan niatku. Aku terkesima begitu mendengar doa yang dipanjatkan oleh Albert. Sebuah doa yang terasa benar-benar keluar dari lubuk hati terdalam. Berbeda sekali dengan pembawaan Albert biasanya yang meledak-ledak. Perlahan-lahan air mata menetes membasahi pipiku, “Bapa, betapa besar perhatian dan kasih sayang Albert kepadaku ... Bapa apa yang telah aku lakukan?”

# # #

“Karel ... ada satu tempat lagi yang mau gue ajak elo buat ke sana ...! Gue gak minta persetujuan elo ... kalo elo gak mau ... elo bisa turun sekarang ...”
“Oke ... gue ikut aja ...” Aku sengaja membiarkan Albert tidak tahu kalau aku mendengar apa yang didoakannya di ‘Imannuel’ tadi. Walau ada rasa terharu akan perhatiannya yang tulus kepadaku, tak urung aku masih dipenuhi oleh rasa kecamuk yang menyiksaku. Rasa kecamuk yang muncul sebagai akibat dari rasa tak terimaku atas kenyataan yang terjadi.
Mobil yang kami naiki sekarang sudah berada di Jalan Tol Jagorawi. Aku dan Albert memang tenggelam dalam pikiran masing-masing, dan aku juga tidak ingin bertanya lebih jauh mengenai tujuan Albert mengajakku ke ‘tempat kedua’ seperti perkataannya. Aku tahu tempat yang dituju Albert pasti adalah tempat yang menurutnya dapat membuatku berpikir bahwa apa yang telah aku lakukan dengan ‘teman-teman baruku’ sebagai pelampiasan adalah bodoh belaka.
Setelah sekitar satu setengah jam lamanya menyusuri jalan raya, Albert menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah yang lumayan besar. Di dalam halaman depan rumah tersebut terdapat sebuah papan nama besar bertuliskan “Pondok Anugerah”. Hey ... tiba-tiba aku merasa pernah mendengar nama itu ... tapi kapan ya ...?
“Ayo ... ikut gue ke dalam ... sekarang gue maksa elo supaya ikut masuk ...” Perkataan Albert masih tetap dingin dan datar.
Aku menurut saja apa yang diperintahkan Albert. Ketika kami sudah memasuki teras rumah, betapa kagetnya diriku mendapati siapa yang menyapaku ...


07122005
03.47 WIB
Sudah berapa lama ya aku tidak gak ngisi Catatan Harian ...
Sebenarnya emang lagi males buat ngetik-ngetik
Jangankan buat ngetik ...
Buat hidup aja MALES banget ...!
Cuma ...
Seharian ini ... ada kejadian-kejadian gak biasa
Pertama,
Untuk pertama kalinya aku melihat Albert menangis dan mengajukan permohonan yang benar-benar memohon! Baru kali ini aku lihat orang yang biasanya meledak-ledak ... luruh ... jatuh dalam sebuah permohonan yang sangat!
Dan ... yang lebih mengagetkan lagi adalah bahwa permohonan yang diajukan kepada Tuhan adalah demi aku ... DEMI AKU!
Kedua,
Ternyata di Bogor, Albert mengajakku ke tempat sekarang Bono tinggal ... Bono sekarang selain menjadi wirausahawan di bidang peternakan ikan hias juga menjadikan rumahnya sebagai tempat pemberdayaan 8 orang yang terkena penyakit kusta. Mereka di sana dikembangkan untuk menjadi pengrajin pernik-pernik rumah, mulai dari hiasan dinding, keset, taplak meja, dan lain-lain. Bono bekerjasama dengan Om Kim, pamannya Albert dan Arini sang istri, yang memang seorang perawat.
Aku sebenarnya menangkap maksud Albert mengajakku ke sana, yaitu bahwa dia ingin menunjukkan kalau dengan penyakit AIDS yang aku derita sekarang bukan berarti kehidupanku habis sampai di sini.
Albert ingin aku melihat semangat juang kaum penderita kusta di tempat Bono, yang dibuang oleh keluarga mereka dan dilecehkan oleh lingkungan, untuk tetap melangsungkan hidup seberat apapun penderitaan yang dialami.
Aku mengerti ...
Bahkan jika dirujuk dengan apa yang tertulis di dalam Alkitab ... banyak ayat di sana yang mengatakan bahwa jangan pernah menyerah dengan penderitaan hidup. Sandarkan dan serahkan semua ke dalam tangan Tuhan!
Namun ... benarkah apa yang aku alami ini adalah penderitaan biasa
Penderitaan yang dapat dan harus aku lalui ...
Atau ... inilah KUTUKAN yang tak terampuni?!
Bagaimana tidak ...
Cita-citaku dalam memenuhi panggilan Tuhan sudah di depan mata
Aku sudah berstatus sebagai Vikaris sekarang
Vikaris yang adalah Calon Pendeta atau Calon Penggembala Umat
Cita-cita yang aku rintis dengan susah-payah
Bergelimang air mata
Berbanjir tetes keringat
Sebentuk perjuangan
Yang tidak bisa dikatakan ringan
Dan ...
Yang terjadi adalah ...
Semuanya MUSNAH dalam sekejap!
Semua tersapu dalam hitungan hari!
Semua terlibas dalam sebentar!
Mengapa Tuhan ...?
Mengapa Kau buat aku jadi begini ...?
Lebih baik Kau ambil saja nyawa ini
Lebih baik Kau lepaskan jiwa dari raga ini
Untuk apa lagi aku ada di dunia ini?
Untuk apa lagi aku meneruskan hidup ini?
Sedang aku sudah tidak berguna sekarang!
Sedang aku sudah tidak layak untuk melayani Engkau!
Sedang aku sudah menjadi nista sekarang!
Dan mana mungkin aku dapat
Menjadi pelayan Engkau yang Suci
Sedang aku adalah aib!

# # #

Aku gelisah menggeledah seluruh isi kamarku. Semua pelosok dan sudut yang ada di dalam kamar aku periksa, tapi apa yang kucari tetap saja tidak ada. Aneh! Kemana larinya semua barang-barang itu? Aku ingat sekali terakhir kali aku menyimpannya adalah di dalam laci meja belajarku. Namun, sekarang jangankan di laci meja belajar ... seluruh isi kamar ini rasanya sudah aku periksa dan hasilnya nihil!
“Aaahhh ... sial! Kemana itu cimeng, pil, dan paketan yang lain ... biasanya juga di laci gue simpan ... kok sekarang susah banget ketemunya!” Aku masih terus mencari teman-teman baruku. Teman-teman yang dapat mengantarku menuju ‘surga’ ciptaanku sendiri.
“Sial ... ! Sial ...! pas gue lagi pengen banget kok malah gak ketemu-ketemu ...! Mosok gue harus beli lagi di BeDe depan komplek itu ... aaahhh mana lagi bokek begini!” Aku semakin diliputi oleh rasa kesal. Kesal karena teman-teman baruku seakan menghilang pada saat aku sedang ingin menggunakannya.
“Wooii ... Coy! Lagi nyari apaan sih ... kok kayaknya sibuk banget?” Albert tiba-tiba masuk dan langsung menyapaku.
“Ah ... nggak kok ... gak nyari apa-apa ...” Aku yang tidak ingin Albert tahu barang apa yang sedang aku cari, seketika itu juga langsung menghentikan aktivitas pencarianku.
“Udah deh ... gak usah pura-pura! Elo pasti nyari cimeng dan sejenisnya kan ... barang-barang itu udah gue buang Karel ... percuma elo cari sampe ke ujung langit juga gak bakal ada ...! Albert menatapku dengan pandangan tajam. Mata kecilnya sama sekali tak berkedip, tanda kalau dia tidak suka dengan tingkahku itu.
“Elo buang! ... Bangsat ...” Dengan luapan amarah aku menghampiri Albert. Dan ...
“Bruk ...!”
Albert menunduk memegangi bibirnya yang baru saja kudaratkan sebuah tinju. Dia tidak bereaksi apa-apa selain memegangi bibirnya.
“Bangsat ... elo udah mulai lancang ya ...” Dan selanjutnya aku membabi buta menyergap tubuh Albert dengan kepalan tanganku. Albert tetap diam tak melakukan reaksi apa-apa, sampai akhirnya dia terpental keluar kamar akibat sebuah tendangan yang bersarang di perutnya. Aku justru tidak menghentikan luapan nafsu liarku. Kuhujani tubuh Albert yang tergeletak di lantai dengan tendangan demi tendangan.
“KAREL ... HENTIKAN! Apa-apaan kamu ...” Suara Bunda yang menggelegar spontan membuatku terhenti. Teriakan keras Bunda yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
“Ya Tuhan ... Karel ...” Bunda tidak dapat menahan air mata kesedihannya melihat aku yang sudah tidak terkendali lagi. Aku yang sudah dikuasai oleh bara emosi.
“Ti ... dak apa-apa Bunda ... sa ... ya rela ...” Suara Albert terbata-bata menahan rasa sakit yang hinggap di sekujur tubuhnya akibat aku jadikan sansak hidup.
“Albert ... kamu tidak apa-apa ...? Karel keterlaluan sekali kamu ...” Bunda menghampiri Albert dan mencoba membantunya untuk berdiri.
“Sudah Bunda ... saya tidak apa-apa kok ... kalaupun saya harus babak belur ... akan saya terima ... asal sahabat saya ini gak pernah nyentuh barang-barang laknat itu lagi ...” Albert mencoba tersenyum dan menahan rasa sakit yang dialaminya.
“Hey ... jangan berlagak mau jadi pahlawan ... ! Keluar dari sini ... keluar!” Entah kenapa aku begitu kalap. Kemarahan begitu menyelimuti hati dan pikiranku. Tak ada sedikit pun rasa kasihan melihat Albert yang berdarah dan memar-memar akibat pukulan dan tendanganku.
“Albert ... sebaiknya kamu pulang saja dulu ... biar Karel ... Bunda yang urus! Dia sedang dikuasai setan sekarang ... maafkan Karel ya ...”
“Tidak apa-apa Bunda ... baiklah saya akan menuruti nasehat Bunda ... tapi kalau ada apa-apa dengan Karel ... hubungi saya ya Bun ...”
“Sudah ... jangan kamu pikirkan Karel ...”
“Sungguh Bunda ... saya tidak apa-apa kok ... saya memang bertekad untuk melakukan apa saja ... asal Karel bisa kembali seperti Karel yang dulu ...” Albert tersenyum dan perlahan-lahan berjalan menuju pintu.
“Sekali lagi maafkan Karel ya ...”
“Iya Bunda ... dan Bunda yang sabar ya ... mungkin dengan Karel bisa mengeluarkan emosi terpendamnya ... dia jadi bisa berpikir lebih jernih lagi ...”
“Doakan dia ya Albert ...”
“Pasti Bunda ... pasti! Saya pamit dulu ya Bun ...”
“Hati-hati Albert ...”

Tidak ada komentar: