LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Selasa, 03 Februari 2009

AKU MEMILIH MAKA AKU ADA

LEMBARAN V

SEMARANG KOTA ATLAS


Dua minggu sebelumnya .........

Gerimis kecil mengguyur pinggiran Ibukota Propinsi Jawa Tengah, gerimis yang sedari siang tadi seakan enggan berkompromi dengan terus-menerus datang dan pergi meneteskan titik-titik air di atas permukaan bumi pinggiran kota –yang dinamakan Banyumanik. Sementara arus jalan raya dari dan ke arah Kota Semarang seakan tak terpengaruh dengan kondisi alam sore ini, berbagai jenis kendaraan bermotor silih berganti melintasi jalan aspal hitam pekat bergelombang.
Seorang anak muda tampak sedang berteduh di sebuah warung kecil yang sedang tutup. Kedua tangannya bersedekap di dada memeluk erat sebuah kantong plastik hitam.
“Mimit! Sabar dulu ya, Masmu ini tidak bisa cepat-cepat memberikan kelengkeng permintaanmu.” Gumam pemuda tadi sambil tatapan matanya menerawang ke atas.
“Kondisi rem belakang ‘Si Kancil’ tidak memungkinkan jalan dalam cuaca hujan begini!” Tatapan matanya segera beralih pada sepeda motor yang diparkir di sampingnya.
“Hai Kancil! Sori ya, juraganmu ini belum bisa bawa kamu ke salon langgananmu alias bengkelnya Si Toni.” Laki-laki tampan dengan tinggi 174 cm ini menarik napas panjang.
“Sabar dulu ya Bro! Sebentar lagi kamu bakalan punya juragan kecil ..... so, anggaran ke salon dikurangi dulu oke!” Tangan kirinya memegangi sisi atas jok motor berwarna hitam milik ‘Si Kancil’.
“Kancil .... Kancil! Kamu memang tunggangan yang setia! Hampir-hampir gak pernah protes sama juraganmu ini ....”
“Ya ... 3 tahun lebih kamu nemenin Hananto Adi Wibowo, si juragan Cinamu hehehe! Dari mulai malam-malam panjang di jalanan .....” Pikiran sang juragan bercengkrama dengan tunggangannya melayang ke masa silam.
“Waktu itu .... kamu juga yang bikin nama Hanan tenar seantero anak-anak motor jalanan Semarang! Urusan tancap gas di jalanan serahkan aja sama Hanan dan Kancil-nya dijamin gak bakalan ada yang nandingin!” Tangan kirinya berpindah mengibaskan rambut pendek lurus yang basah terkena tetesan air hujan.
“Ya .... dengan style kepala plontos, kuping tindikan, jaket kulit hitam, apalagi ditambah congyang ..... soal ngebut habis perkara! Siapa aja aku ladeni!” Senyum tersungging di bibir tipisnya, setipis garis mata layaknya orang-orang berdarah ‘keturunan’.
“Hmmmhh .... aksi gila-gilan demi mendapatkan eksistensi diri, demi pengakuan biar lebih dianggap! Hahaha .... Hanan ..... Hanan! Untung gak mati konyol lu orang hanya demi pengakuan semu!”
“Yah ..... sampai masa pencerahan itu datang! The Enlightmen Era has Come! Ketika aku ‘ditemuin’ sama BimBim, Si Biang Kampret itu! Juga akhirnya ketemu Mimit! Kedua orang itulah yang membuat mataku ‘melek’ en bangun dari tidur indahku selama ini.” Diletakkan kantong plastik, berisi dua kilogram kelengkeng yang sedari tadi dipeluknya, di atas jok ‘Si Kancil’ dan segera tangan kanannya bergerak memegang sebuah bandul kalung berbentuk crufix terbuat dari platina murni di lehernya.
“Thanks Jesus! Engkau memang penuh dengan cara-cara ajaib dalam menuntun insan-insan liar serba salah jalan, seperti aku ini! Gak akan pernah aku lupakan bagaimana Engkau selamatkan aku lewat Si Biang Kampret itu, Biang Kampret yang berhati mulia .....” Tangannya kini menggenggam erat Salib kecil yang selalu menghiasi leher jenjangnya itu, dan menciumnya erat-erat.
“Ya .... hampir saja aku ‘habis’ dimassa alias diamuk orang-orang satu Simpang Lima gara-gara adu kebut dan nyerempet seorang ibu penjual nasi liwet di sana. Dan BimBim-lah yang menenangkan emosi massa serta membawaku keluar dari kemelut yang bisa berakibat fatal bagi diriku ... hmmmhh!”
“Ini! Minum tehnya dulu biar agak tenangan sedikit! Eh .... kalo gak salah kamu anak Ekonomi kan?” Tanya BimBim kala itu setelah mengajakku ke tempat ibu asuhnya berjualan di salah satu sudut tempat paling terkenal di Semarang. Ya, Semarang memang identik dengan Simpang Lima, sebuah tanah lapang yang sebenarnya bernama Lapangan Pancasila yang dikelilingi oleh lima buah ruas jalan serta pusat-pusat pertokoan dan sebuah Masjid besar.
“Iya benar! Aku memang kuliah di Fakultas Ekonomi, kok kamu tahu? Dan makasih ya .... buat bantuan dan teh angetnya!”
“Never mind guys! Gak usah dipikirin! Aku BimBim! Anak Sastra! Motormu itu lho yang buat aku tahu kalo kamu anak Ekonomi!”
“Oh ..... begitu, aku Hanan. Wah ternyata ‘Si Kancil’ ini terkenal juga sampai ke Sastra ya?” Aku terkesan sama keramahannya yang tulus.
“Gimana gak terkenal! Wong kalo lewat depan Sastra motor serba hitam polos ini pasti ngebut ¬edan-edanan! Hahaha .....”
“Aduh .... jadi gak enak body ...... terkenal gara-gara ugal-ugalan!”
“Jujur ..... sempat keki juga sih! Waktu acara MOMB tempo hari, motor kamu itu nyaris nyenggol barisan MABA yang lagi antri di gerbang, masih ingat buddy?” Ada senyum penuh arti terlihat dari bibir BimBim.
“Maaf .... maaf! Yah aku ingat banget! Kejadian konyol yang bikin aku diteriakin orang banyak!” Entah mengapa ada penyesalan begitu mendalam ketika aku sadari bahwa ulahku selama ini membuat kesal dan merugikan banyak orang.
Semenjak kejadian di Simpang Lima itu aku semakin dekat dengan BimBim, dan berkat dia pula aku mulai meninggalkan dunia kebut maut jalanan. Aku mulai masuk ke dunia yang sebelumnya sama sekali asing buat seorang Hanan, ya .... dunia kegiatan kerohanian! Sedikit demi sedikit aku mulai akrab dengan yang namanya Persekutuan, ‘Jumatan’, sharing, panitia Natal atau Paskah, Retreat, Bible Camp, Live In, dan lain-lain. Dunia yang ternyata membuat hidup ini menjadi lebih berarti dan dunia di mana aktualisasi serta eksistensi murni aku dapatkan setelah sekian lama aku cari di tempat yang salah.
BimBim pula yang mengenalkan aku dengan Si Mimit, kekasih sejatiku, yang juga dengan sabar dan setia mendampingi proses penyadaranku. Walaupun ternyata sisa-sisa keliaranku masih ada, sehingga aku menyeret Mimit bergelut dalam permasalahan sekarang ini.
Ya, kedekatanku dengan Mimit membawa kami terjebak ke dalam kenikmatan sesaat yang menjebloskan kami ke dalam lubang gelap dan sempit. Kemesraan kasih sayang antara Si Hanan ini dengan Mimit pada akhirnya melampaui batas-batas semestinya ... dan hasilnya sebentar lagi akan hadir juragan kecil yang tercipta di luar ikatan resmi. Badai yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dihadapi sampai ke kedalamannya.
Lamunan Hanan terhenti ketika dirinya tersadar bahwa kekasih hatinya tengah menunggu kelengkeng Ambarawa di tempat kos-nya, ia mengeluhkan rintik-rintik hujan yang belum juga mau menghentikan aktivitasnya bermain-main meluncur turun dari langit menuju bumi bagian selatan Kota Atlas ini.
“Mimit sayang! Aku yakin kamu pasti sabar menunggu kedatanganku! Karena kamu adalah orang yang paling sabar sedunia!”
Tersenyum Hanan saat lamunannya terlempar pada masa-masa indah kebersamaan antara dirinya dengan Mimit, sang kekasih. Saat-saat menyusuri Kota Atlas ditemani oleh ‘Si Kancil’ yang setia, saat terendam dan terjebak banjir di Bundaran Jalan cendrawasih sampai-sampai ‘Si Kancil’ menyerah tidak bisa jalan, saat kongkow di Papandayan atau di Taman Tabanas tepat di tengah Tanjakan Gombel hanya untuk melihat indahnya pemandangan gemerlap Kota Atlas di malam hari dari atas.
“Ah..... sayang! Di depan Taman Tabanas sekarang udah jadi restoran! Yah .... memang para investor adalah orang paling jeli melihat peluang mengeruk keuntungan!” Kembali Hanan bercakap-cakap dengan dirinya sendiri.
“So ..... sekarang kalo mau melihat pemandangan di sana otomatis harus mengeluarkan uang sekadar membeli hidangan yang disediakan! Sebentuk eksploitasi terhadap fenomena alam yang kalau kata Mimit serupa dengan di daerah Puncak, Bogor sana!”
Hanan kembali mengurai kenangan-kenangan masa lalu dalam lamunannya, yang kalau lamunan seseorang dapat digambarkan secara visual, maka akan terlihat jelas sisi-sisi Kota Atlas dalam benak Hanan. Mulai dari bagaimana dua sejoli penuh kemesraan dengan berteman kendaraan roda dua serba hitam pekat itu menyusuri Jalan Hayam Wuruk yang terkenal dengan deretan kafe-kafe mini kelas mahasiswanya, kemudian melewati Imam Bardjo, berbelok ke kanan masuk ke Pahlawan Boulevard, begitu BimBim biasa menyebut, yang penuh dengan warung-warung tenda dari mulai Bundaran Air Mancur UNDIP sampai ke Simpang Lima, baik di sisi kanan maupun sisi kiri jalan protokol itu.
Pasangan muda itu masih terus bergerak, setelah masuk Simpang Lima berbelok ke kiri ke Jalan Pandanaran terus ke barat melewati Tugu Muda dengan Lawang Sewu dan Gereja Katedral-nya, kemudian melintasi Jembatan Banjir Kanal Barat. Mereka berhenti sejenak karena terkena lampu merah setelah melewati Pasar Karang Ayu, dan perjalanan berlanjut dengan berbelok ke kanan terus memasuki kawasan Perumahan Puri Anjasmoro, salah satu perumahan elit di Kota Atlas ini, dan akhirnya ‘Si Kancil’ berhenti di parkiran Puri Maerokoco alias Taman Mini Indonesia Indah versi Jawa Tengah. Puri Maerokoco adalah sebuah obyek wisata di Kota Atlas yang mencoba mengabadikan kekhasan seluruh Kabupaten dan Kota Madya di Propinsi Jawa Tengah yang masing-masing diwakili oleh bentuk-bentuk rumah khas daerahnya. Terlepas dari kesan yang kuat akan plagiat dari TMII, usaha Pemerintah Daerah yang patut dihargai karena paling tidak ada tindakan riil untuk melestarikan warisan-warisan sosial budaya masing-masing daerah yang ada di Jawa Tengah. Sebuah langkah yang sepertinya perlu diikuti oleh propinsi-propinsi lain di negeri Nusantara ini, tentunya dengan kreativitas masing-masing.
Kehangatan seakan tak pernah lepas dari diri Hanan dan Mimit dalam acara tur imajiner mengelilingi Jawa Tengah itu. Sampai saatnya turun hujan deras secara mendadak sehingga acara tur terhenti dan mereka terpaksa berteduh, kemudian terpaksa hujan-hujanan melangkah keluar karena Sang Miniatur sudah saatnya beristirahat, dan akhirnya terpaksa bermalam di tempat kerabat Hanan di Puri Anjasmoro karena hujan deras masih saja mengguyur dan banjir mulai menggenang, rentetan kejadian yang pada puncaknya membuat mereka mereguk kenikmatan duniawi terlalu cepat pada saat yang semestinya belum waktunya. Maka terjadilah apa yang telah terjadi!

# # #
“Han..... ! Sudah dua bulan ini siklusku tidak pernah datang ..... aku .... aku takut jangan-jangan ...... ! Ah, semoga saja gak benar! Iya kan Han?” Kepanikan yang sangat mengiringi perkataan lirih Mitha.
“Baik ..... baik! Mimit tenang dulu .... kita ke dokter aja ya untuk lebih memastikan! Cuma, kamu minum dulu ya!”
“Iya ...Han! Maafin aku ya, abis aku panik banget ... takut kalau aku .... ah ..... !” Derai isak tangis melanjutkan kekalutan yang tak tuntas terkatakan.
“Aku ngerti sayang! .... Tapi sekarang jangan mikir macam-macam dulu ya ... kamu minum dulu, setelah itu kita berangkat ke dokter!” Hanan mencoba menenangkan kekasihnya dan menyodorkan gelas berisi air putih yang disuguhkan Mitha untuknya.
“Makasih ya Han!”

# # #

“Selamat! Bapak! Ibu! Sebentar lagi akan hadir buah hati Anda berdua! Sekarang usianya baru sekitar satu setengah bulan. Mulai dari sekarang dijaga kondisinya ya Bu!” Dokter menyalami Hanan dan Mitha yang masih terhenyak kaget bukan kepalang mendengar ucapan selamat itu. Ucapan selamat yang lebih merupakan petir di siang bolong bagi mereka berdua.
“Ba... ik! Baik! Terima kasih Dok! Cuma apa memang sudah benar-benar positif Dok?” Hanan seakan belum percaya akan kenyataan yang dialaminya untuk menjadi seorang calon ayah.
“Absolutely right! Hasil Lab menunjukkan Positif!”
“Kalau .... begitu kami pamit dulu Dok! Terima kasih atas bantuannya!”
“Silakan! Jangan lupa untuk tetap menjaga kondisi ya Bu! Dan Bapak juga harus ikut membantu Ibu untuk menjaga si kecil ya!”
Hanan segera mengangguk dan menggandeng Mitha yang tidak bisa menahan tangis untuk melangkah keluar ruang pemeriksaan.

# # #

“Huh ...!” Hanan meninju papan warung tempatnya berteduh, ada emosi dan penyesalan mendalam coba disalurkan keluar melalui kepalan Hanan.
“Aku tahu penyesalan gak ada gunanya, namun setiap aku teringat kembali masa-masa badai itu .... selalu sesal berkepanjangan hadir dalam batin ini!”
“Oh .... God! Engkau ternyata memang tidak pernah meninggalkan anak-anakMu! Hanya seringkali manusia saja yang tidak menyadarinya! Aku ingat persis bagaimana masa-masa kegelapan setelah ‘kejadian’ itu justru nyaris berakibat lebih buruk lagi.
Aku yang gak bisa menerima kenyataan malah menjadi gelap mata mencari pembenaran dan pelampiasan, kembali ke duniaku yang lama hanya sekadar untuk berlari. Dan kembali Si Biang Kampret itu jadi penyelamatku, the savior yang gak pernah lelah mengangkatku dari lubang kehancuran!
Hahaha .... aku pasti gak akan pernah lupa! Biang Kampret itu bahkan gak segan-segan menghajarku yang ternyata setelah aku sadari sikapnya yang begitu adalah demi kebaikanku sendiri dan Mimit ‘adiknya’ tentu saja. Dia memang kenal betul watakku yang gak akan ‘masuk’ dengan kata-kata penghiburan dan lemah lembut namun hanya sekadar kata-kata. Dia tahu persis akan lebih mengena untuk menyadarkanku dengan kata-kata pedas penuh tantangan, dan bila perlu dengan hantaman tangan-tendangan kaki demi untuk memancing supaya emosiku keluar yang pada akhirnya akan membuat pikiran dan hatiku menjadi terbuka.”
“Yah ... sikap keras BimBim yang tadinya aku kira karena dia benci dan gak akan mau memaafkan ulahku, justru bertolak dari niatnya untuk memaafkan dan mengangkatku dari kemelut yang mendera. Dia memang kecewa, dan itu pasti!
Niat tulus yang jelas tergambar dari tidak pernah lelahnya Si Biang kampret itu ngedampingi sampai-sampai dirinya rela meninggalkan sebagian besar kegiatan organisasinya hanya demi menyadarkanku.”
“Tuhan! Aku baru sadari sekarang bahwa Engkau memang selalu menciptakan orang seperti Si Biang Kampret yang selalu hadir demi orang lain, terima kasih Tuhan!” Hanan memejamkan matanya demi menahan tetesan air bening yang bukan air hujan keluar dari sepasang netra miliknya sebagai wujud keharuan mendalam.
“Ah .... aku sudah terlalu lama di sini! Kasihan Mimit nunggu dari tadi” Hanan bersiap-siap meneruskan perjalanan ke tempat kos belahan hatinya.
“Ya ... aku harus jalan sekarang! Kancil! Kita pelan-pelan aja ya, come on let’s go babe!”

# # #

“Halo .... selamat malam! BimBim ada?”
“Iya ... saya sendiri! Ini Binsar? Eh .... tumben lo Batak Betawi hahaha ...! Ngapain Bin ....?”
“Bim .... bad news my friend ...! Si ....”
“Apaan ...? Oh .... Demo minggu depan kecium aparat? Tenang ... gak usah ...”
“Eh ... Kampret! Denger dulu .... en jangan motong-motong omongan orang!” Nada di seberang terdengar meninggi, dan BimBim tahu ada nada serius di sana, dia memilih diam!”
“Sekarang dengerin baik-baik! Teman kita Hananto kecelakaan! Si ‘Kancil’ disikat mobil di Jatingaleh ... en ....” Pembicaraan terputus.
BimBim memilih untuk tetap diam, “Han tabrakan! Binsar yang jadi cepat naik darah! Bad news ...! Alamat gak beres nih!” Firasat buruk segera terlintas di benak BimBim ....
“Bim! Han kita, Si Sembalap! Udah pergi, Bim! Pergi .... buat selamanya! Elo ngerti Bim?”
BimBim masih terdiam .... “Bim! Elo baek-baek kan? Han sekarang disemayamkan di Elizabeth, Rumah Duka, gue udah di sana sekarang sama temen-temen GMKI ...!”
Kediaman masih merajai BimBim, “Bim ... tapi Mitha belom ...”
“Baik ... baik! Mitha belum dikasih kabar kan? Aku bisa ngerti kawan! Hanya kita berdua yang tahu apa yang sedang dihadapi Han, your roomy, dan Mitha!”
“He-eh Bim!”
“Mitha biar aku yang urus, oke! Cuma tolong kamu hubungi anak-anak PMKRI, kayaknya disemayamin di Wisma aja deh, di rumah sakit biayanya besar! Terus ... Om Liem yang di Magelang gimana sudah tahu belum?”
“Beres kawan! Gue sama yang lain juga berpikiran begitu en Om Liem juga udah dikasih kabar, sekarang lagi dalam perjalanan kemari!”
”Bim! Gue serahin Mitha ke elo! Cuma elo yang tahu gimana cara nyampein kabar bangsat ini ke dia!”
“Eh ... Bin! Tenang .... kalem, teman! Kita semua prihatin .... Cuma harus tetap dingin! Oke ... kamu bisa janji untuk tetap dingin?”
“Maaf Bim, gue kebawa emosi! Aku janji! Thanks!”
“Sama-sama!”
“Klik ...!”


LEMBARAN VI

DATARAN TINGGI TEMBALANG


1. 31 Juli ‘04
02.15 WIB
Di kampus setelah hari pertama MOMB,
Sebelumnya aku jarang sekali nulis-nulis kayak begini, bisa dihitung dengan jarilah.
Cuma mulai sekarang aku yakin bakal sering nulis apa ya .... diary ... kali ya .... hehehe! Tidak terbayangkan seorang BimBim jadi sentimentil kayak sekarang.
Eh .... apa iya menulis apa yang dirasakan dalam batin itu sentimentil? Mungkin ini apologi, tapi stigma cowok yang nulis diary atau sejenisnya adalah sentimentil, melankolis, atau bahkan cengeng itu ....
SALAH BESAR!
YA .... S.A.L.A.H . B.E.S.A.R.!
Coba saja, kalau label itu benar ... bagaimana dengan Kierkegaard atau Soe Hok Gie? Mereka adalah orang-orang garang dalam mengkritisi ketidakadilan disekitarnya dan selalu mencoba melandaskan diri melulu pada kebenaran, tapi mereka juga adalah manusia-manusia yang paling rajin untuk menulis catatan harian.
Huh ... stigma yang hadir sebagai bentuk gengsi, prestise, keakuan kaum laki-laki demi bisa mengangkangi perempuan! Dasar ...!
Eh .... eh .... BimBim! BimBim!
Mau nulis yang ROMANTIS masih saja terbawa IDEALIS!
Tapi asik juga istilah ROMANTISME yang IDEALIS!
Rasa berpadu dengan nalar
Hati bergandengan tangan dengan logika ....
Oke .... back to the point!
Hari ini, tepatnya kemarin siang
Ada getar menjalar
Ada rasa menjelajah
Seluruh tubuh
jiwa
aliran darah
detak jantung
semua yang bermuara
dari HATI .... !
Entah disebut apa namanya
Hanya yang pasti
Tubuh ini serasa terkena magnet
Daya tarik yang begitu kuat
Ketika ada sosok ....
apa ya kata yang tepat menyebutnya ?
Nngg ....
Ya .... A Y U
S O S O K A Y U
milik .... hmmm ....
C A H A Y U !
That’s right!
Hari ini magnet C A H A Y U
Menarikku ke dalam nirwana smarandana
Tuhan .... ! Terima kasih!
Ternyata aku masih bisa punya rasa SAYANG!

2. 31 Agustus ‘04
19.30 WIB
Cah Ayu,
Terima kasih buat kiriman SMS-nya!
Jujur .... !
SMS paling berkesan yang pernah aku dapatkan!
Gimana nggak!
SMS ucapan selamat on my birthday beserta sebentuk doa dari Cah Ayu .... ya dari Cah Ayu .......... wow!
310804 07.02
dari Cah Ayu
I pray to God to
o +
,L.
,.J ll

BLESS
You

GUIDE
You

SAVE
You

Give you

PEACE
JOY

and

happines. Zhu Ni
ShengRe KuaiLe
Sempet bingung juga sama gambar dan baris terakhir yang pakai bahasa negeri-nya Jacky Chan.

17. 23 Pebruari ‘05
12.50 WIB
Cah Ayu,
Matek Aku! Seorang Hananto barusan curhat sama aku kalau dia sayang sama Cah Ayu!
Petir di siang bolong
Badai Tsunami
Rasanya tak mampu menandingi
Gemuruh rasa ini!
Hananto, adik pendampinganku, seperti juga Cah Ayu
Adalah sekaligus rivalku!
Heh ..... aku gak boleh begini!
Maafkan aku ya Bapa!
Ampuni aku ya Yesus!
Aku gak boleh mengacaukan
Aku gak boleh mencampur aduk
Tanggung jawab pendampingan
Tanggung jawab pelayanan
Pelayanan is pelayanan
Apalagi, aku tahu persis, Han, arek Magelang sebatang kara itu, adalah orang baik hati.
Soal back ground-nya di masa lalu yang suka ugal-ugalan di jalan sama ‘Si Kancil’ kesayangannya tidak masalah .... karena aku ....
Aku bahkan lebih bajingan daripada sekadar kebut-kebutan!
Cah Ayu,
Cinta adalah melepaskan!
Bapa, bimbing aku!
Supaya selalu bisa tempatkan
Rasa dan pelayanan
Pada tempatnya
Pada yang semestinya

# # #

“Jadi .... Mas BimBim! Selama ini Mas BimBim .....”
“Mitha ....! Tadi Mitha sudah janji kan, boleh kasih comment kalau sudah selesai baca semua, iya kan?”
“Iya .... Mas, maaf aku ketelepasan! Aku terusin bacanya ya Mas BimBim?”
“Oke .... aku juga masih senang melihat pemandangan dari sini, Cuma anginnya kencang banget. So .... kalau Mitha kedinginan kita turun aja yuk!”
“Jangan Mas BimBim .... aku gak papa kok! Kan ada jaket Mas BimBim! Lagian ini tempat favorit Mas BimBim yang dari dulu Mas BimBim pengen ajak aku kesini dan baru kesampaian sekarang!”
Terpaan angin kencang terus menerpa keberadaan dua orang anak muda itu, seakan menderu-derunya angin adalah ungkapam protes alam supaya mereka lalu dari tempat ini. Sepertinya alam berteriak, “Jangan-jangan kalian seperti yang lain! Hanya menodai tempat ini dengan tulisan-tulisan di batu dan batang-batang pohon atau membuang sampah seenaknya!”
Alam salah satu titik di puncak deretan perbukitan Tembalang ini memang pantas ‘berdemo’ menentang ulah tangan-tangan jahil yang merusak keaslian dan keindahannya. Ya ... tempat favorit sang aktivis kampus itu, memang bisa dikatakan Grand Canyon-nya Semarang. Sebuah tempat berupa bibir jurang yang kalau kita menghadap dan melayangkan pandang ke depan hanya akan didapati melulu deretan bukit-bukit nan elok dan eksotis.
Kali pertama BimBim menemukan tempat indah buatan alam ini, dirinya tak habis-habis terkagum-kagum, “Hei ... ternyata ada juga tempat begini bagus nan alami di Semarang! Kontras dengan hiruk pikuk Ibukota Jawa Tengah di ‘bawah’ sana!” Pikirannya menerjang menikmati fenomena alam yang baru saja didapatinya, laksana seorang anak kecil yang mendapat mainan baru yang sangat didambakannya. Dan waktu 4 jam dihabiskan anak muda gondrong eksentrik itu untuk menikmati apa yang disebutnya ‘Nirwana Terpendam Kota Atlas’.
Sejak saat itu, BimBim menemukan tempat menyendiri untuk sekadar mendapatkan suasana hening dan menepi sejenak dari aktivitas sehari-hari di kota. Sebuah lokasi yang cocok untuk menyendiri memang, karena letaknya yang terpencil dan bahkan mungkin tidak semua orang ‘Semarang Bawah’ tahu tempat ini. Tempat yang kalau dari arah kampus UNDIP Tembalang terus menuju ke daerah Sendang Mulyo dengan medan yang juga agak sulit, namun sebenarnya di sini terhampar alam yang kalau kita resapi keindahannya niscaya akan semakin menyadarkan kita betapa Maha Kuasanya Sang Seniman Agung.

# # #

20. 23 Oktober ‘05
01.35 WIB
Lagi nge-camp di Nirwana Terpendam Kota Atlas
Cah Ayu,
Udah lama gak nulis-nulis lagi ....
Dan
Sebuah pertanyaan bertengger
GILAKAH AKU INI?
Punya rasa SAYANG hanya untuk Cah Ayu?
Ingat ‘Bim, Cah Ayu sudah ada yang punya!
Eling ‘Bim, Cah Ayu sudah milik orang lain!
Sadar ‘Bim. orang lain itu gak lain Hananto, adik pendampinganmu!
Tahu diri ‘Bim, kamu bertepuk sebelah tangan!
Tuhan ....
Apakah aku ini Bagai Pungguk Merindukan Bulan?
Apakah aku ini kurang pasrah berserah?
Apakah aku ini gak bisa menerima kenyataan?
Apakah aku ini egois?
Sungguh Tuhan,
Rasa ini gak main-main
Rasa ini masih dan akan terus ada
Apakah harus aku pupus?
Apakah harus aku buang?
Apakah harus aku kubur?
Apakah harus aku pendam?
Bersama HARAPAN-HARAPAN
ANGAN-ANGAN
MIMPI-MIMPI
Haruskah begitu?
Cah Ayu,
Mas BimBim-mu ini gak tahan lagi berbohong
Berbohong kalau aku ini cuma sebagai kakak pendamping
Berbohong kalau kedekatan ini hanya sekadar kakak-adik
Berbohong kalau aku ini gak punya rasa sayang
Bagaimana ini Tuhan?
Haruskah aku lepaskan rasa ini pada seseorang?
Haruskah rahasia ini aku buka?
Rahasia ini aku ungkap?
Bapa,
Dada ini sesak sekali!
Jiwa ini letih sekali!
Bagaimana ini Yesus?
Cah Ayu begitu dekat namun tak terjangkau
Sebuah paradoks tercipta
ADA namun TIADA teraih
Cah Ayu,
Maafkan Mas BimBim-mu ini!
Kalau pada akhirnya
Sama sekali gak bisa membunuh
RASA SAYANG ini
Percayalah,
Mas BimBim-mu ini cuma mencoba untuk jujur

27. 13 Nopember ‘05
01.30 WIB
Cah Ayu,
Seperti kata Kierkegaard, “Aku memilih maka aku ada”
Ya .... OPTO ERGO SUM
Telah kutetapkan akan aku katakan
Akan aku buka
Akan aku ungkapkan
Semua rasa ini
Ya .... RASA SAYANG INI
pada Cah Ayu
yang adalah MITHA
Sekaligus akan aku pinta
Cah Ayu untuk jadi Sigaran Nyawa-ku
Alias GARWA
Alias ISTRI
Jujur ....!
Apakah Cah Ayu memiliki rasa yang sama
Apakah gayung bersambut
Sama sekali bukan yang utama
Lebih dari itu,
Sang benih mungil calon ada kehidupan di dalam rahim Cah Ayu harus memiliki seorang ayah .....
Hananto ....
Sungguh! Aku sama sekali tidak bermaksud mengambil kesempatan dalam kesedihan Cah Ayu
Cuma,
Semoga inilah yang terbaik yang bisa aku lakukan dan berikan buat kalian berdua, dan tanpa ada embel-embel lain yang mengiringinya
Yesus ....
Bimbing aku!
Semoga pilihan ini adalah yang terbaik yang aku punya
Fiat voluntas Tua!
Jadilah kehendakMu!
Amin.

# # #

“Mas BimBim ...” Mitha tidak dapat lagi meneruskan perkataannya, lembaran-lembaran yang baru saja selesai dibacanya sudah cukup menjelaskan.
“Ya ...Mitha! Itulah adanya aku, maafkan aku! Tapi kalau Mitha tidak mau, minimal terimalah aku sampai ‘si mungil’ hadir ke dunia, setelah itu Mitha bisa tinggalkan aku!”
“Sungguh ...! Aku tidak berpikiran apa-apa selain mungkin inilah yang terbaik yang bisa aku berikan ....”
“Semuanya aku serahkan sama Mitha! Sama sekali tidak paksaan dalam kejujuranku ini ....”
“Mas BimBim ..... Mitha sangat percaya dengan ketulusan Mas BimBim! Cuma ...” Airmata haru berlinang seiring perkataan yang tertahan, “Apa Mitha pantas menerimanya? Mitha yang penuh dosa ini?”
“Cah Ayu, kita semua adalah orang yang gak akan luput dari dosa ... dan semua bukan masalah pantas tidak pantas ....”
“Terima kasih Mas BimBim! Mas BimBim bantu Mitha belajar menyayangi Mas BimBim seperti Mas BimBim menyayangi Mitha ya ....”
“I’ll do my best Cah Ayu! Nah, sekarang jangan sedih lagi ya! Kita hadapi semua dengan senyuman!”
“Cah Ayu, ini barulah koma yang akan disusul dengan koma-koma lain. Ini belumlah titik! Yuk .... kita bertelut lutut bersama .....!”

Tidak ada komentar: