LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Senin, 02 Februari 2009

AKU MEMILIH MAKA AKU ADA

LEMBARAN II

NIRWANA PULAU DEWATA

Langit pinggiran Pantai Kuta mulai merambatkan cahaya, perlahan tapi pasti bulatan besar di ufuk timur mulai bangun dari tidur siap melaksanakan rutinitas menyinari bumi. Suasana ‘Sun Rise’ pagi ini nampak begitu elok setelah subuh tadi bumi kawasan Kuta tersiram percikan kecil bulir-bulir air dari langit. Butiran pasir tampak berkilau tertimpa cahaya surya fajar menimbulkan nuansa eksotis tersendiri yang dapat membangkitkan gairah penyair untuk menggoreskan penanya. Rona-rona berwarna jingga setia mengiringi pergantian waktu seperti hari-hari sebelumnya. Gulungan ombak silih berganti menerpa hamparan pasir yang masih menyisakan basah, sementara angin seakan malas untuk berbaur dalam fenomena alam melenakan.
Suasana begitu lengang, hanya ada beberapa orang bermain-main di sepanjang garis pantai. Sebagian besar dari mereka tampak sedang menikmati nuansa indah pergantian hari, ada lima orang turis asal Afrika sedang berkejaran beradu dengan ombak Kuta. Dan jika pandangan dialihkan pada Jalan Raya Kuta, tampak lengang pula di sana. Hanya sesekali kendaraan bermotor melintasi jalan satu arah itu, sementara tiga orang perempuan berusia kira-kira 40 tahunan sedang menyapu jalan sambil sebentar-sebentar berbincang riang hati. Tampak pula empat orang turis Jepang atau Korea tengah asyik mengambil pose di depan monumen papan selancar berukuran besar di sisi kanan Hard Rock Cafe Bali yang seakan mati. Kontras sekali dengan suasana enam jam sebelumnya di mana musik hingar bingar mewarnai lalu lalang orang disekitarnya. Di udara, Koloni-koloni kecil burung gereja beterbangan ke sana kemari meramaikan pagi.
Pada salah satu sisi kaki penyangga pos penjaga pantai, duduk seorang perempuan muda berpenampilan santai dengan celana jins robek di bagian dengkulnya dan berkaos oblong putih. Konsentrasinya terpusat pada lembaran kertas di pangkuannya tanpa mempedulikan sekitar. Seakan suasana pagi ini merupakan godaan bagi sang dewi pertapa muda yang harus diacuhkan kehadirannya. Sesekali balpoin di tangan kanan digunakan untuk menggaruk rambut hitam ala ‘Demi Moore’ miliknya yang sebenarnya tidak gatal, melainkan garukan cerminan dari ekspresi sedang berpikir.
“Huh, dasar Joni edan! Pagi-pagi begini bisa saja ngerjain orang, mending kalau dianggap lembur dapat kompensasi!” Gerutu gadis muda tadi sambil terus membolak-balik kertas dihadapannya.
“Ini lagi hasil report begini banyak susunannya nggak jelas! Ini sih sama saja kerja dari awal, mana nanti jam 10 sudah harus dikirim ke Jakarta lagi. Joni ... Joni! Sukses deh kamu bikin repot orang!” Tak berhenti gerutuan keluar dari mulut sang gadis cantik berperawakan gagah itu.
“Excuse me Miss, can you help me please? Bii ... sa ...... miii...nta .... tooo....loonng?” Seorang turis Amerika memotong gerutuan sang gadis.
“Oh .... do you wanna take a picture Sir? Okay, I will take it for you!” Ia segera bangkit,lalu mengebutkan tangannya pada bagian belakang celana jins-nya dan mengambil kamera digital yang telah disodorkan padanya.
“There! I wanna take a picture right there! With the sun shine for the back ground, okay?” Turis tadi menunjuk sebatang kayu besar yang tergeletak dimain-mainkan ombak tak jauh dari pos penjaga pantai.
“Okay! No problem Sir! Let’s go there!” Balas sang dara yang langsung berjalan ke tempat dimaksud sang turis tadi.
“Sir, can I take you twice for back up?” Tanyanya ketika mulai memfokuskan kamera.
“Okay! It’s up to you.” Turis tersebut segera berpose dengan kaki kirinya ditumpangkan pada batang pohon dan kedua tangannya dilipat di dada.
“Wow! What a good camera!” Puji sang gadis sambil mencari fokus yang tepat, “Okay Sir, are you ready? One .... two ... Once again, one .... two .....!”
“Okay! It’s done! Here’s your camera Sir!”
“Thanks a lot Miss .... Oh! You’re a journalist! Prajna Agni Mahardika! What a beautiful name you have ... very .... very classic!” Puji sang turis saat membaca nama sang gadis ‘pemotret dadakan’ lewat name tag yang dikenakannya, “What kind of information that you’ve report Miss Prajna?” Sambungnya lagi.
“I am in art and culture section Sir! And you can call me Agni!” Rana menjulurkan tangannya.
“Oh ... sorry! I am Clementine Robinson and you can call me Robby! Art and culture .... it’s very interesting field especially in a world that all thing works mechanically and digitally right now! It looks like ‘another world’.”
“Okay Agni! You look busy right now. Once again thanks a lot for your time and nice to meet you!” Robby mengeluarkan kartu nama dari dompetnya, “Here’s for you! You can call me anytime if you need any reference about your report!” Sambungnya sambil menyerahkan kartu nama tadi pada Agni.
“See you Agni!” Robby melangkah meninggalkan Agni sambil melambaikan tangannya.
”See you Robby!” Agni membalas lambaian tangan Robby.
Kembali Agni sendiri, ia tidak langsung kembali ke bawah pos penjaga pantai tempatnya tadi menyibukkan diri dalam lembar-lembar laporan kerja yang harus diselesaikannya. Dipandangnya kartu nama pemberian Robby tadi, “Hmmm .... Environment and Wildlife Care Fund! Ternyata orang NGO dia, simpatik juga sih ...boleh juga buat teman diskusi!” Gumam Agni pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian pandangan matanya beralih melihat sekeliling garis pantai. Tangannya dikembangkannya lebar-lebar menyambut segarnya desir angin yang mulai menampakkan diri walau masih agak bermalas-malasan. Hatinya segera larut menikmati fenomena salah satu tempat wisata unggulan pulau tetangga sebelah timur Pulau Jawa ini, tempat yang seakan menjadi ‘trade mark’ bagi Pulau Dewata. Belum lengkap rasanya kalau ke Bali jika belum singgah ke Kuta ini.
“Ah .... memang cocok sebutan Pulau Dewata disematkan pada pulau ini, alam dan suasananya wow! Bagai dilemparkan ke dalam dongeng-dongeng masa kecil, dan ....” Tersenyum Agni melihat sepasang bule tengah asyik memadu kasih tanpa menghiraukan sekitar, benar-benar dunia milik berdua!, “Disinilah tempatnya untuk bebas mengekspresikan diri menurutkan kata hati asal tidak mengganggu orang lain!” Diteruskan gumamnya sambil menundukkan tunbuhnya mengambil batu karang kecil di depan kakinya dan kemudian dilemparkannya jauh-jauh ke arah laut.
“Di sini memang unik sekali, orang-orang bule yang berdatangan silih berganti dengan berbagai macam latar belakang budaya dan kebiasaan berbaur tanpa mempengaruhi budaya dan pola hidup masyarakat lokal.” Agni berbalik dan kembali ke tempatnya meninggalkan berkas-berkas kerja.
“Sungguh fenomena yang menarik atau cuma karena aku begitu takjub melihat pola kehidupan yang berbeda, setelah selama perjalanan hidup lahir dan dibesarkan di tengah-tengah budaya Jawa? May be ....bisa jadi, aku toh baru satu bulan tugas di sini so ... belum seluruhnya dapat menghayati secara mendalam kehidupan masyarakat Bali.” Kembali Agni bercakap-cakap dengan dirinya.
“Dan lagi kehidupan di Jawa terkadang membuat hati ini muak dengan budaya patriarkalnya, bahwa laki-laki adalah sang kepala segala sementara kaum perempuan hanya kanca wingking swarga nunut neraka katut, teman yang hanya mengikut di belakang -mau ke surga ya ikut, ke neraka ya menurut, pasrah mau dibawa kemana oleh kaum laki-laki tanpa bisa mengambil sikap atau mengeluarkan pendapat, It’s bull shit! Belum lagi tata krama yang kuat mengikat, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, harus ini, harus itu. Pokoknya di luar yang telah digariskan adalah salah, adalah aib, noda, cela, huh!”
“Hihihi! Kok jadi sewot sendiri! Nanti malah dikira orang gila lagi! Ah .... mendingan menikmati pagi sembari menyusun report sialan ini! Biar nyusahin toh sumber mata pencaharian yang mau bilang apa.” Agni mengakhiri gerutuan dalam hatinya.
Kembali sang gadis bergelut dengan tumpukan data yang harus dirangkumnya menjadi sebuah narasi untuk ditampilkan pada program kebudayaan di stasiun televisi swasta terkemuka negeri ini tempatnya bekerja. Sesekali terlihat senyum tersungging dibibirnya terkenang akan kejadian-kejadian menarik selama proses pengumpulan data, namun kadang terlihat dahinya berkerut dangan tatapan mata terus terpaku pada deretan huruf-huruf dipangkuannya.
“Apa-apan nih? Kok terputus-putus begini! Coba dibaca ulang.”
“Tarian ini disebut Tari Baris .... ada sejenis Tari Baris yang dinamakan Tari Baris Gede dan ditampilkan pada Upacara Adat Piodalan di pura-pura .... Tarian ini diiringi oleh gamelan khas Bali .... sedangkan Upacara Adat Piodalan adalah upacara peringatan berdirinya pura yang diselenggarakan selama 6 bulan sekali menurut perhitungan orang Bali (1 bulan = 35 hari, jadi Piodalan diadakan setiap 210 hari) .... Ada lagi jenis Tari Baris yang dinamakan Tari Wali .... Tari Baris dilakukan oleh ....”
“Ah ... kok begini banget sih hasil investigasi Si Wawan Sableng itu! Bagaimana mau dibuat alur cerita kalau datanya putus-putus begini!” Setengah memaki Agni cemberut menghadapi pekerjaannya.
“Daripada buntu sendiri, mendingan dengar suara Katon dengan KLa Project-nya!” Ia mengeluarkan Disc Man berwarna hitam dari saku jaketnya dan menekan tombol play lalu dimasukkan kembali ke dalam saku jaket. Sesaat kemudian sang gadis memasangkan ear phone yang sedari tadi tergantung di leher ke telinganya dan kepalanya bergoyang mengikuti irama yang mengalun.
“....Sekian lama ‘tuk mengerti ....dirimu jadi misteri .... yang kian terselami ...” Suara riang keluar dari bibir mungilnya mengikuti alunan sepotong tembang “Tentang Kita”, sebuah lagu lawas milik KLa Project. Namun sesaat kemudian, dendang sang gadis terhenti ketika matanya tertuju pada kalimat di antara data-data yang sedang dirangkum.
“Eh ....eh .... kok langsung putus begini nggak ada kelanjutannya! Wah nggak benar nih Si Wawan buat outline interview-nya! Dasar!” Dengan kesal diletakkan tumpukan kertas dipangkuannya.
“Bilangnya saja sudah lengkap, Agni! Sudah lengkap ...kap!” Gerutuannya masih terus berlanjut, kemudian Agni mengambil bungkus sigaret dari tas kecil dipinggangnya, kemudian di ambil satu batang isinya, dinyalakan, dan dihisapnya.
“Ah .... What the hell dengan report! Salah sendiri Si Wawan ngasih data setengah-setengah, tidak lengkap!” Lalu dikeluarkannya Hand Phone kecil dari saku sebelah kanan celana jins lusuh seperti berhari-hari belum kena air plus deterjen. Beberapa saat kemudian Agni mulai berbicara lewat HP-nya itu.
“Hallo .... Pak Joni, ini Agni! Wah outline dari Wawan tidak lengkap Pak ...di-pending dulu saja ya Pak.”
“Iya Pak! Saya juga tidak bisa nambah-nambahin soalnya Cuma Wawan yang ngeliput. Bapak yang memutuskan ya, bagaimana baiknya.” Agni bercakap-cakap dengan Manajer Produksi Liputan, bosnya Agni, dari benda mungil multi fungsi itu.
“Saran saya Pak? ... Begini saja Pak ... mungkin sebaiknya edisi minggu ini biar timnya Rudi yang di Baduy maju saja, kan memang tim mereka minta dimajukan hasil liputannya karena mereka sudah ditarik ke Jakarta, bagaiman Pak?”
“Oke deh ......! Baik .... baik ....Pak! Minggu depan selesai, baik saya serahkan ke Wawan ... iya Pak pasti!” Agni masih terus bertelepon ria.
“Oh ya ....Pak Joni! Untuk selanjutnya liputan Kultur biar saya saja yang handle ya, Si Wawan biar di Nuansa Lain .... dia kan senang sama yang dugem-dugem begitu. Oke Pak Re-schedule biar saya yang atur ... Baik! Thanks Pak Joni! Bye!” Agni segera membereskan pekerjaannya setelah mematikan rokok putih –sebutan rokok yang dihisapnya untuk membedakan dengan rokok filter yang kadar nikotin dan tar-nya lebih tinggi- ditangannya.
“Wah ... lama-lama dingin juga anginnya! Aneh biasanya jam segini sudah mulai panas?” Sang dara memandangi arloji di tangan kirinya.
“Aha ....! Sarapan roti telur plus kopi pahit sepertinya enak juga! Ah ....mendingan pulang ke kos saja.” Sambil merapikan barang-barang bawaannya, ia bangkit dan melangkah menuju pelataran parkir. Sesampainya di dekat kendaraan bermotor roda dua 4 tak buatan negerinya Kaisar Akihito fasilitas dari kantornya, Agni bergegas merogoh saku celananya mengambil kunci kontak, kemudian bersiap menaiki motor bebek-nya itu. Tiba-tiba saat kaki akan mengayuh tuas starter, pikiran Agni seperti tersentak! Ada yang mengagetkan hatinya.
“Hey ...What’s wrong? Mendadak aku jadi kepikiran Si Mitha. Ada perasaan tidak enak menjalar di hatiku, pasti terjadi apa-apa sama Si Sableng itu.” Raut wajahnya mendadak berubah seperti orang yang dilanda kecemasan.
“Aahh ...! Perasaan ini semakin kuat saja, gawat! Aku harus ke Semarang sekarang juga! Eh ..... Mas Aji juga terasa tidak ya? Coba aku hubungi Mas Aji.” Cepat-cepat ia mengambil HP mungilnya.
“Uuuhhh ....! Kok tidak diang ...Halo Mas Aji! Di mana ini Mas? Apa masih di Pacitan?” Nada suaranya terdengar tidak beraturan.
“Ya.... ya..... Agni! Aku sedang di bis tujuan Semarang buat ketemu Mitha edan itu. Kamu lebih baik ke Semarang juga sekarang, aku punya firasat tidak enak about Mitha adik kita, oke?” Terdengar balasan dari seberang sana.
“Oke ...oke Mas Aji! Aku juga punya firasat yang sama. Aku langsung berangkat hari ini juga, nanti kita ketemu di tempat Oom Edi di Ungaran.”
“Oke! Hati-hati ya di jalan en jangan lupa bawa Brem Bali!” Suara dari seberang.
“Beres Mas! Nanti aku bawa, Mas juga hati-hati ya, bye!” Setelah mematikan HP-nya, Agni langsung menyalakan starter dan sesaat kemudian dirinya telah melaju di jalan raya.
“Aduh ....aduh .... Mitha! Kenapa tidak memberi kabar, ada apa dengan dirimu? Dasar dari dulu sableng-nya tidak hilang-hilang!” Gumamnya ketika sudah sampai di Jalan Legian. Pagi itu ruas jalan yang terkenal dengan pub dan cafe-nya masih sangat lengang, berbeda sekali pada malam hari terutama di akhir pekan saat keadaannya tak ubah seperti di Pasar Baru Jakarta kala menjelang Hari Raya. Setelah menyusuri jalan raya sekitar 20 menit lamanya, tibalah Agni di Jalan Imam Bonjol –salah satu jalan protokol di Denpasar- dan kemudian berbelok ke kanan memasuki jalan kecil buntu di mana tempat kos-nya berada, tempat kos dari awal ia bertugas di Pulau Dewata ini.
Agni masuk ke sebuah komplek bangunan bergaya khas Hindu dengan pagar dari tumpukan batu bata merah, memarkir motornya di tempat parkir, dan dilihatnya keluarga Wayan, keluarga induk semangnya baru saja selesai beribadah pagi di pura kecil di halaman samping komplek bangunan tempat kos-nya.
“Pagi Pak Wayan! Bu Wayan! Hai ... Cokorda, tidak kuliah hari ini?” Sapanya sekadar bertata krama.
“Nanti siang Mbak Agni! Dari mana saja pagi-pagi sudah keluar Mbak? Ada tugas liputan mendadak ya?” Tanya Cokorda, putera semata wayang Bapak dan Ibu Wayan, induk semangnya.
“Ah ...tidak, aku dari Kuta, jalan-jalan pagi sambil menyelesaikan tugas dari pusat.”
“Nak Agni ....maaf ya hari ini sarapannya disiapkan sendiri, Ibu ada pementasan di Balai Gubernuran pagi ini jadi tidak bisa menyiapkan sarapan.” Kata Bu Wayan yang memang merupakan seorang instruktur tari anak-anak.
“Oh ... tidak apa-apa Ibu! Biar nanti saya siapkan sendiri sarapan saya. Oh ... iya, Bapak! Ibu! Sekalian saya mau pamit ke Semarang untuk beberapa hari, ada keperluan keluarga di sana, nanti siang saya berangkat.”
“Baik ... baik Nak Agni! Hati-hati di jalan ya dan salam untuk keluarga di Semarang.” Sambung Pak Wayan.
“Nak Agni ... semuanya sudah Ibu siapkan di meja makan, tinggal meracik sendiri sarapan rotinya.”
“Terima kasih Bu! Saya permisi masuk ke dalam dulu, mari Pak! Ibu! Cokorda!”


LEMBARAN III

KOTA PALAGAN

“Terminal! Terminal! Ambarawa! Ambarawa! Habis! Habis!” Teriak seorang laki-laki muda dengan ikat kepala dari handuk kecil memberitahukan para penumpang kalau mini bus-nya sudah sampai tujuan terakhir. Para penumpang yang hanya tinggal belasan orang itu berduyun-duyun turun menuju tujuan masing-masing. Salah seorang diantaranya adalah seorang gadis muda dengan menyandang ransel besar di punggungnya, ia tampak agak kebingungan ketika kakinya melangkah turun dari mini bus tadi.
Setelah beberapa saat lamanya menoleh ke sana kemari, dirinya kemudian berjalan menuju deretan warung-warung sederhana masih di dalam areal terminal Ambarawa yang tidak terlalu besar-kalau tidak mau dikatakan kecil. Sorot matanya yang bening mengamati sejenak tulisan-tulisan di depan warung-warung tersebut sambil bergumam,
“Ah .... sepertinya makan soto ayam cocok sekali, biar badan jadi agak hangat.” Langkah kakinya beranjak menuju warung yang berada di bagian kiri.
“Kulonuwun, permisi! Ibu pesan soto ayam sama teh manis hangatnya satu ya!”
“Oh .... Inggih, baik Nak! Tasnya taruh saja di sini biar ndak repot. Man! Tolong buatkan teh manis hangat siji!” seorang ibu berusia 60-an menyambut sang gadis dengan keramahan khas Jawa.
“Anak ini sepertinya datang dari jauh ya? Mau kemana Nak?”
“Oh .... tidak Ibu! Saya dari dekat saja kok, dari Semarang! Saya mau ke temapt teman di daerah Kauman, ya hitung-hitung liburan di sini.” Jawab sang gadis sembari tanganya mengambil pisang goreng yang disediakan di piring.
“Sudah sering ke Ambarawa ini Nak? Ini silakan sotonya, nasinya banyak tidak?”
“Sudah Ibu cukup, jangan terlalu banyak! Nggg .... saya baru dua kali ini ke Ambarawa, jadinya masih agak bingung”, tangannya segera menerima mangkuk soto yang disodorkan si ibu dan kemudian diletakkannya di meja.
“Wuih ...! Masih panas betul sotonya! Cocok sekali buat udara sore ini! Mari Ibu, saya makan dulu!”
“Monggo Nak! Mari! Mari! Jangan sungkan-sungkan!” Ibu tadi kemudian masuk ke dalam, dan tak lama berselang keluar lagi sambil membawa segelas teh yang masih mengepulkan asap.
“Nah ... ini Nak teh manis hangatnya, silakan! Kalau boleh Ibu tahu Anak berasal dari mana?”
“Matur nuwun! Saya lahir di Jakarta Bu, di Semarang saya kuliah.”
“Oh ... begtu! Pantas logat Anak ndak seperti orang kelahiran Jawa asli. Ibu tinggal ke dalam ya!”
“Baik ... Ibu, silakan!”

# # #

Langit Ambarawa pukul lima sore hari ini nampak sedikit mendung, udara dingin mulai merasuki seluruh penjuru, kabut tipis-tipis mulai merayap menyelimuti sebagian atap-atap bangunan di sekitar terminal yang tidak terlalu besar itu. Sementara suasana terminal perlahan mulai menyepi. Para pedagang seperti ada memerintah, serentak mengemasi barang dagangan masing-masing dan melangkah meninggalkan terminal. Warung-warung kecil di sana pun mulai menutup diri, tinggal sedikit di antara mereka yang masih enggan mengakhiri perjuangan mencari ‘hidup’ untuk hari ini.
Tak lama kemudian, bulir-bulir air perlahan tertumpah dari langit, lambat mereka bergulir menuju tanah seakan enggan meninggalkan mega tempat mereka berkumpul bermain laksana anak-anak yang malas disuruh pulang meninggalkan tanah lapang arena bermain bersama teman-teman penuh kesukaan. Seiring gerimis yang turun, orang-orang di dalam terminal segera bereaksi, ada yang mencari tempat berteduh, ada juga yang bergegas beranjak meninggalkan terminal.
Sementara itu, di seberang jalan tepat di muka terminal tampak berdiri mematung seorang gadis dengan tas ransel besar bertengger di punggungnya. Tangan kanannya meremas-remas kertas putih –sebagai bukti nominal yang harus dibayarkan atas penggunaan jasa telepon- dari Warung Telekomunikasi di dalam terminal, wajah mungilnya dinaungi semburat kelabu pertanda kemuraman bersemayam di sana. Tubuh sang gadis berdiri membelakangi Jalan raya Ambarawa dengan aspal hitam bergelombangnya akibat berhari-hari menahan beban makhluk-makhluk bermesin tiada henti tanpa memandang ukuran. Mata bulatnya menerawang sayu pada benda berbentuk garis melintang vertikal dan horisontal yang bertengger di puncak sebuah bangunan besar peninggalan masa kolonial dulu; bangunan sebagai tempat ‘Persekutuan Orang Percaya’.
Titik-titik hujan yang jatuh dari langit tidak dihiraukannya membasahi raga dan rambut hitam berkilat sebatas bahu yang kini semakin berkilat karena bilur-bilur air bersarang di sana.
“Ya Tuhan ....! Cobaan apa lagi ini? Mengapa Mbak Yos tidak ada di tempat kost-nya hari ini? Mengapa Mbak Yos menginap di tempat familinya di Jogja hari ini? Oh .... Gusti! Mesti bermalam di mana aku sekarang?” Resah sang gadis memandang salib di puncak bangunan gereja nun di depannya yang perlahan mulai ditutupi kegelapan senjakala.
“Ah .... dingin juga udaranya!” Kemudian ia melepaskan ransel dan diletakkan di atas sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri, diambilnya sebuah jaket parasut tebal berwarna biru tua dari dalam ranselnya. Ia juga mengambil sebuah organizer kecil yang juga berwarna biru tua dan mulai membuka halaman demi halaman. Beberapa saat berselang wajahnya menengadah ke atas, semburat putus asa terpancar di sana, sementara sinar mata bening yang memancarkan keteduhan milik sang gadis perlahan-lahan meredup seiring suasana hati yang bergemuruh tak kalah dengan gemuruhnya pertempuran legendaris masa Revolusi Fisik tahun 1945-1949 di tempat ini. Pertempuran hebat sepanjang 12 hari yang diabadikan dalam bentuk Palagan Ambarawa.
Sesaat sang gadis menghela napas panjang sembari bergumam, “Oalah .... Gusti! Aku tidak punya kenalan lain selain Mbak Yos di sini! Aduh mesti bagaimana aku sekarang? Oh .... Yesus Junjungan hidupku! Berilah petunjukMu! Atau memang inilah hukuman terhadap piala lemah ini atas apa yang yang telah aku perbuat di hari-hari yang lalu. Tuhan .... bimbinglah aku, hambaMu yang penuh dosa dan cela. Beri jalan ya Tuhan! Karena bukan hanya diri hamba saja yang saat ini hamba bawa namun juga bersemayam pula dalam tubuh ini benih kehidupan baru, kuncup awal kehidupan yang tulus tiada nista.” Wajahnya tertunduk seiring terbentuknya sepasang garis bening di sudut mata beningnya. Garis aliran air yang bukan tetesan hujan membasahi pipi mewakili kepasrahan dan penyesalan. Diremasnya organizer bertuliskan Property of Sekar Ayu Paramitha a.k.a. Mitha di sudut kanan bawahnya.
“Ayo Mitha .... jangan menyerah! Yang maha Agung Di Atas segalanya pasti memberi jalan .... ya ...ya ..... pasti!”
“Angger! Anakku! Yang tabah ya Sayang! Masih di dalam kandungan saja Engkau sudah menerima cobaan yang berat. Ibu yakin kelak Kau akan menjadi seorang berhati sabar dan tabah senantiasa dari semua terpaan hidup. Tolong ya Tuhan! Berikanlah petunjuk!” Penghiburan berwujud doa keluar dari dalam hati Mitha ketika membelai perutnya yang belumlah kelihatan berdiamnya cikal bakal sebentuk pribadi di dalam sana.
“Ya Tuhan! Yesus Kristus Sang Pemimpin umat manusia! Pimpin aku! Aku harus tetap berada di kota ini sampai besok, sampai bisa bertemu dengan Mas BimBim terkasih. Berilah petunjukMu Gusti Yesus!” Mitha menyandarkan tubuh mungilnya pada batang pohon angsana besar di samping batu tempatnya meletakkan ranselnya, pancaran lelah tergambar di mata beningnya, lelah dalam mengarungi liku-liku perjalanan hidup.
Tiba-tiba, sebuah lembaran kertas terjatuh dari dalam organizer yang masih dipegangnya. Diambilnya kertas tadi, yang rupanya merupakan pembatas buku dan dibacanya tulisan yang terdapat di atasnya,
AJA PADHA SUMELANG

Aja padha sumelang ing bab apa waé.
Apa sing kokkarepaké aturna marang Gusti Allah sajroning pandonga,
suwunen kanthi saos panuwun.


Filipi 4 : 6 versi Bahasa Jawa
Gua Maria KEREB
Ambarawa

“Oh ....ya! Terima kasih Yesus! Akhirnya Kau jawab doaku! Aku tahu sekarang tempat di mana aku bisa bermalam! Ya .... Gua Maria Kereb! Dulu, Marcel, anak NTT itu pernah mengajakku menginap di sana untuk mengikuti Prosesi Jalan Salib, karena aku kepengin mengetahui bagaimana umat Katolik menjalani Ibadah Prosesi Jalan Salib.
Oh .... Thanks God! Akhirnya Kau tunjukkan jalan bagi hambaMu ini!” Sinar mata bening yang tadi mulai meredup kembali merona memancarkan cahaya pengharapan laksana fajar pagi menerangi bumi. Cahaya semangat akan merekahnya kembali asa hati.
Bergegas Mitha merapikan ranselnya dan segera meninggalkan tempatnya berdiri. Tubuh mungilnya terus melangkahkan kaki ke arah gereja yang sedari tadi dipandanginya, terus melewati deretan pagar gereja dan akhirnya berbelok memmasuki jalan kecil di sebelah pagar terakhir milik gereja. Mitha terus berjalan menyusuri jalan kecil yang menanjak itu, sementara sayup-sayup terdengar lonceng gereja berdentang tujuh kali seakan mengiringi langkah-langkah lambatnya. Langkah sang gadis melewati komplek perumahan di kanan kiri jalan, kemudian berganti melintasi kebun-kebun. Hujan telah berhenti, bunyi gemericik air tumpahan dari langit telah berganti dengan alunan paduan suara jangkerik susl-menyusul membentuk nuansa melodi khas kehidupan.
Selang lima puluh menit kemudian, Mitha telah tiba di depan gerbang komplek Gua Maria Kereb yang memang 24 jam selalu terbuka untuk dikunjungi oleh siapapun yang ingin berdialog dengan Sang Empu Alam Junjungan Sejati umat manusia secara pribadi ataupun berkelompok. Mitha menghentikan langkahnya dan duduk di samping pintu gerbang di atas batu beton persegi empat yang memang dibuat untuk tempat duduk.
“Terima kasih Yesus! Akhirnya aku bisa menghabiskan malam tanpa kebingungan untuk berteduh. Aku harus bertemu petugas di sini untuk meminta ijin bermalam!” Bara semangat terpancar dalam diri Mitha, yang segera bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam komplek peziarahan tersebut.

# # #

Bumi Palagan belum lagi terang, warna merah masih mendominasi hamparan langit di atasnya. Kokok ayam mulai bersahut-sahutan mengajak para penghuni tanah Palagan ini untuk kembali memulai aktivitas masing-masing mengisi kehidupan.
Mitha terbangun dari tidurnya yang belum lengkap, bola matanya terlihat tidak dapat membuka penuh tanda kantuk masih menghinggapi dirinya. Perlahan diraihnya botol air mineral di sisi kanan tempatnya tidur yang adalah sudut sebuah pendopo berukuran 10x8 m di dalam komplek peziarahan umat Katolik, khususnya yang berada di daerah Semarang, Ambarawa, Salatiga, dan sekitarnya.
“Hmmmhh ....! Aduh, badanku masih pegal-pegal!” Dilawannya kantuk yang masih menyengat dan perlahan-lahan dilipatnya selimut yang dipakai sebagai alas tidur.
“Pagi Nak Mitha! Bagaimana, nyenyak tidurnya semalam?” Seorang bapak menyapa Mitha dengan ramah.
“Selamat pagi Pak Handoko! Yah lumayan Pak bisa beristirahat sebentar.”
“Nampaknya Nak Mitha berasal dari luar kota ya?”
“Iya Pak! Saya dari Semarang! Bapak sudah lama bekerja di sini?”
“Wah .... kalau bekerja di sini, saya sudah puluhan tahun Nak Mitha!” Pak Handoko ikut duduk tidak jauh dari Mitha.
“Nak Mitha! Saya sedang memasak air, saya buatkan minum ya! Mau teh atau kopi?”
“Aduh ... Pak Handoko! Ndak usah repot-repot! Saya jadi merasa tidak enak!”
”Ndak repot kok Nak Mitha, sungguh! Ya ... hitung-hitung buat menghangatkan badan.”
“Matur nuwun lho Pak handoko! Kalau boleh saya nge-teh saja Pak!”
“Baik ... baik! Nak Mitha saya tinggal sebentar ya! Saya buatkan dulu! Silakan kalau mau meneruskan beres-beres lagi, saya tinggal dulu!” Pak Handoko segera beranjak dari duduknya dan pergi ke arah belakang pendopo.
“Terima kasih Tuhan! Ternyata Engkau masih memperhatikan diri ini lewat orang seperti Pak Handoko!” Mata bening milik gadis manis itu tampak berkaca-kaca terharu akan apa yang dialaminya. Sejenak ia terdiam, lalu dilipatnya selimut dipangkuannya dan dimasukkan ke dalam ransel. Setelah itu, Mitha mengeluarkan organizer kesayangannya. Dibacanya sejenak tulisan terakhir dan mulailah Mitha menulis ......
F.L.A.S.H. B.A.C.K.

Bergetar ada sadarku
Tersentuh fenomena lam
Menggentarkan rasa menyalib jiwa
Sakit .....
Gerimis seakan berjalan terus
Dingin menggelontorkan airnya
Merasuk pada sukma kelabu
Perih .....
Luka !
Kembali menganga
Merah melampaui segala duka
Meraja nostalgi lalu
Mengenang batin samsara

Hening .....
Berkepanjangan disertai tanya
Mengapa aku
Mengapa tak henti
Badai menghampiri
Ataukah tak akan berakhir
Tak akan pernah
Diam .....
Dibalik diam gejolak meraja
Rasa ingin memutar balik
Perbaiki kesalahan diri
Menata kehidupan
Lewati segala coba
Seperti hari ini
Menuai asa baru
Menghiasi sisi hidup
Sampai nanti
Ya .... sampai nanti

Note : Segala sesuatu memiliki makna dikedalaman sarinya
Kuatlah Mitha!
Perjalanan masih sangat panjang dan berliku

Tanpa disadari butiran air bening menetes dari sudut mata Mitha yang telah selesai menulis.
“Nah ....! Ini wedang teh-nya! Silakan Nak Mitha diminum jangan sungkan-sungkan!” Kehadiran Pak Handoko menghentikan lamunan dan tangis Mitha.
“Iya .... Pak! Terima kasih banyak Pak Handoko, jadi merepotkan Bapak!”
“Ndak ...ndak ....! Tidak merepotkan kok, ya Cuma teh orang pelosok mungkin tidak seenak teh di kota.”
“Ah .... Bapak! Terlalu merendah, enak kok Pak, sungguh! Apalagi wangi melatinya terasa sekali, jadi membuat segar!”
“Syukurlah! Kalau begitu Bapak tinggal keliling dulu ya nak Mitha! Diminum sampai habis teh-nya! Dan nanti kalau Nak Mitha ingin mandi, di kamar mandi kantoran saja! Di sana lebih bersih! Nak mitha tahu kan letaknya?”
“Iya, Pak! Saya tahu! Terima kasih atas kebaikan Bapak! Silakan kalau Pak Handoko mau keliling.”
“Mari Nak Mitha! Saya tinggal dulu!”
“Silakan, Pak Handoko!”
Pak Handoko berlalu meninggalkan Mitha yang masih menyeruput teh melati hangat buatan Pak Handoko. Mitha tersenyum teringat teh poci Simpang Lima Semarang yang selalu menemani malam-malam kebersamaannya dengan Mas BimBim terkasih.
“Mas BimBim! Aku tidak sabar untuk segera bertemu! Aku kangen Mas BimBim!”

Tidak ada komentar: