LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Minggu, 08 Februari 2009

AKU MEMILIH MAKA AKU ADA

LEMBARAN XI

TITIK TERANG BENTENG PORTUGIS


“Mas BimBim! Mas BimBim! Sini ..... Mas! Ke sini!”
“Cah Ayu .....! Eh .....!”
“Astaga .....! Mimpi itu datang lagi menghampiri ....!” BimBim terjaga dari tidur yang belum lengkap, tubuhnya segera bangkit sambil mengusap wajah dengan kedua tangan yang terikat oleh gelang-gelang logam berwarna hitam pekat.
“Cah Ayu ..... bagaimana keadaan Cah Ayu sekarang? Apa yang terjadi di Ambarawa sana setelah pastinya Cah Ayu menunggu berjam-jam dan pada akhirnya tidak mendapatkan diriku? Oh ..... Tuhan! Tolong kuatkan Cah Ayu dan ‘si kecil’nya? Beri ketegaran dan kesabaran Cah Ayu dalam badai antara ini, Ya Yesus! Juga kepada hambaMu ini, beri kekuatan dan keselamatan! Amin.”
“Braaak! ..... Braaaak!”
“Bangun! Bangun! .... Ini sarapanmu!” Permenungan BimBim dikejutkan oleh teriakan nyaring disertai gedoran pintu dari luar ruangan tempatnya hari-hari belakangan ini mendekam.
“Sarapan! Berarti hari ini, adalah hari ke-18 sejak aku ‘diangkut’ dari Kopeng tempo hari! Aku tidak habis pikir apa mau mereka ,embawa, diriku. Apakah ini bagian dari akibat yang timbul soal demo Binsar dan kawan-kawan tempo hari?” BimBim beranjak dari tempatnya tidur lipatnya, yang berangka besi dan beralas terpal berwarna cokelat, untuk mengambil jatah sarapan paginya. Ya ..... karena ruangan sempit sekitar 3x3 meterini tidak terdapat jendela sama sekali, penerangan yang ada hanyalah bola lampu 10 watt di tengah ruangan. Bola lampu yang terus-menerus menyala sehingga tidak dapat diketahui waktu siang dan malam. BimBim dapat menghitung perjalanan hari hanya berdasarkan datangnya sarapan pagi sebagai tanda telah terjadinya pergantian hari.
“dan apa tujuan mereka sebenarnya melakukan hal ini? Sampai saat ini, mereka sama sekali tidak mengorek keterangan apa pun dariku! Lagi pula hanya sesekali merka masuk ke dalam sini, itu pun sama sekali tidak berbicara padaku!” BimBim terus berpikir mencari titik temu sambil menikmati hidangan.
“Aneh ....! Secara teratur mereka memberikan jatah makanan, bahkan ketika hari pertama tidak aku sentuh sama sekali. Mereka malah menghajarku untuk memaksa supaya aku makan! Jelas sekali mereka menginginkan aku untuk tetap hidup!”
“Tanpa paksaan itu pun, aku pasti aku pasti bertahan untuk hidup! Untuk dapat bertemu Cah Ayu lagi! Hehehe .... justru aku tidak mau makan karena takut makanan itu diberi yang ‘macam-macam’!”
“Apa aku diculik untuk diminta tebusan? Hehehe .... memangnya siapa aku ini! Anak pejabat! ..... Anak konglomerat! ....Wah SALAH ALAMAT dan SALAH BESAR itu namanya ..... hahaha! Dan memang sepertinya bukan untuk alasan itulah mereka menculikku ..... mereka adalah orang-orang profesional! Cara kerja dan koordinasi mereka begitu rapi. Aparatkah ....? Alat kekuasaankah ....?”
“Terus, kalau memang ini adalah rentetan dari peristiwa demo Binsar dan FATS-nya, kenapa Binsar dan yang lain-lainnya tidak ada? Atau mereka ditempatkan di ruangan yang terpisah?”
“Ugghhh ..... misteri yang rumit! Dan yang jelas hari ini ‘akting’ apalagi yang mesti aku peragakan agar pimpinan mereka mau bertemu denganku? Dari mulai teriak-teriak histeris, berlagak gila, berpura-pura sakit, sampai semaput alias pingsan segala, juga merayu-rayu serta menyembah-nyembah! Hehehe .... pokoknya segala jurus teater yang diajarkan Djuniarto dulu itu, aku praktekkan .... memang orang kalau terdesak bisa menjadi sangat kreatif sekali ya! Cuma .... hasilnya NOL BESAR!”
“Terus ..... ada di mana aku ini sekarang? Masih di Pulau Jawakah? Yang aku yakin ..... sepertinya aku ada di tepi pantai! Dan bukan pantai selatan Jawa! Ya, gemuruh ombak yang tidak sebesar ombak pantai selatan dan lalu lalang suara burung camar meyakinkan aku bahwa tempat ini ada di tepi pantai! Oh .... Tuhan ! Beri petunjukMu dan jalanMu! Agar aku segera keluar dari tempat jahanam ini dan bertemu kembali dengan Cah Ayuku seorang ...! Tolong .... kabulkanlah doaku ya Yesus!”
“Brak ....!”
“Heh .... ada apa ini?” BimBim menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar. Dilihatnya 3 orang berbadan besar masuk .... dan yang seorang paling besar badannya langsung mencengkeram dirinya.
“Mau apa kalian ....? Kalian sudah bosan bermain petak umpet rupanya!” BimBim mencoba memancing mereka agar menjadi lengah.
“Diam ....!” Salah seorang yang lain kemudian mengenakan tutup kepala hitam, dan menyeret BimBim keluar ruangan.
“Bapa .....! Inikah akhirnya? Tolong selamatkan diri ini, Ya Yesus! Cah Ayu ....!”

# # #

BimBim didudukkan di sebuah bangku berkaki 4 terbuat dari besi, seperti model kursi lipat sewaan bagi orang-orang yang punya gawe, namun bangku ini terbuat dari besi yang lebih berat lagi dan bukan kursi lipat. Kedua tangan BimBim terikat ke belakang dengan gelang-gelang besi hitam seperti biasanya, ditambah sekarang kedua kakinya juga terikat gelang-gelang besi hitam yang sama. Tutup kepala yang tadi menutupi wajahnya sudah dilepas, mata BimBim berkedip-kedip kesilauan karena tubuhnya dihadapkan pada sinar matahari yang masuk dari jendela kaca milik ruangan berukuran lebih besar dari tempatnya disekap selama beberapa hari ini.
“Hmmmm .... terasa hangat dan nikmat sekali sinar matahari kali ini! Ternyata beginilah rasanya terkurung dan terisolasi! Pantas saja seorang Kusni Kasdut atau Johny Indo nekat melarikan diri dari Nusa Kambangan, hanya demi mendapatkan kembali KEBEBASAN ... yang direnggut!”
“Tapi justru aku jadi khawatir sekarang! Dengan kondisi tang dan kaki terikat! Duduk dibangku seperti ini! Di sampingku ada meja! Pokoknya posisiku semakin tidak berdaya saja! Apakah ini sesi interograsiku? Apakah ini sesi proses ¬verbal-ku? Dan, ah ....! Apakah ini sesi penyiksaan buatku? Entahlah! Bapa .... lindungi aku!”
“Ganda .... hadapkan BimBim ke meja!”
“Siap .... Pak! Ayo .... Leman! Hardi!”
“Siap ...!” Dan orang-orang yang dipanggil Leman serta Hardi segera mengangkat bagku tempat BimBim duduk, untuk dihadapkan ke arah meja membelakangi jendela kaca.
“Bagaimana BimBim ..... segar bukan sinar mataharinya! Kau mau menikmatinya lagi, bukan?” Salah seorang yang lain lagi dan merupakan pimpinan mereka berkata. Orang yang masih samar-samar dilihat oleh BimBim karena terkena sinar matahari. Namun dari suaranya, sepertinya BimBim pernah mendengarnya .... dan ya, ternyatalah dialah orang yang mengancamnya dengan pistol saat hari penculikan itu! Ya ... BimBim masih ingat suara itu! Hmmm .... aku sudah berhadapan dengan pimpinan mereka rupanya, batin BimBim dalam hati.
“Sudahlah! Jangan basa-basi Apa mau kalian?” BimBim menatap tajam pada wajah dihadapannya yang lambat laun mulai terlihat jelas, karena retina matanya sudah mulai terbiasa menerima cahaya matahari yang jauh lebh terang daripada lampu 10 watt. Cahaya konstan yang selalu diterimanya sepanjang hari selama 18 hari disekap!
“Hahaha ....! Sabar BimBim! Baik .... baik! Kamu sudah bebas sekarang! Kamu dengar itu! Kamu sudah BEBAS!”
“Heh .....! jangan coba main-main ya! Aku sudah muak dengan permainan ini, tahu!” BimBim heran juga mendengar kata BEBAS! Apa benar aku akan dibebaskan? Begitu saja ....?
“Baik .... aku juga sudah muak! Muak dengan tugas ini! Muak dengan semua ini! Sekarang .... dengarkan baik-baik!” Laki-laki di hadapan BimBim itu tiba-tiba berubah menjadi garang dan kaku, sorot matanya menjadi setajam pisau yang siap menikam siapa saja. Agak terperangah juga BimBim melihat perubahan itu! ‘Bim jangan kalah ....! Kamu harus terus berani untuk tetap kelihatan memberikan perlawanan, tidak takluk tunduk begitu saja! Bisa ditelannya kau nanti ... kalau kalah!
“BimBim! Namaku LUKAS! Aku Kepala Tim di sini! Misis kami adalah ‘mengangkut’ kamu, BimBim, Binsar, Prihandoko, Djuniarto, Yosef Ginting, Supardan, Achmadi, dan James ke tempat ini!”
Benar sekali! Batin BimBim, ternyata ini adalah rentetan dari demo Binsar dan FATS-nya tempo hari! Hei .... tapi kenapa ada nama Achmadi juga? Kenapa si Buya Sufis itu ‘diangkut’ juga? Dia kan bukan Anak Wisma seperti yang lain! Dia hanya simpatisan dari kalangan yang disebutnya religius-liberal yang memang senang bergandengan tangan dengan kami, golongan sosialis-humanis! Hehehe .... ada-ada saja istilah yang mereka buat itu!
“Aktivitas kalian .... terutama demonstrasi terakhir yang mengatasnamakan FATS alias Forum Anak Terang Semarang sangat berbahaya untuk didiamkan!”
“Tapi .... ada 2 orang dari yang kalian ‘angkut’ justru tidak ikut demo hari itu! Kalian salah ambil rupanya!” BimBim tersenyum mengejek, mencoba memancing sejauh mana penguasaan mereka terhadap aktivitas pergerakan dirinya dan Binsar serta yang lainnya.
“Tiga .... tepatnya! Pintar sekali pancinganmu itu! Tiga orang yang memang tidak ada dalam demonstrasi saat itu! Tapi mereka juga punya andil yang besar dalam pergerakan! Pertama Yohanes Haryo Bimo Wicaksono alias BimBim, karena dia pulang ke Kopeng untuk berkasih-kasihan dengan Sekar Ayu Paramitha di Ambarawa namun ‘dijemput’ pagi harinya. Kedua, Prihandoko alias Pri yang memang tidak sepakat dengan membentuk wadah baru FATS, dan ‘dijemput’ saat makan nasi kucing di dekat BPLP. Dan terakhir, Achmadi atau Buya Sufis, yang memang bukan dari golongan kalian tapi sekali tiga uang dalam pemikiran! Dia ‘dijemput’ ketika akan bersembahyang di dekat tempat kosnya.
“Terus .... apa motif kalian?” BimBim berusaha memberi kesan biasa saja. Padahal dalam hatinya kaget bukan kepalang! Ternyata mereka benar-benar tidak bisa dianggap remeh.
“Begini ... sebaiknya jangan kau potong sampai aku selesai, menegrti!” Lukas mulai melunak nada bicaranya.
“Baik ...”
“Begini .... kami adalah kelompok rahasia yang didirikan oleh para pemegang dana! Kau tidak perlu tahu dari kalangan mana mereka! Para penggagas itu hanya berfungsi sebagai penyandang dan saja, tidak lebih! Sedangkan pelaksana di lapangan adalah orang-orang seperti kami yang terbagi-bagi dalam banyak Tim!”
“Misi kami .... adalah meneyelamatkan para aktivis seperti kalian! Aktivis yang telah disusupi oleh pihak-pihak luar demi apa yang dinamakan metode Politik Divide et Impera modern, mengerti!”
“Kau tahu BimBim! Demo atas nama FATS itu telah disusupi orang-orang yang memang ingin menghancurkan kalian! Kau pasti bisa menangkap isi selebaran yang sama sekali bukan gaya Binsar. Selebaran yang serampangan memancing emosi golongan lain, iya bukan?”
Memang .... selebaran itu ngawur sekali! Tapi aku masih belum jelas dengan misi penyelamatan Tim-mu itu Lukas! Penyelamatan dari siapa dan bagaimana?”
“Hehehe ....! Kau masih ingin mengorek lebih jauh rupanya, kawan! Baik .... berkaca dari keprihatinan akan seringnya potensi-potensi anak-anak bangsa yang kritis dan selalu mencoba melandaskan diri pada kebenaran justru paling sering dihancurkan dari dalam, maka oleh para pemegang dana dibentuklah Tim seperti kami, orang-orang terlatih dalam segala hal! Pola kerja kami adalah mendampingi aktivitas kelompok-kelompok seperti Anak-Anak Wisma-mu itu dan mengambil tindakan yang dianggap perlu bagai keselamatan kalian, apa pun itu!”
“Nah .... dalam kasusu demo FATS! Kami terpaksa membuat kesan bahwa kalian telah diculik oleh sekelompok orang tidak dikenal .... ya, kami mendahului aksi sekelompok fundamental-radikal yang terpancing dengan provokasi selebaran itu dan tengah bersiap membabat habis kalian! Penyusup dari luar .... berhasil melakukan misinya untuk membenturkan kalian dengan kelompok lain!
“Maaf .... menyela boleh?”
Lukas menganggukkan kepala, sorot mata dan sikap tubuhnya sudah tidak lagi garang seperti tadi.
“Kamu katakan ‘mendampingi’ kami! Berarti kamu juga punya ‘orang dalam’ di sekitar kami Lukas?”
“Tepat sekali! Sebentar ...! Ganda! Panggil si dobel kemari dan yang lainnya!”
“Siap ... Pak!”
Tidak lama kemudian muncullah kembali Ganda bersama orang yang membuat BimBim terheran-heran!
“Djuniarto ....?”
“Hai .... BimBim! Maafkan aku! Selama ini aku dalam penyamaran!”
“Sebenarnya lebih tepat bereperan ganda, Djuniarto itu, Bim! Dia memang anggota kami, tapi dia juga total dalam pergerakan kalian! Dan informasi mengenai aktivitas kalian baru akan kami minta dari Djuniarto jika kami membaca gelagat pergerakan kalian telah disusupi! Jika tidak, Djuniarto akan tetap mendukung kalian sampai ada misi lain. Begitu pola kerja kami! Dan ada banyak Djuniarto-Djuniarto yang tersebar di masing-masing kelompok pergerakan yang lain.”
“Kamu masih ingat Komunitas Palawija-nya Benjamin dan kawan-kawan di Purwokerto, yang terpaksa kami obrak-abrik markasnya setelah kami selamatkan berkas-berkas milik mereka. Itulah bentuk lain dari misi penyelamatan kami. 6 orang sengaja dikesankan ‘diamankan’ petugas demi mengalihkan mereka dari kaki tangan-kaki tangan para pengusaha yang gerah dengan aktivitas mereka memobilisasi buruh tani di sana. Siapakah ‘si dobel’ di kelompok Benjamin ....? Tidak lain Benjamin sendirilah orangnya! Benji ....! Masuklah!”
“hai ... BimBim, apa kabar ...?”
“Tunggu ..... ! Tapi kenapa dengan cara isolasi seperti ini yang kalian lakukan terhadapku? Kalian juga tidak memikirkan para keluarga teman-teman yang yang lain, yang pasti akan mengalami trauma psikologis yang tidak ringan ...?”
“BimBim ...! Cara ini adalah cara yang paling kami BENCI! Tapi harus kami lakukan sebagai langkah terakhir, yang artinya memang sudah tidak ada kemungkinan lain! Resiko pihak keluarga atau bahkan aktivis itu sendiri yang mengalami trauma psikologis, itu memang bagian dari konsekwensi yang ada! Seperti tadi aku katakan, MUAK! Kami MUAK dengan kepura-puraan ini! Tapi tugas adalah tugas! Kami harus selalu membuat kalian tetap hidup! Walaupun kadang-kadang jatuh korban, tapi itu tidak semua tersikat habis!”
“Baik ....! Tapi, di mana teman-temanku yang lain ....? Djun ... anak-anak ada di mana sekarang? Dan kenapa kamu ceritakan semua ini padaku?”
“Djuniarto telah 4 hari di Semarang, dan kondisi di sana sudah reda. Cuma Wisma akan dikosongkan dan hanya Djuniarto bersama Supardan saja yang akan merintis pergerakan dari awal. Prihandoko akan tinggal di Jakarta, membantu Albertus di pergerakan buruh, eyang putrinya akan ikut diboyong ke sana. James ikut familinya di Poso dan akan merintis Tim di sana. Achmadi telah ada di Aceh untuk menjadi relawan dalam proses rekonstruksi pasca Badai Tsunami. Sedangkan Yosef Ginting telah terbang ke New York tadi pagi, keahlian ekonominya diperlukan oleh para pemegang dana untuk memutar uang di luar negeri.”
“Lalu .... Binsar ....dan aku ..... mau kalian apakan?”
“Wah .... jangan sinis begitu, kawan! Semuanya bukan kami yang atur! Mereka punya kemauan sendiri ....dan Binsar ...! Bin ...! Bin ...!”
“Hai ... Biang Kampret! Apa Kabar ...?
“Elo .....?”
“Ya .... Gue memilih untuk gabung dalam Tim secara langsung, sebagai tenaga operasional! Begitu ‘Bim ....!”
“Baik .... aku mulai sedikit percaya sekarang ....! Satu lagi .... beri aku petunjuk jalan apa yang harus aku pilih ....!”
“BimBim .... kamu bebas untuk memulai kembali hidupmu! Untuk menjadi apa saja!”
“’Bim ..... kalau elo mau tahu tugas pertama gue di Tim ..... Gue harus antar BimBim dengan selamat tanpa kurang suatu apapun ke tempat Mitha alias Cah Ayu-nya di Jakarta!” Binsar tersenyum lebar.
“Cah Ayu .... Cah Ayu ada di Jakarta! Cah Ayu tidak apa-apa kan ‘Bin?”
“100% sehat juga ‘si kecil’ di dalam kandungannya! Mitha justru tumbuh menjadi seorang yang sangat tegar dan kuat ...!”
“Ganda ...! Buka borgolnya!”
“Siap ... Pak!”
“BimBim .... kamu berangkat sekarang! Nanti di jalan Binsar akan bercerita apa yang terjadi pada Mitha selama kamu ‘diculik’. Kamu bersihkan tubuhmu dulu ...!

# # #

BimBim mematung di salah satu lubang jendela yang tanpa kaca dan langsung menghadap laut. Dirinya baru melihat secara utuh keseluruhan bangunan tempatnya selama ini disekap. Sebuah bangunan besar bekas benteng pertahanan peninggalan kaum imperialis Portugis. Benteng yang terletak di sebuah pulau kecil tak berpenghuni dan terletak tidak jauh dari sisi pantai utara wilayah Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bangunan yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Benteng Portugis. Bangunan yang memang menjadi Base Camp Lukas dan Tim-nya, dalam rangka operasi ‘pengangkutan’ BimBim dan kawan-kawan. Bangunan yang terpencil jauh dari hiruk-pikuk dan lalu lalang manusia.
“Tuhan ....! MisteriMu memang tak terjangkau oleh umat manusia yang serba terbatas! Lukas. Anak buahnya. Tim-tim yang lain. Para pemegang dana. Mereka semua adalah orang-orang peduli, dengan cara yang ‘tidak biasa’! Mereka telah memilih jalan mereka!”
“Bapa .... semoga badai antara ini semakin membuat diri ini. Cah Ayu. Keluarga di Kopeng. Kami semua menjadi lebih dekat dan senantiasa bergantung padaMu. Hanya padaMu. Membuat kami MENJADI SADAR.”
“Cah Ayu .... Masmu ini kembali ....!”

# # #

“Non .... Mitha! Ada tamu di luar, cari Non Mitha .... dua orang .... laki-laki, Non!”
“Siapa ya .... Bi?”
“Bibi .... tidak tahu, Non! Baru sekali ini ke sini mereka .... Bibi baru lihat sekarang ...! Tapi orangnya sopan-sopan, Non!”
“Ya sudah, Bi .... suruh masuk dan duduk dulu aja! Saya ganti baju dulu ... jangan lupa buat minum ya, Bi!”
“Baik ... Non!”

Kira-kira 5 menit kemudian .....
“Binsar ....!”
“Mas .... Mas BimBim!”
“Cah Ayu .....! Apa kabar ....?”
“Mas BimBim .....! Benar ini Mas BimBim ...?”
“Iya ... ini aku .... Cah Ayu!” BimBim menghampiri Cah Ayunya dan menjabat tangan Mitha yang masih belum hilang kagetnya ....
“Mas BimBim ..... ganteng juga ya .... kalau rambutnya pendek dan rapi! Hihihi ....” Mitha tersenyum manis dan bahagia. Keyakinannya selama ini bahwa suatu saat Mas BimBim akan kembali di sampingnya terjawab sudah.
“Wah .... sejak kapan .... Cah Ayu jadi suka ngeledek orang! ‘Bin .... kemajuan nih anak manja satu ini ....! Hahaha ....”
“Bukannya elo yang ngajarin jadi gila ‘Bim ....? Hahaha ....”
Maka terkuak dan terbukalah misteri-misteri ada kehidupan. Misteri yang bermetamorforfosis menjadi titik terang. Maka berbahagialah wahai anak-anak kehidupan!


LEMBARAN XII

MEREKAHNYA FAJAR NIRWANA TERPENDAM


SEJUMPUT ASA

Memandang
Menatap
Rekahan senyum itu
Binaran netra nan bening
Meranggas lara
Menepi samsara
Memuncak kegirangan
Amboi
Teruslah begitu adanya

Cah Ayu terima kasih
- dari Nirwana Terpendam Kota Atlas -

“Nih .... Cah Ayu, aku sudah selesai! Aku duluan kan yang selesai nulisnya ....! Aku menang!”
“Ih .... kok cepet sekali sih! Coba sini Mitha liat kayak apa puisinya Mas BimBim!” Mitha segera bangkit dari duduknya dan dengan penasaran menghampiri BimBim yang masih tersenyum penuh kemenangan.
“Ini Cah Ayu ...!” BimBim merebahkan dengkul kanannya di atas tanah, kepalanya menunduk, dan tangannya diangkat ke atas memegang lembaran kertas putih tempatnya menulis puisi. Sikap tubuh layaknya seorang hamba kepada tuannya dalam menghaturkan sesembahan. Sikap khas BimBim untuk menggoda sang pujaan hati.
“Ih .... pake ngegodain segala ....! Coba Mitha baca dulu ....!”
“Lho kok .... pendek begini! Mas BimBim curang ....! Pantesan menang lha wong puisinya singkat begini! Gak sah .... curang!” Mitha merajuk manja, dengan ungkapan hati yang bukan karena marah melainkan bahagia.
“Hahaha ....! Kan gak ada aturan kalo gak boleh pendek puisinya ....!” BimBim tertawa lepas sekali.
“Betul juga sih ....lagipula bagus juga pusinya! Singkat tapi dalam maknanya ....! Wah berbakat juga nih Mas BimBim jadi penyair kelas ....amatiran! Hihihi ....”
“Cah Ayu, aku memang gak bakalan bisa menulis puisi sebanyak dan sebagus Cah Ayu! Makanya ini khusus untuk Cah Ayu!”
“Terima kasih Mas BimBim!”
“Cah Ayu, kenangan akan senyum manis, sorot mata bening yang berbinar teduh, wajah ayu ini!” BimBim membelai rambut Cah Ayu kesayangannya penuh ungkapan rasa, “... yang jujur selalu membuat aku punya semangat baru, bahkan disaat serba tidak menentu pada peristiwa ‘penculikan’ Lukas dan teman-temannya tempo hari!”
“Sungguh .... pada satu titik tertentu. Satu titik nadir. Satu titik yang aku rasa menjadi persimpangan antara hidup dan mati, ketika diri ini diangkut dibawah ancaman senjata, wajah ditutup, digiring ke suatu tempat yang entah ada dimana. Ingatan akan senyum manis, binar mata, dan wajah ayu ini g membuat aku mencoba sekuat tenaga untuk bertahan!”
“Mas BimBim ....!” Ada rasa haru keluar dari ucapan Mitha yang tertahan barusan.
“Sudahlah .... mending tidak usah diingat-ingat lagi peristiwa yang sudah lalu! Pada akhirnya aku sudah ada di samping Cah Ayu lagi sekarang ... iya kan ...?” BimBim tersenyum menepiskan semua kenangan pahit.
Mitha mengangguk dan tersenyum, “Mas BimBim .... Mitha selesaiin dulu ya puisi Mitha ...?”
“Oke ...!”

###

F I L O S O F I C I N T A

I
Cinta bukan untuk dipertanyakan dan dipikirkan, melainkan untuk diresapi kemudian diwujudkan pada tempatnya tanpa perlu khawatir akan kehilangan diri
II
Cinta tiada buta tidak juga terang benderang menyilaukan mata batin. “The Truly Love” ada setelah moksanya pencarian dan tanya tak berkesudahan akan kesejatian pengejawantahan diri. Cinta tampil dalam samar sebagai samudera raya hasrat untuk memberi dengan meminggirkan balasan
III
Cinta sehati dengan devosi utuh nurani akan Kuasa Tinggi Empu Semua Ada
IV
Di mana pengorbanan terasa kecil dan sekejap terlupakan di situ bersemayam C.I.N.T.A.S.E.J.A.T.I.

- Puisi ini untuk Mas BimBim -

Mas BimBim,
Setelah waktu bergulir dan terus bergulir. Peristiwa demi peristiwa datang silih berganti. Pergulatan dan pergolakan mendera relung hati. Ternyatalah ....
Bahwa Mas BimBim mampu menunjukkan hidup dengan mencinta. Tak terbayangkan bagaimana Mas BimBim bisa bertahan dalam penyangkalan diri dan pemendaman rasa. Tak terbayangkan bagaimana Mas BimBim bisa melepaskan idealisme duniawi demi sebuah nama, bernama CINTA.
Terima kasih Mas BimBim!
Terima kasih untuk semuanya ....

“Mas BimBim! Kalau boleh Mitha tahu, apa sih yang membuat Mas BimBim bisa bertahan untuk tetap sayang sama Mitha, bahkan dalam keadaan yang gak ngenakin sekalipun?” Suara Mitha memecah keheningan yang telah berlangsung beberapa saat.
“Waduh .... jujur aja ya Cah Ayu, aku tidak punya jawaban tepat untuk pertanyaan barusan! Rasa dibakar api cemburu pasti ada! Rasa berontak untuk tidak terus-menerus memendam rasa juga sering muncul!”
“Belum lagi pertanyaan, kenapa orang lain begitu bebas untuk mengungkap rasa? Sedang aku! Aku harus membungkusnya sedemikian rupa agar tidak tercium orang lain. Dan juga kenapa-kenapa lain yang silih berganti hadir ...”
“Iya .... Mas BimBim, pelan-pelan aja! Mitha akan sabar kok dengerinnya!” Mitha tersenyum mencoba menetralisir suasana ketika dilihatnya laki-laki disampingnya ini terlempar kembali ke masa-masa pergolakan batin yang terus mendera.
“Cah Ayu, seringkali aku hampir tidak kuasa menahan diri! Tapi ... syukur kepada Yesus, beberapa kali Ia mengingatkanku, dengan cara-caraNya yang ajaib, untuk tidak bertindak gegabah. Untuk tidak berlaku ceroboh!”
“Hanya satu Cah Ayu .... ya, hanya satu yang selalu terngiang ketika aku disiksa oleh rasa! BimBim .... sayang adalah melepaskan! Berikan dengan sadar apa yang bisa kau berikan tanpa merisaukan pantulan yang kau terima!” BimBim tersenyum kepada Cah Ayunya, endapan-endapan rasa masa silam perlahan mulai dapat ia tumpahkan.
“Mas BimBim .... sini!” Mitha menggamit tangan BimBim dan mengenggamnya erat-erat. Ada kehangatan kasih sayang mengalir dari sana.
“Terus terang ... walaupun aku bisa bertahan .... namun tetap saja Cah Ayu, aku adalah manusia biasa yang juga punya angan-keinginan-harapan! Yah ... catatan harianku itu sasarannya dan juga tempat ini! Tempat yang jadi saksi abadi teriakan-teriakanku. Keluh kesahku. Bahkan juga tetes air mataku!”
“Oh ... ya Cah Ayu, aku masih punya puisi yang selalu kubawa .... puisi yang jadi pengingat kala hati ini lagi gak karu-karuan .... sebentar ya!” BimBim mengambil secarik kertas dari dalam dompetnya ....

ADA MISTERI

Memandang lepas pada sebening raut
Memendar binar netra bersemayam pesona
Getaran semakin menyata
Tiada bisa
Tiada mampu
Tiada sanggup
Menepis
Menolak
Melawan
Apalagi berpaling
Terbentuk
Imaji kesukaan milik sang melati
Menggugah kembali kebekuan inspirasi
Namun ....................
Imaji hanyalah imaji
Tanpa nyata
Tiada realita
Bukan fakta
Bincang-bincang imajiner
Sambung rasa imajiner
Bedah jiwa majiner
Berbagi hati yang juga imajiner
Sampai pada mewujud angan pun imajiner

Misteri yang tetap misteri
Kesejatian berperan
Atau kesementaraan meraja
Akankah terbitnya asa sebagai awal terbenamnya eksistensi
Duhai Maha Misteri
Maukah Kau putar balikkan
Samar bermetamorfosa naskah hidup
Bernafaskan Kidung Agung Swargaloka
Atau
Misteri tetaplah misteri

Kepada melati,
Yang membangunkan rasa
Setelah sekian lama “tertidur”

Mitha tersenyum haru begitu selesai membaca lembaran salah satu prasasti akan rasa seseorang yang begitu menyayanginya itu. Seseorang yang selalu mencoba untuk memberi dan hanya memberi. Seseorang yang membuat dirinya mengerti makna terdalam dari apa yang dinamakan CINTA. Seseorang yang juga ia sayangi. Seseorang yang adalah Mas BimBim.
BimBim juga tersenyum. Senyuman bahagia bahwa pada akhirnya misteri terbuka dalam lembaran ada kehidupan yang mempertautkan angan dan kenyataan. Bahwa pada akhirnya sang kekasih hati bersanding di sisinya.
BimBim menggenggam tangan Cah Ayunya seorang, dan pasangan jiwa nan berbunga itu menimati berpadunya rasa tanpa. Tanpa tutur. Namun kaya makna!


AKHIRAN

Beberapa bulan kemudian .....
Udara pagi dataran tinggi Dieng terasa sejuk hari ini, setelah tadi malam rintik-rintik hujan mengguyur tanpa henti semalaman. Hembusan angin dingin yang walaupun menusuk tulang terasa menyegarkan mata batin, sementara sang surya memancarkan cahaya eloknya menambah kehangatan suasana pagi ini. Fenomena fajar pagi yang menyejukkan seakan menyambut fajar harapan baru dalam membuka lembaran demi lembaran ada kehidupan. Ya .... fajar hati nan merekah milik sepasang insan anak panah kehidupan yang akan terus melesat untuk selanjutnya berganti menjadi busur yang bakal melesatkan anak panah penerus ada kehidupan. Sampai nanti .... ya ..... sampai nanti.
“Cah Ayu, waduh kayaknya pulas sekali tidur Cah Ayu tadi malam! Nah begitu dong biar bangun tidur tetap tersenyum, jadi tambah manis!”
“Mulai deh, Mas BimBim! Pagi-pagi udah ngegombal!”
BimBim tersenyum lepas dan menggamit tangan Mitha, Cah Ayunya seorang, “Cah Ayu, selamat ulang tahun ya! Aku punya kado kecil petikan syair lagunya Katon Bagaskara, aku bacain!”
TAMBAH USIA

Bertambah satu usiamu
O .... semoga penuh warna
Semakin indah hatimu
Berikan cinta ‘tuk semua

Kau telah tercipa
Sebagai insan istimewa
Tumbuh dalam jiwa
Terus bahagia dan rauh cita

Syukur ‘tuk Yang Kuasa
Atas beragam anugrah
Ku sertakan doa
Panjang umur kasih berlimpah

Ikuti hidup yang mengalir
Dan reguklah hingga akhir
Karena dunia terus berubah
Jangan kau terlena dan goyah

Bertambah satu usiamu
O .... semoga penuh warna
Semakin indah hatimu
Berikan cinta ‘tuk semua

8 Iyar 5767 – 19 April 2006
Kepada Cah Ayu
Teruslah mengepakkan sayap-sayap kecilmu

Maka lembaran demi lembaran belumlah titik ................

Tidak ada komentar: