LOGO

LOGO
LOGO PARKIR

Sabtu, 07 Februari 2009

AKU MEMILIH MAKA AKU ADA

LEMBARAN IX

RAWA PENING SANG TONGGAK


JIKA TIDAK ADA TANYA

Tanya tak berkesudahan
Menyeruak tak putus-putusnya
Mengemuka tiada perhentian
Mengejawantah laksana lautan tak bertepi
Mau kemana?
Quo Vadis?
Aliran yang bernama kehidupan ini
Menapak
Menyusur
Mengembara
Sekat-sekat begitu tipis
Kelekatan - melepaskan
Keakuan - humanisme
Lara - suka
Kognitif - afektif
Bla .... bla .... bla .....
Sekali lagi tanya masih belum habis
Bertambaha banyak malah
Seandeainya tidak ada kata bernama “T-A-N-Y-A”
Seyogyanya tidak ada kalimat “P-E-R-T-A-N-Y-A-A-N”
Jika tidak ada tanda baca “?”
Sebentuk apakah kahuripan itu
Sewujud apakah “T-H-E L-I-F-E”
Nisbi belaka
Relatif adanya
Abu-abu hadirnya
Ah ..... kembali tanya menyeruak

- ada sejuta tanya di Ambarawa -

13.42 WIB
Mas BimBim,
Ada apa ini? Mitha tahu banget Mas BimBIm orangnya memang ngaretan .... tapi gak pernah sepanjang dan selama ini membuat Mitha nunggu, sampai berjam-jam begini!
4 jam 42 menit! Rekor terlama Mas bimBim ngaret dan pasti akan bertambah panjang lagi rekor itu! Sampai detik ini pun tidak ada tanda-tanda kedatangan Mas BimBim.
Oh .... Tuhan!
Ada apa lagi ini? Mungkinkah Mas BimBim lupa kalau kita janjian hari ini?
Mungkinkah Mas BimBim ada urusan yang sangat penting dan mendadak sehingga terlambat?
Atau .... mungkinkah penantian ini sama seperti peristiwa Hananto?
Ah .... jangan Tuhan!
Aku mohon jangan terulang kembali peristiwa itu .... di saat aku sedang mencoba menyusun asa baru, pengharapan baru.
Jangan biarkan ya Tuhan!
Aku pasti tidak sanggup!

?

Terbentur hati pada tanya
Penguasa Segala
Guratan apakah hendak Kau torehkan
Suratan apakah hendak Kau sematkan
Hingga sebegini
Coba diri untuk hanya sumarah
Tak urung ragu mencuat
Laku sebagaimana adanya
Atau pembenaran yang bersemayam
Biarkan terus mengalir
Atau surut ke belakang
Dikau Yang Maha Punya Rencana
Turunkan sinyal
Sebagai pijakan menentukan hidup
Selaras panggilan alam

- di Ambarawa yang meresahkan -

Mas BimBim,
Cah Ayumu ini bingung, sangat bingung!
Sudah 14.04 WIB! Mas BimBim gak kunjung ada di sini! Mitha takut sendirian di sini, di tempat asing begini! Apalagi orang-orang sudah banyak yang ngeliatin! Mas BimBim cepat datang ....!
Untung saja tadi Pak Handoko memberi sangu Mitha 2 buah jagung rebus, so ..... lumayan buat pengganjal sementara perut ini.
Mas BimBim,
Kalo Mas BimBim tahu sekarang ini Mitha Cuma pegang uang seribu rupiah!
Sungguh .... Mas BimBim datanglah!
Tuhan ....!
Apakah memang aku masih harus menerima hukumanMu? Apakah aku harus melewati dulu semua ini? Apakah dengan Mas BimBim gak kunjung datang ini adalah salah satu dari ujian yang harus aku tempuh?
Mas BimBim,Mitha sampai gak bisa lagi mengungkapkan perasaan Mitha sejelas-jelasnya, setumpah-tumpahnya!
Paling dengan puisi-puisi yang terlintas dalam benak Mitha yang mungkin bisa sedikit jadi pelampiasan rasa.
Mas BimBim,
Ada satu yang sedikit memberikan penghiburan bagi Mitha .... ya, secarik kertas berisi tulisan tangan Mas BimBim, yang jelek itu lho ... hihihi!, yang dikasih ke Mitha saat memberitahu kabar duka dan mencoba menenangkan Mitha pada peristiwa Hananto dulu.
Mitha salin lagi ya ... tulisan Mas BimBim itu, tulisan yang kata Mas BimBim dikutip dari SANG NABI-nya Kahlil Gibran :
Kalian memiliki takdir kepastian untuk merasakan derita dan kepedihan. Jika hati kalian masih tergetar oleh rasa takjub menyaksikan keajaiban yang terjadi dalam kehidupan, maka pedihnya penderitaan tidak kalah menakjubkan daripada kesenangan.

Banyak di anatar yang kalian derita adalah pilihan kalian sendiri –obat pahit kehidupan agar sembuh dari luka hati dan penyakit jiwa. Percayalah tabib kehidupan dan reguk habis ramuan pahit itu dengan cekatan dan tanpa bicara.

Sebab meskipun tangannya keras dan berat terasa tapi ia membawa bimbingan lembut yang tidak kasat mata. Dan meskipun ramuannya demikian pahit mengigit bibir, tapi ia telah diracik dalam tetesan airmata-Nya yang keramat.

Awalnya saat Mitha membaca pertama kali, Mitha malah berkomentar kalo itu hanya penghiburan bombastis yang Mitha bahkan gak ngerti maksudnya. Komentar Mitha kala itu, “Mas BimBim, Mitha gak bisa menangkap maksud tulisan ini! Dan yang jelas perasaan Mitha saat ini gak mungkin bisa Mas BimBim rasakan! Mas BimBim gak ngalamin sendiri sih!”
Sebuah komentar yang keluar dari hati remuk redam dan tidak dapat berpikir jernih lagi!
Dan respon Mas BimBim saat itu, justru dengan sabar sama sekali tidak menunjukkan rasa tersinggung maksud baiknya malah Mitha anggap gombal, bombastis, omong kosong. Kesabaran yang baru Mitha sadari sekarang, kesabaran yang menyejukkan.
Mitha pasti akan ingat terus perkataan Mas BimBim saat itu,
“Mitha, aku tahu Mitha pasti merasa sangat menderita saat ini. Dan aku juga tahu kalau empatiku ini pasti tidak akan dapat merasakan kepedihan yang sama seperti kepedihan yang Mitha rasa sekarang. Aku juga sama sekali tidak bermaksud memberikan penghiburan yang kosong belaka.
Aku Cuma ingin membagi rasa! Itu saja. Tidak lebih.
Bahwa pedih yang Mitha rasa sekarang pasti bisa Mitha lalui. Pasti ... karena pahit kehidupan pada dasarnya adalah OBAT untuk lebih kuat dalam menjalani hidup.
OBAT yang hanya daripadaNya, yakinlah itu Mitha!
Mitha adalah orang yang tegar .... aku percaya itu!
Mitha pasti bisa bangkit!
Jujur .... aku juga belum tahu jalan keluar yang pasti sekarng ini, tapi yang pasti In God We Trust, Life will Find the Way!
Ya .... kan Mitha!”
Thanks God!
Engkau hadirkan sosok Mas BimBim sebagai orang yang selalu memberi penguatan pada diri lemah ini di saat-saat yang paling terpuruk sekali pun. Kesabaran dan kelembutan yang tak pernah kenal lelah.

Mas BimBim,
Mitha sudah bulat sekarang! Kalau Mas BimBim jam 3 tepat tidak datang juga, akan Mitha coba untuk menyusul ke Kopeng! Barangkali Mas bimBim sakit ... atau mungkin juga keluarga Mas bimBim menentang habis-habisan rencana Mas BimBim untuk menikahi Mitha. Seperti yang Mas BimBim utarakan bahwa kemungkinan ada lubang yang harus dilalui di Kopeng, yaitu persetujuan dari keluarga Mas BimBim tidak akan diberikan.
Mitha pasrah Mas BimBim .... kalaupun Mas BimBim mengurungkan niat Mas BimBim itu!
Mitha tidak akan menyalahkan Mas BimBim atau juga keluarga Mas BimBim .... jujur tidak akan! Karena Mas BimBim berhak untuk mendapatkan kebahagiaan lebih daripada sekadar mendampingi Mitha yang penuh dosa ini!
Cuma ijinkanlah Mitha bertemu Mas BimBim paling tidak untuk meminta maaf!
Mitha benar-benar pasrah Mas BimBim .... karena hanya itu yang Mitha bisa ....
Seperti rangkaian syair milik Argentum :
P A S R A H
Menggelora diri dalam penat
Bergemuruh hati dalam takut
Sesal berkepanjangan tiada henti
Pada apa laku diri di waktu lalu
Lembaran demi lembaran
Menyembul laksana gambar
Menorehkan pedih dalam titian kalbu
Hanya pasrah mengemuka
Sambil hati, jiwa, diri bersimpuh
Bertelut lutut
Luruh
Pada Sang Maha Ada
Selaras alunan Macapat Agung :
He para wong kang kasayahan lan kamomotan
Pada mareka kabeh marang Aku,
Musti Aku gawé ayemmu
Akhirnya satu asa mencuat
Duh Gusti bimbing ‘tuk bangkit

Bahan diambil dari Matius 11 : 28


Pendeta Mahatma menutup lembar terakhir yang telah ditulisi curahan rasa dari seorang gadis pemilik organizer kecil berwarna biru tua yang masih lelap tertidur dihadapannya. Pendeta Mahatma merasa agak lega sekarang karena masa kritis sang gadis telah lewat, setelah 2 hari lamanya tak sadarkan diri.
“Mas BimBim ....! Mas BimBim ....!” Itulah kata yang pertama kali terucap dari mulut Mitha saat siuman dari tidur panjangnya selama 2 hari. Hal yang membuat Pendeta Mahatma mengambil kesimpulan betapa pentingnya arti seorang Mas bimbim bagi gadis muda penuh penderitaan batin ini. Seorang gadis yang ditemukan oleh Pendeta Mahtma tergeltak tak berdaya di tepi Rawa ening saat pulang dari memimpin Kebaktian Sore.
“Mitha! Jangan banyak bergerak dulu! Mitha sudah 2 hari pingsan tak sadarkan diri, pasti badan Mitha sekarang masih lemah!” Pendeta Mahtma mencoba menahan Mitha yang mencoba bangkit dari tidurnya.
“Sa .. ya.... a ... da .... di mana ... ini?”
Mitha .... ada di klinik “KASIH” sekaligus rumah saya! Oh ... ya perkenalkan saya Mahtma!”
“Oh .... aduh, kepala ini masih pening! Nnggg .... saya Mitha. Kenapa saya bisa sampai begini dan kenapa saya bisa ada di sini, dok?” Mitha memandangi sekujur tubuhnya, selang infus yang ada di tangankirinya, perban di utut kanannya.
“Sebaiknya ... Mitha istirahat dulu sekarang, nanti saya ceritakan! Dan Puji Tuhan Mitha sudah melewati masa kritis Mitha!”
“Oh .... tapi .... tapi ..... bagaimana dengan kandungan saya, dok?” Mitha tiba-tiba teringat sang calon ada kehidupan di kandungannya. Ia begitu khawatir akan kondisi si kecil.
“Tenanglah Mitha .... kondisi bayi Mitha baik-baik saja! Dan saya sebenarnya bukan dokter. Selama ini Mitha dirawat oleh dokter Sus, yang ekarang sedang ke Salatiga mengambil obat untuk persediaan klinik ini.” Ada senyum kelegaan di bibir Pendeta Mahatma, kelegaan bahwa sang gadis ini telah siuman dan tak mengalami hilang ingatan.
“Sekarang Mitha istirahat dulu ya ...”
“Baik ... Pak Pendeta Mahatma, terima kasih atas semuanya, walaupun saya masih bingung akan apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya .... sekali lagi terima kasih!” Mitha akhirnya menyadari bahwa laki-laki dihadapannya ini adalah seorang gembala umat, setelah dirinya melihat segaris kain putih di tengah-tengah kerah kemeja hitam yang dikenakan Pendeta Mahatma.
“Jangan dirisaukan! Saya hanya kebetulan mendapati Mitha tergeletak pingsan di tepi Rawa Pening. Oh ya ... bisa panggil saya Atma, begitu saya biasa dipanggil. Saya tinggal ke belakang sebentar ya, ambil air hangat untuk Mitha.”
“Terima kasih Pendeta ...! Pendeta Atma .... boleh saya minta tolong? Pendeta mau kan baca catatan harian saya, supaya Pendeta mengetahui apa yang tengah saya hadapi? Ada beberapa pertanyaan ingin saya ajukan ke Pendeta. Sebelumnya maaf ya saya merepotkan Pendeta terus ...” Mitha menyerahkan organizer kesayangannya pada pendeta Atma.
“Baik ... Mitha! Tenang saja ... sama sekali tidak merepotkan!”
Maka terbukalah lembaran-lembaran pergulatan sang gadis dihadapan Pendeta Atma, pergulatan hidup yang mengantarkan Mitha pada kondisi seperti sekarang. Begitulah.

###

“Sore .... Mitha! Bagaimana sudah segar sekarang ....?”
“Pendeta Atma ...! Boleh kita mengobrol di depan sambil meniati pemandangan sore? Itu kalau tidak merepotkan lho ...”
“Bagaimana dokter? Pasien cantik kita ini sudah tidak betah berdiam diri di kamar saja rupanya, boleh ...?” Pendeta melirik pada dokter Susi yang tengah mengecek infus dan denyut nadi Mitha.
“Tidak apa-apa Pendeta, memang sudah waktunya Mitha menghirup udara luar! Silakan kalau mau duduk-duduk di depan!”
“Bagus ...! Ayo Mitha .... kamu basuh dulu tubuhmu dan dandan yang cantik! Kita lihat Rawa Pening di sore hari, belum pernah kan?”
“Wah ... terima kasih dokter Susi! Terima kasih Pendeta Atma! Aku senang sekali!” Ada senyum ceria di bibir Mitha. Senyum yang selama ini seperti lenyap ditelan prahara.
“Kalau begitu .... saya tunggu di luar ya ...” Pendeta Atma keluar ruangan tempat selama ini Mitha dirawat dengan antusias. Antusiasme yang merupakan cerminan kelegaan melihat Mitha menemukan kembali semangat hidup.
###

“Pendeta Atma ....! Pendeta sudah membaca catatan harian saya?”
“Sudah Mitha .... sampai habis! Untuk gadis muda seusiamu, sungguh berat dan berliku jalan hidup yang harus dijalani, sungguh!”
“Begitulah Pendeta! Boleh saya bertanya sesuatu, Pendeta?”
“Silakan .... apa saja!”
“Apakah Tuhan sudah tidak memberikan ampunan lagi bagi dosa-dosa yang saya buat? Sehingga mungkin untuk kesekian kalinya saya akan menghadapi semuanya ini sendirian?”
“Mitha ...! Selama kita mau sadar akan segala kelemahan dan dosa-dosa yang kita perbuat, untuk kemudian kita serahkan semua permohonan ampun serta seluruh hidup kita selanjutnya, percayalah! Tiada yang tak terampunkan!”
“Sekalipun doa yang yang kita lakukan adalah dosa terbesar, Pendeta ...?”
“Untuk dosa apapun, Mitha! Tak ada yang tak terampunkan!”
“Mitha tahu kan, bahwa Dia datang untuk yang sakit, bukan yang sehat! Karena yang sehat tidak perlu disembuhkan.”
“Dia selalu dekat dan menghampiri pada yang sakit, yang terjatuh, yang berada dalam kesesakan! Hanya seringkali justru kitalah yang menjauh! Percayalah, Dia, Yesus junjungan kita, tidak pernah meninggalkan kita apapun dan bagaimanapun kondisi kita, bahkan ketika terperosok ke dalam lubang tergelap dan terdalam sekalipun ....!” Pendeta Atma terdiam sebentar.
“Yang perlu kita lakukan Mitha ... adalah kita hanya perlu membuka kesadaran bahwa kita tidak pernah sendiri, itu saja ....!”
“Mitha .... dengarkan lagu Franky Sihombing ini! Lagu ini bisa jadi bahan perenungan kita akan apa yang barusan saya gambarkan ... dengarkan ya Franky ar Rawa Pening ...hahaha ...!”
Dan terlantunkan gita permenungan yang menyejukkan jiwa,
BAPA YANG KEKAL

Kasih yang sempurna telah
Ku t’rima dariMu
Bukan kar’na kebaikanku
Oleh kasih karuniaMu
Kau pulihkan aku
Layakkanku ‘tuk dapat memanggilMu
Bapa .....
Kau b’ri yang kupinta
Saat kumencari kumendapatkan
Kuketuk pintuMu dan Kau bukakan
S’bab Kau Bapaku Bapa yang kekal
Tak kan Kau biarkan
Aku melangkah hanya sendirian
Kau selalu ada bagiku
S’bab Kau Bapaku Bapa yang kekal

“Pendeta Atma ... terima kasih!” Tetesan air bening mengalir dari ke dua mata Mitha, tersentuh oleh tembang yang baru saja terlantun. Tersentuh oleh dalamnya makna syair-syair yang mengalir. Tersentuh oleh kesadaran bahwa kasih kekal Allah Bapa yang tidak pernah meninggalkan dirinya.
“Mitha ... untuk selanjutnya, apa yang akan Mitha lakukan?” Pendeta Atma mencoba menggugah suasana agar Mitha tak terhanyut dalam dekapan lara.
“Pendeta Atma ...” Mitha menarik napas sebentar, “Saya serahkan semua yang akan terjadi biarlah terjadi. Termasuk Mas BimBim, jika pada akhirnya dia membatalkan rencana untuk menikahi saya.”
“Jujur ... Pendeta, saya tidak akan mempersalahkan Mas BimBim, karena Mas BimBim berhak .... ya, sepenuhnya berhak untuk menentukan jalan hidupnya, Mas BimBim berhak untuk bahagia! Dan saya akan tetap menghormati Mas BimBim sebagaimana adanya Mas BimBim, sebagai orang yang selama ini setia mendampingi dan membimbing saya menjalani hidup.”
“Terus .... bagaimana dengan si kecil dalam kandunganmu, Mitha ...?”
“Tentu saya akan menjaga calon kehidupan ini, Pendeta! Apapun resikonya si kecil ini ...” Mitha memegangi perutnya dengan lembut, “akan saya lahirkan, saya rawat sebaik-baiknya! Karena dia tidak berdosa sama sekali dan juga ciptaan Allah yang harus saya tumbuhkembangkan sebagai wujud tanggung jawab atas dosa yang saya perbuat!”
“Walaupun untuk itu pada akhirnya saya harus melakukannya tanpa pendamping! Ya, walaupun saya harus sendiri ...!”
“Mitha ... saya kagum akan ketegaranmu! Kamu pasti jadi ibu yang baik, ibu yang kuat, seorang ibu yang ditempa langsung oleh kehidupan! Saya bangga kepadamu, Mitha!” Pendeta Atma memegang bahu Mitha.
“Semoga Allah Bapa memberkati kita semua ...”
“Amin ...”

###

PENYERAHAN
Mengalir alunan pujian sejati,
“Berserah kepada Yesus
Tubuh, roh, dan jiwaku ....”
Terpatri kepasrahan
Yang adalah penyerahan nurani
Akan tautan agung
Penguasa Tunggal segala ada
Mengejawantah dalam pribadi
‘Yang Diurapi – Juru Selamat’
Bersandar berharap
Agar senantiasa diperbaharui
Disempurnakan
Sebagai pribadi penuh utuh
Menuntaskan pada hidup memanggil
Berkalung mutiara keselamatan
DaripadaMu
Junjungan bumi dan langit
Selaras tekad nurani
Laksana untaian kidung pujian,
“Kukasihi, kupercaya
Kuikuti Dia t’rus ...”

Sumber : Kidung Jemaat no. 364

Yesus Kristus,
Terima kasih atas penyertaanMu
Atas pengampunanMu yang tiada berkesudahan
Atas kasih setiaMu
Engkau sungguh tiada sedetik pun meninggalkan hambaMu yang penuh noda-cela-nista ini!
Bahkan Kau pertemukan aku dengan orang-orang baik
Dengan orang-orang peduli
Dengan orang-orang tulus
Dokter Susi,
Terima kasih! Dokter begitu sabar dan tiada kenal lelah merawat aku dan ‘si mungil’ ini. Entah bagaiman jadinya kalau aku tidak dirawat di sini, bisa-bisa aku sia-siakan ‘si mungil atau bahkan aku akan mem ....
Ah ....
Jangan ya Yesus! Membayangkannya saja aku tidak sanggup.
Apapun yang terjadi ....
‘Si mungil’ harus hadir ke dunia ini dengan sehat!
Segala daya akan aku kerahkan untuk itu!
Ya, itulah wujud permohonan ampunku
padaMu
hanya padaMu, ya Yesus!
Pendeta Atma ....!
Ah .... kata-kata apa lgi yang bisa aku ucapkan atas kemurahan hati Beliau.
Tidak ada!
Sungguh tidak ada kata yang bisa mengungkapkannya!
Kehangatan Pendeta dan orang-orang di sini membuat aku tergugah,
Bahwa .... sejatuh-jatuhnya, seterpuruk-puruknya ....
Pasti masih ada harapan
Sekecil apapun asa itu!
Mas BimBim,
Di mana pun Mas BimBim berada sekarang, percayalah Mitha baik-baik saja sekarang, dan semoga juga begitu Mas BimBim adanya.
Syukur pada Yesus!
Aku dipertemukan dengan orang seperti Mas BimBim
Yang banyak mengajarkan aku
‘tuk menjalani hidup dengan sadar
‘tuk menjalani hidup dengan berserah total
Jujur!
Sampai sekarang Mitha, Cah Ayumu ini, tidak punya prasangka apa-apa pada Mas BimBim.
Mitha hanya merasa pasti ada apa-apa dengan Mas BimBim. Mitha percaya benar kalau Mas BimBim mengurungkan niat untuk menikhai Mitha, mas BimBim pasti akan bicara langsung pada Mitha.
Mitha percaya Mas BimBim bukan orang yang dengan gampang begitu saja dari suatu permasalahan
Mas BimBim yang Mitha kenal jauh dari hal itu!
Mas BimBim,
Baik-baik saja di sana ya ...
Doa Mitha dan ‘si mungil’ selalu menyertai Mas BimBim!
Mas Aji dan Mbak Agni,
Tiba-tiba saja Mitha kangen sama Mas dan Mbak berdua!
Mitha .... entah kenapa ... merasa Mas dan Mbak begitu dekat sekali ....
Mitha kangen kepengen ketemu dan ngobrol-ngobrol!

“Mitha ....!”
“Ya .... Pendeta! Masuk saja, tidak dikunci kok!”
“Maaf .... Mitha! Saya mengganggu ya ...?”
“Oh .... tidak, sama sekali tidak, Pendeta! Saya hanya sedang menulis catatan harian!”
“Mitha .... saya punya tamu istimewa untuk Mitha di luar!”
“Tamu ...? Untuk saya .... ? Siapa ya pendeta? Saya tidak pernah memberitahu siapapun kalau saya ada di sini!” Jantung Mitha berdegup, bertanya-tanya siapa gerangan tamu untuknya itu, apalagi ‘istimewa’ seperti kata Pendeta Atma.
“Pokoknya tamu istimewa!” Pendeta Atma tersenyum penuh arti.
“Saya persilakan ke sini saja ya! Tunggu sebentar!”
“Siapa ya ....? Jangan-jangan Mas A ....”
“Selamat pagi Mitha! Genduk Ragilku!”
“Mas Aji .... Mbak Agni ....!”
Ketiga saudara kembar tersebut berangkulan penuh haru. Kehangatan segera menyebar memenuhi ruangan. Kehangatan berkumpulnya keluarga. Kehangatan bersatunya ikatan batin. Kehangatan kasih sayang. Kehangatan anak-anak milik Sang Empu Hidup.
“Aduh ...! Aduh ...! Kok aku dijewer sih Mas?”
“Kamu ini! Buat orang sibuk aja! Menghilang begitu saja tanpa kabar, tanpa berita, pantas kalau dijewer!”
“Maaf ... maafkan Mitha, Mas Aji! Mbak Agni!”
“Eh ... Mitha! Kamu pake ilmu menghilang apa sih? Seakan-akan orang satu Nusantara ini gak tahu keberadaanmu! Seharusnya para koruptor buron itu belajar dari kamu ... hahaha!” Aji mengusap-usap rambut adik bungsunya itu. Ada aliran kasih sayang tercurah di sana.
“Ehm ... ehm ...! Mitha! Aji! Agni! Maaf mengganggu ...!”
“Eh .... eh ...! Kami justru yang minta maaf Pendeta! Kami jadi terhanyut begini, jadi tidak mempedulikan Pendeta!” Agni cengar-cengir menahan malu dan tersenyum pada kedua saudara kembarnya.
“Ah ... tidak apa-apa, saya maklum sekali! Begini ... saya pikir sebaiknya saya ceritakan sekarang saja apa yang sebenarnya terjadi pada BimBim sekarang! Kalian siap kan?”
“Mas BimBim ....? Ada apa dengan Mas BimBim, Pendeta ....?”
“Baiklah .... sekarang saya akan ceritakan ....”

###

“Begitulah ... Mitha! Aji! Agni!”
“Mitha, maafkan saya! Saya lancang membuka catatan harian kamu! Sebenarnya waktu kamu tak sadarkan diri beberapa hari yang lalu, Mas Aji dan Mbak Agni sudah saya hubungi dan sampai ke sini. Cuma memang saya yang meminta mereka supaya sabar, menunggu setelah kamu sadar dan dapat menetralisir kondisi mental kamu seperti sekarang ini ...”
“Jadi ....”
“Benar Mitha! Mbak dan Mas Aji selama ini menginap di rumah Pak Karto, ketua Majelis gereja di sini!”
“Nah ... mengenai Mas BimBim! Kebetulan saya adalah ‘alumnus’ Wisma, alumnus dengan tanda petik, saya sebenarnya dibuang secara halus oleh institusi ke tempat ini. Karena aktivitas berbau politik saya di Wisma dianggap membahayakan lembaga..”
“Makanya saya dapat dengan mudah menelusuri apa yang terjadi dengan Mas BimBimmu itu!”
“Jadi Mas BimBim ... hilang tak ada kabar beritanya bersama tujuh orang teman-teman pergerakannya?”
“Benar ...! Menurut dugaan kuat kami, para ‘alumnus’ Wisma yang coba menelusuri, kemungkinan Mas BimBim dan tujuh orang anak Wisma lainnya, termasuk Binsar diculik oleh pihak yang tidak senang atas aktivitas mereka. Terlebih lagi setelah aksi demonstrasi terakhir mereka, coba lihatlah selebaran ini!” Pendeta mengambil lembaran selebaran dari saku kemejanya dan menyerahkan kepada Aji.
“Ah .... shit! Berani dan gegabah sekali mereka! Ini sih sama saja membakar namanya!” Aji gusar sekali setelah membaca selebaran serba provokatif itu.
“Wah ... wah ...! Aku gak percaya BimBim yang cerdas dan humanis, jadi fanatisme fundamental kayak gini!” Agni geleng-geleng kepala setelah bergantian membaca selebaran itu.
“Tapi ... tidak mungkin Mas BimBim terlibat dalam demo itu! Hari di mana demo dilakukan adalah hari keberangkatan kami berdua! Pagi-pagi sekali saya dan Mas BimBim berangkat ke Bukit Doa di Ungaran! Sampai sore hari kami di sana untuk kemudian berpisah di Bawen, saya ke Ambarawa dan Mas BimBim pulang ke Kopeng. Saya yakin sekali!” Mitha melihat ada yang janggal dari peristiwa menghilangnya BimBim.
“Benar! Mitha benar sekali! Binsar dan yang lainnya memang ‘diangkut’ di Semarang, malam hari setelah demo berlangsung. Hanya BimBim yang ‘dijemput’ keesokan harinya di Kopeng! Kami sudah memastikan hal itu lewat keluarga BimBim di sana.
“Dan itu yang kami herankan! Kelompok penculik itu tahu betul latar belakang BimBim, Binsar, dan yang lainnya. Mereka sangat profesional!”
“Terus .... bagaimana keadaan mereka sekarang, Pendeta?” Mitha tersendat-sendat, ada guratan khawatir dari nada suaranya.
“Jujur .... kami belum mendapatkan petunjuk berarti! Kami hanya mendapatkan perkiraan saja, ada 5-6 lokasi dari mana kelompok tersebut berasal. Tapi kami akan terus berosaha melakukan penelusuran sampai ada titik terang, berdoalah terus Mitha!”
“Mas BimBim ....”
“Satu hal Mitha! Mas BimBim tidak pernah berniat meninggalkanmu! Surat terakhir pada keluarganya di Kopeng sebelum dia ‘dijemput’ menegaskan hal itu! BimBim hilang saat akan pergi untuk menemuimu di Museum Kereta Api Ambarawa, itu yang bisa saya pastikan!”
“Mas BimBim ...! Mas BimBim memang orang yang selalu menyayangi Mitha! Bagaimana keadaan Mas BimBim sekarang?”
“Saran saya .... sebaiknya kita coba bahu-membahu mencari tahu keberadaan BimBim dan kawan-kawan! Agni ...! Sebaiknya Agni ke Jakarta, saya kira Agni punya banyak channel di sana, bukan begitu?”
“Benar ... Pendeta! Sepertinya saya punya beberapa kenalan yang mungkin bisa memeberi petunjuk berarti, saya akan berangkat siang ini juga ke Jakarta! Mitha sebaiknya ikut Mbak saja, oke?”
“Tapi .... bagaimana dengan Papa, Mbak? Mitha takut sekali bertemu Papa!”
“Papa .... itu biar urusan Pakde Wismoyo, kamu tenang saja!” Aji mencoba menenangkan adik bungsunya yang sedang berkecamuk itu.
“Terus .... Aji! Sebaiknya kamu pulang ke Jogja, di sana kamu akan saya perkenalkan dengan teman-teman yang lain! Bagaimana ...?”
“Baik .... Pendeta! Saya pikir memang begitu, karena saya akan lebih mudah berhubungan dengan Pendeta Atma dan teman-teman BimBim di Semarang.”
“Kalau begitu .... ada baiknya kita berdoa agar BimBim dan yang lainnya, termasuk kita semuanya selalu berada dalam naungan perlindungan kasih Yesus .... mari ....!”


LEMBARAN X

PENELUSURAN DI JANTUNG METROPOLITAN


Jakarta padat sekali siang ini. Seperti biasa kota metropolitan ini, yang segera diubah menjadi MEGAPOLITAN demikian sang penguasa kota punya ambisi, menghabiskan waktu siangnya dengan keramaian lalu lintas. Lalu lintas padat jam makan siang. Lalu lintas kendaraan bermotor. Lalu lintas manusia. Lalu lintas aktivitas. Lalu lintas kehidupan.
Agni menerawang jauh ke bawah melihat hamparan keramaian dari balik kaca gedung tempatnya duduk. Dia sengaja memilih tempat dekat kaca di dalam kafetaria sebuah gedung bertingkat ini, agar dapat leluasa melihat pemandangan jalan dan gedung-gedung di sekitarnya, begitu batinnya berkata kala memilih tempat.
“Agni ...kamu sudah bulat dengan keputusanmu itu? Cobalah kamu pikir-pikir lagi, kamu tampak muram sekali saat ini!” Perkataan Pak Joni yang tanpa disadari sudah duduk di depannya, membuat Agni sedikit terhenyak dari lamunannya.
“Eh .... i .... ya .... Pak! Saya sudah bulat!”
“Maaf, mengagetkan kamu! Ini pesananmu, ayo diminum dulu biar agak tenangan sedikit!”
“Baiklah ... kalau begitu! Sebenarnya sayang sekali kalau kamu Resign sekarang! Jujur .... tidak banyak kru yang bisa aku andalkan seperti kamu di tempat kita! Tapi .... aku tidak akan memaksa!”
“Pak Joni! Sebenarnya saya undang Bapak untuk ngobrol di sini adalah untuk menceritakan alasan sebenarnya pengunduran diri saya dari kantor ...” Agni mulai memberanikan diri membuka cerita, dia tahu persis bahwa dibalik kekakuan dan kedisiplinan bosnya ini, Pak Joni adalah orang yang sangat care pada siapapun.
“Ya ... teruskan Agni!”
“Begini .... Pak! Bapak masih ingat Mitha kan? Adik kembar saya yang paling sering Bapak ajak main tebak-tebak itu? ....” Begitulah, akhirnya mengalir kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Mengalir secara detil dari mulut Agni apa yang tengah dihadapinya kepada sang bos yang sebentar lagi akan menjadi mantan bosnya.
“Bos ....! Kalau tidak salah Bos banyak kenal aktivis dan mantan aktivis di sini. Boleh aku minta tolong?” Agni menyudahi cerita panjangnya.
“Hmmmhhh ....! Kamu benar Agni! Aku memang punya banyak kenalan orang-orang model BimBim, cuma .... jujur! Perkara ini kompleks sekali!”
“Seberapa kompleks atau peliknya Pak Joni, kalau boleh saya tahu?”
“Begini .... yang pasti aku akan membantu kamu semampu yang aku bisa! Tapi ... sebaiknya aku kasih gambaran dulu .... apa yang ada dibalik kasus BimBim ini ...”
“Agni .... apa yang disebut Teori Konspirasi itu sebenarnya bukan isapan jempol! Dia akan selalu ada seiring dengan terus adanya konsep negara dan kekuasaan!”
“Nah ... model-model penghilangan atau penculikan orang-orang yang disebut aktivis sebagai bagian dari Politik Konspirasi, tidak jarang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu oleh pergerakan atau aktivitas para aktivis itu. Dan ini sebenarnya bukan barang baru di sini. Di negeri kita kita ini!”
“Kamu masih ingat .... masa Rejim Orde yang lalu, di mana pihak kekuasaan dengan apa yang terkenal disebut Tim Mawar-nya, yang entah memang aktor pelaksana utama atau hanya sekadar tumal, melakukan aksi penculikan besar-besaran terhadap para aktivis kala itu. Sebuah aksi yang sampai sekarang pun masih menyisakan tanya akibat banyak korbannya yang tidak jelas keberadaannya.”
“Iya .... Bos! Saya banyak tahu dari membaca file di PUSDOK kantor kita .... terus apa ada kaitannya dengan kasus BimBim ini, .... Bos?”
“Seperti yang kukatakan, ini masalah yang pelik seperti benang kusut! Jujur .... aku tidak tahu apakah kasus BimBim berkaitan atau tidak! Sama seperti aku tidak tahu apa yang benar-benar terjadi dibalik hilangnya para aktivis kala itu ...!”
“Kamu akan memasuki wilayah serba abu-abu, Agni!”
“Untuk itu ... aku akan coba membantu kamu, menghubungkan dengan beberapa orang yang bisa aku percaya! Cobalah gali informasi dari mereka, karena 5-6 tahun belakangan aku banyak meninggalkan jaringan. Sehingga validitas informasi yang aku punya patut untuk diragukan, gimana ...?”
“Wah ... terima kasih sekali, Bos!”
“Oke .... kamu tunggu kabar dari aku, secepat mungkin aku akan pertemukan kamu dengan teman-temanku satu persatu!”
“Sip ...! Aku tahu Bos-ku satu ini pasti bisa diandalkan! Dan terima kasih atas kerjasamanya selama ini di kantor, maaf .... kalau aku sering bikin sebel Bos .... hihihi!” Agni menjabat tangan Pak Joni sebagai tanda perpisahan dari relasinya di tempat kerja, namun tentu saja tidak sebagai relasi persahabatan.
“sama-sama! Urusan administrasi, kamu gak usah khawatir, nanti terima beres saja! Dan kalau permasalahanmu sudah selesai, datang saja ke kantor! Siapa tahu ada posisi yang bisa aku usahakan untuk kamu, oke!”
“Oke .... deh, Bos! See you!”
“See you, Agni and take care!”

# # #

“Mbak Agni ...! Ada telpon tuh .... dari Pak Joni!” Suara Mitha terdengar dari depan pintu kamar Agni yang tertutup.
“Oke ... oke ....! Sebentar ya Tha!” Agni segera memberi jawaban dan setengah berlari membuka pintu kamar serta menghampiri tempat alat telekomunikasi jarak jauh itu tergeletak.
“Halo .... Bos! Gimana .... ada info apa?”
“Hahaha .... Agni! Agni! Sabar dulu Non! Sampai ngos-ngosan begitu! Atur dulu napasmu ....”
“Maaf ....! Maaf ....! Bos! Aku udah gak sabaran lagi ..... hihihi!” Agni tersipu malu menyadari tingkahnya yang serba tidak sabar itu.
“Agni ...! Nanti sore kita ketemuan di kafe biasa ya! Aku mau kenalin kamu sama Albertus! Kita bisa dapat info banyak dari dia! Jam 6, oke ...?”
“Siap .... Bos! Aku ajak Mitha sekalian gak apa-apa kan Bos? Biar dia juga bisa tahu ....”
”No problem! Ajak saja Mitha, bilang sama Mitha kalau aku punya tebakan yang pasti gak akan bisa dia jawab! Oke ..... gitu aja, sampai ketemu nanti sore!”
“Makasih banyak Bos! I know I always can count on you! Bye ....!”

# # #

“Agni! Mitha! Model penghilangan aktivis dengan cara ‘diambil’ memang tidak lagi jadi ‘tren’ seperti masa Tim Mawar dulu!” Albertus membuka keterangan yang akan disampaikannya .... sembari tangan kanannya yang kekar dipenuhi bulu-bulu memainkan sedotan Orange Punch yang dipesannya.
“Saya kebetulan tahu Kasus Semarang itu! Karena salah satu korban, Prihandoko! Sama-sama aktif di pergerakan kaum buruh!”
“Oh ... ya, Pri! Bagaimana dengan eyang putrinya, Kak Albertus? Dia kan sudah yatim piatu dan tinggal dengan eyang putri satu-satunya ...” Mitha masih ingat Pri, panggilan Prihandoko, salah seorang Anak Wisma yang beberapa kali pernah diajak Mas BimBim ke tempat kosnya.
“Sampai sekarang kami belum memberitahu yang sebenarnya kepada Eyang! Kami hanya katakan kalau Pri sedang keluar kota untuk urusan kampus. Tapi jika dalam seminggu ini tidak ada kejelasan, terpaksa kami akan buka semuanya ... walaupun sampai sekarang kami belum tahu bagaimana cara menyampaikannya ....”
“Agni! Mitha! Saya dapat pastikan kalau kecil kemungkinannya aksi penculikan BimBim dan kawan-kawan dilakukan oleh aparat atau yang berhubungan dengan kekuasaan!”
“Faktanya adalah bahwa FATS, Forum Anak Terang Semarang, merupakan organisasi spontan dan bersifat sporadis yang tidak terorganisir rapi dan sistematis, ini jelas bukan target para alat kekuasaan! Kedua, adalah bahwa walaupun demo tempo hari ditujukan untuk mengkritisi pihak kekuasaan, namun justru beraroma SARA yang sangat kental, ada nuansa sektarian yang kuat di sana, hal yang sengaja atau tidak memang dibiarkan oleh alat kekuasaan untuk meredam daya kritis rakyat. Dan yang fakta ketiga, adalah bahwa alat kekuasaan sekarang ini cenderung untuk tidak mempergunakan model-model atau metode-metode ‘lama’ dalam Politik Konspirasinya .....” Albertus berhenti sebentar untuk menyeruput minumannya.
“Nah .... hipotesa saya dan teman-teman untuk sementara ini adalah penculikan BimBim dan kawan-kawan dilakukan oleh kelompok yang tidak senang dengan aktivitas mereka, dalam kaitannya dengan isu SARA! Ada juga sebenarnya hipotesa bahwa pihak kekuasaanlah yang ‘bermain’ dengan menyusupi kegiatan BimBim dan kawan-kawan dan mencari momentum untuk menyingkirkan mereka dengan isu ampuh, SARA! Tapi hipotesa terakhir ini belumlah mendapat bukti yang kuat, sehingga hipotesa pertamalah yang menjadi prioritas kami sekarang.”
“Albertus ....! Sebaiknya menurut kamu, apa yang mesti dilakukan oleh Agni dan Mitha dalam menelusuri keberadaan BimBim ...?” Pak Joni mencoba langsung pada pokok pembicaraan.
“Sebaiknya kalian mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya apapun itu yang berkaitan dengan kasus ini! Oh ... ya dalam 2 tahun ini sudah ada 3 kasus serupa, pertama di Purwokerto, kedua di Makasar, dan terakhir di Semarang yaitu yang terjadi pada BimBim dan kawan-kawan!”
“Agni .... coba hubungi Mas Aji dan Pendeta Atma untuk kontak dengan teman-teman mantan korban penculikan di Purwokerto, data-datanya nanti akan saya berikan!”
“Baik ... terima kasih Kak Albertus!”
“Saran saya .... teruslah melakukan penelusuran dan persiapkan diri dan hati akan segala kemungkinan! Karena apapun dapat saja terjadi ...!”
“Maaf! Saya bukannya berpikiran jelek ... tapi apapun dapat terjadi, bukan ...?”
“Benar Kak Albertus! Saya juga sudah pasrah akan apapun yang akan terjadi! Saya Cuma bertekad bahwa Mas BimBim harus ditemukan bagaimanapun kondisinya!” Mitha berkata perlahan, namun terasa getaran ketegaran dari perkataannya itu.
“Bagus! Saya salut pada kalian! Satu lagi saran saya, jangan serampangan dalam menggali informasi! Si Joni ini bisa kalian andalkan, saya tahu persis kebengalannya dari dulu! Hehehe ...!”
“Ah ... sama-sama anak bengal! Jangan saling menjatuhkan dong! Hahaha ...!” Pak Joni ikut tertawa mencoba mencairkan suasana yang semakin terlihat tegang.

# # #

“Semar, kaulah pohon Mandira itu. Pohon Mandira itu adalah pohon petang dan terang, pohon itu tidak memisahkan matahari dan bulan, siang dan malam. Maka kau adalah samar, ya Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat terang dalam kegelapan, kebaikan dalam kejahatan. Hanya dengan hatimu yang samar pula, kau dapat melihat kegelapan dalam terang, kejahatan dalam kebaikan. Semar, banyak orang tertipu oleh kejahatan yang tersembunyi di dalam kebaikan. Mereka menjadi sombong karena kebaikan. Jika matamu benar-benar samar, ya Semar, maka kau takkan terpukau oleh apa pun, juga oleh kebaikan, yang sering bersembunyi dalam kejahatan.”
Dari SEMAR MENCARI RAGA
kar. Rm. Sindhunata

Mas BimBim,
Sudah 2 minggu semenjak peristiwa Mas BimBim diculik.
Dan sampai sekarang masih samar!
Ya .... seperti petikan yang diambil dari Buku SEMAR MENCARI RAGA yang dipinjemin Mbak Agni, semua serba samar. Semua serba simpang siur. Semua serba abu-abu.
Mitha kasihan sebenarnya dengan Mbak Agni, yang sampai rela keluar dari kerjanya demi membantu Mitha menelusuri jejak Mas BimBim. Tapi juga bangga dengan Mbak Agni! Benar-benar wanita perkasa!
Coba kalau Mbak Agni tahu, Mitha nulis kayak gini. Kalau Mitha masih ngungkit soal Mbak Agni yang keluar dari tempat kerjanya .... wah! Bisa marah besar dia! Bisa menjelma seperti DEWI MEDUSA Mbak Agni itu .... hihihi!
Tapi .... sungguh Mitha bangga sekali!
Punya kakak seperti Mbak Agni, juga Mas Aji!
Mereka semua rela mengesampingkan rasa kesal, rasa marah akan kesalahan Mitha selama ini!
Mereka justru bahu-membahu memerikan segala daya upaya demi menemukan Mas BimBim!
Mitha tahu ....
Upaya Mas Aji dan Mbak Agni sekuat tenaga untuk dapat titik terang di mana keberadaan Mas BimBim adalah terutama demi Mitha!
Adik bungsu mereka ini!
Terima kasih Yesus!
Atas segala karuniaMu, untuk Kau hadirkan orang-orang yang begitu menyayangi diri hambaMu ini.
Mas BimBim,
Bertahanlah .... di mana pun Mas BimBim berada!
Doa dan kasih sayang Cah Ayumu ini akan selalu menyertai perjuangan Mas BimBim.
Entah ... Mitha yakin sekali Mas BimBim masih hidup dan akan kembali di samping Mitha suatu saat nanti ...!
Bukannya Mitha tidak mau berserah ....!
Sungguh, seperti yang selalu diajarkan Mas bimBim untuk menyerahkan segala sesuatu sama Yang Maha Pemilik Semua, Yesus Kristus!
Maka ..... Mitha coba untuk senantiasa berserah ....
Tapi entah darimana asalnya .... keyakinan kalau Mas BimBim akan kembali selalu ada!
Walaupun ....
Jujur! Di tengah-tengah informasi dan keterangan yang silih berganti berdatangan ....
Dari banyaknya versi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terhadap Mas BimBim dan kawan-kawan ...
Dari hipotesa satu yang hampir mencapai titik kejelasan sampai akhirnya datang hipotesa lain yang justru malah mementahkan kembali hipotesa pertama ...
Wah ...
Pokoknya serba simpang siur deh Mas BimBim!
Seakan simpang siurnya lalu lintas jalan Sudirman-Thamrin kala jam sibuk masih tidak seberapa dibandingkan semrawutnya arus berita-informasi-keterangan mengenai keberadaan Mas bimBim.
Memang ...
4 hari lalu hampir saja ada satu titik terang, yaitu ketika Kak Albertus mendapatkan informasi bahwa ada 1 kelompok fundamentalis radikal di daerah Demak dan Purwodadi berencana ‘menggulung’ kelompok FATS. Namun .... info itu menjadi mentah ketika pada akhirnya didapat kenyataan bahwa kelompok tersebut gerakannya lebih terbuka, tidak dengan aksi terselubung lewat aksi culik-menculik! Ditambah lagi melalui info orang dalam, bahwa mereka sebenarnya kalah cepat dalam bergerak. Sebelum mereka melancarkan aksi, Mas BimBim, Binsar, Prihandoko, dan lainnya sudah keburu ‘menghilang’ diambil kelompok lain yang mereka sendiri tidak tahu dari kelompok mana.
Benar-benar ..... tambah tidak karuan kan?
Eh .... ada telpon masuk ... nanti diterusin lagi ya!

# # #

Agni membuka pintu bertangkai besi itu, dan dengan sekuat tenaga mendorongnya keluar. Akhirnya ... pintu di lantai paling atas sebuah gedung bertingkat di jantung metropolitan itu terbuka .... dan Agni segera merentangkan kedua tangannya menentang terpaan angin keras di puncak bangunan yang tanpa atap itu.
Sang gadis perkasa dengan masih merentangkan tangan terus berjalan menuju sebuah lingkaran besar berwarna merah yang terdapat huruf H besar berwarna merah pula di tengahnya. Dirinya berhenti tepat di tengah-tengah huruf H tadi dan seperti melakukan ritual tertentu, tubuhnya berputar ke arah 4 penjuru mata angin dan berhenti kembali di tempatnya semula menghadap.
“Hey .... what’s up bro! Sudah hampir setahun ini aku tidak kemari! Masih seperti dulu saja, tetap sunyi. Tetap asyik untuk menyendiri. Tetap tak terawat .... hihihi!”
“Aaaaaaaa .....!” Agni berteriak sekeras-kerasnya. Sebuah teriakan panjang seakan ingin ia tumpahkan seluruh emosi dan perasaan tertahan dalam teriakan itu ....
Hei .... Yesus! Di tempat tinggi ini! Aku coba menghadap padaMu! Setelah apa yang Kau torehkan pada Mitha, adikku yang sableng sekaligus aku kasihi ....!” Tubuh Agni ambruk ke lantai beton, seakan semua keperkasaannya luruh saat itu.
“Yesus ....! Tolong Kau kabulkan pintaku ini! Jangan Kau ambil BimBim dari Mitha! Seberat apapun aku harus menemukannya, akan aku tempuh! Sekali, tolong ... jangan Kau ambil BimBim!”

# # #

“Agni ....! Aku benci menyampai kabar buruk! Tapi harus aku sampaikan .... dengar!” Pak Joni berkata pelan sambil menatap Agni tajam.
“Sepertinya .... yang bisa kita lakukan sekarang adalah BERDOA! Ya .... Cuma itu! Informasi yang ada sekarang semakin tidak jelas saja ....”
“Sudahlah .... Bos! Aku paham sekali .... dan aku bisa menangkap arah pembicaraan ini!” Agni memang sudah sejak di-SMS untuk datang ke kafe biasa mereka bertemu, telah menagngkap hal buruk akan terjadi.
“Aku ..... atas nama Mitha dan Mas Aji mengucapkan terima ksih buat bantuan Bos, Kak Albertus, dan teman-teman lainnya selama ini! Sungguh ini bukan basa-basi ... penghiburan! Tapi memang adakalanya kita hanya bisa menunggu dan menunggu sampai tabir misteri terkuak dengan sendirinya ... ya kan Bos!” Agni tersenyum getir, menyadari bahwa beginilah pada akhirnya manusia adanya. Ada batas-batas yang mau tidak mau. Suka tidak suka. Tidak dapat dilampaui manusia.
“Kamu benar, Agni! Pada akhirnya keterbatasan manusia akan menjadi jawaban dari suatu misteri kehidupan! Bahwa kita tidak bisa melampaui batas-batas itu! Hanya bisa menunggu dan menunggu!”
“Cuma .... Pak Joni! Kalau boleh ... ijinkan Agni ini menelusuri beberapa tempat, agar tidak penasaran ...”
“Kalau tidak boleh ....?”
“Ya ... tetap akan aku telusuri ....hihihi!”
“Kamu tetap Agni yang aku kenal! Kepala batu! Susah diatur! Baiklah ... kamu minta tolong saja sama teman-temanku di ‘list’ yang aku berikan! Nanti sebelum kamu berangkat aku kontak mereka! Kapan kamu berang ...?”
“Sekarang, Bos!”
“Sudah aku duga! Dasar gilamu itu gak sembuh-sembuh dari dulu!”
“Bos ... kalau merepotkan .... it’s oke aku telusuri sendiri saja!”
“Hei .... kamu boleh saja gila! Tapi bukan berarti bisa ngatur orang sembarangan! Sudah sana pergi ... aku muak lihat muka orang keras kepala seperti kamu!”
“Baik ... baik, Bos! Makasih ya!” Agni segera beranjak dari duduknya. Dia tahu sekali kalau dibalik Pak Joni itu cuma kulit luarnya saja, si Bos pasti akan membantunya sekuat tenaga.

# # #

BENTARA KAHURIPAN

Terdampar di tengah panggung
Bentara abadi milik Sang Ada Hidup
Lakon telah terpatrikan
Tiada dapat mengelak
Tiada daya menampik
Tiada kuasa menolak
Pada apa yang telah dihidangkan
Untuk dikecap
Sampai mendapat saripati
Berbekal penyerahan penuh
Meresap sebagai gita abadi
Te Invocamus
Te Laudamus
Te Asoramus
O Beata Trinitas
Tri Tunggal Sejati Kuasa Tinggi
Sang Sutradara Agung


Pada akhirnya ....
Cuma berserah dan berdoa!
Ya, cuma berserah
Bertelut lutut
Pada Skenario Agung
Milik Sang Sutradara
Yesus Kristus!
Mas BimBim,
Telah Mitha tetapkan kalo cuma berserah
Dan berdoa saja yang kini tinggal
Mitha lakukan!
Mitha pasrahkan semuanya
Ya .... semuanya
Pada kehendak Sang Khalik ini ...
Mas BimBim bertahan ya ...
Karena sampai sekarang pun Mitha masih yakin kalau Mas bimBim akan kembali pada Mitha, Cah Ayumu seorang ....
Yesus ....!
Sertai dan bimbing Mbak Agni!
Mitha gak bisa dan memang gak boleh mencegah kemauan Mbak yang satu ini .... untuk mengunjungi beberapa tempat yang kemungkinan dapat memberi petunjuk keberadaan Mas bimBim!
Mbak Agni ... memang begitu! Kalau rasa penasarannya ditahan atau dilarang, justru akan mengecewakan diri Mbak Agni.
Bimbing dan jaga keselamatannya, ya Yesus!
Dan ....
Bapa kami yang di sorga,
Dikuduskanlah namaMu,
Datanglah KerajaanMu,
Jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
Dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
Seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.
Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan
Dan kuasa
Dan kemuliaan
sampai selama-lamanya.
Amin.

Tidak ada komentar: