LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Minggu, 01 Februari 2009

AKU MEMILIH MAKA AKU ADA

AWALAN
Dibaca ulang apa yang baru saja selesai ia tulis ........
PERJALANAN
Hujan menghempaskan setitik air
Jatuh ke dalam pelukan sehelai daun
Sejenak diam di pangkuan sang bunga
Ditimang selaraskan kidung alam
Kemudian turun menyatu merahnya tanah
Berkumpul dalam mata air kehidupan
Mengalir terus mengalir dibawa hidup
Kadang meronta tidak seiring
Kadang merintih terbentur karang
Kadang terhanyut riang segala
Kadang tercenung dalam diam
Mengalir terus mengalir
Pada apa mau alam menggiring
Sesaat lepas melesat seirama sang aku
Sesaat pasrah akan suratan Empu Alam
Mengalir terus mengalir
Sampai tiba masa memanggil
Bernaung dalam lautan makna tak terkira
n.b. : Thanks a lot Mas BimBim! Yang selalu sabar menemaniku membuka lembar- lembar sang ada kehidupan

Maka terbukalah lembaran demi lembaran,





LEMBARAN I

SITUS PACITAN

Semilir angin pukul tiga pagi bulan Nopember merambat perlahan mengitari sekumpulan tenda di atas lembah berbatu. Dua puluh tujuh buah tenda berukuran besar dan kecil itu hanya diterangi lampu temaram 5 watt atau nyala api malu-malu dari dalam semprong milik lampu kecil yang biasa disebut ‘lampu teplok’ atau lampu tempel. Suasana sepi menyelimuti kawanan tenda tersebut, hanya gemuruh generator yang menjadikan kontras suasana, menggelora tanpa menghiraukan makian alam dini hari, ia tetap setia menunaikan tugasnya sebagai sumber penerang pengganti sang surya yang pergi ke belahan lain planet biru ini.
Sementara, di dalam tenda-tenda, tarikan-tarikan napas perlahan namun teratur tak bergeming pada raungan mesin berbahan bakar diesel itu. Mereka tenggelam dalam kenikmatan masa reses fisik dan jiwa dari kesibukan aktivitas sehari-hari. Masing-masing terbuai oleh hembusan angin melenakan mimpi seirama waktu yang seakan merayap membiarkan insan-insan tersebut memuaskan kebutuhan rutin mereka.
Namun di antara keheningan meraja, tepat di tengah-tengah kumpulan ‘rumah darurat’ tersebut, pada sebuah yang berukuran paling besar dari lain-lainnya tampak sinar lampu petromak masih menerangi seluruh ruangan. Seorang laki-laki muda dengan sebatang sigaret terselip dibibirnya tengah berdiri menghadap meja kayu jati tua berwarna cokelat. Dirinya tercenung dalam hamparan buku-buku beraroma khas dengan berat masing-masing rata-rata 2 kg. Sesaat kemudian, dilepasnya sigaret itu setelah sebelumnya dihembus dalam-dalam. Setelah itu tanpa melihat jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya yang mengapit sang benda mungil berasap penghasil nikotin dan tar tersebut diulurkan untuk mencari tempat persinggahan.
Ternyata sang sigaret jatuh ke tempat yang tidak diinginkannya, yaitu tepat di atas tumpukan kertas bertuliskan “Laporan Penelitian Mengenai Manusia Indonesia Mula-Mula”, “Wedus!” Segera ia melempar sigaret tersebut ke lantai tanah bercampur batu kerikil dan membersihkan abu yang berceceran di atas kertas laporan tadi.
“Ayolah wahai petromak, jangan kau mati dulu sebelum matahari menggantikan tugasmu! Sabarlah dan setia menemani!” Ia beranjak dari tempatnya berdiri menghampiri lampu petromak yang tergantung pada sebuah besi kecil tepat di tengah ruangan, setelah sebelumnya menyeruput kopi yang tidak panas lagi. Tangannya menyibak rambut hitam panjang melebihi bahu miliknya.
Ia kemudian mengambil lampu itu dan meletakkannya di bawah, dan sambil berjongkok, mulailah ia memompa tuas berkepala merah bergambar kupu-kupu berwarna putih yang ada di bagian bawah lampu.
“Come on baby! Jangan kau rusak mood yang ada dalam kepalaku. Bisa bangkit Pithecanthropus Erectus dan teman-temannya mendengar kemarahan Mr. Suryadi, dosen tercinta, jika laporanku tak kuselesaikan sekarang.”
“Okay honey, let’s continue our job!” Gumamnya sambil terus memompa.
“Good! Well Done! Akhirnya mau kompromi juga kau! Ternyata manja juga kau ya minta dirayu segala! Oh .... thanks God! Okay, now back to the report!” Ujarnya lega sambil mengangkat sang sumber penerang itu dan digantungkan ke tempatnya semula.
Kemudian tubuh bertinggi rata-rata lelaki nusantara itu berbalik menuju ke tempat kerjanya. Sesampainya di tepi meja, ia mengambil sebatang sigaret, disulutnya, dan dalam sekejap mulutnya sudah mengepulkan asap pekat. Tubuhnya sedikit mengigil diterpa angin Pacitan dini hari yang menusuk tulang, lalu dimainkan rambut gondrongnya ke kiri dan ke kanan sebagai gerakan spontan pengusir dingin.
“Ah ..... kenapa mesti orang luar yang pertama kali menemukan fosil-fosil nenek moyang ini? So, beginilah dokumen yang ada ditulis dalam bahasa mereka, huh!”, sambil menggerutu, tangannya membolak-balik Kamus Bahasa Belanda-Indonesia mencari kata yang menyulitkannya.
“Sungguh sebuah ironi! Ketika orang-orang macam Dubois dan Van Stein Callenfels sampai sekarang terobsesi untuk mengungkap tabir asal-usul Manusia Indonesia, justru sang anak bangsa sendiri asyik tenggelam dengan modernisasi penghasil manusia konsumtif sejati penuh gengsi serta kaum hedonis anti sosial! Eh ..... anggapan yang terlalu berlebihankah?” Tersenyum sang peneliti muda di tengah diskusi dengan alam pikirannya sendiri.
“Ataukah hanya sebuah apologi, pembelaan diri dari seorang mahasiswa Arkeologi yang frustasi serba iri, jurusannya kadung ditempeli label ‘ora kemedol’ alias tidak layak jual, tidak menjanjikan dalam kancah lapangan kerja? Ah ..... entahlah.” Pekerjaannya sementara terlupakan oleh pergulatan batin yang tengah dialaminya.
“Tapi tidak juga!” Nada pesimis dalam lamunannya segera ditepis, “Seorang Insinyur Soekarno saja yang notabene anak bangsa super cerdas lulusan ilmu teknik serba pasti dengan rumus-rumus dan hitungan absolut pernah berkata ‘Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah’ ..... eh ...... kok jadi ngelantur begini!”, Ia lantas bergulat kembali dengan kamus dihadapannya.
“Walah .....walah! Benar-benar dikerjain aku! Staatsblad sialan! Lembaran Negara jahanam! Diksimu kok susah sekali sih!” Dihisap sigaretnya lebih dalam dari sebelumnya sambil beranjak duduk di kursi yang juga terbuat dari kayu jati tua polos tanpa ukiran. Dihempaskan punggungnya pada sandaran kursi, diam sejenak untuk kemudian pemilik tubuh langsing itu tegak kembali menekuni pekerjaannya.
“Come on, guy! Seorang Wisnu Aji Dewobroto bukanlah orang yang gampang putus asa, wake up! Let finish these thing!”
# # #
Lamat-lamat mengalun suara Azan Subuh sebagai panggilan untuk bersembahyang, bersembah kepada Yang Maha Esa, bersujud menghadap Yang Maha Kuasa. Suara panggilan lembut yang berasal dari perkampungan penduduk di sebelah timur berjarak kurang lebih 10 km dari lokasi tenda-tenda Tim Eksvakasi Gabungan dari berbagai perguruan tinggi di Republik ini. Nampak mulai terlihat geliat-geliat kecil di sebagian tenda, pertanda sudah ada orang-orang yang menyelesaikan masa istirahat mereka dan bersiap tenggelam dalam aktivitas di hari yang baru. Sementara sang calon arkeolog muda di dalam tenda terbesar itu, masih meneruskan pekerjaannya. Kini, ia sedang mencari buku di deretan dua buah rak setinggi dua meter berisikan aneka ragam buku serta jurnal bahan referensi pendukung penelitian.
“Lho! Mas Aji masih belum tidur? Wah ngelembur ya? Saya buatkan mie rebus pakai telur buat sarapan, bagaimana Mas Aji?” Seorang laki-laki berumur 50-an masuk ke dalam tenda.
“Eh .... Pak Gimin, wah cocok sekali Pak! Boleh juga tawaran Bapak itu.”
“Baik .... kalau begitu saya siapkan dulu ya Mas Aji, permisi!”
“Terima kasih Pak Gimin! Seperti yang biasa yang Pak, pakai kecap dan saus.”
“Baik Mas Aji! Mari!” Lelaki yang masih tegap untuk ukuran seusianya itu pergi meninggalkan tenda.
“Mari! Mari! Pak Gimin!” Ujar Aji sambil menghisap sigaretnya yang entah sudah batang ke berapa sedari malam tadi. Ia masih mencari buku di dalam rak yang terletak di sudut kanan ruangan.
“Benar-benar implementasi kata-kata Kahlil Gibran, Pak Gimin itu, ‘Akar adalah Bunga yang Meremehkan Kemashyuran’, jiwa abdi sejati yang melayani semua orang tanpa mempedulikan balasan yang akan didapat. Entah gimana jadinya Tim Eksvakasi ini tanpa kehadiran Pak Gimin.” Gumam Aji sambil terus mencari buku yang diinginkannya.
“Ah .... di mana lagi itu buku ‘Teori dan Metodologi Sejarah’? Giliran mau dipergunakan malah tidak ada. Jangkrik! Pasti anak-anak yang ambil, dasar!” Gerutunya ketika buku yang dicari tidak ditemukannya. Namun, tak lama berselang aroma mie instan yang dibawa Pak Gimin membuyarkan kekesalan Aji.
“Permisi Mas Aji! Ini mie-nya, silakan dimakan dulu nati keburu dingin jadi ndak enak!”
“Iya Pak Gimin! Matur Nuwun! Terima kasih Pak! Lho Bapak kok tidak ikut makan?”
“Sudah, terima kasih Mas Aji! Saya nanti saja, silakan Mas Aji makan dulu.”
“Kalau begitu, Bapak temani saya ngobrol saja ya.” Aji menerima mangkuk mie tersebut sambil menghirup kepulan asapnya.
“Hm ..... hm ..... nikmat sekali! Mari Pak, saya makan dulu!”
“Monggo .... Mas Aji, silakan!”
Aji segera mengambil duduk di depan meja kerja di sebelah tumpukan buku-buku dan kertas laporan penelitian yang tadi dihadapinya. Dengan nikmat disantapnya mie instan buatan Pak Gimin sambil sesekali meniupkan mulutnya ke mangkuk.
“Pak Gimin, sedari kecil Bapak tinggal di sini?”
“Oh .... ndak Mas Aji, saya lahir dan besar di Wonogiri, di dukuh kecil tepi sebelah barat Bendungan Gajah Mungkur. Saya di Pacitan sini baru dua tahun Mas Aji. Maaf Mas Aji, boleh saya pinjam korek apinya?”
“Silakan Pak Gimin, ambil saja, itu di meja sana di atas layar komputer.”
Pak Gimin segera menuju meja yang ditunjukkan Aji sambil tangannya mengeluarkan rokok tingwe alias ngelinting dewe buatannya sendiri dari sebuah kotak kayu kecil berukir yang diambil dari saku jaket parasut hitamnya. Terdengar suara gemericik dari sigaret yang dinyalakan Pak Gimin dan tak berapa lama terciumlah aroma khas tembakau memenuhi ruangan berukuran 8x5 m itu diiringi oleh kepulan asap pekat berwarna putih keabu-abuan.
“Gimana Pak Gimin kerasan ikut dengan Tim Penelitian kami?” Tanya Aji lebih lanjut.
“Ya pasti betah Mas Aji, lagipula yang namanya kerja di mana saja pasti sama, ya pasti capek, contohnya ya Mas Aji ini, sampai harus lembur kurang tidur begini.” Sekali lagi dihirupnya dalam-dalam sigaret untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk tulang.
“Bapak memang dilahirkan sebagai tipikal Manusia Jawa sejati rupanya, konsep pasrah sumarah dalam memandang dan menghadapi hidup begitu melekat dalam diri Bapak lahir dan batin.”
“Yah .... begitulah Mas Aji, sebagai keturunan asli Jawa saya memang terbiasa dengan tata krama Jawa. Apalagi orang seperti bapak ini yang SD saja tidak tamat yang Cuma bisa menerima apa adanya, ya kan Mas Aji?” Sahut Pak Gimin sambil tersenyum penuh arti.
“Wah .... wah! Nyindir nih Pak Gimin! Mentang-mentang saya mahasiswa. Ya .... memang tidak sedikit kalangan berpendidikan tinggi, kaum intelektual“, Aji mengambil sapu tangan dari saku celana jins belel-nya, “terjebak jadi sok modern dan menganggap tata krama orang tua mereka sudah kuno, ketinggalan jaman.”
“Ya .... ndak nyindir kok Mas Aji, lagipula mahasiswa-mahasiswa di sini baik dan sopan.” Ujar Pak Gimin.
“Tidak apa-apa Pak Gimin, justru sindiran kadang dapat membangun. Lagipula saya bukannya tidak suka atau anti dengan adat Jawa. Terus terang banyak falsafah Jawa yang dapat saya resapi dan saya praktekkan dalam hidup sehari-hari. Walaupun tidak semuanya saya ambil, ada beberapa hal yang saya tidak sependapat dari falsafah atau adat Jawa itu.”
“Wah .... wah ....! Jadi ngelantur pembicaraan saya. Mending, sehabis makan merokok dulu!” Aji menyudahi sendiri pembicaraannya.
“Sudah Mas Aji, taruh saja di meja, biar saya saja yang bereskan.” Sahut Pak Gimin ketika Aji bergegas hendak membawa mangkuk mie instan yang sudah ludes isinya itu.
“Terima kasih Pak Gimin!” Kemudian Aji melangkah menuju kulkas kecil yang ada di dekat rak buku, membukanya, dan kemudian mengambil sebotol minuman ringan dari dalam kulkas itu, “Pak Gimin, boleh saya mencoba rokok tingwe Bapak?” Sambung Aji.
“Oh.... silakan Mas Aji, tapi kalau ndak enak jangan diejek ya .... maklum rokok desa.” Pak Gimin segera menyodorkan kotak kayu tempat rokoknya pada Aji.
“Nah itu! Basa-basi versi Jawa! Saya sampai tidak habis mengerti mengapa orang Jawa mau menghabiskan banyak waktu hanya untuk berbasa-basi? Sesuatu yang tidak efisien dan kadang justru mengaburkan inti pembicaraan!” Aji menyambut kotak rokok Pak Gimin, mengambil satu batang, dan menyerahkan kembali pada pemiliknya.
“Terima kasih, Pak Gimin!”
“Wah .... Mas Aji ini! Ya .... ndak sopan namanya kalau bicara terang-terangan, langsung tembak saja!”
“Tapi apa tidak capek dan tidak bingung menangkap inti pembicaraan Pak?”
“Disitulah letaknya Mas Aji, orang Jawa dituntut untuk punya Panggraita deneng Sasmita, untuk tanggap akan tanda-tanda atau perlambang yang tidak terucapkan, yang kuat sehingga dapat mengerti apa yang tidak kelihatan.” Pak Gimin mencoba berargumen tentang nilai-nilai yang telah ditanamkan sejak beliau kecil.
“Memang kepekaan untuk menangkap apa yang tidak terucap, yang tak kasat mata itu perlu. Cuma apakah untuk mempergunakan sasmita atau perlambang harus disertai bumbu-bumbu, berputar-putar dahulu mengelilingi halaman baru masuk rumah? Wah ... capek lho Pak Gimin! Kalau harus selalu begitu.”
“Wah .... nikmatnya tembakau ini! Tembakau dari mana ini Pak?” Aji segera mengalihkan pembicaraan yang menurutnya tidak akan pernah bertemu itu.
“Dari Temanggung Mas Aji, kemarin saya dapat kiriman dari adik yang jadi buruh perkebunan tembakau di sana.”
“Pantas! Rasanya khas .... jadi ingat Temanggung saya, kangen sama udaranya.” Aji menerawang sambil tersenyum penuh kenangan.
“Pak Gimin! Nampaknya Bapak akan melanjutkan kerja? Silakan tidak usah sungkan-sungkan.” Lanjut Aji ketika melihat Pak Gimin membereskan mangkuk dan gelas kopi di meja.
“Betul Mas Aji, ndak apa-apa toh Bapak tinggal dulu? Pak Gimin beranjak keluar tenda.
“Tidak apa-apa Pak Gimin! Silakan dan terima kasih buat mie dan rokoknya.”
“Iya Mas Aji, sama-sama! Mari, saya tinggal dulu!”
Suasana hening kembali menyelimuti, sementara Aji sudah tidak berselera lagi dengan aktivitas pembuatan laporannya. Sinar petromak juga perlahan mulai meredup lelah semalaman menunaikan tugasnya. Beringsut sang jiwa muda kelana itu mengenakan jaket, lalu mengambil bungkus rokok bersama teman setianya, sang pemantik api. Disapunya pandangan ke sekeliling ruangan dan dengan helaan napas tertahan, tubuhnya melangkah keluar. Dibiarkannya petromak meredup, sementara kakinya terus melangkah menjauh dari komplek tenda Tim Penelitian.
Tanpa menoleh ke belakang, Aji berjalan menuju dataran tinggi di sebelah barat komplek tenda, tempat favoritnya jika ia ingin menyendiri selama satu setengah bulan ia bergabung dengan Tim.
Daerah Situs Purbakala Pacitan mungkin memang sengaja diciptakan layaknya ‘The Lost World’, Peradaban Lampau Yang Hilang. Sebuah wilayah berbatu-batu beriklim kering yang dipagari oleh gugusan dataran tinggi dan lembah bebatuan menghampar. Sebuah wilayah yang terkenal dengan batu akiknya, yang bahkan konon kabarnya ada batu akik yang berharga ratusan juta rupiah di kalangan para kolektor.
Langkahnya terhenti pada sebuah tonggak kayu di puncak dataran tinggi, lalu tubuhnya berbalik dan menghadap ke bawah. Kerumunan tenda Tim tidak terlihat jelas dari tempatnya berdiri, hanya nampak siluetnya saja. Sementara cahaya lampu bersinar laksana kunang-kunang raksasa bermain-main dengan riang. Aji berdiri mematung sambil terus menghirup tembakau pemberian Pak Gimin dan sesekali mulutnya meludah mengeluarkan serpihan tembakau yang mampir di sana. Matanya lekat memandang area tidur panjang ‘Pithecanthropus Erectus’, manusia kera yang sudah dapat berdiri tegak, namun angannya telah berkelana jauh berkilo-kilo meter jaraknya menuju kenangan masa silam yang senantiasa menggugah hatinya. Perasaannya selalu bergetar kala mendengar nama Temanggung, tempat yang selalu tinggal dalam sisi ruang batinnya dan menyisakan memori sangat mendalam.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba Aji tersentak! Dihirupnya dalam-dalam sang tembakau dan dibuangnya dengan resah, ada pikiran lain yang mengusiknya!
“Jangkrik! Mendadak kok aku keingetan sama genduk ragil, adik bungsu perempuanku. Ada apa Mitha? Dia memang berliku-liku jalan hidupnya.” Gelisah Aji mengambil sigaret dari jaketnya dan dinyalakan dengan cepat.
“Ah .... aku harus menghubungi Agni secepatnya! Kok mendadak pikiranku nggak enak, jangan-jangan ada apa-apa dengan Mitha.” Segera Aji meraba-raba saku jaketnya, kemudian pindah ke saku celana, “Jangkrik! pasti HP-ku ada di tenda!” Setengah berlari Aji menuruni punggung bukit tempatnya berdiri.
“Persetan dengan penelitian! Aku harus ke Semarang sekarang juga!”

Tidak ada komentar: