LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Rabu, 04 Februari 2009

AKU MEMILIH MAKA AKU ADA

LEMBARAN VII

STUPA MAHAKARYA ABADI


Selantun nada keluar dari benda mungil nan canggih di dalam saku celana panjang Aji, yang segera mengeluarkan benda sumber nada tersebut, memencet tombol yes, serta membaca Short Message System yang baru saja diterimanya.
“Hmmm ... SMS dari Agni! Bawa kabar apa dia dari Bandungan? Mudah-mudahan sudah ada titik terang ....”, maka terlihatlah deretan berita dalam layar monitor si mungil alat komunikasi multi fungsi buatan manusia modern yang digenggam Aji:
From : 1st Twin Sister
Mz Aji, Mitha ga ad d Bndungan! Aq mo ke Ambarwa dl sbl k Kopng skg, dpt info klo ade qta suka ke mba Yos dsn. Mz ttp cr jg ya n keep in touch see ya!
Aji menekan beberapa tombol dan meletakkan kembali ‘si pembawa pesan’ ke tempatnya semula. Tangannya ganti merogoh saku bagian atas jaket parasut yang dikenakannya dan mengambil sebatang sigaret dari kotaknya, dibakar, dan dihisapnya dalam-dalam.
“Hmmmhh ....! Mitha, adikku, di mana gerangan kamu sekarang? Semakin carut marut saja misteri ini!”
“Engkau seperti hilang lenyap ditelan mayapada dan seakan tidak seorang pun tahu keberadaanmu, genduk ragil satu ini, perempuan bungsu nan malang, shit! Permainan apa lagi yang Kau rencanakan Sang Maha Misteri?” Ada sikap protes keluar dari benak Aji, sikap protes yang sebenarnya bermuara dari rasa keprihatinan mendalam atas apa yang tengah menimpa Mitha, adik kembar bungsunya itu.
Ya .... beberapa tempat yang dimungkinkan didatangi oleh Mitha telah coba ditelusuri, namun sejauh ini masih nihil! Jangankan untuk menemukan Mitha, untuk mendapatkan informasi di mana keberadaan Mitha sama sekali tidak ada titik terang.
Aji sepakat, demi efektivitas, berbagi dengan Agni, sang adik kembar pertamanya untuk mendatangi tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh Mitha. Sejauh ini Aji telah ke Klaten tempat Om Pranoto, adik laki-laki satu-satunya dari mendiang Mama mereka bertiga, hasilnya Mitha tidak pernah ke sana dalam beberapa bulan ini. Om Pranoto bahkan kaget bukan kepalang setelah Aji menceritakan apa yang terjadi pada Mitha, dan langsung berangkat ke Surabaya menemui Pakde Wismoyo, kakak Papa sang kembar tiga untuk langsung meluncur ke Jakarta menemui Papa Harisman.
Aji kena semprot habis-habisan karena tidak merundingkan dengan para orang tua mengenai kondisi Mitha dan hanya mengandalkan cara-cara penyelesaian model anak muda serba tak berpikir panjang, walaupun pada akhirnya Om Pranoto memahami sikap Aji dan Agni, serta Bulik Wahyu, istri Om Edi di Ungaran yang adalah juga adik kembar Papa Harisman untuk mencoba menemukan Mitha terlebih dahulu baru kemudian diadakan rembug keluarga. Om Pranoto sadar akan sikap keras Mas Haris yang hanya dapat dinetralisir oleh Mas Wis di Surabaya sana, dan mengambil inisiatif untuk menjadi pembawa kabar bagi para orang tua sedangkan Aji dan Agni meneruskan pencarian Mitha.
Setelah dari Klaten, Aji meneruskan pencarian ke Jogjakarta, tempat Monika teman karib Mitha di SMU dulu dan sekarang menimba ilmu di Kota Pelajar itu, hasilnya sama saja! Kemudian ke Magelang tempat Om Liem Wijaya, paman Hananto almarhum, yang juga cukup dekat dengan Mitha, hasilnya idem!
Belum lagi adiknya, Agni, yang menelusuri ke Bandungan, tepatnya ke ‘Graha Pendoa’ asuhan Kak Cornelia tempat si genduk ragil kerap berkunjung ke sana dan hasilnya nihil seperti SMS yang baru saja diterimanya!
“Oh God! Belum cukupkah tanjakan-tanjakan terjal yang harus dilalui Mitha, adikku tersayang, dalam menapaki hidupnya? Apalagi dia sedang berbadan dua sekarang, ada apa ini Tuhan?” Aji menerawang jauh sejurus deretan perbukitan Menoreh, perbukitan yang konon adalah wujud Sang Maestro Gunadharma dalam tidur abadinya di sisi mahakarya abadi nan megah yang diarsitekinya. Sebuah mahakarya berupa bangunan batu menutupi sebuah bukit sebagai wahana peziarahan menuju tercapainya moksa, kelepasan keakuan demi menyatunya diri pada Sang Khalik. Sebuah mahakarya anak-anak bangsa Nusantara pada masa wangsa-wangsa bertahta di tanah, tepatnya pada masa Wangsa Syailendra Wardhana di sekitar abad 7-9 M. Sebuah mahakarya hasil usaha keras dan cerdas yang memakan waktu 50-70 tahun untuk mewujudkannya, tidak hanya sekadar sebagai wujud keperkasaan dan kehebatan eksistensi manusia namun lebih dari itu merupakan implementasi ungkapan rasa syukur pada Sang Maha Ada, yang membuat kehidupan menjadi ada. Sebuah mahakarya bernama BOROBUDUR.
Bangunan candi yang boleh dikatakan merepresentasikan masa-masa puncak kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa dan masa puncak penghayatan akan ungkapan religiositas pada ajaran agama. Kerajaan baik bercorak Hindu dengan Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Gedongsongo, dan lain-lain. Atau juga kerajaan bercorak Budha, khususnya dari aliran Mahayana, dengan Candi Borobudur, Candi mendut, Candi Pawon, dan lain-lain. Bangunan-bangunan yang banyak bertebaran terutama di bagian tengah pulau kaya padi dan gunung berapi ini, yang merupakan simbol betapa makmur-tentram-relatif aman tata tentrem kerta raharja pada masa itu. Mengingat bahwa pembangunan sebuah candi tentunya akan menghabiskan dana yang tidak sedikit dan juga membutuhkan kondisi yang jauh dari adanya gejolak-gejolak pergolakan penuh carut marut intrik-intrik huru-hara atau perang berkepanjangan.
Sang anak muda setengah putus asa ini menyandarkan tubuhnya pada sebuah stupa besar di antara 72 buah stupa yang ada di seluruh bangunan candi, “Oh .... Tuhan! Aku memang jarang memohon padaMu, bahkan hampir selalu sinis menghadapi keberadaanMu. Namun kali ini, ijinkanlah aku, Aji sang penggerutu, memohon padaMu, ya hanya padaMu, untuk Kau berikan petunjuk di mana keberadaan Mitha, adik kami!”
“Kalau pun Kau mau ambil adik kami, seperti juga Kau ambil Mama dari kami di saat melahirkan kami bertiga, jangan Kau biarkan kami terlambat dan tidak berada di sisi Mitha di saat-saat terakhir, please God! Dengarkanlah kami!”
“Tuhan ...! Mungkin selama ini aku sama sekali tidak pernah membuang keakuanku setiap menghadap padaMu, dan tempat ini konon dibangun sebagai media perjalanan menuju kedekatan padaMu, maka biarlah aku mencapainya!” Ya .... Borobudur memang dibangun berdasarkan pemahaman religius bahwa manusia harus melepaskan segala keinginan diri demi mencapai nirwana. Sebuah tempat sebagai sarana ritual perjalanan menuju kelepasan samsara , ritual yang ditapaki dari bawah menuju ke puncak candi dengan melalui beberapa tingkatan atau tahap kualitas kehidupan. Proses perjalanan spiritual demi terbebas dari karma yang tentu saja tidak semudah mengedipkan mata.
“Karma! Benarkah itu ada, ya Tuhan?”
“Selama ini aku tidak pernah percaya akan konsep karma dan reinkarnasi, di samping aku juga dididik dalam ajaran agama yang tidak mengenal konsep-konsep itu. Namun, jujur ya Tuhan .... setelah apa yang terjadi pada Mitha, aku jadi bertanya-tanya, benarkah karma itu ada? Oh Tuhan ....!” Aji tertunduk lemah, hampir seluruh daya hidupnya musnah saat ini mengahadapi realita yang menyakitkan menganga di depannya.
“Hei .... Yang Maha Punya Hidup! Sungguh aku menyesal atas segala kemaksiatan diriku ini, atas dosa-noda-cela yang telah kutorehkan pada Anita di Temanggung sana! Tapi mengapa Kau timpakan balasannya pada Mitha? Kenapa tidak padaku, ya Tuhan?” Tersedu-sedu Aji mempertanyakan sekaligus menyesali segala perbuatannya di masa lalu, akan sebentuk ‘permainan rasa bahkan permainan api hasrat’ terhadap Anita, seorang gadis lugu yang dengan kesungguhan dan ketulusan hati menyayangi dirinya, namun justru hanya dijadikan boneka mainan oleh Aji.
“Baiklah .... seperti tujuan sejak semula datang ke sini! Aku akan wujudkan permohonanku dalam bentuk berziarah, ber-pradaksina di tempat agung ini! Ya, akan aku coba menapaki Borobudur ini dari bawah sampai atas sebagai laku atas permohonan pada Sang Maha Ada!” Aji bangkit dan mulai mempersiapkan diri, hati, serta pikirannya menuju pada satu titik fokus.
“Memang aku bukan penganut agama Budha. Bukan umat yang memegang ajaran dharma selaku jalan menuju pencapaian moksa meninggalkan samsara, tapi aku yakin Tuhan ada di mana saja dan selalu mendengar permohonan dengan kesungguhan hati seluruh umatNya apa pun cara yang dilakukannya!”
“Sang Maha Segala! Bimbing aku dan dengarkanlah permohonanku ...”

# # #

Sosok tubuh muda Aji telah berpradaksina memasuki undak-undakan ke-5 atau undakan terakhir dari badan candi, sebenarnya lebih tepat disebut stupa daripada candi, Borobudur, yang disebut Rupadhatu dalam bahasa Sansekerta dan berarti Dunia Rupa. Bagian stupa Rupadhatu ini merupakan simbol tingkat dunia manusia sempurna “Bhuwarloka”, tingkat ke-2 dari 3 tingkatan yang ada pada stupa peninggalan Raja Smaratungga ini. 3 tingkatan yang disusun berdasarkan dunia alam semesta menurut ajaran Sang Budha; dunia manusia biasa “bhurloka”, “bhuwarloka”, dan dunia kedewaan “swarloka” atau “swargaloka”.
Bhurloka diwakili oleh kaki-kaki stupa “kamadhatu” atau dunia hasrat, dengan relief-relief melulu menggambarkan perbuatan manusia yang selalu mengedepankan hasrat semata, dari hasrat memiliki, menguasai, mencelakakan, sampai hasrat seksual digambarkan secara apa adanya menurut penggambaran kala itu. Sehingga ada anggapan bahwa bagian “kamadhatu” yang sampai sekarang ditutup sejak pemugaran besar-besaran selama kurun waktu tahun 1973-1983, adalah karena relief-relief tersebut sebaiknya tidak diperlihatkan kepada khalayak umum. Relief-relief dalam “kamadhatu” dianggap terlalu vulgar untuk dipertontonkan.
Mungkin saja anggapan tersebut benar adanya, namun yang lebih tepat penutupan relief-relief tersebut adalah karena faktor keamanan, penutupan lebih ditujukan untuk menambah penopang bangunan stupa agar tidak longsor karena bangunan stupa Borobudur tidak memiliki pondasi ke dalam.
Aji berhenti sejenak, “O .... Jagad Dewa Batara! Gusti Pangeran! Sang Empu Segala Jagad! Sebentar lagi aku memasuki dunia tanpa rupa “Arupadhatu”, dunia tempat persemayaman para dewa! Bimbing aku ya Tuhan .... agar aku masuk ke kediamanMu tanpa membawa keakuan, tanpa kelekatan ego!” Aji memejamkan mata mencoba memusatkan darana menuju pratyahara , mencoba lepas dari segala keinginan dan hasrat diri sendiri.
Setelah beberapa lama, perlahan Aji membuka mata dan meneruskan perjalanan memasuki tingkat terakhir “Arupadhatu”. Sebuah bagian yang terdiri dari batur bundar dengan stupa induk di tengahnya, bagian sebagai puncak Stupa Borobudur. Sebuah mahakarya stupa raksasa yang dipenuhi stupa-stupa lebih kecil di seluruh bagiannnya, tidak kurang dari 1.472 buah stupa ada dalam Borobudur.

# # #

Aji telah menyelesaikan pradaksina-nya. Kemudian dirinya duduk mengambil sikap Dhyani Budha, sikap meditasi memusatkan hati dan pikiran seperti yang dilakukan Sang Budha gautama. Setelah berkonsentrasi dan mengatur pernapasan sebentar, Aji kemudian mengambil sikap Abhya-mudra, yaitu sikap tangan menenangkan batin. Mudra atau sikap tangan seperti tergambar pada arca Dhyani Budah Amoghasidda di bagian utara Stupa Borobudur.
Angin kencang berhembus pada senja pukul tujuhan malam ini, menerpa tubuh Aji, mengibaskan rambut panjang terurai miliknya. Namun tak mampu menggoyahkan darana sang anak muda penuh gelora dan penyesalan mendalam yang tengah mencoba untuk bangkit, untuk mencapai tingkat kesadaran dan kepasrahan yang hanya berpusat pada Sang Khalik.
Sementara Stupa Agung Borobudur menjadi saksi pergolakan batin sang anak muda, usaha olah batin yang melintasi lebih dari sekadar ritual keagamaan atau keyakinan tertentu. Usaha olah jiwa yang melampaui batas, merobek sekat-sekat aturan buatan manusia.
Sang mahakarya agung menjadi saksi.


LEMBARAN VIII

SAMARNYA HALIMUN KOPENG


Saudara-saudara Terkasih,
Putera-Putera Yesus Sang Maha Adil!

Ketika gaung Reformasi digemakan
Ketika slogan kebebasan dan keterbukaan diteriakkan
Ketika jargon demokratisasi deras diluncurkan
Ada secercah harapan tampil di dalam sanubari seluruh anak bangsa negeri ini yang mencoba berpijak pada kebenaran dan keadilan. Termasuk kami, yang walaupun kecil, mencoba untuk peduli dan bersuara. Suara keadilan. Suara kebenaran.
Apalagi realita yang kami dapati ternyatalah bahwa kebebasan, keterbukaan, keadilan, kesetaraan hanya omong belaka! Dikemas dalam bahasa-bahasa manis! Bahasa penguasa!
Saat ini dan entah sampai kapan,
Harga-harga kebutuhan kian melambung
Koruptor-koruptor psikopat masih bebas berkeliaran
Rakyat kecil masih akrab dengan penindasan
Presi kaum kuasa masih kerap dipakai
Ditambah .....
Muka-muka baru kaum kuasa justru mewarisi pendahulunya, hanya senang menumpuk harta!
Konglomerasi sama saja masih bertebaran di sana-sini
Manipulasi, suap-menyuap dan rekan sejawatnya malah jadi agenda harian para kuasa!

Untuk itu, kami ajak semua yang masih punya nurani bersih untuk BERSIKAP,
Menggemakan suara kenabian sejalan dengan yang ditulis CANAAN BANANA :
PENGAKUAN IMAN RAKYAT
Aku percaya kepada ALLAH yang tidak buta warna
Aku percaya kepada YESUS KRISTUS
Lahir dari seorang perempuan biasa
Yang diejek, dicederai, dan diadili
Yang bangkit pada hari yang ketiga dan memukul kembali
IA menyerbu sidang-sidang dewan pertimbangan agung
Tempat IA menggulingkan pemerintahan yang dengan tangan besi mempertahankan ketidakadilan
Mulai sekarang IA akan melanjutkan peradilan
Terhadap kebencian dan keangkuhan orang
Aku percaya kepada ROH pendamaian
TUBUH yang mempersatukan orang-orang miskin
Kuasa yang mengalahkan kebengisan yang ada dlam diri manusia
Kebangkitan dari perikemanusiaan, keadilan, serta persamaan
Dan kemenangan terakhir persaudaraan
Pdt. CANAAN BANANA
Teolog dari Zimbabwe

Maka agar selebaran ini tidak ikut-ikutan hanya menjadi selembar kertas penuh retorika bombastis!
Perlu dilanjutkan dengan AKSI !!!!
Ya .... AKSI yang menyuarakan suara KENABIAN

DAN ....
Atas nama HATI NURANI BERSIH, kami undang siapa saja yang masih punya PEDULI untuk hadir dalam
AKSI KEPRIHATINAN DAN UNJUK SOLIDARITAS
Jumat, 25 Nopember
14.00 WIB
Di Bundaran Air Mancur
DATANG !!!!
Dan jadilah MANUSIA berhati nurani, PEDULI SESAMA !!!!!!

F A T S
FRONT ANAK TERANG SEMARANG

Tersenyum BimBim setelah selesai membaca selebaran dihadapannya, “Binsar ....! Binsar ....! Kamu tidak pernah berubah! Selalu bergelora, apalagi jika nyangkut masalah mengkritisi kesewenang-wenangan di depan mata!”
“Seperti apa ya Demo siang tadi? Jujur aku agak khawatir dengan selebaran ini!” Geleng-geleng kepala BimBim mencoba menyimak lebih teliti lagi deretan huruf-huruf dalam selebaran itu.
“Gila! Kamu nekat sekali Binsar! Tulisanmu ini sangat sangat provokatif dan terlebih lagi kental sekali warna sektariannya!” Tiba-tiba BimBim merasa sangat gelisah, menyadari bakal terjadi sesuatu terhadap Binsar dan teman-teman aktivis lainnya.
“Jujur, ini bukan gaya kamu yang biasa! Memang mana ada aktivis yang gak kenal Binsar, SANG HARIMAU AKSI! Tapi selain garang kamu juga tidak ceroboh!” BimBim masih keheranan akan sesuatu yang menurutnya ganjil dan bisa berakibat fatal bagi Binsar ini. Terbayang bagaiman Binsar, anak Medan sahabat karib Hananto almarhum, adalah motor penggerak penuh gelora sekaligus juga penuh perhitungan cermat dalam setiap aksi turun ke jalan yang dilakukan.
Binsar adalah aktivis mahasiswa yang tidak berprinsip ‘pokoknya demo’, dia selalu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, mulai dari banyak membaca, mendengar, dan melihat seputar isu-isu yang akan diangkat. Kemudian juga mempersiapkan skenario-skenario aksi di lapangan, skenario yang tidak hanya tunggal namun juga dipersiapkan ‘plan B’, bahkan sampai ‘plan C’ untuk keadaan darurat atau tak terduga. Binsar juga mempersiapkan bahan argumen untuk ‘lobby’ dengan pihak berwenang atau aparat. Singkat kata semua coba dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, termasuk juga dengan menghindari pemakaian kata-kata atau slogan-slogan, baik dalam orasi atau juga selebaran, yang menjurus pada provokasi asal-asalan dan berbau anarkis dan memojokkan pihak-pihak tertentu.
Tapi ini ...
“Pasti ada ‘sesuatu’ dalam aksi kali ini, dan Binsar nampaknya agak lengah! Mungkin ia masih terbawa emosi akibat berita rumah kontrakan Benjamin dan kawan-kawan di Purwokerto diobrak-abrik sekelompok massa tak dikenal beberapa hari lalu.”
“Bapa! Tolong temanku satu itu! Biarpun untuk urusan demo, aku dan Binsar sepakat untuk tidak pernah sepakat dalam hal cara dan model yang dipakai, namun Binsar adalah seorang pejuang tangguh dan orang paling konsisten dalam memegang prinsip yang aku kenal, sekaligus juga teman diskusi yang agresif dan menghibur! Please .... lindungi dia ya Bapa!” BimBim merasa prihatin membaca gelagat tidak baik yang akan menimpa Binsar. Intuisi dan logikanya berkata dalam satu benang merah, bahwa aksi demo kemarin siang kemungkinan besar akan bermasalah!
SELEBARAN yang bukan hanya kental nuansa provokasi sektarianisme! Lebih dari itu juga masuk terlalu jauh ke dalam wilayah ‘rawan’, wilayah FUNDAMENTALISME yang disodorkan secara serampangan! Asal tembak!
Binsar dalam BAHAYA besar!
Anak-anak Wisma dalam INCARAN!
Pergerakan telah memasuki areal yang bukan semestinya!
Dan BimBim percaya akan penangkapan mata batinnya. Mata batin yang seringkali tajam melihat yang tidak kasat mata. Mata batin yang kuat dalam panggraita deneng sasmita. Mata batin yang mungkin memang dianugerahi oleh Yang Maha Kuasa untuk cepat melihat gelagat tidak baik dari hal-hal yang tidak terlihat.
BimBim beranjak dari tempatnya duduk, di sebuah anak tangga bagian depan rumah panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu jati dan beratap genteng merah. Pikirannya gelisah emikirkan apa yang bakal terjadi dengan teman-temannya nun berjarak puluhan kilometer dari tempatnya berada sekarang. Ia beringsut pindah ke sbuah kursi panjang di teras depan rumah panggung itu, rumah di mana dirinya hadir pertama kali ke dunia ini, rumah masa kanak-kanaknya sampai saatnya menjadi ‘anak rantau’ di Semarang begitu memasuki masa pendidikan menengah atas, rumah milik kedua orangtuanya tercinta
Setelah menyeruput kopi hitam yang sudah lama menjadi dingin, BimBim berniat mengambil kotak sigaret yang tergeletak tidak jauh dari gelas kopi yang baru saja diminumnya. Namun tiba-tiba diurungkan niatnya itu, ia teringat janjijnya pada Cah Ayu untuk mencoba berhenti menghisap sumber nikotin dan tar itu dengan terlebih dahulu menguranginya sedikit demi sedikit.
“Sebaiknya aku berangkat ke Ambarawa sekarang untuk menemui Cah Ayu! Terlebih dahulu aku mampir ke Wartel-nya Mbak Santi di Pasar Sapi, ngecek kondisi Binsar dan kawan-kawan di Semarang!” Batin BimBim mempercepat dua jam lebih awal dari rencana semula kepergiannya dari rumah hari ini.

# # #

Dibaca ulang dua lembar surat yang telah dipersiapkan BimBim sejak tadi malam,
Kopeng, 26 Nopember 2005
Salam dalam kasih Yesus Kristus juru selamat kita semua,
Bapak,
Pertama kali BimBim mohon maaf karena memberikan keputusan tidak secara langsung melainkan melalui lembaran-lembaran kertas ini. Kemudian, permohonan maaf BimBim yang kedua yang menjadi initi dari surat ini adalah karena pada akhirnya anak Bapak ini tidak menaati permintaan atau kemauan Bapak.
Pak, BimBim telah putuskan bahwa BimBim tetap akan melanjutkan rencana untuk menikah dengan Mitha! BimBim sangat paham betapa akan kecewanya Bapak mendapatkan kenyataan bahwa anak laki-laki satu-satunya di keluarga Nitidisastro, yang notabene Bapak gadhang-gadhang sedari kecil malah tidak memtuhi keinginan Bapak.
Lebih dari itu, BimBim bangga memiliki orang tua seperti Bapak, yang secara terbuka menyatakan ketidaksetujuan akan rencana BimBim namun tetap menjunjung tinggi demokrasi dalam keluarga. Di balik ketidaksetujuan Bapak mengenai rencana BimBim, karena pasti akan dipertanyakan banyak orang dan terlebih lagi bakal jadi bahan omongan, Bapak tetap menghormati sikap BimBim dan akan memberikan restu karena pada dasarnya Bapak tahu BimBim berniat baik.
Satu hal yang menjadi dasar utama Bapak keberatan jika BimBim tetap pada rencana, adalah bahwa terdapat kemungkinan yang tidak kecil pada akhirnya BimBim akan bercerai dengan Mitha karena memang jika Mitha tidak mencintai BimBim pernikahan ini hanya akan menyelamatkan si kecil calon kehidupan baru dari lahir tanpa ayah. PERCERAIAN, kecuali karena kematian, adalah hal yang tidak dapat Bapak tolerir. Untuk itu, tidak akan ada restu jika BimBim bercerai dan juga tidak akan ada restu kedua jika BimBim menikah lagi. BimBim sangat menghargai sikap Bapak tersebut! Dan BimBim akan menerima konsekwensi apapun itu yang akan BimBim terima.
Terima kasih atas semuanya.
Bapak,
Untuk selanjutnya BimBim akan menuruti saran Bapak agar melangsungkan pernikahan di tempat Paklik Budi yang pendeta di Wonosobo. Waktu pastinya akan BimBim kabari nanti, BimBim minta dukungan doa dari Bapak dan keluarga di sini.

Ibu,
Ibu adalah orang berhati tulus yang pernah BimBim miliki! Syukur pada Yesus bahwa BimBim memiliki Ibu! Ibulah yang tiada pernah lelah memberikan pemahaman kepada Bapak akan kekuatan yang bernama CINTA.
Bapak yang teguh memegang prinsip bahwa nama baik keluarga adalah yang terutama. Bapak yang keras pendiriannya. Dan Bimbim, anakmu ini, yang khas gaya anak muda sok pahlawan, mencoba untuk bersikap dan berlaku seturut yang dianggapnya benar. Dua buah kutub sama-sama keras kepala mampu Ibu jembatani dengan baik.
Terima kasih Ibu.

Mbak Santi,
Terima kasih atas pengertiannya untuk BimBim ‘langkahi’, walaupun Mbak Santi tahu betul konsekwensinya, apalagi dalam kehidupan masyarakat penuh mitos dan kepercayaan peninggalan nenek moyang ini. Mbak Santi pasti jadi bahan gunjingan, gosip, selentingan, dan lain-lain akibat pernikahan BimBim yang lebih dulu dari Mbak Santi. Namun, Mbak Santi meremehkan semua itu demi niat adikmu ini.
Sekali lagi terima kasih Mbak Santi.

Maka ..... Bapak, Ibu, Mbak Santi,
Maafkan BimBim yang egois ini dan BimBim mohon selalu sertai dengan doa agar BimBim senantiasa melangkah dengan benar.
Semoga Tuhan kita Yesus Kristus selalu menaungi kita semua dengan limpahan kasih karuniaNya. Amin.

Salam hormat dan kasih
Yohanes Haryo Bimo Wicaksono
BimBim melipat lembaran kertas yang sarat dengan rangkaian aksara itu perlahan-lahan, kemudian sejenak memejamkan mata dan menarik napas panjang, ia memasukkan lembaran sang pembawa pesan ke dalam amplop dan meletakkannya di atas meja belajar di kamarnya. Setelah berdiri mematung sejenak memandang kayu salib dinding dari bambu buatannya sendiri, BimBim melangkah keluar kamar dan terus berjalan menuju pintu keluar utama griya bersahaja yang ia yakin akan selalu dirindukannya nanti.
Maka .... melesatlah anak panah dari busurnya!

# # #

Kabut masih menyelimuti kaki-kaki Gunung Merbabu pagi ini. Sementara sang surya di ufuk timur nampaknya masih malu-malu memncarkan sinarnya ke wilayah dataran tinggi bernama Kopeng ini, padahal jarum jam sudah menunjukkan posisi tegak lurus antara jarum panjang dan jarum pendeknya.
Sementara, tapak-tapak kaki laki-laki muda usia ini melangkah lambat-lambat menyusuri jalan setapak yang di sisi kiri dan kanannya melulu dipenuhi himpunan tanaman wortel dan tomat. Tak lama berselang, setelah tiba di saung kecil di tengah-tengah hamparan perkebunan itu, BimBim sang pemilik tapak kaki berhenti, mengambil sigaret, menyalakannya, dan kemudian menghisapnya dalam-dalam.
“Cah Ayu, maafkan ....! Aku kepengin banget merokok sekarang! Ada perasaan tidak enak seperti akan ada badai menghampiri! Cah Ayu, aku gelisah sekali saat ini!”
“Ah .... mungkin ini hanya perasaan jelekku saja! Perasaan-perasaan yang timbul akibat pikiran berkecamuk dengan macam-macam hal! Tuhan ... tolong tenagkan aku! Aku harus menemui Cah Ayu di Ambarawa sekarang! Itu prioritas utama saat ini!” BimBim mencoba menenangkan gejolak yang bergelora di ruang hatinya. Beberapa kali sang sigaret dihembusnya dalam-dalam sebagai ekspresi kegundahan yang sangat.
Tanpa disadari BimBim, empat orang laki-laki telah berada didekatnya. Empat orang laki-laki dengan aura tak bersahabat!
“Kalau dirimu mau selamat! Ikut kami sekarang!” Salah seorang yang mengenakan jaket kulit hitam mendekat menghampiri BimBim.
“Eh .... ada apa ini? Hehehe .... aku ini orang bebas, kawan! Aku akan melangkah kemana aku mau tanpa paksaan! Dengar itu! Sudahlah aku tidak punya uang dan tidak ada waktu buat preman-preman kunyuk seperti kalian! Jangan memulai!” BimBim yang di masa lalunya akrab dengan hal yang menjurus maut, tidak kaget lagi menghadapi ancaman di depan matnya. Ia justru kaget bahwa keempat orang itu sudah ada dihadapannya tanpa diketahui, “Dasar ceroboh! Pikiran macam-macam membuat diriku lengah!” Batin BimBim memaki dirinya sendiri.
“Anak muda! Kami tidak main-main! Dan bukan Cuma kamu, keluargamu akan HABIS! Kalau kau bertindak bodoh! Paham!” Tampaknya sang pengancam tidak mau membuang waktu lebih lama lagi, ia segera mengeluarkan benda andalan tempat keluarnya apa yang dinamakan ‘timah panas’ dalam berita-berita kriminalitas di layar kaca. Begitu pula dengan ketiga orang rekannya.
“Kalian bukan sekadar preman rupanya! Baik ... baik! Aku menyerah! Kalian tahu kelemahanku rupanya ... jangan libatkan keluargaku, mengerti!” BimBim meyerah dan seketika itu juga ia menangkap gelagat bahwa hal yang tengah dialaminya ini adalah rentetan reaksi dari aksi Binsar dan teman-temannya di Semarang sana. Bahaya yang dirasakannya terbukti sudah.
“Ikut kami!” Sang laki-laki berambut pendek dua sentian dan berperawakan tegap itu tersenyum puas korbannya tidak berdaya, dan segera mencengkram tangan BimBim, mengikatnya dengan borgol, dan menyeret Bimbim meninggalkan tempat yang sudah mulai agak terang akibat kabut yang berkurang.
Tak lama kemudian, mereka tiba di penghujung jalan setapak yang langsung berlintasan dengan jalan raya Kopeng, sang laki-laki yang rupanya adalah pemimpin dari ketiga orang lainnya lagi memerintahkan untuk berhenti, “Stop! Pakai ini, cepat!” Dia mengenakan penutup kepala berwarna hitam pada BimBim.
“Ganda! Siapkan mobil! Yang lain tetap siaga!”
“Siap ...!” Ketiga orang bawahan yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suara dan melaksanakan tugas yang diperintahkan pada diri mereka masing-masing.
Sesaat kemudian Ganda telah kembali, “Mobil siap Pak! Tinggal menunggu perintah selanjutnya!”
“Baik! Berangkat sekarang!”
“Siap Pak!”

# # #

BimBim tertunduk lemas menyadari apa yang terjadi, “Cah Ayu, bagaimana ini? Aku toh harus menuruti mereka agar dapat tetap hidup untuk akhirnya menyingkap tabir ini! Dan terutama untuk dapat mendampingi Cah Ayu menapaki perjalanan panjang kehidupan!”
“Cah Ayu .... maafkan masmu ini terpaksa ingkar janji! Ada badai antara yang harus dilalui terlebih dahulu ternyata! Tabahlah Cah Ayu! Tuhan, bimbing kami berdua!” Prihatin BimBim memikirkan kekasih hatinya akan menghadapi ujian untuk kesekian kalinya, sedangkan dirinya tiada daya merobek singkap di depannya.
Malka ada halimun samar nan pekat di Kopeng pagi ini.

Tidak ada komentar: