LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Senin, 09 Februari 2009

TUHAN BARU ITU BERNAMA : UANG!

TUHAN BARU ITU BERNAMA : UANG!
Sebuah Tinjauan Kritis bagi Agama Berdasarkan Pemikiran Karl Marx

Karl Marx. Sebuah nama dari seorang pemikir –dan ateis! Berkebangsaan Jerman, yang dapat dipastikan bukanlah nama yang asing di dalam dunia universitas atau dunia akademis. Khusus di Indonesia, Karl Marx telah terlanjur lekat dengan stigma ‘orang kiri’, ateis, komunis, dan sosialis-revolusioner yang notabene merupakan hal-hal tabu di masa Orde Baru. Sesuatu yang jangankan untuk dianut, diwacanakan saja dapat dianggap subversif, bahkan dapat dijebloskan ke dalam penjara.
Kisah Hidup Singkat Seorang Karl Marx
Karl Marx lahir di Tier, Jerman pada tahun 1818 dari keturunan rabi Yahudi. Ayahnya adalah seorang pengacara yang dipaksa untuk berpindah agama menjadi Protestan demi karier dan agar tidak diusir dari tempat tinggalnya. Demikian juga dengan Marx kecil yang bersama dengan ke tujuh orang saudaranya dibaptis dan menjadi penganut agama Protestan.
Teologi Evangelis merupakan pemahaman keagamaan pertama yang digeluti oleh Marx, yang didapat semenjak dirinya bersekolah di Sekolah Rakyat (Voklsschule) Protestan. Setelah itu, Marx melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk kemudian pindah ke Universitas Berlin. Di Universitas Berlin inilah perhatian Marx terhadap filsafat mulai menemukan bentuknya, di mana Hegel merupakan inspirator utama dari pemikiran-pemikiran Marx.
Seiring perjalanan waktu, Marx semakin lekat dengan pemikiran Hegel yang mengantarkannya pada sebutan ‘Sayap Kiri Hegel’. Setelah meninggalkan bangku kuliah, Marx bekerja sebagai wartawan dan kemudian pindah ke Paris, Perancis tempat ia bertemu dengan Friedrikht Engels (1820–1895). Karena pertolongan Engelslah Marx dapat meneruskan menciptakan karya-karya ilmiahnya. Ketika Marx diusir dari Perancis, ia pindah ke Brussell, Belgia. Dan pada waktu meletus revolusi yang gagal di Jerman pada tahun 1848, Marx pindah ke Koln, Jerman namun kemudian diusir dari sana. Ia pindah lagi ke Perancis dan akhirnya berdiam di London, Inggris, di mana ia melakukan penelitian dan menulis sebagai koresponden di New York Tribunes. Marx meninggal di London pada tahun 1883.
Awal tulisan-tulisannya, Marx kerap melakukan kritik implikasi terhadap religiositas dan politik konservatif berdasarkan pada Filsafat Hegel, yang menyatakan bahwa penerimaan terhadap hubungan kepemilikan pribadi dan alienasi yang dilakukan oleh mereka. Karya pokok Marx adalah ‘Das Kapital’ atau “Kapital”, yang bagian pertamanya ditulis pada tahun 1867. Kedua bagian lain dari ‘Das Kapital’ tidak dapat diselesaikan, karena kesibukan-kesibukan organisasi dan kondisi kesehatannya. Kedua bagian ini kemudian diterbitkan oleh Engels pada tahun 1885 dan tahun 1894.
Uang : Sang Penguasa Baru
Dalam dunia Kapitalisme, uang hadir sebagai sesuatu yang sangat penting. Menurut Marx, kapitalisme telah menampilkan uang (kapital) sebagai alat penukar yang menentukan nilai bagi suatu materi dan juga sebagai mediasi bagi hubungan antar manusia dan juga manusia dengan alam. Uang mengemuka sedemikian rupa sebagai tolok ukur bagi semua sendi kehidupan manusia yang berkaitan dengan proses produksi dan sistem ekonomi.
Manusia menjadi tereksternalisasikan dari uang, manusia menjadi berada di luar uang. Lalu pertanyaan yang muncul adalah mengapa uang dapat menjadi kuasa di atas manusia? Karena manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berusaha untuk melakukan pertukaran materi demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Proses pertukaran di atas, pada akhirnya berujung pada nilai yang mau tidak mau ditentukan oleh uang.
Berdasarkan fakta di atas, Marx mengemukakan pemikiran bahwa uang tidaklah berbeda dengan tuhan. Dengan kata lain uang adalah tuhan bagi manusia. Karena uang merupakan penentu bagi kehidupan manusia, atau menurut istilah Marx uang sebagai Sang Sutradara Umum yang mengatur kehidupan manusia. Uang telah muncul sebagi fetis (sesembahan) bagi umat manusia, sebagai kekuatan yang menentukan arah perjalanan hidup manusia.
Uang dalam kaitannya dengan dunia perbankan pada akhirnya melahirkan suatu sistem ekonomi yang disebut dengan sistem kredit. Di sini, Marx melontarkan kritiknya terhadap sistem kredit yang dianggapnya telah menyebabkan dehumanisasi dan alienasi eksistensi manusia. Manusia menjadi kehilangan eksistensi ketika diperhadapkan dengan kredit, karena dengan sistem kredit nilai sebagai manusia telah dipertukarkan dengan uang sebagai materi.
Kredit telah menjadikan manusia sebagai komoditas yang dipertukarkan dengan, lagi-lagi, uang. Nilai manusia dalam sistem kredit ini otomatis menjadi lebih rendah dari uang, karena manusia sebagai individu yang pada hakekatnya independen dari materi apapun telah telah berubah. Dalam hal ini, manusia telah menjadi media pertukaran. Eksistensi manusia telah terpinggirkan demi sebuah nilai yang ditentukan oleh uang.
Peran Agama dalam Dunia Materialisme
Relevansinya dengan hal-hal di atas, peran agama sebagai sebuah ajaran yang dapat memberikan pemahaman etika dan moral menjadi sangat penting. Agama di sini dapat berperan dalam mengembalikan eksistensi manusia yang terpinggirkan dan menjadikan uang hanya sebagai salah satu media penunjang bagi keberlangsungan hidup manusia. Agama dapat berperan mengembalikan uang sebagai alat bagi manusia dalam bersosialisasi, dan bukan justru manusia diperalat oleh uang. Dengan kata lain, dalam kehidupan manusia uang penting bagi penentuan akan nilai yang berwujud materi, tetapi uang bukanlah yang terpenting atau bahkan terutama.
Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah, benarkah agama telah melakukan perannya bagi pengembalian eksistensi manusia yang terpinggirkan oleh uang? Dan sejauh mana peran agama bagi hal di atas dalam kehidupan serba materi sekarang ini?
Di sinilah oto-kritik dan sikap terbuka yang secara berkesinambungan terhadap agama perlu terus dilakukan. Tidak jarang kita temui bahwa agama justru ikut terseret arus materialisme. Begitu juga hal ini terjadi pada agama Kristen. Khotbah-khotbah yang disampaikan bukan tidak ada terlalu asyik dan gencar mengulas mengenai persembahan materi. Bahwa persembahan materi seakan telah menjelma menjadi kemestian dominan dalam kehidupan beragama. Bahwa gereja akan merasa khawatir jika isi kantong persembahan semakin lama semakin berkurang.
Bahkan muncul pemahaman teologis, yang biasa disebut dengan Teologi Kemakmuran, yang memandang bahwa kemiskinan itu adalah akibat dosa yang dibuat manusia. Menjadi miskin itu adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri, sehingga akhirnya stereotipe yang berkembang adalah bahwa menjadi kaya adalah karena beriman. Kemiskinan yang terjadi karena orang miskin memiliki iman rendah. Di sini kemiskinan karena pemiskinan atau faktor eksternal yang membuat manusia menjadi miskin menjadi dikesampingkan.
Sebuah realita yang sangat ironis memang. Agama yang semestinya dapat menjadi media bagi perjuangan menempatkan manusia pada eksistensinya. Perjuangan bagi pengentasan kondisi peminggiran dan dehumanisasi manusia. Perjuangan bagi menempatkan manusia setara dan sederajat satu sama lain.
Berkaca dari pandangan Marx di atas mengenai uang yang hadir sebagai tuhan, dalam kacamata penulis dapat menjadi bahan perenungan untuk tidak membuat agama tidak terjebak menjadi materialisme gaya baru. Bahwa agama dapat menjadi media perjuangan untuk menempatkan uang sebagai ciptaan manusia yang tidak lebih hanya merupakan alat pertukaran dan penentuan nilai materi atau barang. Bahwa uang hadir hanya sebagai alat penunjang yang dikuasai oleh manusia, bukan sebaliknya manusia dikuasai oleh uang.
Agama semestinya mampu, dan memang sangat mampu, untuk melibas alat yang bernama uang menjadi tuhan baru bagi manusia. Karena memang uang bukan Tuhan!

Daftar Pustaka
Audi, Robert (General Ed.). 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Raines, John (Ed.). 2003. Marx tentang Agama. Jakarta: TERAJU.

Tidak ada komentar: