LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Senin, 09 Februari 2009

KEMANAKAH, WAHAI KAUM LAKI-LAKI?

Dunia Pendidikan Sekolah Minggu :
KEMANAKAH, WAHAI KAUM LAKI-LAKI?
Oleh : age

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya,
maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada
jalan itu.”
Amsal 22 : 6

SEKOLAH MINGGU. Di dalam kehidupan bergereja tentunya bukanlah nama atau istilah yang asing terdengar di telinga. Secara umum, Sekolah Minggu adalah wadah bagi anak balita sampai masa usia pra-remaja untuk dididik dan diajar oleh para pengasuh atau guru Sekolah Minggu mengenai Firman Allah. Melalui Sekolah Minggu anak-anak dididik dan diajar untuk sedini mungkin mengenal Firman Allah. Dengan kata lain, Sekolah Minggu merupakan wadah pendidikan dan pengajaran iman Kristiani bagi anak-anak.
Dalam organisasi gereja, kehadiran Sekolah Minggu tentu saja bukan hanya sekadar pelengkap yang memang harus ada namun ya hanya sebatas ada. Sekolah Minggu merupakan bagian penting dalam gereja yang memiliki potensi dalam proses pembentukan anak untuk dapat tumbuh dan berkembang tidak hanya secara fisik dan intelektual semata, tetapi juga secara emosi, moral, dan spiritual.
Berkaitan dengan betapa pentingnya bidang pelayanan anak di gereja, sama pentingnya dengan bidang-bidang pelayanan yang lain baik kategorial maupun fungsional. Ada hal yang sedikit menggelitik penulis mengenai dunia pelayanan anak, dalam hal ini implementasinya di dunia pendidikan dan pengajaran Sekolah Minggu, khususnya dengan realita yang ada di dalam orang-orang yang terpanggil untuk menjadi pelayan anak. Hal yang menggelitik tersebut adalah pertanyaan, “Mengapa sedikit sekali kaum laki-laki yang terpanggil untuk menjadi pelayan anak?” Pertanyaan yang seolah diperkuat ketika belum lama ini penulis mengikuti Temu Nasional dan Workshop pelayan anak di Istora Senayan, Jakarta. Dari ribuan peserta yang hadir di acara tersebut, menurut pengamatan penulis persentase kaum laki-laki yang menjadi peserta sangatlah sedikit.
Mungkin pertanyaan di atas adalah sebuah pertanyaan yang biasa-biasa saja, atau bahkan terlalu mengada-ada! Namun, walaupun mungkin baru dapat dikatakan asumsi karena tidak ditopang oleh riset atau penelitian ilmiah, minimnya jumlah pelayan anak dari kaum laki-laki menyiratkan bahwa budaya patriarkal masih sangat kental dalam kehidupan bergereja!
Benarkah pendidikan dan pengajaran anak, dalam hal ini pendidikan dan pengajaran moral dan spiritual di Sekolah Minggu, terutama adalah porsi bagi kaum perempuan? Benarkah bahwa kodrat kaum laki-laki adalah bekerja keras untuk mencari nafkah bagi penghidupan keluarga, sehingga porsi untuk mendidik anak menjadi boleh lebih sedikit dibandingkan kaum perempuan? Dan benarkah bahwa di gereja, kaum laki-laki telah sedemikian sibuk mengurusi hal-hal yang sangat penting dan vital bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja, sehingga bidang pelayanan anak sudah selayaknya diserahkan pada kaum perempuan? Sungguh alangkah perlakuan yang diskriminatif jika pertanyaan-pertanyaan di atas adalah benar adanya!
Jika kita mau bercermin pada apa yang dikatakan Salomo di AMSAL 22 ayat 6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu.” Salomo tidak memberikan spesifikasi berdasarkan jenis kelamin kepada siapa perintah ini ditujukan, misalnya perintah ini khusus bagi kaum ibu atau kaum perempuan. Tidak, sama sekali tidak! Salomo mengarahkan perintah untuk mendidik orang muda atau anak-anak bagi semua orang baik kaum perempuan maupun kaum laki-laki tanpa terkecuali.
Memang jika berbicara secara kodrati, kaum perempuan adalah ibu atau calon ibu yang melahirkan anak-anak. Sudah sewajarnyalah bagi kaum perempuan untuk mencurahkan kasih sayang dan perhatian mereka demi memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak, sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan ini. Namun apakah tugas untuk memberikan pendidikan dan pengajaran anak hanyalah tugas kaum perempuan semata? Tidak, bukan! Salomo pun sebagai seorang laki-laki tidak menyatakan demikian.
Bahkan ketika Allah memerintahkan kepada anak-anak untuk menghormati ayah dan ibu mereka, sekali lagi ayah dan ibu! Bukan hanya menghormati ibu. Perintah yang tentu saja mengandung konsekwensi bahwa jika anak-anak mempunyai tugas untuk menghormati ayah dan ibu mereka, maka ayah dan ibu mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak mereka. Sebuah kemestian bahwa tugas memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak bukanlah hanya tugas ibu atau kaum perempuan semata, tetapi adalah juga tugas ayah atau kaum laki-laki.
Ada kesan kuat yang dirasakan penulis bahwa di dalam kehidupan bergereja terdapat paradigma, mudah-mudahan hanya sekadar asumsi, yang menyatakan Sekolah Minggu adalah dunia yang penuh dengan permainan dan hal-hal yang serba sukacita. Dunia yang melulu tanpa beban, tanpa perlu pemikiran-pemikiran yang berat. Dunia yang ringan-ringan saja. Sehingga urusan Sekolah Minggu hanyalah urusan wajib bagi kaum perempuan, sementara bagi kaum laki-laki boleh saja ikut ambil bagian kalau ada waktu. Bagi kaum laki-laki berkiprah atau berpelayanan di Sekolah Minggu bukanlah suatu kemestian. Mau ikut berperan boleh! Tidak mau ambil pusing ya silakan!
Sungguh suatu paradigma yang sangat memprihatinkan, dan tentu saja harus ditiadakan dalam kehidupan bergereja! Sekolah Minggu memang dunia penuh sukacita dan penuh permainan. Namun, berkiprah di dalam pelayanan Sekolah Minggu bukanlah untuk main-main! Sekolah Minggu adalah wadah bagi tumbuh dan berkembangnya moral dan spiritual tunas-tunas muda Kristiani yang perlu dipikirkan dan digeluti secara serius. Dan menjadi tanggung jawab bersama baik bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki untuk senantiasa bergelut dan bergumul mencari format dan metode pendidikan dan pengajaran yang baik dan tepat bagi anak-anak melalui Sekolah Minggu.
Sudah saatnyalah sekarang, kalau tidak mau dikatakan terlambat, gereja membuang habis akar-akar warisan budaya patriarkal di dalam seluruh sendi kehidupannya. Warisan budaya yang hanya akan melahirkan kesenjangan dan diskriminasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Warisan budaya yang hanya akan menghambat pertumbuhan gereja Tuhan di dunia ini. Warisan budaya yang sama sekali tidak adil! Karena manusia adalah kaum laki-laki dan kaum perempuan, bukan hanya kaum laki-laki atau kaum perempuan saja. Karena dalam banyak sisi tidak mungkin laki-laki hidup tanpa perempuan, begitu pun sebaliknya.
Akan lebih indah jika laki-laki dan perempuan dapat bekerja bersama-sama bahu-membahu dalam bergelut dan bergumul di dunia pelayanan anak. Maka tidak akan timbul lagi pertanyaan, “Kemanakah, wahai kaum laki-laki?” Yang ada hanyalah satu tekad, “Inilah kami, laki-laki dan perempuan, yang saling bergandengan tangan berdaya upaya agar anak-anak dapat mewujudkan masa depan mereka yang penuh harapan di dalam KRISTUS! Dan segala kemuliaan hanyalah bagi TUHAN!”
Ladang pelayanan anak masihlah sangat luas untuk bersama-sama kita garap! Tuhan memberkati.


Depok, 15 September 2006

Tidak ada komentar: