LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Kamis, 12 Maret 2009

GEREJA DAN HIV/AIDS

HIV/AIDS. Sebuah kata yang terdengar ‘angker’ di telinga. Sebuah penyakit mematikan yang adalah ‘kutukan’. Begitulah definisi HIV/AIDS yang mengendap di otak.
Sebuah stigma yang melekat di dalam hampir seluruh sendi-sendi kehidupan sosial bangsa ini. Termasuk juga di dalam kehidupan bergereja. Kehidupan bergereja dalam hal kehidupan berjemaat atau bersekutu. HIV/AIDS cenderung untuk dipinggirkan dalam diskusi, sharing, materi khotbah, dan segala sesuatu yang berbau kegiatan jemaat. Bahkan yang lebih ekstrim lagi HIV/AIDS tidak ada di dalam kamus berjemaat.
Mengapa?
Karena HIV/AIDS adalah penyakit kotor. Penyakit yang ada karena perbuatan amoral dan penuh dosa. Thus, orang yang mengidap AIDS adalah pendosa. Pendosa yang harus menanggung sendiri akibat dari perbuatannya. HIV/AIDS ada karena murka TUHAN terhadap umatNya yang tidak takut akan laranganNya.
Memang gereja tidak pernah menyatakan secara langsung dan tegas bahwa HIV/AIDS adalah sesat. Penderita AIDS adalah orang tidak beriman. Tidak seperti misalnya, Peraturan Daerah mengenai AIDS yang dikeluarkan oleh salah satu propinsi di negara kita tercinta menyatakan bahwa cara mencegah HIV adalah ‘Meningkatkan Iman dan Taqwa’, yang berarti bahwa orang yang tertular HIV atau penderita AIDS adalah orang yang tidak beriman dan bertaqwa. Gereja nampaknya lebih memilih untuk bersikap ‘halus’ untuk memarjinalkan kaum positif AIDS. Gereja tidak memandang HIV/AIDS sebagai salah satu bentuk keprihatinan. Sebagai salah satu pergumulan gereja dalam melaksanakan tugas dan panggilannya. Sehingga porsi prioritasnya setidaknya sama dengan pemiskinan, kehamilan di luar pernikahan, pelestarian alam, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain.
Gereja cenderung menghindar untuk bergumul dan bergelut dalam upaya penanggulangan AIDS. Untuk tidak mengatakan bahwa gereja sama sekali tidak peduli dengan HIV/AIDS, memang ada beberapa gereja yang mencoba mempergumulkan HIV/AIDS. Namun, itu hanya sebatas materi-materi diskusi atau seminar tentatif atau temporal. Dan, tanpa mengurangi rasa hormat, memang ada segelintir pendeta yang aktif dalam kepedulian pencegahan HIV/AIDS. Namun, hal tersebut masih bersifat sporadis.
Penderita AIDS atau kaum positif AIDS, terlepas dari latar belakang sang penderita terjangkit, adalah juga manusia yang sama posisinya dengan kaum negatif. Sama di sini dalam artian, gereja memiliki tanggung jawab untuk secara sungguh-sungguh melakukan pemeliharaan iman. Tidak menjadikan sang manusia ‘positif’ sekadar sebagai objek yang hanya perlu dikasihani, didoakan, diberikan rasa prihatin. Namun lebih dari itu, sama dengan kaum ‘negatif’ lainnya mendapat porsi sama dan seimbang dalam kehidupan bergereja. Menjadi subjek yang juga diberi kesempatan dalam berpelayanan.
Gereja perlu berpikir ulang dalam menjangkau ladang-ladang pendampingannya. Mungkin ada terlintas di kalangan fungsionaris sebuah gereja, “ah...gereja kita ini gereja kecil! Jemaatnya juga tidak pernah melaporkan ada yang menderita AIDS!...Semuanya baik-baik saja!” Namun, dapatkah kita menjamin 100% bahwa jika tidak ada laporan berarti terbebas dari HIV/AIDS. Atau jika, katakanlah, memang terbebas berarti upaya pencegahan HIV/AIDS tidak perlu dilakukan?
Di sini, tentu saja bukan berarti gereja menjadi ‘menganakemaskan’ isu HIV/AIDS dan pendampingan bagi penderitanya. SAMA SEKALI TIDAK. Gereja juga harus proporsional dalam memenuhi tugas dan panggilannya. Namun, gereja sudah saatnya memulai sekarang, kalau tidak mau dikatakan terlambat, untuk secara berkesinambungan menempatkan isu HIV/AIDS dan upaya pendampingan serta pencegahannya di dalam sendi-sendi kehidupan bergereja.

Kamis, 12 Februari 2009

KUMPULAN PUISI JUMAT AGUNG & PASKAH

V I A D O L O R O S A

Satu : Mengucur darah dan airmata yang adalah kasih
Dua : Menguak terurai sebagai luka tubuh demi penyataan Cinta Abadi
Tiga : Merasuk kalbu segala cercaan makian namun hati tiada berpaling
Empat : Maut menjemput mengajak mengarungi kedalamannya
Lima : Sampai akhirnya bangkit sebagai kebenaran hakiki
Enam : Sebagai Pawarta Agung
Tujuh : Bahwa kematianNya adalah demi penebusan
Delapan : Segala cela nista dosa umat manusia
Sembilan : Melebur dalam pasarah sumarah sepi ing pamrih
Sepuluh : Sebagai media murni kehidupan
Sebelas : Untuk Lahir Baru!
Dua belas : Menjadikan Sang Putera sebagai Teladan Sejati


23 Mei ‘03

T E L A D A N

Lihat kayu itu dipanggul
Rasakan Tubuh itu disesah
Bayangkan Kepala itu dimahkotai duri
… Namun piala tetap diminumNya

Lihat Tangan dan Kaki itu direjam
Rasakan Tubuh itu terpaku di salib
Bayangkan Badan itu dihujam tombak
… Namun lakon terus berlanjut

Lihat deraan lahir menusuk jiwa
Rasakan cercaan menerpa batin
Semua begitu memilukan
Semua begitu menyayat
Semua begitu mengiris
Terurai dalam
Ketulusan
Kepasrahan
Kelembutan
Ketegaran
Melampaui segala bentuk keakuan
Citra Teladan menyemat
Dalam wujud Junjungan Manusia
Gusti Pangeran ingkang Kuasa
Yesus Kristus



4 September 2001




LIHAT ITU SALIB

Lihat itu Salib
Dipikul
Dipanggul
Dibopong
Lihat itu langkah terseret
Dicambuk
Dipecut
Berdarah
Ahhh … !
Lihat itu tubuh
Dipaku
Direjam
Ditombak
Itu dikenang
Itu diresapi
Itu direnungi
Itu bahan kontemplasi
Itu materi diskusi
Itu dulu … !
Sang Anak Manusia Mengejawantah
Sekarang
Kini
Hari ini …
Lihat itu Salib
Kosong
Melompong
Hampa
Terpajang indah penuh estetika
Terpasang penuh nuansa
Terbentang penuh romansa
Tapi …
Adakah dilingkupi makna




Adakah diliputi selaksa doa
Atau …
Hanya simbol
Perlambang
Aksesoris
Hiasan
Benarkah ?



Salib itu kehilangan spirit
Tertutup kelekatan
Keakuan
Absolutisme semu
Sekat-sekat pranata
Ciptaan ketakutan diri
Benarkah ?
Belum
Not yet … !
Lihat itu Salib
Rindu dendam menanti
Penuh kepasrahan
Ditempatkan pada kesejatian eksistensi


16 Januari 2001



SEBUAH REFLEKSI

Pada sebuah keheningan
Aku melihat ...
Sorot mata penuh penyerahan diri nan sempurna.
Ada juga kulihat sekilas berganti dengan sorot mata ketakutan yang sangat akan siksa yang menjemput di depan. Namun, hanya sekilas sorot ketakutan itu nampak. Selebihnya hanya penyerahan meraja.
Kemudian aku saksikan ...
Jerit kesakitan yang menyengat ketika cambuk mendarat di kult. Dan kembali jeritan-jeritan yang terlontar mengandung penyerahan yang mendalam.
Lantas aku lihat ...
Tetes demi tetes darah mulai mengalir. Di satu tempat ... dua tempat ... tiga tempat ... dan akhirnya di sekujur tubuh. Tetesan darah yang yang memilukan. Dan lagi-lagi, penyerahan utuh mewarnai merahnya darah.
Berikutnya aku dengar ...
Erangan bergema dari atas kayu salib sebagai tanda dari derita tak terkira. Penderitaan yang harus dipikul oleh Tubuh yang terpaku demi menanggung apa yang tidak dilakukanNya. Tapi derita dilalui juga dengan penyerahan sejati.
Kembali aku mendengar ...
Teriakan akhir, “BapaKu ... BapaKu ... mengapa Engkau meninggalkan Aku?” mengiringi kematianNya. Kematian sebagai karya yang penuh kesakitan tak terhingga. Namun teriakan itu diikuti oleh penyerahan tak tercela.
Begitulah ...
PENYERAHAN TOTAL
Sebagai buah kasih sejati
Menjadi landasan
Akan pengorbanan Sang Putera
Demi misi
Karya penyelamatan
Lalu ...
Mengapa hati masih mengeras
Kepala menengadah arogan
Jiwa mencari pembenaran
Pikiran memburu pembelaan
Mengapa ...?

28032007



THE BLOODY HEAD




Hanyut diri pada suasana alam
Sunyi meraja
Sepi mencekam
Menghantarkan aura kontemplasi
Sambil bertelut khusuk
Jiwa tertunduk
Terampu dalam alunan
“ Kepala yang berdarah
Tertunduk sedih
Penuh dengan sengsara
Dan luka yang pedih “
Duh Gusti Kawula !
Duh Yesus !
Duh Sang Anak Manusia !
Tiada henti Dikau menyentuh membelai
Meminggirkan pamrih
Menepikan balas jasa
“ Meski mahkota duri
Menghina harkatMu
Kau patut kukagumi
Terima hormatku “
Terimalah !
Karena itu yang hanya diri mampu



Sumber : KJ no. 170

22 Maret 2004



JALAN SALIB




Menjelang tengah malam,
Konspirasi tercipta !
Sang Anak Manusia ditukar 30 keping logam perak
Begitulah .......

Dini hari mencekam
Menghantarkan kegalauan
Bermuara kepasrahan
Penuh utuh
Bahwa piala tak mungkin lalu kecuali harus diminumNya

Waktu terus merambat,
Proses rekayasa semakin sempurna
Sampai .......
Tiba saatNya dicambuk
Tiba saatNya didera
Tiba saatNya memanggul salib
Tiba saatNya dipaku
Tiba saatNya disalibkan
Dan ........
Tiba saatNya meregang nyawa

Demikianlah
Kulminasi kasih setia telah ternyatakan
Bagi penebusan dosa
Umat manusia



08 April 2004




SYAIR TIGA BABAK



PERTAMA : TAMAN GETSEMANI
Lalu pergilah Yesus bersama-sama murid-muridNya keluar kota menuju Bukit Zaitun, di mana terdapat Taman Getsemani, tempat yang sering dikunjungi Yesus.
Sesampainya di Taman Getsemani, Ia berkata pada murid-muridNYa :“Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa.
Suasana sepi mencekam mengiringi kegentaran Sang Anak Manusia. Bulir-bulir keringat menetes layaknya tetesan darah menyertai doaNya,“Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripadaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” Tiga kali Ia berdoa yang sama, doa yang menggambarkan ketakutan meraja.
KemanusiaanNya semakin nyata, namun dengan kepasrahan mendalam Sang Anak Manusia tetap menghadapi kenyataan yang akan terjadi di depan mata demi karya penyelamatan umat manusia.
Tibalah saatNya ...........
Babak awal menuju kematian dimulai,
Melalui tanda ciuman Yudas Iskariot, sang murid, Yesus
ditangkap
diikat
digiring
Demi 30 keping uang perak Yudas menyerahkan Sang Guru untuk dihakimi.

KEDUA : PENGADILAN
Yesus digelandang dihadapkan pada Mahkamah Agama, proses rekayasa mencapai babak selanjutnya !
Sementara ................
Murid-muridNya tercerai-berai meninggalkan diriNya sendirian di tengah-tengah kerumunan nafsu melenyapkan diriNya.
Sementara ............
Petrus hanya berani mengendap-ngendap menyaksikan Sang Guru,
Bahkan ..................
Petrus sampai 3x menyangkal keberadaan Yesus sebagai Gurunya, seperti telah digariskan melalui perkataanNya,
“Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”
Pada akhirnya ...........
Proses rekayasa terus berlanjut,
Saksi-saksi dusta mencuat keluar demi tujuan tunggal
KEMATIAN YESUS
Sewaktu Yesus digiring menuju Pontius Pilatus, Wali Negeri Romawi,Sang Pengkhianat menyesali perbuatannya. Dilemparnya keping uang alat pertukaran tubuh Sang Anak Manusia tanda penyesalan mendalam,
Dan puncaknya ........
Nyawa Yudas berakhir di tali gantungan.
Begitulah ...............

KETIGA : PENGADILAN PILATUS DAN JALAN SALIB
Sebenarnya .......
Sang wali negeri tidak melihat sesuatu pun kesalahan pada diri Yesus. Namun, pada akhirnya ia lebih memilih untuk mengorbankan nyawa Sang Anak Manusia demi kepentingan orang banyak. Dan pembasuhan tangan di dalam air, menyimbolkan sikap sang waLi negeri untuk lepas tangan dalam proses kematian Yesus
Tiba saatNya disiksa
Tiba saatNya dipecut
Tiba saatNya tetesan darah bercucuran
Tiba saatNya mahkota duri disematkan
Tiba saatNya dihinakan
Tiba saatNya digelandang menuju Bukit Tengkorak
Tiba saatNya memanggul salib
Ooooohhhhhhhhhhh ............
TubuhNya roboh tersungkur
terjerembab
Menahan perih dan luka menyayat
Namun lakon terus berlanjut
Untuk Kedua kalinya ..........
Raga itu kembali terjatuh
Limbung .......... ambruk ke tanah
Masih ditambah
Cambuk terus mendera
Ejekan terus terdengar
Namun meski terseok langkah tetap ditapaki
Dan .............
Kembali tubuh penuh kepasrahan itu tersungkur
Menanggung derita tiada tertahan
Menusuk relung kalbu
Akhirnya,
Langkah tertatih milik Sang Anak Manusia
Tiba di puncak bukit
Dibantu Simon, seorang hamba setia dari Kirene
Lihat ...............
Penderitaan belumlah berakhir
Tubuh lunglai itu direbahkan
Aaaaaaahhhhhhhhh ............
Paku-paku direjamkan
Tangan .................
Kaki .................
Merah ......... darah mencuat keluar
Menyesakkan hati
Yesus disalibkan !
Disandingkan dengan dua orang pesakitan
Disematkan Tulisan “Raja Orang Yahudi”
Dijadikan bahan olok-olok
Namun, kemurahan hati tetap meliputi hatiNya
Demikianlah proses penderaan berlangsung
Sampai ........................
Tiba saatNya meregang nyawa !!!!
Tuntas sudah piala diminumNya
I A W A F A T


30 Maret 2005




SALIBKAN DIA ! SALIBKAN DIA !
(Sebuah Drama Prosesi Penyaliban Yesus)


• Ilustrasi musik pujian “Kepala yang Berdarah” (KJ no. 170)
PROLOG
Narator : Pengorbanan Yang tulus
Sebagai pencerminan kasih setia
Itulah,
Keteladanan sejati
Yang dinyatakan oleh
Yesus Kristus
Sang Anak Manusia
Junjungan Abadi umat manusia
• Ilustrasi musik berhenti
BABAK I
Setting : Kediaman Kayafas
(Imam-imam berembug untuk melakukan tipu muslihat membunuh Yesus)
Imam I : Kita harus membunuh orang itu, karena rakyat sudah semakin percaya pada dirinya
Imam II : Tapi harus dengan cara yang tepat, kawan ! Tidak dengan sembarangan.
Imam III : Kita hasut saja Yudas, supaya ia menyerahkan gurunya.
Imam II : Hm ..... boleh juga idenya ! Ayo segera kita laksanakan !
Imam I : Tapi ingat ! jangan pada perayaan, supaya jangan timbul keributan di antara rakyat.
Semua : Baik !
Yudas dan Kayafas naik panggung
Kayafas : Hai Yudas saudaraku ! Mari masuk !
Yudas : Baik, aku sudah tahu maksud kalian. Tapi tentu saja tidak ada yang gratis.
Kayafas : Tentu ... tentu !
Yudas : Terus, kalian mau memberi aku apa, kalau aku serahkan Dia pada kalian semua he ?
Kayafas : He... he...he...., 30 keping uang perak cukup kan ?
Yudas : Baik, aku setuju.
Narator : Begitulah,
Sebuah muslihat telah disepakati.
Muslihat yang menghantarkan pada penyaliban Yesus. Seperti yang telah diberitakan sebelumnya,
“Setelah selesai dengan segala pengajaran-Nya itu, berkatalah Ia kepada murid-Nya : “Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan.” (Matius 26 : 1-2)

BABAK II
Setting : Taman Getsemani dan Mahkamah Agama
Yesus : (sedang berdoa, bersimpuh di sebuah batu)
“Ya, Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin biaralah cawan ini alu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26 : 39)
(selesai berdoa, berjalan menghampiri Petrus)
Petrus : Baiklah, Guru !
Yesus : (kembali bersimpuh memanjatkan doa)
“Ya, Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu !” (Matius 26 : 42b).
(kembali Ia menghampiri murid-muridNya)
Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat.
Saat Yesus sedang berbicara, Yudas datang beserta para tukang pukul)
Yudas : tunggu tanda dariku! Begitu kalian lihat aku mencium salah seorang dari mereka, tangkaplah orang itu! Kalian paham?
Prajurit-2 : Paham!
Yudas : Baik, ayo jalan!
(Yudas menghampiri Yesus dan murid-muridNya dan memberi salam lalu menciumNya)
Imam I : Itu Dia! Ayo tangkap!
Imam II : Pukul saja sampai remuk!
Imam I : Habisi Dia! Jangan kasih ampun!
Prajurit I : Lihat! Lihat! Lari semua anak buah-Nya! Dasar pengecut!
Prajurit II : Ayo ikut! Biar disidang di Mahkamah Agama!
(sambil menyeret Yesus yang sudah terikat)

(Suasana Sidang Mahkamah Agama)
Kayafas : Baik, para hadirin Sidang Mahkamah Agama dimulai! Dengan terdakwa kali ini adalah Yesus dari Nazareth, dengan tuduhan menghujat Allah.
Silakan saksi memberikan penjelasan!
Saksi : Ya, orang itu! Ia yang pernah berkata, “Aku dapat merubuhkan Bait Allah dan dapat membangunnya kembali dalam tiga hari”.
Kayafas : Hey! Mengapa Kau diam saja! Jawablah! Sangkallah kesaksian tadi.
Hey! Masih juga diam!
Baik, sekarang Kau jawab! Benarkah Kau Mesias, Anak Allah?
Yesus : Engkau telah mengatakannya.
Akan tetapi Aku berkata padamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang maha Kuasa dan datang di atas awan-awan di langit. (Matius 26 : 64)
Kayafas : Dengar! Ia telah menghujat Allah!
Cukup!
Tidak perlu pakai saksi lagi, semua sudah jelas, Ia bersalah!
Orang-2 : Ia harus dihukum mati! Mati! Mati! Mati!
(Para prajurit menganiaya Yesus)
Orang I : Hey! Bukankah kamu yang juga selalu bersama Orang Galilea itu?
Ayo mengaku!
Petrus : Jangan memfitnah! Aku tidak mengerti maksud perkataanmu tadi!
(kemudian beranjak pergi)
Orang II : Orang itu! Ia bersama-sama dengan Yesus dari Nazareth! Ya, aku yakin pernah melihatnya!
Petrus : Sembarangan! Aku tidak pernah kenal Dia!
Orang III : Benar!
Aku juga pernah melihatnya, dan lagi gaya bahasanya sama dengan Yesus itu.
Petrus : Sungguh! Aku tidak mengenal Dia!
(lalu pergi menjauh)
Narator : Maka teringatlah Petrus akan apa yang dikatakan Yesus kepadanya,
“Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” (Matius 26 : 15)
Lalu ia pergi keluar ruang sidang dan menangis dengan sedihnya.
Kayafas : Baik, keputusan telah diambil! Yesus dari Nazareth dinyatakan BERSALAH!
Dan dijatuhi HUKUMAN MATI.
Selanjutnya akan diserahkan pada Tuan Pontius Pilatus.
Sidang ditutup! (Mengetuk palu 3 kali)
(panggung sepi, kemudian masuk Yudas)
• Iringan musik instrumentalia
Yudas : Oh .......! Apa yang telah kulakukan!
Narator : Penyesalan selalu datang belakangan
Demikianlah juga yang terjadi pada diri Yudas Iskariot
Yang telah menyerahkan Gurunya, Yesus Kristus
Ke dalam penderaan dan penderitaan
Penyesalan yang berujung pada kematian sang pengkhianat
Di tali gantungan
Demikianlah

BABAK III
Setting : Kediaman Pontius Pilatus – Bukit Golgota
• Iringan musik instrumentalia
(Para pemain memasuki panggiung)
Pilatus : Jadi, Engkaukah Raja Orang yahudi itu?
Yesus : Engkau sendiri mengatakannya!
Pilatus : Hmm ......., dengarlah!
Tuduhan menghujat Allah adalah tuduhan berat!
Apa pembelaanMu?
(Yesus tidak menjawab pertanyaan Pilatus)
Pilatus : Engkau tidak mau menjawabnya? Baiklah, terserah padaMu!
Nah rakyatku, sesuai kebiasaan pada hari raya
Aku akan membebaskan seorang tahanan.
Sekarang pilihlah, Barabas atau Yesus yang disebut Kristus ini?
Orang-2 : Bebaskan Barabas 3x!
Pilatus : Baik! Barabas akan kubebaskan
Lantas, terhadap Yesus ini, mau diapakan?
Orang-2 : Salibkan Dia! Salibkan Dia!
Pilatus : Tapi ..........aku tidak melihat satu kesalahan padaNya!
Orang-2 : Salibkan Dia! Salibkan Dia!
Pilatus : Baik! Baik!
Itu permintaan kalian, aku tidak menanggung akibat dari permintaan kalian ini!
Kalian sendiri yang menaggung akibatnya!
(Pilatus membasuh tangannya sebagai tanda ia tidak bertanggung jawab atas penyaliban Yesus)
• Iringan musik instrumentalia
(Yesus digelandang untuk dicambuk)
Narator : Kembali penderaan ditimpakan pada diri Sang Anak Manusia
Deraan fisik yang menyakitkan
Namun, dengan tabah piala tetap diminumNya
Lecutan demi lecutan diterimaNya dengan hanya berserah
(Para prajurit mengenakan jubah ungu pada tubuh Yesus, kemudian mereka juga mengenakan mahkota duri di kepala Yesus)
Prajurit-2 : Salam, hai Raja Orang Yahudi!
(berlutut sambil tertawa mengolok-ngolok Yesus)
(Perjalanan Yesus memanggul salib menuju Bukit Golgota)
Narator : Bukan semata deraan fisik,
Namun lebih dari itu deraan batin juga ditimpakan pada PuteraNya Yang Tunggal
Begitu menyayat
Begitu mengiris
Begitu memilukan
(Yesus jatuh yang pertama kali dalam Jalan Salib)
Namun lakon terus berlanjut
Langkah demi langkah dilalui dengan tabah
Beban berat dipikul dengan pasrah
Cercaan dan makian diterima dengan sabar
(Yesus jatuh yang kedua kalinya)
Semua memang harus berlaku
Seperti yang telah digariskan,
"Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan.” (Matius 26 : 2)
(Yesus jatuh untuk ketiga kalinya)
Prajurit I : Hey, kau kemari!
Ayo pikul salibNya! Ia sudah tidak berdaya
Simon : Baik, Tuan!
(Yesus dengan dibantu Simon dari Kirene tiba di Bukit Golgota
Lalu jubah dan pakaianNya ditanggalkan
Kemudian tubuhNya dipakukan di kayu salib)
Prajurit I : Ayo kita undi, siapa yang berhak mendapatkan pakaian Raja Orang yahudi itu (tertawa mengejek)
Prajurit II : Baik, siapa takut!
(mengeluarkan kepingan uang logam)
Kau pilih mana, sisi ini atau yang sebelahnya?
Prajurit I : Aku pilih ini!
Prajurit II : Baik! Hup! (melempar kepingan uang)
Hahaha .....! Aku menang! Aku menang!
Kemarikan pakaianNya itu biar aku buat alas duduk!
(Sementara itu, ada serombongan orang menghampiri Yesus di kayu salib)
Orang I : Hai, Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci!
Orang II : Selamatkanlah diriMu, jikalau Engkau memang anak Allah
Ayo turun dari salib itu! Ayo cepat lakukan!
Orang III : Dasar penipu! Pembohong!
Orang I : Orang lain Ia selamatkan, tetapi diriNya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!
Orang II : Inikah raja Orang Israel? Ayo turun dari salib itu!
Jika benar Engkau bisa turun, maka kami akan percaya
Orang III : Ah ....... mana buktinya?
Dasar Pembohong ......... cuiiiihhhh!
• Musik instrumentalia mengalun
Narator : Sore menjelang, matahari mulai condong ke barat
Saatnya maut menjemput
Sang Putera
Demi karya agung
Penebusan dosa umat manusia
Yesus : Eloi! Eloi! Lama Sabakhtani!
Narator : Sang Anak manusia Wafat!
Menghembuskan nafasNya penghabisan
Disertai seruan,
“AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?
Seruan terakhir
Sebagai puncak kepasrahan menghadapi hinaan dan deraan
Demi karya penyelamatan umat manusia

Senin, 09 Februari 2009

KEMANAKAH, WAHAI KAUM LAKI-LAKI?

Dunia Pendidikan Sekolah Minggu :
KEMANAKAH, WAHAI KAUM LAKI-LAKI?
Oleh : age

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya,
maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada
jalan itu.”
Amsal 22 : 6

SEKOLAH MINGGU. Di dalam kehidupan bergereja tentunya bukanlah nama atau istilah yang asing terdengar di telinga. Secara umum, Sekolah Minggu adalah wadah bagi anak balita sampai masa usia pra-remaja untuk dididik dan diajar oleh para pengasuh atau guru Sekolah Minggu mengenai Firman Allah. Melalui Sekolah Minggu anak-anak dididik dan diajar untuk sedini mungkin mengenal Firman Allah. Dengan kata lain, Sekolah Minggu merupakan wadah pendidikan dan pengajaran iman Kristiani bagi anak-anak.
Dalam organisasi gereja, kehadiran Sekolah Minggu tentu saja bukan hanya sekadar pelengkap yang memang harus ada namun ya hanya sebatas ada. Sekolah Minggu merupakan bagian penting dalam gereja yang memiliki potensi dalam proses pembentukan anak untuk dapat tumbuh dan berkembang tidak hanya secara fisik dan intelektual semata, tetapi juga secara emosi, moral, dan spiritual.
Berkaitan dengan betapa pentingnya bidang pelayanan anak di gereja, sama pentingnya dengan bidang-bidang pelayanan yang lain baik kategorial maupun fungsional. Ada hal yang sedikit menggelitik penulis mengenai dunia pelayanan anak, dalam hal ini implementasinya di dunia pendidikan dan pengajaran Sekolah Minggu, khususnya dengan realita yang ada di dalam orang-orang yang terpanggil untuk menjadi pelayan anak. Hal yang menggelitik tersebut adalah pertanyaan, “Mengapa sedikit sekali kaum laki-laki yang terpanggil untuk menjadi pelayan anak?” Pertanyaan yang seolah diperkuat ketika belum lama ini penulis mengikuti Temu Nasional dan Workshop pelayan anak di Istora Senayan, Jakarta. Dari ribuan peserta yang hadir di acara tersebut, menurut pengamatan penulis persentase kaum laki-laki yang menjadi peserta sangatlah sedikit.
Mungkin pertanyaan di atas adalah sebuah pertanyaan yang biasa-biasa saja, atau bahkan terlalu mengada-ada! Namun, walaupun mungkin baru dapat dikatakan asumsi karena tidak ditopang oleh riset atau penelitian ilmiah, minimnya jumlah pelayan anak dari kaum laki-laki menyiratkan bahwa budaya patriarkal masih sangat kental dalam kehidupan bergereja!
Benarkah pendidikan dan pengajaran anak, dalam hal ini pendidikan dan pengajaran moral dan spiritual di Sekolah Minggu, terutama adalah porsi bagi kaum perempuan? Benarkah bahwa kodrat kaum laki-laki adalah bekerja keras untuk mencari nafkah bagi penghidupan keluarga, sehingga porsi untuk mendidik anak menjadi boleh lebih sedikit dibandingkan kaum perempuan? Dan benarkah bahwa di gereja, kaum laki-laki telah sedemikian sibuk mengurusi hal-hal yang sangat penting dan vital bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja, sehingga bidang pelayanan anak sudah selayaknya diserahkan pada kaum perempuan? Sungguh alangkah perlakuan yang diskriminatif jika pertanyaan-pertanyaan di atas adalah benar adanya!
Jika kita mau bercermin pada apa yang dikatakan Salomo di AMSAL 22 ayat 6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu.” Salomo tidak memberikan spesifikasi berdasarkan jenis kelamin kepada siapa perintah ini ditujukan, misalnya perintah ini khusus bagi kaum ibu atau kaum perempuan. Tidak, sama sekali tidak! Salomo mengarahkan perintah untuk mendidik orang muda atau anak-anak bagi semua orang baik kaum perempuan maupun kaum laki-laki tanpa terkecuali.
Memang jika berbicara secara kodrati, kaum perempuan adalah ibu atau calon ibu yang melahirkan anak-anak. Sudah sewajarnyalah bagi kaum perempuan untuk mencurahkan kasih sayang dan perhatian mereka demi memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak, sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan ini. Namun apakah tugas untuk memberikan pendidikan dan pengajaran anak hanyalah tugas kaum perempuan semata? Tidak, bukan! Salomo pun sebagai seorang laki-laki tidak menyatakan demikian.
Bahkan ketika Allah memerintahkan kepada anak-anak untuk menghormati ayah dan ibu mereka, sekali lagi ayah dan ibu! Bukan hanya menghormati ibu. Perintah yang tentu saja mengandung konsekwensi bahwa jika anak-anak mempunyai tugas untuk menghormati ayah dan ibu mereka, maka ayah dan ibu mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak mereka. Sebuah kemestian bahwa tugas memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak bukanlah hanya tugas ibu atau kaum perempuan semata, tetapi adalah juga tugas ayah atau kaum laki-laki.
Ada kesan kuat yang dirasakan penulis bahwa di dalam kehidupan bergereja terdapat paradigma, mudah-mudahan hanya sekadar asumsi, yang menyatakan Sekolah Minggu adalah dunia yang penuh dengan permainan dan hal-hal yang serba sukacita. Dunia yang melulu tanpa beban, tanpa perlu pemikiran-pemikiran yang berat. Dunia yang ringan-ringan saja. Sehingga urusan Sekolah Minggu hanyalah urusan wajib bagi kaum perempuan, sementara bagi kaum laki-laki boleh saja ikut ambil bagian kalau ada waktu. Bagi kaum laki-laki berkiprah atau berpelayanan di Sekolah Minggu bukanlah suatu kemestian. Mau ikut berperan boleh! Tidak mau ambil pusing ya silakan!
Sungguh suatu paradigma yang sangat memprihatinkan, dan tentu saja harus ditiadakan dalam kehidupan bergereja! Sekolah Minggu memang dunia penuh sukacita dan penuh permainan. Namun, berkiprah di dalam pelayanan Sekolah Minggu bukanlah untuk main-main! Sekolah Minggu adalah wadah bagi tumbuh dan berkembangnya moral dan spiritual tunas-tunas muda Kristiani yang perlu dipikirkan dan digeluti secara serius. Dan menjadi tanggung jawab bersama baik bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki untuk senantiasa bergelut dan bergumul mencari format dan metode pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak melalui Sekolah Minggu.
Sudah saatnyalah sekarang, kalau tidak mau dikatakan terlambat, gereja membuang habis akar-akar warisan budaya patriarkal di dalam seluruh sendi kehidupannya. Warisan budaya yang hanya akan melahirkan kesenjangan dan diskriminasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Warisan budaya yang hanya akan menghambat pertumbuhan gereja Tuhan di dunia ini. Warisan budaya yang sama sekali tidak adil! Karena manusia adalah kaum laki-laki dan kaum perempuan, bukan hanya kaum laki-laki atau kaum perempuan saja. Karena dalam banyak sisi tidak mungkin laki-laki hidup tanpa perempuan, begitu pun sebaliknya.
Akan lebih indah jika laki-laki dan perempuan dapat bekerja bersama-sama bahu-membahu dalam bergelut dan bergumul di dunia pelayanan anak. Maka tidak akan timbul lagi pertanyaan, “Kemanakah, wahai kaum laki-laki?” Yang ada hanyalah satu tekad, “Inilah kami, laki-laki dan perempuan, yang saling bergandengan tangan berdaya upaya agar anak-anak dapat mewujudkan masa depan mereka yang penuh harapan di dalam KRISTUS! Dan segala kemuliaan hanyalah bagi TUHAN!”
Ladang pelayanan anak masihlah sangat luas untuk bersama-sama kita garap! Tuhan memberkati.


Depok, 15 September 2006

TUHAN BARU ITU BERNAMA : UANG!

TUHAN BARU ITU BERNAMA : UANG!
Sebuah Tinjauan Kritis bagi Agama Berdasarkan Pemikiran Karl Marx

Karl Marx. Sebuah nama dari seorang pemikir –dan ateis! Berkebangsaan Jerman, yang dapat dipastikan bukanlah nama yang asing di dalam dunia universitas atau dunia akademis. Khusus di Indonesia, Karl Marx telah terlanjur lekat dengan stigma ‘orang kiri’, ateis, komunis, dan sosialis-revolusioner yang notabene merupakan hal-hal tabu di masa Orde Baru. Sesuatu yang jangankan untuk dianut, diwacanakan saja dapat dianggap subversif, bahkan dapat dijebloskan ke dalam penjara.
Kisah Hidup Singkat Seorang Karl Marx
Karl Marx lahir di Tier, Jerman pada tahun 1818 dari keturunan rabi Yahudi. Ayahnya adalah seorang pengacara yang dipaksa untuk berpindah agama menjadi Protestan demi karier dan agar tidak diusir dari tempat tinggalnya. Demikian juga dengan Marx kecil yang bersama dengan ke tujuh orang saudaranya dibaptis dan menjadi penganut agama Protestan.
Teologi Evangelis merupakan pemahaman keagamaan pertama yang digeluti oleh Marx, yang didapat semenjak dirinya bersekolah di Sekolah Rakyat (Voklsschule) Protestan. Setelah itu, Marx melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk kemudian pindah ke Universitas Berlin. Di Universitas Berlin inilah perhatian Marx terhadap filsafat mulai menemukan bentuknya, di mana Hegel merupakan inspirator utama dari pemikiran-pemikiran Marx.
Seiring perjalanan waktu, Marx semakin lekat dengan pemikiran Hegel yang mengantarkannya pada sebutan ‘Sayap Kiri Hegel’. Setelah meninggalkan bangku kuliah, Marx bekerja sebagai wartawan dan kemudian pindah ke Paris, Perancis tempat ia bertemu dengan Friedrikht Engels (1820–1895). Karena pertolongan Engelslah Marx dapat meneruskan menciptakan karya-karya ilmiahnya. Ketika Marx diusir dari Perancis, ia pindah ke Brussell, Belgia. Dan pada waktu meletus revolusi yang gagal di Jerman pada tahun 1848, Marx pindah ke Koln, Jerman namun kemudian diusir dari sana. Ia pindah lagi ke Perancis dan akhirnya berdiam di London, Inggris, di mana ia melakukan penelitian dan menulis sebagai koresponden di New York Tribunes. Marx meninggal di London pada tahun 1883.
Awal tulisan-tulisannya, Marx kerap melakukan kritik implikasi terhadap religiositas dan politik konservatif berdasarkan pada Filsafat Hegel, yang menyatakan bahwa penerimaan terhadap hubungan kepemilikan pribadi dan alienasi yang dilakukan oleh mereka. Karya pokok Marx adalah ‘Das Kapital’ atau “Kapital”, yang bagian pertamanya ditulis pada tahun 1867. Kedua bagian lain dari ‘Das Kapital’ tidak dapat diselesaikan, karena kesibukan-kesibukan organisasi dan kondisi kesehatannya. Kedua bagian ini kemudian diterbitkan oleh Engels pada tahun 1885 dan tahun 1894.
Uang : Sang Penguasa Baru
Dalam dunia Kapitalisme, uang hadir sebagai sesuatu yang sangat penting. Menurut Marx, kapitalisme telah menampilkan uang (kapital) sebagai alat penukar yang menentukan nilai bagi suatu materi dan juga sebagai mediasi bagi hubungan antar manusia dan juga manusia dengan alam. Uang mengemuka sedemikian rupa sebagai tolok ukur bagi semua sendi kehidupan manusia yang berkaitan dengan proses produksi dan sistem ekonomi.
Manusia menjadi tereksternalisasikan dari uang, manusia menjadi berada di luar uang. Lalu pertanyaan yang muncul adalah mengapa uang dapat menjadi kuasa di atas manusia? Karena manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berusaha untuk melakukan pertukaran materi demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Proses pertukaran di atas, pada akhirnya berujung pada nilai yang mau tidak mau ditentukan oleh uang.
Berdasarkan fakta di atas, Marx mengemukakan pemikiran bahwa uang tidaklah berbeda dengan tuhan. Dengan kata lain uang adalah tuhan bagi manusia. Karena uang merupakan penentu bagi kehidupan manusia, atau menurut istilah Marx uang sebagai Sang Sutradara Umum yang mengatur kehidupan manusia. Uang telah muncul sebagi fetis (sesembahan) bagi umat manusia, sebagai kekuatan yang menentukan arah perjalanan hidup manusia.
Uang dalam kaitannya dengan dunia perbankan pada akhirnya melahirkan suatu sistem ekonomi yang disebut dengan sistem kredit. Di sini, Marx melontarkan kritiknya terhadap sistem kredit yang dianggapnya telah menyebabkan dehumanisasi dan alienasi eksistensi manusia. Manusia menjadi kehilangan eksistensi ketika diperhadapkan dengan kredit, karena dengan sistem kredit nilai sebagai manusia telah dipertukarkan dengan uang sebagai materi.
Kredit telah menjadikan manusia sebagai komoditas yang dipertukarkan dengan, lagi-lagi, uang. Nilai manusia dalam sistem kredit ini otomatis menjadi lebih rendah dari uang, karena manusia sebagai individu yang pada hakekatnya independen dari materi apapun telah telah berubah. Dalam hal ini, manusia telah menjadi media pertukaran. Eksistensi manusia telah terpinggirkan demi sebuah nilai yang ditentukan oleh uang.
Peran Agama dalam Dunia Materialisme
Relevansinya dengan hal-hal di atas, peran agama sebagai sebuah ajaran yang dapat memberikan pemahaman etika dan moral menjadi sangat penting. Agama di sini dapat berperan dalam mengembalikan eksistensi manusia yang terpinggirkan dan menjadikan uang hanya sebagai salah satu media penunjang bagi keberlangsungan hidup manusia. Agama dapat berperan mengembalikan uang sebagai alat bagi manusia dalam bersosialisasi, dan bukan justru manusia diperalat oleh uang. Dengan kata lain, dalam kehidupan manusia uang penting bagi penentuan akan nilai yang berwujud materi, tetapi uang bukanlah yang terpenting atau bahkan terutama.
Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah, benarkah agama telah melakukan perannya bagi pengembalian eksistensi manusia yang terpinggirkan oleh uang? Dan sejauh mana peran agama bagi hal di atas dalam kehidupan serba materi sekarang ini?
Di sinilah oto-kritik dan sikap terbuka yang secara berkesinambungan terhadap agama perlu terus dilakukan. Tidak jarang kita temui bahwa agama justru ikut terseret arus materialisme. Begitu juga hal ini terjadi pada agama Kristen. Khotbah-khotbah yang disampaikan bukan tidak ada terlalu asyik dan gencar mengulas mengenai persembahan materi. Bahwa persembahan materi seakan telah menjelma menjadi kemestian dominan dalam kehidupan beragama. Bahwa gereja akan merasa khawatir jika isi kantong persembahan semakin lama semakin berkurang.
Bahkan muncul pemahaman teologis, yang biasa disebut dengan Teologi Kemakmuran, yang memandang bahwa kemiskinan itu adalah akibat dosa yang dibuat manusia. Menjadi miskin itu adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri, sehingga akhirnya stereotipe yang berkembang adalah bahwa menjadi kaya adalah karena beriman. Kemiskinan yang terjadi karena orang miskin memiliki iman rendah. Di sini kemiskinan karena pemiskinan atau faktor eksternal yang membuat manusia menjadi miskin menjadi dikesampingkan.
Sebuah realita yang sangat ironis memang. Agama yang semestinya dapat menjadi media bagi perjuangan menempatkan manusia pada eksistensinya. Perjuangan bagi pengentasan kondisi peminggiran dan dehumanisasi manusia. Perjuangan bagi menempatkan manusia setara dan sederajat satu sama lain.
Berkaca dari pandangan Marx di atas mengenai uang yang hadir sebagai tuhan, dalam kacamata penulis dapat menjadi bahan perenungan untuk tidak membuat agama tidak terjebak menjadi materialisme gaya baru. Bahwa agama dapat menjadi media perjuangan untuk menempatkan uang sebagai ciptaan manusia yang tidak lebih hanya merupakan alat pertukaran dan penentuan nilai materi atau barang. Bahwa uang hadir hanya sebagai alat penunjang yang dikuasai oleh manusia, bukan sebaliknya manusia dikuasai oleh uang.
Agama semestinya mampu, dan memang sangat mampu, untuk melibas alat yang bernama uang menjadi tuhan baru bagi manusia. Karena memang uang bukan Tuhan!

Daftar Pustaka
Audi, Robert (General Ed.). 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Raines, John (Ed.). 2003. Marx tentang Agama. Jakarta: TERAJU.

Minggu, 08 Februari 2009

AKU MEMILIH MAKA AKU ADA

LEMBARAN XI

TITIK TERANG BENTENG PORTUGIS


“Mas BimBim! Mas BimBim! Sini ..... Mas! Ke sini!”
“Cah Ayu .....! Eh .....!”
“Astaga .....! Mimpi itu datang lagi menghampiri ....!” BimBim terjaga dari tidur yang belum lengkap, tubuhnya segera bangkit sambil mengusap wajah dengan kedua tangan yang terikat oleh gelang-gelang logam berwarna hitam pekat.
“Cah Ayu ..... bagaimana keadaan Cah Ayu sekarang? Apa yang terjadi di Ambarawa sana setelah pastinya Cah Ayu menunggu berjam-jam dan pada akhirnya tidak mendapatkan diriku? Oh ..... Tuhan! Tolong kuatkan Cah Ayu dan ‘si kecil’nya? Beri ketegaran dan kesabaran Cah Ayu dalam badai antara ini, Ya Yesus! Juga kepada hambaMu ini, beri kekuatan dan keselamatan! Amin.”
“Braaak! ..... Braaaak!”
“Bangun! Bangun! .... Ini sarapanmu!” Permenungan BimBim dikejutkan oleh teriakan nyaring disertai gedoran pintu dari luar ruangan tempatnya hari-hari belakangan ini mendekam.
“Sarapan! Berarti hari ini, adalah hari ke-18 sejak aku ‘diangkut’ dari Kopeng tempo hari! Aku tidak habis pikir apa mau mereka ,embawa, diriku. Apakah ini bagian dari akibat yang timbul soal demo Binsar dan kawan-kawan tempo hari?” BimBim beranjak dari tempatnya tidur lipatnya, yang berangka besi dan beralas terpal berwarna cokelat, untuk mengambil jatah sarapan paginya. Ya ..... karena ruangan sempit sekitar 3x3 meterini tidak terdapat jendela sama sekali, penerangan yang ada hanyalah bola lampu 10 watt di tengah ruangan. Bola lampu yang terus-menerus menyala sehingga tidak dapat diketahui waktu siang dan malam. BimBim dapat menghitung perjalanan hari hanya berdasarkan datangnya sarapan pagi sebagai tanda telah terjadinya pergantian hari.
“dan apa tujuan mereka sebenarnya melakukan hal ini? Sampai saat ini, mereka sama sekali tidak mengorek keterangan apa pun dariku! Lagi pula hanya sesekali merka masuk ke dalam sini, itu pun sama sekali tidak berbicara padaku!” BimBim terus berpikir mencari titik temu sambil menikmati hidangan.
“Aneh ....! Secara teratur mereka memberikan jatah makanan, bahkan ketika hari pertama tidak aku sentuh sama sekali. Mereka malah menghajarku untuk memaksa supaya aku makan! Jelas sekali mereka menginginkan aku untuk tetap hidup!”
“Tanpa paksaan itu pun, aku pasti aku pasti bertahan untuk hidup! Untuk dapat bertemu Cah Ayu lagi! Hehehe .... justru aku tidak mau makan karena takut makanan itu diberi yang ‘macam-macam’!”
“Apa aku diculik untuk diminta tebusan? Hehehe .... memangnya siapa aku ini! Anak pejabat! ..... Anak konglomerat! ....Wah SALAH ALAMAT dan SALAH BESAR itu namanya ..... hahaha! Dan memang sepertinya bukan untuk alasan itulah mereka menculikku ..... mereka adalah orang-orang profesional! Cara kerja dan koordinasi mereka begitu rapi. Aparatkah ....? Alat kekuasaankah ....?”
“Terus, kalau memang ini adalah rentetan dari peristiwa demo Binsar dan FATS-nya, kenapa Binsar dan yang lain-lainnya tidak ada? Atau mereka ditempatkan di ruangan yang terpisah?”
“Ugghhh ..... misteri yang rumit! Dan yang jelas hari ini ‘akting’ apalagi yang mesti aku peragakan agar pimpinan mereka mau bertemu denganku? Dari mulai teriak-teriak histeris, berlagak gila, berpura-pura sakit, sampai semaput alias pingsan segala, juga merayu-rayu serta menyembah-nyembah! Hehehe .... pokoknya segala jurus teater yang diajarkan Djuniarto dulu itu, aku praktekkan .... memang orang kalau terdesak bisa menjadi sangat kreatif sekali ya! Cuma .... hasilnya NOL BESAR!”
“Terus ..... ada di mana aku ini sekarang? Masih di Pulau Jawakah? Yang aku yakin ..... sepertinya aku ada di tepi pantai! Dan bukan pantai selatan Jawa! Ya, gemuruh ombak yang tidak sebesar ombak pantai selatan dan lalu lalang suara burung camar meyakinkan aku bahwa tempat ini ada di tepi pantai! Oh .... Tuhan ! Beri petunjukMu dan jalanMu! Agar aku segera keluar dari tempat jahanam ini dan bertemu kembali dengan Cah Ayuku seorang ...! Tolong .... kabulkanlah doaku ya Yesus!”
“Brak ....!”
“Heh .... ada apa ini?” BimBim menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar. Dilihatnya 3 orang berbadan besar masuk .... dan yang seorang paling besar badannya langsung mencengkeram dirinya.
“Mau apa kalian ....? Kalian sudah bosan bermain petak umpet rupanya!” BimBim mencoba memancing mereka agar menjadi lengah.
“Diam ....!” Salah seorang yang lain kemudian mengenakan tutup kepala hitam, dan menyeret BimBim keluar ruangan.
“Bapa .....! Inikah akhirnya? Tolong selamatkan diri ini, Ya Yesus! Cah Ayu ....!”

# # #

BimBim didudukkan di sebuah bangku berkaki 4 terbuat dari besi, seperti model kursi lipat sewaan bagi orang-orang yang punya gawe, namun bangku ini terbuat dari besi yang lebih berat lagi dan bukan kursi lipat. Kedua tangan BimBim terikat ke belakang dengan gelang-gelang besi hitam seperti biasanya, ditambah sekarang kedua kakinya juga terikat gelang-gelang besi hitam yang sama. Tutup kepala yang tadi menutupi wajahnya sudah dilepas, mata BimBim berkedip-kedip kesilauan karena tubuhnya dihadapkan pada sinar matahari yang masuk dari jendela kaca milik ruangan berukuran lebih besar dari tempatnya disekap selama beberapa hari ini.
“Hmmmm .... terasa hangat dan nikmat sekali sinar matahari kali ini! Ternyata beginilah rasanya terkurung dan terisolasi! Pantas saja seorang Kusni Kasdut atau Johny Indo nekat melarikan diri dari Nusa Kambangan, hanya demi mendapatkan kembali KEBEBASAN ... yang direnggut!”
“Tapi justru aku jadi khawatir sekarang! Dengan kondisi tang dan kaki terikat! Duduk dibangku seperti ini! Di sampingku ada meja! Pokoknya posisiku semakin tidak berdaya saja! Apakah ini sesi interograsiku? Apakah ini sesi proses ¬verbal-ku? Dan, ah ....! Apakah ini sesi penyiksaan buatku? Entahlah! Bapa .... lindungi aku!”
“Ganda .... hadapkan BimBim ke meja!”
“Siap .... Pak! Ayo .... Leman! Hardi!”
“Siap ...!” Dan orang-orang yang dipanggil Leman serta Hardi segera mengangkat bagku tempat BimBim duduk, untuk dihadapkan ke arah meja membelakangi jendela kaca.
“Bagaimana BimBim ..... segar bukan sinar mataharinya! Kau mau menikmatinya lagi, bukan?” Salah seorang yang lain lagi dan merupakan pimpinan mereka berkata. Orang yang masih samar-samar dilihat oleh BimBim karena terkena sinar matahari. Namun dari suaranya, sepertinya BimBim pernah mendengarnya .... dan ya, ternyatalah dialah orang yang mengancamnya dengan pistol saat hari penculikan itu! Ya ... BimBim masih ingat suara itu! Hmmm .... aku sudah berhadapan dengan pimpinan mereka rupanya, batin BimBim dalam hati.
“Sudahlah! Jangan basa-basi Apa mau kalian?” BimBim menatap tajam pada wajah dihadapannya yang lambat laun mulai terlihat jelas, karena retina matanya sudah mulai terbiasa menerima cahaya matahari yang jauh lebh terang daripada lampu 10 watt. Cahaya konstan yang selalu diterimanya sepanjang hari selama 18 hari disekap!
“Hahaha ....! Sabar BimBim! Baik .... baik! Kamu sudah bebas sekarang! Kamu dengar itu! Kamu sudah BEBAS!”
“Heh .....! jangan coba main-main ya! Aku sudah muak dengan permainan ini, tahu!” BimBim heran juga mendengar kata BEBAS! Apa benar aku akan dibebaskan? Begitu saja ....?
“Baik .... aku juga sudah muak! Muak dengan tugas ini! Muak dengan semua ini! Sekarang .... dengarkan baik-baik!” Laki-laki di hadapan BimBim itu tiba-tiba berubah menjadi garang dan kaku, sorot matanya menjadi setajam pisau yang siap menikam siapa saja. Agak terperangah juga BimBim melihat perubahan itu! ‘Bim jangan kalah ....! Kamu harus terus berani untuk tetap kelihatan memberikan perlawanan, tidak takluk tunduk begitu saja! Bisa ditelannya kau nanti ... kalau kalah!
“BimBim! Namaku LUKAS! Aku Kepala Tim di sini! Misis kami adalah ‘mengangkut’ kamu, BimBim, Binsar, Prihandoko, Djuniarto, Yosef Ginting, Supardan, Achmadi, dan James ke tempat ini!”
Benar sekali! Batin BimBim, ternyata ini adalah rentetan dari demo Binsar dan FATS-nya tempo hari! Hei .... tapi kenapa ada nama Achmadi juga? Kenapa si Buya Sufis itu ‘diangkut’ juga? Dia kan bukan Anak Wisma seperti yang lain! Dia hanya simpatisan dari kalangan yang disebutnya religius-liberal yang memang senang bergandengan tangan dengan kami, golongan sosialis-humanis! Hehehe .... ada-ada saja istilah yang mereka buat itu!
“Aktivitas kalian .... terutama demonstrasi terakhir yang mengatasnamakan FATS alias Forum Anak Terang Semarang sangat berbahaya untuk didiamkan!”
“Tapi .... ada 2 orang dari yang kalian ‘angkut’ justru tidak ikut demo hari itu! Kalian salah ambil rupanya!” BimBim tersenyum mengejek, mencoba memancing sejauh mana penguasaan mereka terhadap aktivitas pergerakan dirinya dan Binsar serta yang lainnya.
“Tiga .... tepatnya! Pintar sekali pancinganmu itu! Tiga orang yang memang tidak ada dalam demonstrasi saat itu! Tapi mereka juga punya andil yang besar dalam pergerakan! Pertama Yohanes Haryo Bimo Wicaksono alias BimBim, karena dia pulang ke Kopeng untuk berkasih-kasihan dengan Sekar Ayu Paramitha di Ambarawa namun ‘dijemput’ pagi harinya. Kedua, Prihandoko alias Pri yang memang tidak sepakat dengan membentuk wadah baru FATS, dan ‘dijemput’ saat makan nasi kucing di dekat BPLP. Dan terakhir, Achmadi atau Buya Sufis, yang memang bukan dari golongan kalian tapi sekali tiga uang dalam pemikiran! Dia ‘dijemput’ ketika akan bersembahyang di dekat tempat kosnya.
“Terus .... apa motif kalian?” BimBim berusaha memberi kesan biasa saja. Padahal dalam hatinya kaget bukan kepalang! Ternyata mereka benar-benar tidak bisa dianggap remeh.
“Begini ... sebaiknya jangan kau potong sampai aku selesai, menegrti!” Lukas mulai melunak nada bicaranya.
“Baik ...”
“Begini .... kami adalah kelompok rahasia yang didirikan oleh para pemegang dana! Kau tidak perlu tahu dari kalangan mana mereka! Para penggagas itu hanya berfungsi sebagai penyandang dan saja, tidak lebih! Sedangkan pelaksana di lapangan adalah orang-orang seperti kami yang terbagi-bagi dalam banyak Tim!”
“Misi kami .... adalah meneyelamatkan para aktivis seperti kalian! Aktivis yang telah disusupi oleh pihak-pihak luar demi apa yang dinamakan metode Politik Divide et Impera modern, mengerti!”
“Kau tahu BimBim! Demo atas nama FATS itu telah disusupi orang-orang yang memang ingin menghancurkan kalian! Kau pasti bisa menangkap isi selebaran yang sama sekali bukan gaya Binsar. Selebaran yang serampangan memancing emosi golongan lain, iya bukan?”
Memang .... selebaran itu ngawur sekali! Tapi aku masih belum jelas dengan misi penyelamatan Tim-mu itu Lukas! Penyelamatan dari siapa dan bagaimana?”
“Hehehe ....! Kau masih ingin mengorek lebih jauh rupanya, kawan! Baik .... berkaca dari keprihatinan akan seringnya potensi-potensi anak-anak bangsa yang kritis dan selalu mencoba melandaskan diri pada kebenaran justru paling sering dihancurkan dari dalam, maka oleh para pemegang dana dibentuklah Tim seperti kami, orang-orang terlatih dalam segala hal! Pola kerja kami adalah mendampingi aktivitas kelompok-kelompok seperti Anak-Anak Wisma-mu itu dan mengambil tindakan yang dianggap perlu bagai keselamatan kalian, apa pun itu!”
“Nah .... dalam kasusu demo FATS! Kami terpaksa membuat kesan bahwa kalian telah diculik oleh sekelompok orang tidak dikenal .... ya, kami mendahului aksi sekelompok fundamental-radikal yang terpancing dengan provokasi selebaran itu dan tengah bersiap membabat habis kalian! Penyusup dari luar .... berhasil melakukan misinya untuk membenturkan kalian dengan kelompok lain!
“Maaf .... menyela boleh?”
Lukas menganggukkan kepala, sorot mata dan sikap tubuhnya sudah tidak lagi garang seperti tadi.
“Kamu katakan ‘mendampingi’ kami! Berarti kamu juga punya ‘orang dalam’ di sekitar kami Lukas?”
“Tepat sekali! Sebentar ...! Ganda! Panggil si dobel kemari dan yang lainnya!”
“Siap ... Pak!”
Tidak lama kemudian muncullah kembali Ganda bersama orang yang membuat BimBim terheran-heran!
“Djuniarto ....?”
“Hai .... BimBim! Maafkan aku! Selama ini aku dalam penyamaran!”
“Sebenarnya lebih tepat bereperan ganda, Djuniarto itu, Bim! Dia memang anggota kami, tapi dia juga total dalam pergerakan kalian! Dan informasi mengenai aktivitas kalian baru akan kami minta dari Djuniarto jika kami membaca gelagat pergerakan kalian telah disusupi! Jika tidak, Djuniarto akan tetap mendukung kalian sampai ada misi lain. Begitu pola kerja kami! Dan ada banyak Djuniarto-Djuniarto yang tersebar di masing-masing kelompok pergerakan yang lain.”
“Kamu masih ingat Komunitas Palawija-nya Benjamin dan kawan-kawan di Purwokerto, yang terpaksa kami obrak-abrik markasnya setelah kami selamatkan berkas-berkas milik mereka. Itulah bentuk lain dari misi penyelamatan kami. 6 orang sengaja dikesankan ‘diamankan’ petugas demi mengalihkan mereka dari kaki tangan-kaki tangan para pengusaha yang gerah dengan aktivitas mereka memobilisasi buruh tani di sana. Siapakah ‘si dobel’ di kelompok Benjamin ....? Tidak lain Benjamin sendirilah orangnya! Benji ....! Masuklah!”
“hai ... BimBim, apa kabar ...?”
“Tunggu ..... ! Tapi kenapa dengan cara isolasi seperti ini yang kalian lakukan terhadapku? Kalian juga tidak memikirkan para keluarga teman-teman yang yang lain, yang pasti akan mengalami trauma psikologis yang tidak ringan ...?”
“BimBim ...! Cara ini adalah cara yang paling kami BENCI! Tapi harus kami lakukan sebagai langkah terakhir, yang artinya memang sudah tidak ada kemungkinan lain! Resiko pihak keluarga atau bahkan aktivis itu sendiri yang mengalami trauma psikologis, itu memang bagian dari konsekwensi yang ada! Seperti tadi aku katakan, MUAK! Kami MUAK dengan kepura-puraan ini! Tapi tugas adalah tugas! Kami harus selalu membuat kalian tetap hidup! Walaupun kadang-kadang jatuh korban, tapi itu tidak semua tersikat habis!”
“Baik ....! Tapi, di mana teman-temanku yang lain ....? Djun ... anak-anak ada di mana sekarang? Dan kenapa kamu ceritakan semua ini padaku?”
“Djuniarto telah 4 hari di Semarang, dan kondisi di sana sudah reda. Cuma Wisma akan dikosongkan dan hanya Djuniarto bersama Supardan saja yang akan merintis pergerakan dari awal. Prihandoko akan tinggal di Jakarta, membantu Albertus di pergerakan buruh, eyang putrinya akan ikut diboyong ke sana. James ikut familinya di Poso dan akan merintis Tim di sana. Achmadi telah ada di Aceh untuk menjadi relawan dalam proses rekonstruksi pasca Badai Tsunami. Sedangkan Yosef Ginting telah terbang ke New York tadi pagi, keahlian ekonominya diperlukan oleh para pemegang dana untuk memutar uang di luar negeri.”
“Lalu .... Binsar ....dan aku ..... mau kalian apakan?”
“Wah .... jangan sinis begitu, kawan! Semuanya bukan kami yang atur! Mereka punya kemauan sendiri ....dan Binsar ...! Bin ...! Bin ...!”
“Hai ... Biang Kampret! Apa Kabar ...?
“Elo .....?”
“Ya .... Gue memilih untuk gabung dalam Tim secara langsung, sebagai tenaga operasional! Begitu ‘Bim ....!”
“Baik .... aku mulai sedikit percaya sekarang ....! Satu lagi .... beri aku petunjuk jalan apa yang harus aku pilih ....!”
“BimBim .... kamu bebas untuk memulai kembali hidupmu! Untuk menjadi apa saja!”
“’Bim ..... kalau elo mau tahu tugas pertama gue di Tim ..... Gue harus antar BimBim dengan selamat tanpa kurang suatu apapun ke tempat Mitha alias Cah Ayu-nya di Jakarta!” Binsar tersenyum lebar.
“Cah Ayu .... Cah Ayu ada di Jakarta! Cah Ayu tidak apa-apa kan ‘Bin?”
“100% sehat juga ‘si kecil’ di dalam kandungannya! Mitha justru tumbuh menjadi seorang yang sangat tegar dan kuat ...!”
“Ganda ...! Buka borgolnya!”
“Siap ... Pak!”
“BimBim .... kamu berangkat sekarang! Nanti di jalan Binsar akan bercerita apa yang terjadi pada Mitha selama kamu ‘diculik’. Kamu bersihkan tubuhmu dulu ...!

# # #

BimBim mematung di salah satu lubang jendela yang tanpa kaca dan langsung menghadap laut. Dirinya baru melihat secara utuh keseluruhan bangunan tempatnya selama ini disekap. Sebuah bangunan besar bekas benteng pertahanan peninggalan kaum imperialis Portugis. Benteng yang terletak di sebuah pulau kecil tak berpenghuni dan terletak tidak jauh dari sisi pantai utara wilayah Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bangunan yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Benteng Portugis. Bangunan yang memang menjadi Base Camp Lukas dan Tim-nya, dalam rangka operasi ‘pengangkutan’ BimBim dan kawan-kawan. Bangunan yang terpencil jauh dari hiruk-pikuk dan lalu lalang manusia.
“Tuhan ....! MisteriMu memang tak terjangkau oleh umat manusia yang serba terbatas! Lukas. Anak buahnya. Tim-tim yang lain. Para pemegang dana. Mereka semua adalah orang-orang peduli, dengan cara yang ‘tidak biasa’! Mereka telah memilih jalan mereka!”
“Bapa .... semoga badai antara ini semakin membuat diri ini. Cah Ayu. Keluarga di Kopeng. Kami semua menjadi lebih dekat dan senantiasa bergantung padaMu. Hanya padaMu. Membuat kami MENJADI SADAR.”
“Cah Ayu .... Masmu ini kembali ....!”

# # #

“Non .... Mitha! Ada tamu di luar, cari Non Mitha .... dua orang .... laki-laki, Non!”
“Siapa ya .... Bi?”
“Bibi .... tidak tahu, Non! Baru sekali ini ke sini mereka .... Bibi baru lihat sekarang ...! Tapi orangnya sopan-sopan, Non!”
“Ya sudah, Bi .... suruh masuk dan duduk dulu aja! Saya ganti baju dulu ... jangan lupa buat minum ya, Bi!”
“Baik ... Non!”

Kira-kira 5 menit kemudian .....
“Binsar ....!”
“Mas .... Mas BimBim!”
“Cah Ayu .....! Apa kabar ....?”
“Mas BimBim .....! Benar ini Mas BimBim ...?”
“Iya ... ini aku .... Cah Ayu!” BimBim menghampiri Cah Ayunya dan menjabat tangan Mitha yang masih belum hilang kagetnya ....
“Mas BimBim ..... ganteng juga ya .... kalau rambutnya pendek dan rapi! Hihihi ....” Mitha tersenyum manis dan bahagia. Keyakinannya selama ini bahwa suatu saat Mas BimBim akan kembali di sampingnya terjawab sudah.
“Wah .... sejak kapan .... Cah Ayu jadi suka ngeledek orang! ‘Bin .... kemajuan nih anak manja satu ini ....! Hahaha ....”
“Bukannya elo yang ngajarin jadi gila ‘Bim ....? Hahaha ....”
Maka terkuak dan terbukalah misteri-misteri ada kehidupan. Misteri yang bermetamorforfosis menjadi titik terang. Maka berbahagialah wahai anak-anak kehidupan!


LEMBARAN XII

MEREKAHNYA FAJAR NIRWANA TERPENDAM


SEJUMPUT ASA

Memandang
Menatap
Rekahan senyum itu
Binaran netra nan bening
Meranggas lara
Menepi samsara
Memuncak kegirangan
Amboi
Teruslah begitu adanya

Cah Ayu terima kasih
- dari Nirwana Terpendam Kota Atlas -

“Nih .... Cah Ayu, aku sudah selesai! Aku duluan kan yang selesai nulisnya ....! Aku menang!”
“Ih .... kok cepet sekali sih! Coba sini Mitha liat kayak apa puisinya Mas BimBim!” Mitha segera bangkit dari duduknya dan dengan penasaran menghampiri BimBim yang masih tersenyum penuh kemenangan.
“Ini Cah Ayu ...!” BimBim merebahkan dengkul kanannya di atas tanah, kepalanya menunduk, dan tangannya diangkat ke atas memegang lembaran kertas putih tempatnya menulis puisi. Sikap tubuh layaknya seorang hamba kepada tuannya dalam menghaturkan sesembahan. Sikap khas BimBim untuk menggoda sang pujaan hati.
“Ih .... pake ngegodain segala ....! Coba Mitha baca dulu ....!”
“Lho kok .... pendek begini! Mas BimBim curang ....! Pantesan menang lha wong puisinya singkat begini! Gak sah .... curang!” Mitha merajuk manja, dengan ungkapan hati yang bukan karena marah melainkan bahagia.
“Hahaha ....! Kan gak ada aturan kalo gak boleh pendek puisinya ....!” BimBim tertawa lepas sekali.
“Betul juga sih ....lagipula bagus juga pusinya! Singkat tapi dalam maknanya ....! Wah berbakat juga nih Mas BimBim jadi penyair kelas ....amatiran! Hihihi ....”
“Cah Ayu, aku memang gak bakalan bisa menulis puisi sebanyak dan sebagus Cah Ayu! Makanya ini khusus untuk Cah Ayu!”
“Terima kasih Mas BimBim!”
“Cah Ayu, kenangan akan senyum manis, sorot mata bening yang berbinar teduh, wajah ayu ini!” BimBim membelai rambut Cah Ayu kesayangannya penuh ungkapan rasa, “... yang jujur selalu membuat aku punya semangat baru, bahkan disaat serba tidak menentu pada peristiwa ‘penculikan’ Lukas dan teman-temannya tempo hari!”
“Sungguh .... pada satu titik tertentu. Satu titik nadir. Satu titik yang aku rasa menjadi persimpangan antara hidup dan mati, ketika diri ini diangkut dibawah ancaman senjata, wajah ditutup, digiring ke suatu tempat yang entah ada dimana. Ingatan akan senyum manis, binar mata, dan wajah ayu ini g membuat aku mencoba sekuat tenaga untuk bertahan!”
“Mas BimBim ....!” Ada rasa haru keluar dari ucapan Mitha yang tertahan barusan.
“Sudahlah .... mending tidak usah diingat-ingat lagi peristiwa yang sudah lalu! Pada akhirnya aku sudah ada di samping Cah Ayu lagi sekarang ... iya kan ...?” BimBim tersenyum menepiskan semua kenangan pahit.
Mitha mengangguk dan tersenyum, “Mas BimBim .... Mitha selesaiin dulu ya puisi Mitha ...?”
“Oke ...!”

###

F I L O S O F I C I N T A

I
Cinta bukan untuk dipertanyakan dan dipikirkan, melainkan untuk diresapi kemudian diwujudkan pada tempatnya tanpa perlu khawatir akan kehilangan diri
II
Cinta tiada buta tidak juga terang benderang menyilaukan mata batin. “The Truly Love” ada setelah moksanya pencarian dan tanya tak berkesudahan akan kesejatian pengejawantahan diri. Cinta tampil dalam samar sebagai samudera raya hasrat untuk memberi dengan meminggirkan balasan
III
Cinta sehati dengan devosi utuh nurani akan Kuasa Tinggi Empu Semua Ada
IV
Di mana pengorbanan terasa kecil dan sekejap terlupakan di situ bersemayam C.I.N.T.A.S.E.J.A.T.I.

- Puisi ini untuk Mas BimBim -

Mas BimBim,
Setelah waktu bergulir dan terus bergulir. Peristiwa demi peristiwa datang silih berganti. Pergulatan dan pergolakan mendera relung hati. Ternyatalah ....
Bahwa Mas BimBim mampu menunjukkan hidup dengan mencinta. Tak terbayangkan bagaimana Mas BimBim bisa bertahan dalam penyangkalan diri dan pemendaman rasa. Tak terbayangkan bagaimana Mas BimBim bisa melepaskan idealisme duniawi demi sebuah nama, bernama CINTA.
Terima kasih Mas BimBim!
Terima kasih untuk semuanya ....

“Mas BimBim! Kalau boleh Mitha tahu, apa sih yang membuat Mas BimBim bisa bertahan untuk tetap sayang sama Mitha, bahkan dalam keadaan yang gak ngenakin sekalipun?” Suara Mitha memecah keheningan yang telah berlangsung beberapa saat.
“Waduh .... jujur aja ya Cah Ayu, aku tidak punya jawaban tepat untuk pertanyaan barusan! Rasa dibakar api cemburu pasti ada! Rasa berontak untuk tidak terus-menerus memendam rasa juga sering muncul!”
“Belum lagi pertanyaan, kenapa orang lain begitu bebas untuk mengungkap rasa? Sedang aku! Aku harus membungkusnya sedemikian rupa agar tidak tercium orang lain. Dan juga kenapa-kenapa lain yang silih berganti hadir ...”
“Iya .... Mas BimBim, pelan-pelan aja! Mitha akan sabar kok dengerinnya!” Mitha tersenyum mencoba menetralisir suasana ketika dilihatnya laki-laki disampingnya ini terlempar kembali ke masa-masa pergolakan batin yang terus mendera.
“Cah Ayu, seringkali aku hampir tidak kuasa menahan diri! Tapi ... syukur kepada Yesus, beberapa kali Ia mengingatkanku, dengan cara-caraNya yang ajaib, untuk tidak bertindak gegabah. Untuk tidak berlaku ceroboh!”
“Hanya satu Cah Ayu .... ya, hanya satu yang selalu terngiang ketika aku disiksa oleh rasa! BimBim .... sayang adalah melepaskan! Berikan dengan sadar apa yang bisa kau berikan tanpa merisaukan pantulan yang kau terima!” BimBim tersenyum kepada Cah Ayunya, endapan-endapan rasa masa silam perlahan mulai dapat ia tumpahkan.
“Mas BimBim .... sini!” Mitha menggamit tangan BimBim dan mengenggamnya erat-erat. Ada kehangatan kasih sayang mengalir dari sana.
“Terus terang ... walaupun aku bisa bertahan .... namun tetap saja Cah Ayu, aku adalah manusia biasa yang juga punya angan-keinginan-harapan! Yah ... catatan harianku itu sasarannya dan juga tempat ini! Tempat yang jadi saksi abadi teriakan-teriakanku. Keluh kesahku. Bahkan juga tetes air mataku!”
“Oh ... ya Cah Ayu, aku masih punya puisi yang selalu kubawa .... puisi yang jadi pengingat kala hati ini lagi gak karu-karuan .... sebentar ya!” BimBim mengambil secarik kertas dari dalam dompetnya ....

ADA MISTERI

Memandang lepas pada sebening raut
Memendar binar netra bersemayam pesona
Getaran semakin menyata
Tiada bisa
Tiada mampu
Tiada sanggup
Menepis
Menolak
Melawan
Apalagi berpaling
Terbentuk
Imaji kesukaan milik sang melati
Menggugah kembali kebekuan inspirasi
Namun ....................
Imaji hanyalah imaji
Tanpa nyata
Tiada realita
Bukan fakta
Bincang-bincang imajiner
Sambung rasa imajiner
Bedah jiwa majiner
Berbagi hati yang juga imajiner
Sampai pada mewujud angan pun imajiner

Misteri yang tetap misteri
Kesejatian berperan
Atau kesementaraan meraja
Akankah terbitnya asa sebagai awal terbenamnya eksistensi
Duhai Maha Misteri
Maukah Kau putar balikkan
Samar bermetamorfosa naskah hidup
Bernafaskan Kidung Agung Swargaloka
Atau
Misteri tetaplah misteri

Kepada melati,
Yang membangunkan rasa
Setelah sekian lama “tertidur”

Mitha tersenyum haru begitu selesai membaca lembaran salah satu prasasti akan rasa seseorang yang begitu menyayanginya itu. Seseorang yang selalu mencoba untuk memberi dan hanya memberi. Seseorang yang membuat dirinya mengerti makna terdalam dari apa yang dinamakan CINTA. Seseorang yang juga ia sayangi. Seseorang yang adalah Mas BimBim.
BimBim juga tersenyum. Senyuman bahagia bahwa pada akhirnya misteri terbuka dalam lembaran ada kehidupan yang mempertautkan angan dan kenyataan. Bahwa pada akhirnya sang kekasih hati bersanding di sisinya.
BimBim menggenggam tangan Cah Ayunya seorang, dan pasangan jiwa nan berbunga itu menimati berpadunya rasa tanpa. Tanpa tutur. Namun kaya makna!


AKHIRAN

Beberapa bulan kemudian .....
Udara pagi dataran tinggi Dieng terasa sejuk hari ini, setelah tadi malam rintik-rintik hujan mengguyur tanpa henti semalaman. Hembusan angin dingin yang walaupun menusuk tulang terasa menyegarkan mata batin, sementara sang surya memancarkan cahaya eloknya menambah kehangatan suasana pagi ini. Fenomena fajar pagi yang menyejukkan seakan menyambut fajar harapan baru dalam membuka lembaran demi lembaran ada kehidupan. Ya .... fajar hati nan merekah milik sepasang insan anak panah kehidupan yang akan terus melesat untuk selanjutnya berganti menjadi busur yang bakal melesatkan anak panah penerus ada kehidupan. Sampai nanti .... ya ..... sampai nanti.
“Cah Ayu, waduh kayaknya pulas sekali tidur Cah Ayu tadi malam! Nah begitu dong biar bangun tidur tetap tersenyum, jadi tambah manis!”
“Mulai deh, Mas BimBim! Pagi-pagi udah ngegombal!”
BimBim tersenyum lepas dan menggamit tangan Mitha, Cah Ayunya seorang, “Cah Ayu, selamat ulang tahun ya! Aku punya kado kecil petikan syair lagunya Katon Bagaskara, aku bacain!”
TAMBAH USIA

Bertambah satu usiamu
O .... semoga penuh warna
Semakin indah hatimu
Berikan cinta ‘tuk semua

Kau telah tercipa
Sebagai insan istimewa
Tumbuh dalam jiwa
Terus bahagia dan rauh cita

Syukur ‘tuk Yang Kuasa
Atas beragam anugrah
Ku sertakan doa
Panjang umur kasih berlimpah

Ikuti hidup yang mengalir
Dan reguklah hingga akhir
Karena dunia terus berubah
Jangan kau terlena dan goyah

Bertambah satu usiamu
O .... semoga penuh warna
Semakin indah hatimu
Berikan cinta ‘tuk semua

8 Iyar 5767 – 19 April 2006
Kepada Cah Ayu
Teruslah mengepakkan sayap-sayap kecilmu

Maka lembaran demi lembaran belumlah titik ................

Sabtu, 07 Februari 2009

AKU MEMILIH MAKA AKU ADA

LEMBARAN IX

RAWA PENING SANG TONGGAK


JIKA TIDAK ADA TANYA

Tanya tak berkesudahan
Menyeruak tak putus-putusnya
Mengemuka tiada perhentian
Mengejawantah laksana lautan tak bertepi
Mau kemana?
Quo Vadis?
Aliran yang bernama kehidupan ini
Menapak
Menyusur
Mengembara
Sekat-sekat begitu tipis
Kelekatan - melepaskan
Keakuan - humanisme
Lara - suka
Kognitif - afektif
Bla .... bla .... bla .....
Sekali lagi tanya masih belum habis
Bertambaha banyak malah
Seandeainya tidak ada kata bernama “T-A-N-Y-A”
Seyogyanya tidak ada kalimat “P-E-R-T-A-N-Y-A-A-N”
Jika tidak ada tanda baca “?”
Sebentuk apakah kahuripan itu
Sewujud apakah “T-H-E L-I-F-E”
Nisbi belaka
Relatif adanya
Abu-abu hadirnya
Ah ..... kembali tanya menyeruak

- ada sejuta tanya di Ambarawa -

13.42 WIB
Mas BimBim,
Ada apa ini? Mitha tahu banget Mas BimBIm orangnya memang ngaretan .... tapi gak pernah sepanjang dan selama ini membuat Mitha nunggu, sampai berjam-jam begini!
4 jam 42 menit! Rekor terlama Mas bimBim ngaret dan pasti akan bertambah panjang lagi rekor itu! Sampai detik ini pun tidak ada tanda-tanda kedatangan Mas BimBim.
Oh .... Tuhan!
Ada apa lagi ini? Mungkinkah Mas BimBim lupa kalau kita janjian hari ini?
Mungkinkah Mas BimBim ada urusan yang sangat penting dan mendadak sehingga terlambat?
Atau .... mungkinkah penantian ini sama seperti peristiwa Hananto?
Ah .... jangan Tuhan!
Aku mohon jangan terulang kembali peristiwa itu .... di saat aku sedang mencoba menyusun asa baru, pengharapan baru.
Jangan biarkan ya Tuhan!
Aku pasti tidak sanggup!

?

Terbentur hati pada tanya
Penguasa Segala
Guratan apakah hendak Kau torehkan
Suratan apakah hendak Kau sematkan
Hingga sebegini
Coba diri untuk hanya sumarah
Tak urung ragu mencuat
Laku sebagaimana adanya
Atau pembenaran yang bersemayam
Biarkan terus mengalir
Atau surut ke belakang
Dikau Yang Maha Punya Rencana
Turunkan sinyal
Sebagai pijakan menentukan hidup
Selaras panggilan alam

- di Ambarawa yang meresahkan -

Mas BimBim,
Cah Ayumu ini bingung, sangat bingung!
Sudah 14.04 WIB! Mas BimBim gak kunjung ada di sini! Mitha takut sendirian di sini, di tempat asing begini! Apalagi orang-orang sudah banyak yang ngeliatin! Mas BimBim cepat datang ....!
Untung saja tadi Pak Handoko memberi sangu Mitha 2 buah jagung rebus, so ..... lumayan buat pengganjal sementara perut ini.
Mas BimBim,
Kalo Mas BimBim tahu sekarang ini Mitha Cuma pegang uang seribu rupiah!
Sungguh .... Mas BimBim datanglah!
Tuhan ....!
Apakah memang aku masih harus menerima hukumanMu? Apakah aku harus melewati dulu semua ini? Apakah dengan Mas BimBim gak kunjung datang ini adalah salah satu dari ujian yang harus aku tempuh?
Mas BimBim,Mitha sampai gak bisa lagi mengungkapkan perasaan Mitha sejelas-jelasnya, setumpah-tumpahnya!
Paling dengan puisi-puisi yang terlintas dalam benak Mitha yang mungkin bisa sedikit jadi pelampiasan rasa.
Mas BimBim,
Ada satu yang sedikit memberikan penghiburan bagi Mitha .... ya, secarik kertas berisi tulisan tangan Mas BimBim, yang jelek itu lho ... hihihi!, yang dikasih ke Mitha saat memberitahu kabar duka dan mencoba menenangkan Mitha pada peristiwa Hananto dulu.
Mitha salin lagi ya ... tulisan Mas BimBim itu, tulisan yang kata Mas BimBim dikutip dari SANG NABI-nya Kahlil Gibran :
Kalian memiliki takdir kepastian untuk merasakan derita dan kepedihan. Jika hati kalian masih tergetar oleh rasa takjub menyaksikan keajaiban yang terjadi dalam kehidupan, maka pedihnya penderitaan tidak kalah menakjubkan daripada kesenangan.

Banyak di anatar yang kalian derita adalah pilihan kalian sendiri –obat pahit kehidupan agar sembuh dari luka hati dan penyakit jiwa. Percayalah tabib kehidupan dan reguk habis ramuan pahit itu dengan cekatan dan tanpa bicara.

Sebab meskipun tangannya keras dan berat terasa tapi ia membawa bimbingan lembut yang tidak kasat mata. Dan meskipun ramuannya demikian pahit mengigit bibir, tapi ia telah diracik dalam tetesan airmata-Nya yang keramat.

Awalnya saat Mitha membaca pertama kali, Mitha malah berkomentar kalo itu hanya penghiburan bombastis yang Mitha bahkan gak ngerti maksudnya. Komentar Mitha kala itu, “Mas BimBim, Mitha gak bisa menangkap maksud tulisan ini! Dan yang jelas perasaan Mitha saat ini gak mungkin bisa Mas BimBim rasakan! Mas BimBim gak ngalamin sendiri sih!”
Sebuah komentar yang keluar dari hati remuk redam dan tidak dapat berpikir jernih lagi!
Dan respon Mas BimBim saat itu, justru dengan sabar sama sekali tidak menunjukkan rasa tersinggung maksud baiknya malah Mitha anggap gombal, bombastis, omong kosong. Kesabaran yang baru Mitha sadari sekarang, kesabaran yang menyejukkan.
Mitha pasti akan ingat terus perkataan Mas BimBim saat itu,
“Mitha, aku tahu Mitha pasti merasa sangat menderita saat ini. Dan aku juga tahu kalau empatiku ini pasti tidak akan dapat merasakan kepedihan yang sama seperti kepedihan yang Mitha rasa sekarang. Aku juga sama sekali tidak bermaksud memberikan penghiburan yang kosong belaka.
Aku Cuma ingin membagi rasa! Itu saja. Tidak lebih.
Bahwa pedih yang Mitha rasa sekarang pasti bisa Mitha lalui. Pasti ... karena pahit kehidupan pada dasarnya adalah OBAT untuk lebih kuat dalam menjalani hidup.
OBAT yang hanya daripadaNya, yakinlah itu Mitha!
Mitha adalah orang yang tegar .... aku percaya itu!
Mitha pasti bisa bangkit!
Jujur .... aku juga belum tahu jalan keluar yang pasti sekarng ini, tapi yang pasti In God We Trust, Life will Find the Way!
Ya .... kan Mitha!”
Thanks God!
Engkau hadirkan sosok Mas BimBim sebagai orang yang selalu memberi penguatan pada diri lemah ini di saat-saat yang paling terpuruk sekali pun. Kesabaran dan kelembutan yang tak pernah kenal lelah.

Mas BimBim,
Mitha sudah bulat sekarang! Kalau Mas BimBim jam 3 tepat tidak datang juga, akan Mitha coba untuk menyusul ke Kopeng! Barangkali Mas bimBim sakit ... atau mungkin juga keluarga Mas bimBim menentang habis-habisan rencana Mas BimBim untuk menikahi Mitha. Seperti yang Mas BimBim utarakan bahwa kemungkinan ada lubang yang harus dilalui di Kopeng, yaitu persetujuan dari keluarga Mas BimBim tidak akan diberikan.
Mitha pasrah Mas BimBim .... kalaupun Mas BimBim mengurungkan niat Mas BimBim itu!
Mitha tidak akan menyalahkan Mas BimBim atau juga keluarga Mas BimBim .... jujur tidak akan! Karena Mas BimBim berhak untuk mendapatkan kebahagiaan lebih daripada sekadar mendampingi Mitha yang penuh dosa ini!
Cuma ijinkanlah Mitha bertemu Mas BimBim paling tidak untuk meminta maaf!
Mitha benar-benar pasrah Mas BimBim .... karena hanya itu yang Mitha bisa ....
Seperti rangkaian syair milik Argentum :
P A S R A H
Menggelora diri dalam penat
Bergemuruh hati dalam takut
Sesal berkepanjangan tiada henti
Pada apa laku diri di waktu lalu
Lembaran demi lembaran
Menyembul laksana gambar
Menorehkan pedih dalam titian kalbu
Hanya pasrah mengemuka
Sambil hati, jiwa, diri bersimpuh
Bertelut lutut
Luruh
Pada Sang Maha Ada
Selaras alunan Macapat Agung :
He para wong kang kasayahan lan kamomotan
Pada mareka kabeh marang Aku,
Musti Aku gawé ayemmu
Akhirnya satu asa mencuat
Duh Gusti bimbing ‘tuk bangkit

Bahan diambil dari Matius 11 : 28


Pendeta Mahatma menutup lembar terakhir yang telah ditulisi curahan rasa dari seorang gadis pemilik organizer kecil berwarna biru tua yang masih lelap tertidur dihadapannya. Pendeta Mahatma merasa agak lega sekarang karena masa kritis sang gadis telah lewat, setelah 2 hari lamanya tak sadarkan diri.
“Mas BimBim ....! Mas BimBim ....!” Itulah kata yang pertama kali terucap dari mulut Mitha saat siuman dari tidur panjangnya selama 2 hari. Hal yang membuat Pendeta Mahatma mengambil kesimpulan betapa pentingnya arti seorang Mas bimbim bagi gadis muda penuh penderitaan batin ini. Seorang gadis yang ditemukan oleh Pendeta Mahtma tergeltak tak berdaya di tepi Rawa ening saat pulang dari memimpin Kebaktian Sore.
“Mitha! Jangan banyak bergerak dulu! Mitha sudah 2 hari pingsan tak sadarkan diri, pasti badan Mitha sekarang masih lemah!” Pendeta Mahtma mencoba menahan Mitha yang mencoba bangkit dari tidurnya.
“Sa .. ya.... a ... da .... di mana ... ini?”
Mitha .... ada di klinik “KASIH” sekaligus rumah saya! Oh ... ya perkenalkan saya Mahtma!”
“Oh .... aduh, kepala ini masih pening! Nnggg .... saya Mitha. Kenapa saya bisa sampai begini dan kenapa saya bisa ada di sini, dok?” Mitha memandangi sekujur tubuhnya, selang infus yang ada di tangankirinya, perban di utut kanannya.
“Sebaiknya ... Mitha istirahat dulu sekarang, nanti saya ceritakan! Dan Puji Tuhan Mitha sudah melewati masa kritis Mitha!”
“Oh .... tapi .... tapi ..... bagaimana dengan kandungan saya, dok?” Mitha tiba-tiba teringat sang calon ada kehidupan di kandungannya. Ia begitu khawatir akan kondisi si kecil.
“Tenanglah Mitha .... kondisi bayi Mitha baik-baik saja! Dan saya sebenarnya bukan dokter. Selama ini Mitha dirawat oleh dokter Sus, yang ekarang sedang ke Salatiga mengambil obat untuk persediaan klinik ini.” Ada senyum kelegaan di bibir Pendeta Mahatma, kelegaan bahwa sang gadis ini telah siuman dan tak mengalami hilang ingatan.
“Sekarang Mitha istirahat dulu ya ...”
“Baik ... Pak Pendeta Mahatma, terima kasih atas semuanya, walaupun saya masih bingung akan apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya .... sekali lagi terima kasih!” Mitha akhirnya menyadari bahwa laki-laki dihadapannya ini adalah seorang gembala umat, setelah dirinya melihat segaris kain putih di tengah-tengah kerah kemeja hitam yang dikenakan Pendeta Mahatma.
“Jangan dirisaukan! Saya hanya kebetulan mendapati Mitha tergeletak pingsan di tepi Rawa Pening. Oh ya ... bisa panggil saya Atma, begitu saya biasa dipanggil. Saya tinggal ke belakang sebentar ya, ambil air hangat untuk Mitha.”
“Terima kasih Pendeta ...! Pendeta Atma .... boleh saya minta tolong? Pendeta mau kan baca catatan harian saya, supaya Pendeta mengetahui apa yang tengah saya hadapi? Ada beberapa pertanyaan ingin saya ajukan ke Pendeta. Sebelumnya maaf ya saya merepotkan Pendeta terus ...” Mitha menyerahkan organizer kesayangannya pada pendeta Atma.
“Baik ... Mitha! Tenang saja ... sama sekali tidak merepotkan!”
Maka terbukalah lembaran-lembaran pergulatan sang gadis dihadapan Pendeta Atma, pergulatan hidup yang mengantarkan Mitha pada kondisi seperti sekarang. Begitulah.

###

“Sore .... Mitha! Bagaimana sudah segar sekarang ....?”
“Pendeta Atma ...! Boleh kita mengobrol di depan sambil meniati pemandangan sore? Itu kalau tidak merepotkan lho ...”
“Bagaimana dokter? Pasien cantik kita ini sudah tidak betah berdiam diri di kamar saja rupanya, boleh ...?” Pendeta melirik pada dokter Susi yang tengah mengecek infus dan denyut nadi Mitha.
“Tidak apa-apa Pendeta, memang sudah waktunya Mitha menghirup udara luar! Silakan kalau mau duduk-duduk di depan!”
“Bagus ...! Ayo Mitha .... kamu basuh dulu tubuhmu dan dandan yang cantik! Kita lihat Rawa Pening di sore hari, belum pernah kan?”
“Wah ... terima kasih dokter Susi! Terima kasih Pendeta Atma! Aku senang sekali!” Ada senyum ceria di bibir Mitha. Senyum yang selama ini seperti lenyap ditelan prahara.
“Kalau begitu .... saya tunggu di luar ya ...” Pendeta Atma keluar ruangan tempat selama ini Mitha dirawat dengan antusias. Antusiasme yang merupakan cerminan kelegaan melihat Mitha menemukan kembali semangat hidup.
###

“Pendeta Atma ....! Pendeta sudah membaca catatan harian saya?”
“Sudah Mitha .... sampai habis! Untuk gadis muda seusiamu, sungguh berat dan berliku jalan hidup yang harus dijalani, sungguh!”
“Begitulah Pendeta! Boleh saya bertanya sesuatu, Pendeta?”
“Silakan .... apa saja!”
“Apakah Tuhan sudah tidak memberikan ampunan lagi bagi dosa-dosa yang saya buat? Sehingga mungkin untuk kesekian kalinya saya akan menghadapi semuanya ini sendirian?”
“Mitha ...! Selama kita mau sadar akan segala kelemahan dan dosa-dosa yang kita perbuat, untuk kemudian kita serahkan semua permohonan ampun serta seluruh hidup kita selanjutnya, percayalah! Tiada yang tak terampunkan!”
“Sekalipun doa yang yang kita lakukan adalah dosa terbesar, Pendeta ...?”
“Untuk dosa apapun, Mitha! Tak ada yang tak terampunkan!”
“Mitha tahu kan, bahwa Dia datang untuk yang sakit, bukan yang sehat! Karena yang sehat tidak perlu disembuhkan.”
“Dia selalu dekat dan menghampiri pada yang sakit, yang terjatuh, yang berada dalam kesesakan! Hanya seringkali justru kitalah yang menjauh! Percayalah, Dia, Yesus junjungan kita, tidak pernah meninggalkan kita apapun dan bagaimanapun kondisi kita, bahkan ketika terperosok ke dalam lubang tergelap dan terdalam sekalipun ....!” Pendeta Atma terdiam sebentar.
“Yang perlu kita lakukan Mitha ... adalah kita hanya perlu membuka kesadaran bahwa kita tidak pernah sendiri, itu saja ....!”
“Mitha .... dengarkan lagu Franky Sihombing ini! Lagu ini bisa jadi bahan perenungan kita akan apa yang barusan saya gambarkan ... dengarkan ya Franky ar Rawa Pening ...hahaha ...!”
Dan terlantunkan gita permenungan yang menyejukkan jiwa,
BAPA YANG KEKAL

Kasih yang sempurna telah
Ku t’rima dariMu
Bukan kar’na kebaikanku
Oleh kasih karuniaMu
Kau pulihkan aku
Layakkanku ‘tuk dapat memanggilMu
Bapa .....
Kau b’ri yang kupinta
Saat kumencari kumendapatkan
Kuketuk pintuMu dan Kau bukakan
S’bab Kau Bapaku Bapa yang kekal
Tak kan Kau biarkan
Aku melangkah hanya sendirian
Kau selalu ada bagiku
S’bab Kau Bapaku Bapa yang kekal

“Pendeta Atma ... terima kasih!” Tetesan air bening mengalir dari ke dua mata Mitha, tersentuh oleh tembang yang baru saja terlantun. Tersentuh oleh dalamnya makna syair-syair yang mengalir. Tersentuh oleh kesadaran bahwa kasih kekal Allah Bapa yang tidak pernah meninggalkan dirinya.
“Mitha ... untuk selanjutnya, apa yang akan Mitha lakukan?” Pendeta Atma mencoba menggugah suasana agar Mitha tak terhanyut dalam dekapan lara.
“Pendeta Atma ...” Mitha menarik napas sebentar, “Saya serahkan semua yang akan terjadi biarlah terjadi. Termasuk Mas BimBim, jika pada akhirnya dia membatalkan rencana untuk menikahi saya.”
“Jujur ... Pendeta, saya tidak akan mempersalahkan Mas BimBim, karena Mas BimBim berhak .... ya, sepenuhnya berhak untuk menentukan jalan hidupnya, Mas BimBim berhak untuk bahagia! Dan saya akan tetap menghormati Mas BimBim sebagaimana adanya Mas BimBim, sebagai orang yang selama ini setia mendampingi dan membimbing saya menjalani hidup.”
“Terus .... bagaimana dengan si kecil dalam kandunganmu, Mitha ...?”
“Tentu saya akan menjaga calon kehidupan ini, Pendeta! Apapun resikonya si kecil ini ...” Mitha memegangi perutnya dengan lembut, “akan saya lahirkan, saya rawat sebaik-baiknya! Karena dia tidak berdosa sama sekali dan juga ciptaan Allah yang harus saya tumbuhkembangkan sebagai wujud tanggung jawab atas dosa yang saya perbuat!”
“Walaupun untuk itu pada akhirnya saya harus melakukannya tanpa pendamping! Ya, walaupun saya harus sendiri ...!”
“Mitha ... saya kagum akan ketegaranmu! Kamu pasti jadi ibu yang baik, ibu yang kuat, seorang ibu yang ditempa langsung oleh kehidupan! Saya bangga kepadamu, Mitha!” Pendeta Atma memegang bahu Mitha.
“Semoga Allah Bapa memberkati kita semua ...”
“Amin ...”

###

PENYERAHAN
Mengalir alunan pujian sejati,
“Berserah kepada Yesus
Tubuh, roh, dan jiwaku ....”
Terpatri kepasrahan
Yang adalah penyerahan nurani
Akan tautan agung
Penguasa Tunggal segala ada
Mengejawantah dalam pribadi
‘Yang Diurapi – Juru Selamat’
Bersandar berharap
Agar senantiasa diperbaharui
Disempurnakan
Sebagai pribadi penuh utuh
Menuntaskan pada hidup memanggil
Berkalung mutiara keselamatan
DaripadaMu
Junjungan bumi dan langit
Selaras tekad nurani
Laksana untaian kidung pujian,
“Kukasihi, kupercaya
Kuikuti Dia t’rus ...”

Sumber : Kidung Jemaat no. 364

Yesus Kristus,
Terima kasih atas penyertaanMu
Atas pengampunanMu yang tiada berkesudahan
Atas kasih setiaMu
Engkau sungguh tiada sedetik pun meninggalkan hambaMu yang penuh noda-cela-nista ini!
Bahkan Kau pertemukan aku dengan orang-orang baik
Dengan orang-orang peduli
Dengan orang-orang tulus
Dokter Susi,
Terima kasih! Dokter begitu sabar dan tiada kenal lelah merawat aku dan ‘si mungil’ ini. Entah bagaiman jadinya kalau aku tidak dirawat di sini, bisa-bisa aku sia-siakan ‘si mungil atau bahkan aku akan mem ....
Ah ....
Jangan ya Yesus! Membayangkannya saja aku tidak sanggup.
Apapun yang terjadi ....
‘Si mungil’ harus hadir ke dunia ini dengan sehat!
Segala daya akan aku kerahkan untuk itu!
Ya, itulah wujud permohonan ampunku
padaMu
hanya padaMu, ya Yesus!
Pendeta Atma ....!
Ah .... kata-kata apa lgi yang bisa aku ucapkan atas kemurahan hati Beliau.
Tidak ada!
Sungguh tidak ada kata yang bisa mengungkapkannya!
Kehangatan Pendeta dan orang-orang di sini membuat aku tergugah,
Bahwa .... sejatuh-jatuhnya, seterpuruk-puruknya ....
Pasti masih ada harapan
Sekecil apapun asa itu!
Mas BimBim,
Di mana pun Mas BimBim berada sekarang, percayalah Mitha baik-baik saja sekarang, dan semoga juga begitu Mas BimBim adanya.
Syukur pada Yesus!
Aku dipertemukan dengan orang seperti Mas BimBim
Yang banyak mengajarkan aku
‘tuk menjalani hidup dengan sadar
‘tuk menjalani hidup dengan berserah total
Jujur!
Sampai sekarang Mitha, Cah Ayumu ini, tidak punya prasangka apa-apa pada Mas BimBim.
Mitha hanya merasa pasti ada apa-apa dengan Mas BimBim. Mitha percaya benar kalau Mas BimBim mengurungkan niat untuk menikhai Mitha, mas BimBim pasti akan bicara langsung pada Mitha.
Mitha percaya Mas BimBim bukan orang yang dengan gampang begitu saja dari suatu permasalahan
Mas BimBim yang Mitha kenal jauh dari hal itu!
Mas BimBim,
Baik-baik saja di sana ya ...
Doa Mitha dan ‘si mungil’ selalu menyertai Mas BimBim!
Mas Aji dan Mbak Agni,
Tiba-tiba saja Mitha kangen sama Mas dan Mbak berdua!
Mitha .... entah kenapa ... merasa Mas dan Mbak begitu dekat sekali ....
Mitha kangen kepengen ketemu dan ngobrol-ngobrol!

“Mitha ....!”
“Ya .... Pendeta! Masuk saja, tidak dikunci kok!”
“Maaf .... Mitha! Saya mengganggu ya ...?”
“Oh .... tidak, sama sekali tidak, Pendeta! Saya hanya sedang menulis catatan harian!”
“Mitha .... saya punya tamu istimewa untuk Mitha di luar!”
“Tamu ...? Untuk saya .... ? Siapa ya pendeta? Saya tidak pernah memberitahu siapapun kalau saya ada di sini!” Jantung Mitha berdegup, bertanya-tanya siapa gerangan tamu untuknya itu, apalagi ‘istimewa’ seperti kata Pendeta Atma.
“Pokoknya tamu istimewa!” Pendeta Atma tersenyum penuh arti.
“Saya persilakan ke sini saja ya! Tunggu sebentar!”
“Siapa ya ....? Jangan-jangan Mas A ....”
“Selamat pagi Mitha! Genduk Ragilku!”
“Mas Aji .... Mbak Agni ....!”
Ketiga saudara kembar tersebut berangkulan penuh haru. Kehangatan segera menyebar memenuhi ruangan. Kehangatan berkumpulnya keluarga. Kehangatan bersatunya ikatan batin. Kehangatan kasih sayang. Kehangatan anak-anak milik Sang Empu Hidup.
“Aduh ...! Aduh ...! Kok aku dijewer sih Mas?”
“Kamu ini! Buat orang sibuk aja! Menghilang begitu saja tanpa kabar, tanpa berita, pantas kalau dijewer!”
“Maaf ... maafkan Mitha, Mas Aji! Mbak Agni!”
“Eh ... Mitha! Kamu pake ilmu menghilang apa sih? Seakan-akan orang satu Nusantara ini gak tahu keberadaanmu! Seharusnya para koruptor buron itu belajar dari kamu ... hahaha!” Aji mengusap-usap rambut adik bungsunya itu. Ada aliran kasih sayang tercurah di sana.
“Ehm ... ehm ...! Mitha! Aji! Agni! Maaf mengganggu ...!”
“Eh .... eh ...! Kami justru yang minta maaf Pendeta! Kami jadi terhanyut begini, jadi tidak mempedulikan Pendeta!” Agni cengar-cengir menahan malu dan tersenyum pada kedua saudara kembarnya.
“Ah ... tidak apa-apa, saya maklum sekali! Begini ... saya pikir sebaiknya saya ceritakan sekarang saja apa yang sebenarnya terjadi pada BimBim sekarang! Kalian siap kan?”
“Mas BimBim ....? Ada apa dengan Mas BimBim, Pendeta ....?”
“Baiklah .... sekarang saya akan ceritakan ....”

###

“Begitulah ... Mitha! Aji! Agni!”
“Mitha, maafkan saya! Saya lancang membuka catatan harian kamu! Sebenarnya waktu kamu tak sadarkan diri beberapa hari yang lalu, Mas Aji dan Mbak Agni sudah saya hubungi dan sampai ke sini. Cuma memang saya yang meminta mereka supaya sabar, menunggu setelah kamu sadar dan dapat menetralisir kondisi mental kamu seperti sekarang ini ...”
“Jadi ....”
“Benar Mitha! Mbak dan Mas Aji selama ini menginap di rumah Pak Karto, ketua Majelis gereja di sini!”
“Nah ... mengenai Mas BimBim! Kebetulan saya adalah ‘alumnus’ Wisma, alumnus dengan tanda petik, saya sebenarnya dibuang secara halus oleh institusi ke tempat ini. Karena aktivitas berbau politik saya di Wisma dianggap membahayakan lembaga..”
“Makanya saya dapat dengan mudah menelusuri apa yang terjadi dengan Mas BimBimmu itu!”
“Jadi Mas BimBim ... hilang tak ada kabar beritanya bersama tujuh orang teman-teman pergerakannya?”
“Benar ...! Menurut dugaan kuat kami, para ‘alumnus’ Wisma yang coba menelusuri, kemungkinan Mas BimBim dan tujuh orang anak Wisma lainnya, termasuk Binsar diculik oleh pihak yang tidak senang atas aktivitas mereka. Terlebih lagi setelah aksi demonstrasi terakhir mereka, coba lihatlah selebaran ini!” Pendeta mengambil lembaran selebaran dari saku kemejanya dan menyerahkan kepada Aji.
“Ah .... shit! Berani dan gegabah sekali mereka! Ini sih sama saja membakar namanya!” Aji gusar sekali setelah membaca selebaran serba provokatif itu.
“Wah ... wah ...! Aku gak percaya BimBim yang cerdas dan humanis, jadi fanatisme fundamental kayak gini!” Agni geleng-geleng kepala setelah bergantian membaca selebaran itu.
“Tapi ... tidak mungkin Mas BimBim terlibat dalam demo itu! Hari di mana demo dilakukan adalah hari keberangkatan kami berdua! Pagi-pagi sekali saya dan Mas BimBim berangkat ke Bukit Doa di Ungaran! Sampai sore hari kami di sana untuk kemudian berpisah di Bawen, saya ke Ambarawa dan Mas BimBim pulang ke Kopeng. Saya yakin sekali!” Mitha melihat ada yang janggal dari peristiwa menghilangnya BimBim.
“Benar! Mitha benar sekali! Binsar dan yang lainnya memang ‘diangkut’ di Semarang, malam hari setelah demo berlangsung. Hanya BimBim yang ‘dijemput’ keesokan harinya di Kopeng! Kami sudah memastikan hal itu lewat keluarga BimBim di sana.
“Dan itu yang kami herankan! Kelompok penculik itu tahu betul latar belakang BimBim, Binsar, dan yang lainnya. Mereka sangat profesional!”
“Terus .... bagaimana keadaan mereka sekarang, Pendeta?” Mitha tersendat-sendat, ada guratan khawatir dari nada suaranya.
“Jujur .... kami belum mendapatkan petunjuk berarti! Kami hanya mendapatkan perkiraan saja, ada 5-6 lokasi dari mana kelompok tersebut berasal. Tapi kami akan terus berosaha melakukan penelusuran sampai ada titik terang, berdoalah terus Mitha!”
“Mas BimBim ....”
“Satu hal Mitha! Mas BimBim tidak pernah berniat meninggalkanmu! Surat terakhir pada keluarganya di Kopeng sebelum dia ‘dijemput’ menegaskan hal itu! BimBim hilang saat akan pergi untuk menemuimu di Museum Kereta Api Ambarawa, itu yang bisa saya pastikan!”
“Mas BimBim ...! Mas BimBim memang orang yang selalu menyayangi Mitha! Bagaimana keadaan Mas BimBim sekarang?”
“Saran saya .... sebaiknya kita coba bahu-membahu mencari tahu keberadaan BimBim dan kawan-kawan! Agni ...! Sebaiknya Agni ke Jakarta, saya kira Agni punya banyak channel di sana, bukan begitu?”
“Benar ... Pendeta! Sepertinya saya punya beberapa kenalan yang mungkin bisa memeberi petunjuk berarti, saya akan berangkat siang ini juga ke Jakarta! Mitha sebaiknya ikut Mbak saja, oke?”
“Tapi .... bagaimana dengan Papa, Mbak? Mitha takut sekali bertemu Papa!”
“Papa .... itu biar urusan Pakde Wismoyo, kamu tenang saja!” Aji mencoba menenangkan adik bungsunya yang sedang berkecamuk itu.
“Terus .... Aji! Sebaiknya kamu pulang ke Jogja, di sana kamu akan saya perkenalkan dengan teman-teman yang lain! Bagaimana ...?”
“Baik .... Pendeta! Saya pikir memang begitu, karena saya akan lebih mudah berhubungan dengan Pendeta Atma dan teman-teman BimBim di Semarang.”
“Kalau begitu .... ada baiknya kita berdoa agar BimBim dan yang lainnya, termasuk kita semuanya selalu berada dalam naungan perlindungan kasih Yesus .... mari ....!”


LEMBARAN X

PENELUSURAN DI JANTUNG METROPOLITAN


Jakarta padat sekali siang ini. Seperti biasa kota metropolitan ini, yang segera diubah menjadi MEGAPOLITAN demikian sang penguasa kota punya ambisi, menghabiskan waktu siangnya dengan keramaian lalu lintas. Lalu lintas padat jam makan siang. Lalu lintas kendaraan bermotor. Lalu lintas manusia. Lalu lintas aktivitas. Lalu lintas kehidupan.
Agni menerawang jauh ke bawah melihat hamparan keramaian dari balik kaca gedung tempatnya duduk. Dia sengaja memilih tempat dekat kaca di dalam kafetaria sebuah gedung bertingkat ini, agar dapat leluasa melihat pemandangan jalan dan gedung-gedung di sekitarnya, begitu batinnya berkata kala memilih tempat.
“Agni ...kamu sudah bulat dengan keputusanmu itu? Cobalah kamu pikir-pikir lagi, kamu tampak muram sekali saat ini!” Perkataan Pak Joni yang tanpa disadari sudah duduk di depannya, membuat Agni sedikit terhenyak dari lamunannya.
“Eh .... i .... ya .... Pak! Saya sudah bulat!”
“Maaf, mengagetkan kamu! Ini pesananmu, ayo diminum dulu biar agak tenangan sedikit!”
“Baiklah ... kalau begitu! Sebenarnya sayang sekali kalau kamu Resign sekarang! Jujur .... tidak banyak kru yang bisa aku andalkan seperti kamu di tempat kita! Tapi .... aku tidak akan memaksa!”
“Pak Joni! Sebenarnya saya undang Bapak untuk ngobrol di sini adalah untuk menceritakan alasan sebenarnya pengunduran diri saya dari kantor ...” Agni mulai memberanikan diri membuka cerita, dia tahu persis bahwa dibalik kekakuan dan kedisiplinan bosnya ini, Pak Joni adalah orang yang sangat care pada siapapun.
“Ya ... teruskan Agni!”
“Begini .... Pak! Bapak masih ingat Mitha kan? Adik kembar saya yang paling sering Bapak ajak main tebak-tebak itu? ....” Begitulah, akhirnya mengalir kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Mengalir secara detil dari mulut Agni apa yang tengah dihadapinya kepada sang bos yang sebentar lagi akan menjadi mantan bosnya.
“Bos ....! Kalau tidak salah Bos banyak kenal aktivis dan mantan aktivis di sini. Boleh aku minta tolong?” Agni menyudahi cerita panjangnya.
“Hmmmhhh ....! Kamu benar Agni! Aku memang punya banyak kenalan orang-orang model BimBim, cuma .... jujur! Perkara ini kompleks sekali!”
“Seberapa kompleks atau peliknya Pak Joni, kalau boleh saya tahu?”
“Begini .... yang pasti aku akan membantu kamu semampu yang aku bisa! Tapi ... sebaiknya aku kasih gambaran dulu .... apa yang ada dibalik kasus BimBim ini ...”
“Agni .... apa yang disebut Teori Konspirasi itu sebenarnya bukan isapan jempol! Dia akan selalu ada seiring dengan terus adanya konsep negara dan kekuasaan!”
“Nah ... model-model penghilangan atau penculikan orang-orang yang disebut aktivis sebagai bagian dari Politik Konspirasi, tidak jarang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu oleh pergerakan atau aktivitas para aktivis itu. Dan ini sebenarnya bukan barang baru di sini. Di negeri kita kita ini!”
“Kamu masih ingat .... masa Rejim Orde yang lalu, di mana pihak kekuasaan dengan apa yang terkenal disebut Tim Mawar-nya, yang entah memang aktor pelaksana utama atau hanya sekadar tumal, melakukan aksi penculikan besar-besaran terhadap para aktivis kala itu. Sebuah aksi yang sampai sekarang pun masih menyisakan tanya akibat banyak korbannya yang tidak jelas keberadaannya.”
“Iya .... Bos! Saya banyak tahu dari membaca file di PUSDOK kantor kita .... terus apa ada kaitannya dengan kasus BimBim ini, .... Bos?”
“Seperti yang kukatakan, ini masalah yang pelik seperti benang kusut! Jujur .... aku tidak tahu apakah kasus BimBim berkaitan atau tidak! Sama seperti aku tidak tahu apa yang benar-benar terjadi dibalik hilangnya para aktivis kala itu ...!”
“Kamu akan memasuki wilayah serba abu-abu, Agni!”
“Untuk itu ... aku akan coba membantu kamu, menghubungkan dengan beberapa orang yang bisa aku percaya! Cobalah gali informasi dari mereka, karena 5-6 tahun belakangan aku banyak meninggalkan jaringan. Sehingga validitas informasi yang aku punya patut untuk diragukan, gimana ...?”
“Wah ... terima kasih sekali, Bos!”
“Oke .... kamu tunggu kabar dari aku, secepat mungkin aku akan pertemukan kamu dengan teman-temanku satu persatu!”
“Sip ...! Aku tahu Bos-ku satu ini pasti bisa diandalkan! Dan terima kasih atas kerjasamanya selama ini di kantor, maaf .... kalau aku sering bikin sebel Bos .... hihihi!” Agni menjabat tangan Pak Joni sebagai tanda perpisahan dari relasinya di tempat kerja, namun tentu saja tidak sebagai relasi persahabatan.
“sama-sama! Urusan administrasi, kamu gak usah khawatir, nanti terima beres saja! Dan kalau permasalahanmu sudah selesai, datang saja ke kantor! Siapa tahu ada posisi yang bisa aku usahakan untuk kamu, oke!”
“Oke .... deh, Bos! See you!”
“See you, Agni and take care!”

# # #

“Mbak Agni ...! Ada telpon tuh .... dari Pak Joni!” Suara Mitha terdengar dari depan pintu kamar Agni yang tertutup.
“Oke ... oke ....! Sebentar ya Tha!” Agni segera memberi jawaban dan setengah berlari membuka pintu kamar serta menghampiri tempat alat telekomunikasi jarak jauh itu tergeletak.
“Halo .... Bos! Gimana .... ada info apa?”
“Hahaha .... Agni! Agni! Sabar dulu Non! Sampai ngos-ngosan begitu! Atur dulu napasmu ....”
“Maaf ....! Maaf ....! Bos! Aku udah gak sabaran lagi ..... hihihi!” Agni tersipu malu menyadari tingkahnya yang serba tidak sabar itu.
“Agni ...! Nanti sore kita ketemuan di kafe biasa ya! Aku mau kenalin kamu sama Albertus! Kita bisa dapat info banyak dari dia! Jam 6, oke ...?”
“Siap .... Bos! Aku ajak Mitha sekalian gak apa-apa kan Bos? Biar dia juga bisa tahu ....”
”No problem! Ajak saja Mitha, bilang sama Mitha kalau aku punya tebakan yang pasti gak akan bisa dia jawab! Oke ..... gitu aja, sampai ketemu nanti sore!”
“Makasih banyak Bos! I know I always can count on you! Bye ....!”

# # #

“Agni! Mitha! Model penghilangan aktivis dengan cara ‘diambil’ memang tidak lagi jadi ‘tren’ seperti masa Tim Mawar dulu!” Albertus membuka keterangan yang akan disampaikannya .... sembari tangan kanannya yang kekar dipenuhi bulu-bulu memainkan sedotan Orange Punch yang dipesannya.
“Saya kebetulan tahu Kasus Semarang itu! Karena salah satu korban, Prihandoko! Sama-sama aktif di pergerakan kaum buruh!”
“Oh ... ya, Pri! Bagaimana dengan eyang putrinya, Kak Albertus? Dia kan sudah yatim piatu dan tinggal dengan eyang putri satu-satunya ...” Mitha masih ingat Pri, panggilan Prihandoko, salah seorang Anak Wisma yang beberapa kali pernah diajak Mas BimBim ke tempat kosnya.
“Sampai sekarang kami belum memberitahu yang sebenarnya kepada Eyang! Kami hanya katakan kalau Pri sedang keluar kota untuk urusan kampus. Tapi jika dalam seminggu ini tidak ada kejelasan, terpaksa kami akan buka semuanya ... walaupun sampai sekarang kami belum tahu bagaimana cara menyampaikannya ....”
“Agni! Mitha! Saya dapat pastikan kalau kecil kemungkinannya aksi penculikan BimBim dan kawan-kawan dilakukan oleh aparat atau yang berhubungan dengan kekuasaan!”
“Faktanya adalah bahwa FATS, Forum Anak Terang Semarang, merupakan organisasi spontan dan bersifat sporadis yang tidak terorganisir rapi dan sistematis, ini jelas bukan target para alat kekuasaan! Kedua, adalah bahwa walaupun demo tempo hari ditujukan untuk mengkritisi pihak kekuasaan, namun justru beraroma SARA yang sangat kental, ada nuansa sektarian yang kuat di sana, hal yang sengaja atau tidak memang dibiarkan oleh alat kekuasaan untuk meredam daya kritis rakyat. Dan yang fakta ketiga, adalah bahwa alat kekuasaan sekarang ini cenderung untuk tidak mempergunakan model-model atau metode-metode ‘lama’ dalam Politik Konspirasinya .....” Albertus berhenti sebentar untuk menyeruput minumannya.
“Nah .... hipotesa saya dan teman-teman untuk sementara ini adalah penculikan BimBim dan kawan-kawan dilakukan oleh kelompok yang tidak senang dengan aktivitas mereka, dalam kaitannya dengan isu SARA! Ada juga sebenarnya hipotesa bahwa pihak kekuasaanlah yang ‘bermain’ dengan menyusupi kegiatan BimBim dan kawan-kawan dan mencari momentum untuk menyingkirkan mereka dengan isu ampuh, SARA! Tapi hipotesa terakhir ini belumlah mendapat bukti yang kuat, sehingga hipotesa pertamalah yang menjadi prioritas kami sekarang.”
“Albertus ....! Sebaiknya menurut kamu, apa yang mesti dilakukan oleh Agni dan Mitha dalam menelusuri keberadaan BimBim ...?” Pak Joni mencoba langsung pada pokok pembicaraan.
“Sebaiknya kalian mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya apapun itu yang berkaitan dengan kasus ini! Oh ... ya dalam 2 tahun ini sudah ada 3 kasus serupa, pertama di Purwokerto, kedua di Makasar, dan terakhir di Semarang yaitu yang terjadi pada BimBim dan kawan-kawan!”
“Agni .... coba hubungi Mas Aji dan Pendeta Atma untuk kontak dengan teman-teman mantan korban penculikan di Purwokerto, data-datanya nanti akan saya berikan!”
“Baik ... terima kasih Kak Albertus!”
“Saran saya .... teruslah melakukan penelusuran dan persiapkan diri dan hati akan segala kemungkinan! Karena apapun dapat saja terjadi ...!”
“Maaf! Saya bukannya berpikiran jelek ... tapi apapun dapat terjadi, bukan ...?”
“Benar Kak Albertus! Saya juga sudah pasrah akan apapun yang akan terjadi! Saya Cuma bertekad bahwa Mas BimBim harus ditemukan bagaimanapun kondisinya!” Mitha berkata perlahan, namun terasa getaran ketegaran dari perkataannya itu.
“Bagus! Saya salut pada kalian! Satu lagi saran saya, jangan serampangan dalam menggali informasi! Si Joni ini bisa kalian andalkan, saya tahu persis kebengalannya dari dulu! Hehehe ...!”
“Ah ... sama-sama anak bengal! Jangan saling menjatuhkan dong! Hahaha ...!” Pak Joni ikut tertawa mencoba mencairkan suasana yang semakin terlihat tegang.

# # #

“Semar, kaulah pohon Mandira itu. Pohon Mandira itu adalah pohon petang dan terang, pohon itu tidak memisahkan matahari dan bulan, siang dan malam. Maka kau adalah samar, ya Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat terang dalam kegelapan, kebaikan dalam kejahatan. Hanya dengan hatimu yang samar pula, kau dapat melihat kegelapan dalam terang, kejahatan dalam kebaikan. Semar, banyak orang tertipu oleh kejahatan yang tersembunyi di dalam kebaikan. Mereka menjadi sombong karena kebaikan. Jika matamu benar-benar samar, ya Semar, maka kau takkan terpukau oleh apa pun, juga oleh kebaikan, yang sering bersembunyi dalam kejahatan.”
Dari SEMAR MENCARI RAGA
kar. Rm. Sindhunata

Mas BimBim,
Sudah 2 minggu semenjak peristiwa Mas BimBim diculik.
Dan sampai sekarang masih samar!
Ya .... seperti petikan yang diambil dari Buku SEMAR MENCARI RAGA yang dipinjemin Mbak Agni, semua serba samar. Semua serba simpang siur. Semua serba abu-abu.
Mitha kasihan sebenarnya dengan Mbak Agni, yang sampai rela keluar dari kerjanya demi membantu Mitha menelusuri jejak Mas BimBim. Tapi juga bangga dengan Mbak Agni! Benar-benar wanita perkasa!
Coba kalau Mbak Agni tahu, Mitha nulis kayak gini. Kalau Mitha masih ngungkit soal Mbak Agni yang keluar dari tempat kerjanya .... wah! Bisa marah besar dia! Bisa menjelma seperti DEWI MEDUSA Mbak Agni itu .... hihihi!
Tapi .... sungguh Mitha bangga sekali!
Punya kakak seperti Mbak Agni, juga Mas Aji!
Mereka semua rela mengesampingkan rasa kesal, rasa marah akan kesalahan Mitha selama ini!
Mereka justru bahu-membahu memerikan segala daya upaya demi menemukan Mas BimBim!
Mitha tahu ....
Upaya Mas Aji dan Mbak Agni sekuat tenaga untuk dapat titik terang di mana keberadaan Mas BimBim adalah terutama demi Mitha!
Adik bungsu mereka ini!
Terima kasih Yesus!
Atas segala karuniaMu, untuk Kau hadirkan orang-orang yang begitu menyayangi diri hambaMu ini.
Mas BimBim,
Bertahanlah .... di mana pun Mas BimBim berada!
Doa dan kasih sayang Cah Ayumu ini akan selalu menyertai perjuangan Mas BimBim.
Entah ... Mitha yakin sekali Mas BimBim masih hidup dan akan kembali di samping Mitha suatu saat nanti ...!
Bukannya Mitha tidak mau berserah ....!
Sungguh, seperti yang selalu diajarkan Mas bimBim untuk menyerahkan segala sesuatu sama Yang Maha Pemilik Semua, Yesus Kristus!
Maka ..... Mitha coba untuk senantiasa berserah ....
Tapi entah darimana asalnya .... keyakinan kalau Mas BimBim akan kembali selalu ada!
Walaupun ....
Jujur! Di tengah-tengah informasi dan keterangan yang silih berganti berdatangan ....
Dari banyaknya versi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terhadap Mas BimBim dan kawan-kawan ...
Dari hipotesa satu yang hampir mencapai titik kejelasan sampai akhirnya datang hipotesa lain yang justru malah mementahkan kembali hipotesa pertama ...
Wah ...
Pokoknya serba simpang siur deh Mas BimBim!
Seakan simpang siurnya lalu lintas jalan Sudirman-Thamrin kala jam sibuk masih tidak seberapa dibandingkan semrawutnya arus berita-informasi-keterangan mengenai keberadaan Mas bimBim.
Memang ...
4 hari lalu hampir saja ada satu titik terang, yaitu ketika Kak Albertus mendapatkan informasi bahwa ada 1 kelompok fundamentalis radikal di daerah Demak dan Purwodadi berencana ‘menggulung’ kelompok FATS. Namun .... info itu menjadi mentah ketika pada akhirnya didapat kenyataan bahwa kelompok tersebut gerakannya lebih terbuka, tidak dengan aksi terselubung lewat aksi culik-menculik! Ditambah lagi melalui info orang dalam, bahwa mereka sebenarnya kalah cepat dalam bergerak. Sebelum mereka melancarkan aksi, Mas BimBim, Binsar, Prihandoko, dan lainnya sudah keburu ‘menghilang’ diambil kelompok lain yang mereka sendiri tidak tahu dari kelompok mana.
Benar-benar ..... tambah tidak karuan kan?
Eh .... ada telpon masuk ... nanti diterusin lagi ya!

# # #

Agni membuka pintu bertangkai besi itu, dan dengan sekuat tenaga mendorongnya keluar. Akhirnya ... pintu di lantai paling atas sebuah gedung bertingkat di jantung metropolitan itu terbuka .... dan Agni segera merentangkan kedua tangannya menentang terpaan angin keras di puncak bangunan yang tanpa atap itu.
Sang gadis perkasa dengan masih merentangkan tangan terus berjalan menuju sebuah lingkaran besar berwarna merah yang terdapat huruf H besar berwarna merah pula di tengahnya. Dirinya berhenti tepat di tengah-tengah huruf H tadi dan seperti melakukan ritual tertentu, tubuhnya berputar ke arah 4 penjuru mata angin dan berhenti kembali di tempatnya semula menghadap.
“Hey .... what’s up bro! Sudah hampir setahun ini aku tidak kemari! Masih seperti dulu saja, tetap sunyi. Tetap asyik untuk menyendiri. Tetap tak terawat .... hihihi!”
“Aaaaaaaa .....!” Agni berteriak sekeras-kerasnya. Sebuah teriakan panjang seakan ingin ia tumpahkan seluruh emosi dan perasaan tertahan dalam teriakan itu ....
Hei .... Yesus! Di tempat tinggi ini! Aku coba menghadap padaMu! Setelah apa yang Kau torehkan pada Mitha, adikku yang sableng sekaligus aku kasihi ....!” Tubuh Agni ambruk ke lantai beton, seakan semua keperkasaannya luruh saat itu.
“Yesus ....! Tolong Kau kabulkan pintaku ini! Jangan Kau ambil BimBim dari Mitha! Seberat apapun aku harus menemukannya, akan aku tempuh! Sekali, tolong ... jangan Kau ambil BimBim!”

# # #

“Agni ....! Aku benci menyampai kabar buruk! Tapi harus aku sampaikan .... dengar!” Pak Joni berkata pelan sambil menatap Agni tajam.
“Sepertinya .... yang bisa kita lakukan sekarang adalah BERDOA! Ya .... Cuma itu! Informasi yang ada sekarang semakin tidak jelas saja ....”
“Sudahlah .... Bos! Aku paham sekali .... dan aku bisa menangkap arah pembicaraan ini!” Agni memang sudah sejak di-SMS untuk datang ke kafe biasa mereka bertemu, telah menagngkap hal buruk akan terjadi.
“Aku ..... atas nama Mitha dan Mas Aji mengucapkan terima ksih buat bantuan Bos, Kak Albertus, dan teman-teman lainnya selama ini! Sungguh ini bukan basa-basi ... penghiburan! Tapi memang adakalanya kita hanya bisa menunggu dan menunggu sampai tabir misteri terkuak dengan sendirinya ... ya kan Bos!” Agni tersenyum getir, menyadari bahwa beginilah pada akhirnya manusia adanya. Ada batas-batas yang mau tidak mau. Suka tidak suka. Tidak dapat dilampaui manusia.
“Kamu benar, Agni! Pada akhirnya keterbatasan manusia akan menjadi jawaban dari suatu misteri kehidupan! Bahwa kita tidak bisa melampaui batas-batas itu! Hanya bisa menunggu dan menunggu!”
“Cuma .... Pak Joni! Kalau boleh ... ijinkan Agni ini menelusuri beberapa tempat, agar tidak penasaran ...”
“Kalau tidak boleh ....?”
“Ya ... tetap akan aku telusuri ....hihihi!”
“Kamu tetap Agni yang aku kenal! Kepala batu! Susah diatur! Baiklah ... kamu minta tolong saja sama teman-temanku di ‘list’ yang aku berikan! Nanti sebelum kamu berangkat aku kontak mereka! Kapan kamu berang ...?”
“Sekarang, Bos!”
“Sudah aku duga! Dasar gilamu itu gak sembuh-sembuh dari dulu!”
“Bos ... kalau merepotkan .... it’s oke aku telusuri sendiri saja!”
“Hei .... kamu boleh saja gila! Tapi bukan berarti bisa ngatur orang sembarangan! Sudah sana pergi ... aku muak lihat muka orang keras kepala seperti kamu!”
“Baik ... baik, Bos! Makasih ya!” Agni segera beranjak dari duduknya. Dia tahu sekali kalau dibalik Pak Joni itu cuma kulit luarnya saja, si Bos pasti akan membantunya sekuat tenaga.

# # #

BENTARA KAHURIPAN

Terdampar di tengah panggung
Bentara abadi milik Sang Ada Hidup
Lakon telah terpatrikan
Tiada dapat mengelak
Tiada daya menampik
Tiada kuasa menolak
Pada apa yang telah dihidangkan
Untuk dikecap
Sampai mendapat saripati
Berbekal penyerahan penuh
Meresap sebagai gita abadi
Te Invocamus
Te Laudamus
Te Asoramus
O Beata Trinitas
Tri Tunggal Sejati Kuasa Tinggi
Sang Sutradara Agung


Pada akhirnya ....
Cuma berserah dan berdoa!
Ya, cuma berserah
Bertelut lutut
Pada Skenario Agung
Milik Sang Sutradara
Yesus Kristus!
Mas BimBim,
Telah Mitha tetapkan kalo cuma berserah
Dan berdoa saja yang kini tinggal
Mitha lakukan!
Mitha pasrahkan semuanya
Ya .... semuanya
Pada kehendak Sang Khalik ini ...
Mas BimBim bertahan ya ...
Karena sampai sekarang pun Mitha masih yakin kalau Mas bimBim akan kembali pada Mitha, Cah Ayumu seorang ....
Yesus ....!
Sertai dan bimbing Mbak Agni!
Mitha gak bisa dan memang gak boleh mencegah kemauan Mbak yang satu ini .... untuk mengunjungi beberapa tempat yang kemungkinan dapat memberi petunjuk keberadaan Mas bimBim!
Mbak Agni ... memang begitu! Kalau rasa penasarannya ditahan atau dilarang, justru akan mengecewakan diri Mbak Agni.
Bimbing dan jaga keselamatannya, ya Yesus!
Dan ....
Bapa kami yang di sorga,
Dikuduskanlah namaMu,
Datanglah KerajaanMu,
Jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
Dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
Seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.
Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan
Dan kuasa
Dan kemuliaan
sampai selama-lamanya.
Amin.